Menjadi seorang kakak, tak semenyenangkan kelihatannya.

Menjadi seorang kakak, tak semenyusahkan kedengarannya.

Begitu pula sebaliknya.

Semua itu tergantung dari pendapat setiap pribadi yang memiliki seorang atau lebih dari satu adik. Mereka akan mengatakan 'menyenangkan', jika adik-adik mereka sesuai keinginan. Mereka akan mengatakan 'menyusahkan', jika adik-adik mereka tidak sesuai keinginan.

Ada pula dari mereka yang mengatakan, kalau memiliki adik itu ada senang dan susahnya, ada asik dan menyebalkan.

Sang kakak harus siap mental dan fisik jika mempunyai adik yang kelewat aktif ataupun kelewat pendiam.

Kenapa?

Jika adiknya kelewat aktif, dia harus menyiapkan segala permainan menyenangkan yang akan membuat adiknya tersenyum, di mana dirinya pun berperan dalam permainan itu, atau pun hal seru lainnya. Menguras otak dan tenaga, bukan?

Jika adiknya kelewat pendiam, dia juga harus menyiapkan segala hal yang dapat membuat sang adik ikut bermain, minimal merespon. Dan ini lebih menguras otak dari pada tenaga. Atau keduanya? Kembali, itu tergantung pada masing-masing pribadi.

Ah, bagaimana dengan kakak yang kelewat cuek, hanya untuk mengajak atau menemani adiknya bermain? Atau kakak yang malas mengurusi adik-adiknya?

"Itu kakak yang tak bertanggung jawab."

Eh? Sejak kapan anda masuk dalam cerita ini?

"Huh, aku pemeran dalam cerita ini. Dan kau sendiri yang memasukkannya. Lagi pula, sejak awal cerita di buka, aku sudah ada di sini."

Ah, maafkan saya. Tampaknya, saya terlalu asik menjelaskan mengenai hal di atas.

"Ya, tak apa. Nyatanya, memang seperti itu kok. Dunia ini luas, jadi semua hal bisa terjadi."

Benar. Dan anda juga termasuk dari 'kakak yang tak bertanggung jawab' itu, bukan?

"Ukh, siapa bilang? Sudahlah, cepat selesaikan ini."

Ehem, baiklah. Bisa anda perkenalkan nama anda pada para pembaca? Saya yakin, para pembaca penasaran dengan diri anda. Oh, jangan lupa sebutkan umur anda, lalu anda anak keberapa dan apa anda mempunyai adik? Jika iya, tolong sebutkan berapa adik anda, berapa umurnya dan siapa saja namanya. Jika bisa, sebutkan karakter adik-adik anda. Dan –

"Stop! Kau terlalu banyak memberikanku pertanyaan. Oh, dan bisakah kau berhenti berbicara formal? Telingaku panas mendengarmu berbicara formal."

Hehe… baiklah. Silahkan kau jawab pertanyaanku tadi.

Orang itu menghela nafas setelah dipersilahkan untuk menjawab. "Hei, bisakah kau tidak menarasikan hal yang kulakukan untuk saat ini?"

Okey…

"Perkenalkan, namaku Air. Usiaku saat ini 17 tahun. Aku anak pertama dari empat bersaudara dan… yeah, aku mempunyai beberapa adik. Tepatnya, tiga adik kembar."

Hee~ tiga adik kembar?! Itu menakjubkan, Air. Apa mereka identik?

"Jangan memotong ucapanku! Gezz, pertanyaan tambahan pula. Oh, sampai mana tadi? Ah ya, aku mempunyai tiga adik kembar yang saat ini berusia 3 tahun. Yang pertama bernama Halilintar, panggilannya Hali. Yang kedua, Taufan. Yang ketiga atau terakhir, Gempa. Ya, mereka identik."

Umm, namamu dan adik-adikmu seperti nama elemen saja.

"Yeah, kata Ibu kami, Ayah kami mengusulkan untuk memberi nama kami lain dari pada yang lain. Kata lainnya sih, anti-mainstream."

Terus, karakter adik-adikmu?

"Khe, buat apa cerita ini dibuat jika semua kubeberkan dalam… em, apa ini namanya? Wawancara? Tanya jawab? Reality Show?"

Err… aku pun tak tau.

"Dasar…"

Baiklah, demikian pembukaan untuk cerita ini.

"Itu kau tau!"

Hehehe… sekian dari saya dan Air. Selamat menikmati cerita ini~

I and My Little Brothers

.

Chara BoBoiBoy milik AniMonsta. Fanfic ini beserta alurnya, milik NaYu

.

Family – Humor

.

Warning : AU, Possible!OOC, Elemental Siblings, Chibi!HaliTauGem, Humor gagal, Typo, No EYD, No Pair, and etc. POV BERGANTI TANPA PERINGATAN.

Inspirasi dari Fanfic 'Aku dan Kakak-kakakku' by Hitotsuyami Runa dan juga dari status FB Lomi Ashi-chan

Don't Like?

DON'T READ THIS FANFICTION!

Happy Reading!

.

Chapter 1 : Awal nasib malangku

Liburan sekolah tanpa jalan-jalan bersama keluarga atau teman sangat membosankan, bukan?

Setidaknya, itulah pikiran sebagian anak sekolahan. Ada pula yang sangat senang menghabiskan waktu liburannya dengan mengurung diri di kamar sambil bermain game, atau menonton anime, kartun, movie, dan tontonan lainnya yang disukai tiap pribadi. Ada juga yang menghabiskan waktu liburannya dengan membaca manga, novel, atau pun membantu pekerjaan rumah ibunya.

Tapi, kata 'membosankan' dan 'senang' dapat dipadukan oleh pemuda yang bernama Air. Ia menyambut riang liburan ini. Karnanya, ia dapat menambah waktu tidurnya lebih lama dari saat ia sekolah. Tidur adalah hobi– kebiasaannya. Biar di sekolah pun, jika ia bosan ia lebih memilih tidur dari pada mendengarkan guru menjelaskan. Meski begitu, ia tetap mendapatkan nilai paling tinggi dari teman-temannya(*).

Selain tidur, dia juga bisa menonton anime favoritnya yang –belum sempat dinonton– didownloadnya, juga membaca manga online plus cemilan kesukaannya yang siap tersedia di kulkas mini dalam kamarnya.

Enak sekali, bukan?

Sayangnya, itu masih dalam taraf 'senang'. Taraf 'membosankan' baginya saat semua kegiatan yang tersebutkan di atas telah dilakukannya hanya dalam sehari. Yeah, kalian tak salah baca. Semuanya hanya di lakukan dalam SEHARI, 24 JAM, 1440 MENIT, 86400 DETIK! Dan tak tidur sama sekali. Bahkan tidak keluar kamar plus tidak mandi. Err, kecuali jika ingin buang air. Hehehe… *tawa canggung*

Karnanya pula, saat dirinya ingin memulihkan tenaga –yang terkuras karna tak tidur selama 24 jam–, ia menghabiskan waktu 15 jam nonstop untuk tidur. Sampai-sampai, ibunya harus memanggil ambulans karna mengira sang anak ko'id, is dead, mati, dan kawan-kawannya, hanya karna begadang tanpa memakan nasi sedikit pun.

Anak yang nekat. Atau luar binasah? Ah– luar biasa maksudnya.

Untungnya, saat akan di angkut ke dalam mobil ambulans, Air langsung sadar dari kematian (baca : tidur cantik)nya. Sang ibu pun menatap horror sang anak dan langsung mengatakan, "Kau sudah mati! Gimana bisa hidup lagi!? Pergi kau, Jin sialan! Beraninya kau merasuki tubuh cantik anak lelakiku yang telah tiada!". Sungguh, saat itu Air ingin sekali membedah otak ibunya yang penuh diisi oleh drama lebay bin alay yang membuatnya muntah saat menonton untuk pertama kali –atas ancaman sang ibu–. Nasibmu nak…

Untungnya lagi, ketiga adik kembarnya saat itu diajak jalan oleh kakek mereka hingga jam setengah sepuluh malam. Bayangkan saja jika ketiganya melihat kejadian Air yang disangka kerasukan jin karna sudah mati. Bisa-bisa, adik-adiknya yang masih suci itu ketularan adegan drama yang dilakoni sang ibu.

Dan setelah kejadian absurd itu, pemuda berusia 17 tahun itu mencoba untuk sibuk kembali dengan dunianya. Sayang seribu sayang, ia lupa jika semua tontonan, bacaan, bahkan cemilannya, selesai, habis ludes, tak bersisa. Tak ada lagi anime atau manga yang seru menurutnya. Maka, ia pun memilih tidur. Namun, ia tak bisa tidur. 'AAARRRGGHHH! INI MEMBOSANKAN!', jeritan hatinya kala itu.

Tapi, bagi seorang Air, hal yang terjadi di atas sangat lumrah dalam hidupnya. Yeah, saking lumrahnya, hanya terjadi setiap dia ngemasoin diri untuk begadang semalam suntuk. Hatinya merasa tak puas jika harus menunggu terlalu lama.

Sayangnya, hari ini, hari liburan ketiganya, di pagi hari yang cerah, dia mendapatkan berita mengejutkan dari sang ibu. Sangat mengejutkan bagai petir yang bergemuruh ria di langit cerah.

Berita yang membuatnya merasa berada di neraka dunia. Berita yang membuatnya ingin menabrakkan diri di tengah jalan sambil berkata, 'Ambil nyawaku, Ya Allah!'. Sayangnya, ia tak ingin merealisasikan pikirannya terakhirnya itu.

Hey! Dia hanya manusia penuh dosa yang tak ingin cepat mati, sebelum keinginannya utamanya tercapai. Yakni, menjadi seorang komikus atau animator terkenal. Err, rasanya kayak anak durhaka, ya? Kan, di mana-mana, setiap anak pasti ingin menaikkan orang tuanya haji. Sayangnya, Air berpikir ia tak perlu melakukannya. Orang tuanya saja memiliki harta lebih dari cukup. Seharusnya tahun depan pun bisa melaksanakan rukun Islam kelima itu.

Oke, kembali ke cerita yang sesungguhnya.

Saat ini, Air hanya menatap sang ibu yang berdiri di depannya, di teras rumah. Iris coklatnya bertubrukan dengan iris coklat kehitaman sang ibu.

Mata Air berkaca-kaca. Mata sang ibu pun demikian.

Air meneteskan air mata. Sang ibu pun demikian.

"Air…"

"Ibu…"

"Aiiirr…"

"Iibuuu…"

"HUWEEE…. AIIRR~"

"HUWEEE…. IBUUU~"

Keduanya berpelukan. Mengabaikan tiga manusia kecil merah, biru, kuning, yang menatap keduanya dengan pandangan yang berbeda.

Si merah. Ia menatap kedua orang yang menjadi kakak dan ibunya dengan wajah bosan, kesal, dan… memerah? Eh? Serius? Ya, memerah karna marah. Ia iri. Ia juga ingin dipeluk.

Si biru. Ia menatap kedua orang yang juga merupakan kakak dan ibunya dengan wajah sedih, kusut, bahkan air matanya pun telah menganak sungai. Tampak sangat menghayati adengan ala drama malam yang dilakoni kakak dan ibunya.

Si kuning. Sejujurnya, ia hanya menatap polos keduanya. Ingin menangis seperti si biru, namun ia tak merasa sedih tuh. Ingin kesal seperti merah, sayangnya ia merasa senang melihat keduanya berpelukan. 'Kakak dan ibu aklab cekali', itulah pikirnya.

"Ehem, nyonya? Maaf jika lancang, tapi sampai kapan anda akan berpelukan dengan tuan muda Air? Tuan telah menelpon saya untuk segera mengantar anda ke bandara."

Suara baritone itu menginterupsi kegiatan ibu dan anak ini. Keduanya pun saling melepaskan pelukan. Meski begitu, keduanya masih saling menatap.

"Oke, Air… sekarang ibu akan pergi. Tolong jaga dan perhatiin adik-adikmu ya? Rawat mereka baik-baik selama ibu pergi membawakan berkas ayahmu yang tertinggal ini. Ingat pesan ibu."

Air menggeleng. Ia sangat tak rela sang ibu pergi meninggalkannya. Sungguh, sangat tidak rela sekali. 'Teganya dirimu meninggalkanku bersama para kurcaci kecil ini, wahai ibunda? Aku ingin menikmati liburanku tanpa mereka~ kenapa tak kau bawa saja mereka ini~,' batinnya melankolis.

Dan tampaknya, ia pun tertular virus adegan drama yang sering diperlihatkan –ditonton– ibunya.

Sang ibu yang melihat anak pertamanya menggeleng tak rela, makin tak kuasa menahan tangisnya. Aliran sungai kecil itu makin menderas. Ia tak percaya, jika anak pertamanya ini sangat manja dan tak ingin ditinggalkan. 'Oh… Air-ku sayang tidak ingin ditinggalkan. Uhuhuhu… sebegitu cintanya dirimu pada ibunda, wahai anakku?'

Sungguh, Author ingin sekali menghapus scene ini dalam naskah. Pikiran Air dan ibunya sangat berbeda. Entah siapa yang harus disalahkan. Ckckck… *ditenggelemin Air*

"Tenang, Air sayang~ ibu hanya 5 hari kok," Ibu mengusap rambut hitam Air lembut.

"Tidak, ibu! Tidak! Jangan 5 hari! 5 jam saja, ah 5 menit pun tak masalah."

Air menggenggam tangan sang ibu erat, 'Kumohon, aku gak mau mengurusi ketiga bocah yang menjadi adik-adikku ini~ bawalah mereka!,' imbuhnya dalam hati. Inginnya diungkapin. Tapi, ia tak ingin mendapatkan tinjuan maut sang ibu yang terkenal dapat mengalahkan petinju internasional itu.

Hah~ sungguh anak durhaka sekaligus kakak yang tak bertanggung jawab. *dikuburFGAir*

Ibu semakin tak rela meninggalkan anaknya yang ternyata sangat-sangat menyayanginya. Bolehkan ia memeluknya lagi?

"Maaf, nyonya. Tuan menelpon." Ibu langsung mengambil ponsel sang supir pribadi, lalu menempelkan pada telinganya yang tertutupi jilbab berwarna merah muda lembut.

"Ya, Boboiboy?"

["Yaya! Sampai kapan kau akan berlama-lama di rumah? Berkas itu kubutuhkan jam 3 sore nanti. Ingat, jangan sampai bawa si tiga kembar. Lalu, kata Iwan, kau sejak tadi memeluk Air terus. Uh… aku… juga… emm, ingin di… di peluk…"]

Mata ibu yang diketahui bernama Yaya, membesar mendengar penuturan sang suami. Ah~ ia pun rindu dengan pelukan Boboiboy, sang suami.

"Tenanglah, aku akan berangkat sekarang. Sendirian. Tanpa anak-anak," kata Yaya dengan senyum manis yang terkembang. Membuat Air merasakan kesuraman telah mendatanginya.

'Selamat datang kesengsaraan. Selamat datang kesuraman. Selamat datang wahai neraka dunia~,' batinnya absurd sambil bersimpuh dengan aura suram yang mengelilinginya.

Mengabaikan sang putra pertama yang tenggelam dalam kesuraman– bagi Yaya, terlihat depresi karna tak rela dirinya pergi. Yaya pun mendekati ketiga anak kembarnya setelah mengembalikan ponsel milik Iwan, sang sopir.

"Nah, Hali, Taufan, Gempa, ibu pergi dulu ya. Jadilah anak manis. Nurut sama kak Air, oke?" Yaya mengedipkan matanya pada ketiga anak kembarnya. Hali hanya mengangguk. Taufan mengangguk dengan isakan kecil mengikuti. Gempa tak merespon, hanya menatap Yaya lekat.

"Hali anak pintar," Yaya mengusap kepala Halilintar penuh sayang, lalu memeluk Hali erat hingga terlihat semburat merah dipipi tembemnya. 'Uh, akhirnya dipeluk juga. Tapi, capa juga mau nulut cama kakak pemalas cepelti dia,' batin Halilintar kesal. Oh, Yaya~ andai kau tau pikiran anakmu ini~ *disetrum*

Yaya pun beralih pada Taufan, lalu memeluk anak kembar keduanya mencoba untuk menenangkan. "Ssshhh… tenanglah, Taufan. Ibu tak akan lama kok. Taufan jangan nakal ya~ kak Air akan menjaga Taufan dengan baik."

'Itulah macalahnya, Ibuu~! Ikch… kak Ail akan menelantalkan Upan cepelti di delama kakak yang nyikca adiknya. Upan dak mau cepelti adik tili yang diculuh belciin lumah cendilian~'

Err… ternyata, itulah yang ditangisi Taufan sedari tadi. Sungguh mengejutkan. Yeah, mengejutkan.

SIAPA YANG MENODAI PIKIRAN ANAK MANIS BERUSIA 3 TAHUN DENGAN DRAMA KAMPRET ITU!? SIAPA!? *Author dihajar readers*

Setelah memastikan Taufan tak menangis lagi, Yaya beralih pada Gempa. Memeluk Gempa, lalu menatap wajah imut Gempa sambil tersenyum lembut. Anak bungsunya ini memang kalem, jika tak ingin dikatakan pendiam. Ia merasa takut jika meninggalkan Gempa dengan Air. 'Uh, tapi, ini juga demi membuat mereka berempat akrab. Supaya Gempa tak bergantung padaku saja. Ya! Aku harus rela meninggalkan ketinganya bersama Air. Harus!' batinnya semangat.

"Gempa? Gempa, kenapa sayang?" Gempa hanya menggeleng mendengar pertanyaan sang ibu.

"Katakan pada ibu sayang," Yaya menatap iris coklat Gempa yang melebar. Seakan mengingat sesuatu.

"Emm… ibu tidak mau mengajak Gempa cama kak Ali dan kak Upan, kah? Gimana kalo nanti kak Ali dan kak Upan kelai? Telus, kak Ail tidak bica melelainya. Lalu, Gempa cendili telluka kalna kena tendangan atau dolongan dali kak Ali dan kak Upan. Kan, gawat cekali?"

Uh, oh, Yaya lupa kalau Gempa anak yang paranoid plus baperan.

Air pun sweatdrop mendengar penjelasan adik bungsunya yang kelewat paranoid itu. Apalagi dengan bahasa cadel? Arrgghh… inginnya menjedukkan kepala ke dinding terdekat. Namun, ia sayang jika kepala berharganya benjol hingga membuat ketampanannya sirna.

'Dan… apa-apaan itu? Aku gak bisa melerai pertengkaran anak kecil? Serius? Air yang hebat ini? Hah~ menyusahkan amat. Aku bisa apapun! Bahkan untuk melerai anak kecil,' racau Air dalam hati.

"Hihi… tenanglah, Gempa. Kak Air akan menjagamu dengan Hali dan Taufan 24 jam penuh."

24 jam penuh...

24 jam penuh…

24 jam penuh…

Kata itu terus terngiang di kepala Air. Dan itu membuatnya semakin pusing. Tubuhnya pun limbung kebelakang. Terakhir kali yang ia dengar, hanya suara panik sang ibu juga ketiga adiknya yang entah berkata apa.

((([][][][][])))

"Uuhh…," lenguhku saat kurasakan pusing menjalar di seluruh kepalaku. Meski terasa berat, kucoba untuk membuka mata.

Buram. Pandanganku sangat buram. Hanya siluet merah, biru, kuning, dan putih yang terlihat. Kukerjapkan kembali kedua mataku. Mencoba untuk memfokuskan sepasang indra penglihatan yang kupunyai.

Perlahan tapi pasti. Penglihatanku kembali normal. Dan aku langsung bangkit saat menyadari keempat siluet warna yang terlihat jelas. Merah, siluet Hali. Biru, siluet Taufan. Kuning, siluet Gempa. Dan putih, langit-langit kamarku. He?

"BAGAIMANA AKU BISA DIKAMAR!? KENAPA KALIAN DI SINI!?"

Reflek. Reflek aku berteriak di depan ketiga adik kembarku. Kulihat ketiganya menutup sepasang telinganya dengan wajah yang terlihat… lucu? Aww… aku tak pernah tau jika melihat wajah mereka dengan ekspresi seperti itu sangat lucu~

"Uuhh… bica gak cih jangan teliak! Bica-bica, telingaku budek tau! Dacal, kakak ja'at!."

He? Apa aku tak salah dengar? Ha-Hali… membentakku? Menghinaku? Ukh… kok rasanya… menyakitkan… eh? Belajar dari mana nih bocah sampai pandai menghina?

(Author : Ingat, kau mempunyai ibu pecinta drama, Air)

Ah, aku melupakan hal itu.

"Kak Ail, Upan tau kalo kak Ail macih ichtelich kalna ibu pelgi. Tapi, bica dak janan teliak cekenceng itu? Nanti tetangga pada malah loo~ teluch, kita muchti ngumpet agal dak di ajal macca."

Ohh… Taufan… apa kau juga tertular virus drama dari ibu?! Kupikir, hanya si Hali.

Dan… kenapa malah bawa tetangga segala?! Mana ada tetangga yang berani mengamuk di rumah kita~

"Iks… kak Ail, jangan malahin Gempa. Gempa tidak apa-apain kak Ail kok celama tidul. Cuel deh. Gempa tidak mau dikulung atau dicikca. Jangan malahin iks… Gempa…"

"Kyaaa… Gempa nangich! Kak Ail tanggung jawab! Gempa nangich kalna kak Ail bentakin! Upan lapolin ke kantol polici nih kalo dak mau tanggung jawab!"

"Dacal kakak ja'at!"

"Kakak idiot! Cupel ja'at! Mengelikan!

HEEE? NERAKA JAHANNAM MACAM APA INI!?

Gempa mikir aku marahin dia? Gempa mikir aku akan siksa dia? Demi Allah, Gempa! Kakakmu yang super tampan ini tak akan melakukan hal seperti itu. D"X

Hali~ Taufan~ kalian pun ikut memarahi kakak?! Kampret! DRAMA SIALAN!

Tapi, kata-kata Gempa tadi kok, ada yang… ganjil ya?

Melihat Hali dan Taufan yang menenangkan Gempa, aku… entah kenapa ingin sekali menatap cermin. Ingin memastikan kegantenganku melekat dengan sempurna tanpa cacat.

'Eh? Siapa yang berwajah penuh warna itu? dasar orang gil– eh? Apa ada penyusup di kamarku?'

Aku langsung menoleh ke seluruh penjuru kamar. Meneliti dengan pasti jika orang yang kulihat dalam cermin bersembunyi, karna aku melihatnya. Namun, tak kutemukan siapa pun. Kembali aku melihat cermin dan… ORANG ITU DI SANA! IA MENATAPKU TERKEJUT.

Eh? Tunggu dulu…

Aku pun mengangkat tanganku ke atas. Ia juga mengikutinya.

Aku menepuk kedua pipiku pelan. Ia pun melakukan hal yang sama.

'Loh? Kok wajahku terasa aneh?'

Aku menatap kedua telapak tanganku yang penuh warna.

"Oh tidak… jangan bilang…," gumamku dan langsung saja menatap tempat kosong yang semula terisi oleh ketiga adikku.

"Sialan~," desisku kesal.

Gila! Jadi, ini maksud Gempa? Ia gak mau dimarahin, karna kelakuan kedua kakak kembarnya yang merangkap sebagai kedua adik kembarku juga!

"HALILINTAR! TAUFAN!"

Yeah, tampaknya aku harus EKSTRA SABAR dalam menjaga adik-adikku selama 5 hari kedepan.

((([][][][][])))

Air langsung beranjak dari kasur, lalu berlari secepat yang ia bisa guna menangkap dua diantara tiga setan kecil –menurutnya– yang telah menodai wajah tampannya –sekali lagi, menurutnya–.

Namun, sebuah pemikiran terlintas dengan kecepatan cahaya di otak Air.

Ia pun menghentikan langkahnya. Memikirkan hal yang terlintas secara cepat itu. membuatnya cengo seketika, saat menyadari suatu hal yang sangat ganjil.

"KENAPA IBU TIDAK MENYEWA PENGASUH ANAK SELAMA 5 HARI?!"

Jeritan Air menggema keseluruh penjuru rumah. Bahkan, burung-burung yang bertengger di pohon halaman belakang rumahnya pun sampai pingsan seketika.

Oh Air, apa kau tak memikirkan nasib pendengaran ketiga adikmu?

Mari tinggalkan pemuda yang kembali disibukkan mencari ketiga adiknya. Kita ganti scene ke sebuah pesawat yang terbang dengan lancarnya di udara. Pada salah satu jendela yang melekat pada badan burung besi itu, seorang wanita cantik bersin dengan anggunnya. Ia pun mengambil tisu yang tersedia di samping kanannya.

Jari lentik yang memegang tisu itu mengusap lembut hidung dan mulut sang wanita. Menghapuskan jejak basah karna… err, ingus dan air liur yang keluar akibat bersin. Untung saja cara bersinnya tadi sangat anggun. Jika ia bersin ala preman kelaparan, mungkin penumpang yang berada di sampingnya minta dipindahkan tempat duduknya.

'Uh, apa Air masih memikirkanku ya? Ah~ aku baru tau kalau dia sangat manja. Padahal, hobinya ngurung diri di kamar,' batin Yaya terharu.

Oh Yaya~ andaikan kau mengetahui pkiran anak sulungmu itu.

((([][][][][])))

:::

:::

TBC

:::

:::

OMAKE

"Kalau gitu, ibu pergi dulu ya. Kalau kakak kalian tidak sadar sampai adzan dhuhur, bangunin aja," ucap Yaya pada ketiga anak kembarnya yang duduk manis di atas tempat tidur, di samping sang kakak yang terbaring pingsan.

"Baik, bu!" seru ketiganya dengan ekspresi yang berbeda-beda.

Yaya menatap dalam wajah Air yang tampak damai. 'Hah~ rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat wajah tidurnya,' ia tersenyum lembut melihat wajah yang menurun darinya itu.

Kepalanya merunduk, mendaratkan bibir ranumnya pada kening Air yang tertutupi beberapa helai rambut. Tindakannya itu mengundang raut iri dari ketiga malaikat kecilnya.

"Uh~ ibu cium jidat kak Ail. Tadi Upan dak dicium," rajuk Taufan sambil memalingkan wajahnya dengan bibir yang dimanyunkan.

"Ibu pilih kacih!" Halilintar menatap tajam ibunya. Tapi, dari tatapan itu, Yaya melihat rasa iri dan sedih. Ia rasa, putra kembar pertamanya ini ingin sekali di cium seperti yang ia lakukan pada sang kakak.

"Ibu… Gempa juga mau…"

Lain lagi dengan Gempa. Dia hanya meminta dengan pipi tembemnya yang memerah malu. Yaya terkekeh geli melihat ketiga anak kembarnya ini. Ia merasa sangat bahagia. Ia yakin, Air akan sangat senang dengan ketiganya, dan akan menjaga ketiga adiknya ini dengan baik.

Well, moga saja harapanmu terkabul Yaya.

Melihat Iwan yang menunjuk jam tangan yang melingkar pada pergelangannya –yang berarti sudah waktunya pergi–, ia mencium kening ketiga putranya dengan penuh sayang. Melihat wajah ketiga malaikatnya yang tersenyum merona saat ini, membuatnya seakan ingin membawa mereka. Tapi, ia tak ingin sang suami terganggu nantinya.

Berdiri dari duduknya, Yaya pun mengambil tas gandeng kecil yang ia letakkan di atas meja. Ia pun berjalan menuju pintu. "Ibu pergi ya. Kalian baik-baik di rumah. Jangan berantem, apa lagi membuat kakak kalian kewalahan," wanti Yaya yang dibalas anggukan oleh ketiganya.

"Bagus! Ibu pergi ya, assalamu'alaikum~"

"Wa'alaikum calam!" balas ketiganya serentak.

Lima menit lepas kepergian Yaya, ketiganya hanya menatap wajah tidur sang kakak. Ah, itu hanya berlaku untuk Gempa. Sebab, Taufan dari tadi menoel-noel pipi sang kakak dengan mata bulatnya yang berbinar lucu. Sedangkan Halilintar, em… dia mengelilingi kamar sang kakak. Layaknya petugas ujian yang mengelilingi ruangan guna menghalangi siswa-siswinya yang akan menyontek.

Bener deh, gayanya itu loh… kedua tangan di belakang bedan. Jalannya tegap dengan kepala yang kadang mendongak, kadang juga merunduk. Dan… mungkin karna stress punya badan kecil, dirinya sampai naik ke kursi belajar Air lalu berdiri di atas meja belajar Air.

Tepat di samping LAPTOP!

Oh tidak… berdo'alah moga aja tuh laptop tak akan jatuh. Jika iya, Author akan menutup cerita ini karena Air akan meminta bayaran lebih –untuk beli laptop baru– hingga Author bokek sepenuhnya.

"Kak Ali ngapain? Cepat tulun! Nanti jatuh, nangis, balu tau laca," ucap Gempa.

Halilintar pun turun setelah mendengar ucapan adiknya. Inginnya sih membalas, tapi ia tak ingin membuat adiknya itu menangis. Gini-gini dia kakak yang sayang adik. Ah, pengecualian untuk Taufan. Dia sangat rela jika adiknya yang satu itu nangis sampe kejang-kejang, kalau berani mengerjainya.

Kejamnya dirimu Hali ~

Saat dirinya akan naik ke tempat tidur kakaknya, Taufan langsung loncat ke lantai lalu berpose ala pahlawan kebenaran yang turun dari langit. Yang selanjutnya terjadi, si kembar kedua itu berlari kecap keluar kamar dengan tangan ke belakang ala ninja.

Halilintar menaikkan sebelah alisnya bingung. Ia menatap Gempa yang cengo saat berhasil menaiki kasur.

"Upan ke mana?" Gempa menggeleng setelah tiga menit mengabaikan ucapan Halilintar.

DRAP DRAP DRAP

Suara langkah kaki cepat –yang dapat dipastikan pelakunya–, membuat kedua batita manis– ehem, tampan itu menatap Taufan yang baru memasuki kamar dengan wajah yang terlampau… cerah? Ya, saking cerahnya deretan gigi susu yang putih itu bersinar.

Halilintar dan Gempa menatap Taufan bingung. Pasalnya, kembaran mereka itu tidak datang dengan tangan kosong. Melainkan–

"Untuk apa kau bawa klayon ke cini?" Halilintar turun dari kasur dan mendekati Taufan.

Gempa mengikuti jejak kakak kembarnya. Dan mereka bertiga berdiri saling berhadapan.

"Eh? Kak Upan mau gambal ya?" Gempa berbinar senang. Ia suka sekali menggambar. "Tapi, mana buku gambalnya? Kak Upan mau gambal di mana? Telus, memangnya mau gambal apa di kamal kak Ail?"

Pertanyaan beruntun Gempa tak dipedulikan Taufan. Dirinya sibuk meletakkan tempat crayon yang lebar dan lumayan berat –ingat, ia hanya anak berusia 3 tahun– di atas meja kecil samping tempat tidur Air.

Selanjutnya, ia menaiki kasur kembali dan menyuruh kedua kembarannya untuk mengikuti.

"Kau mau apa?" Halilintar yakin kalau adiknya ini akan melakukan tindakan usil lagi. Dan objeknya adalah sang kakak! 'Acik! Upan belpikilan untuk mengeljain kak Ail! Ha! tanpa kupelintahkan dia malah berpikil cendili. Hebat!' batin Halilintar bangga pada sang adik.

"Kak Upan mau gambal, kak Ali. Maca kak Ali tidak liat klayon itu," Gempa menatap polos Halilintar. Dan Halilintar menatap miris adiknya. 'Gempa~ kenapa kau begitu polos? Aduh… jangan jadi bocah deh. Dewaca dikit napa.'

Aduhai~ Hali, kau sendiri bocah.

"Hehehe… iya, Gempa. Upan mau gambal. Hihihi… pachti nanti kak Ail bakal ceneng," cengirnya membuat Halilintar menyeringai saat tau maksud perkataan Taufan.

"Hee? Benalkah? Memangnya kak Upan mau gambal apa? Ada yang bica Gempa bantu?" Gempa sangat bersemangat. Ia sangat ingin membuat kak Airnya senang. Dengan begitu, tak akan ada penyiksaan seorang kakak terhadap adiknya selama lima hari.

Taufan mengangguk, "Upan mau gambal wajah kak Ail." Dirinya pun langsung mengambil crayon warna biru tua dan menyoret pipi kiri Air.

"Eh? Kak Upan, itukan wajah kak Ail. Kok kakak gambal di citu?"

Taufan terus melanjutkan karyanya, "Tadi dah Upan bilang, kalau Upan mau gambal wajah kak Ail. Gempa gimana cih? Maca dak paham!"

Halilintar hanya cekikikan melihat wajah cengo Gempa. Mengabaikan wajah sang adik yang nampaknya masih memproses perkataan Taufan, ia mengambil warna merah dari tempat crayon dan ikut memberikan warna lain pada wajah Air, hidung tepatnya. 'Kalau ginikan kayak badut. Hahaha… pasti kelen!'

"Uwaaa… kak Ali dan kak Upan belhenti! Tidak boleh colet-colet wajah kak Ail. Nanti kak Ail malah. Telus kita ditelantalkan, telus dikulung, dicikca, tidak dikaci makan campe kita mati kelapalan. Iks… uwee~"

Nah, loh? Gempa nangis?

"Sssttt… diam, Gempa! Nanti kak Ail bangun. Udah, kau tenang caja. Gempa gak akan kena macalah. Kak Ali akan menolongmu," Halilintar menenangkan Gempa, lalu mengambil warna lain di tempat crayon.

"Hahaha… untung kak Ail benelan tukang tidul. Hihihi…"

Yah, begitulah asal mula berubahnya wajah Air. Em… lebih berwarnalah.

END OMAKE

(*) Orang yang sering tidur di kelas, memang cenderung tidak memperhatikan penjelasan Guru. Tapi, semua penjelasan itu masuk lewat pendengaran dan disalurkan lewat mimpi. Meski tak pernah mencari sumber lewat internet, Nayu berhasil membuktikannya sendiri. Semasa SMK, Nayu paling sering tidur di kelas. Dan hal itu seringkali terjadi. Guru IPA Nayu malah membiarkan Nayu tidur di kelas. Alasanya pun kurang lebih seperti yang Nayu tuliskan. Tapi, nyatanya tak semua orang yang sering tidur seperti itu. Lebih baik jangan tiru kelakuan Nayu.

Yuhuuu~ back with Nayu~

Hahaha… bukannya mengupdet fic lainnya, malah mempublish fic baru. Hehe… maafkan Nayu ya~ Habisnya, dari pada mubazir, mending Nayu ketik n updet sebelum hilang total. Nayu sudah terlalu lelah untuk membuang ide yang muncul secara tiba-tiba. Lagian, ini sebenarnya curhatan hati gegara tingkah laku ketiga adik –satu kandung, dua sepupu– perempuan Nayu yang ngikut sinet. Graahh… betapa mirisnya Hidup Nayu karna ketiganya suka sinet plus meragain beberapa scene bahkan ucapan.

Air : Hentikan curhatanmu! Aku sudah lelah..

Yosh, gimana menurut readers sekalian?

Menarik, kah? Gaje, kah? Humornya garing ya?

Tolong tuliskan dalam review ya~ jangan lupa, krisarnya Pliisss QwQ

Jaa na, ttebayo~