Hidup Tetsuya tidaklah seburuk itu dulu. Ia termasuk anak yang aktif dan sangat disenangi oleh teman-temannya. Kehidupan dalam lingkup sanak keluarga pun bisa dibilang cukup bahagia, dimana anak itu dikelilingi kasih sayang melimpah dengan cara tinggal yang sederhana.

Orang tua, kaka, saudara, teman, semuanya menyukai kepribadian seorang Kuroko Tetsuya. Hingga suatu hari...

Song For You

Kuroko No Basket belongs to Tadatoshi Fujimaki

This Akakuro story is mine

RATING : T ;)

Mempersembahkan kisah tentang dunia artis dan bisnis

Boys X Boys

Note: Akashi disini masih memiliki sifat perfeksionis dan tak mudah dibantah. Tidak ada alter ego untuknya. Untuk Kuroko, dia tidak sedatar seperti canon. Beberapa chara akan saya tua kan umurnya untuk kepentingan jalan cerita :). DONT LIKE DONT READ ;)

Aviance Present

(Masa lalu part 1)

.

.

.

Siapa anak yang tidak senang jika mendapati sang ayah dengan pekerjaan super sibuk hingga jarang sekali menampakan diri dirumah kecuali hari libur, tiba-tiba pulang tanpa ada pemberitahuan sebelumnya.

Tetsuya kecil menyambut kedatangan kepala keluarga itu dengan sebuah cengiran khas anak-anak. Tidak ada tanda Kuroko Tetsuya yang apatis ketika itu. Tetsuya masihlah Tetsuya yang polos dan ceria.

"Okaeri, Tou-san!". Teriak Tetsuya nyaring saking senangnya. Ia bahkan mulai berlari, hendak menubruk, memeluk pria itu dengan penuh kerinduan. Tetsuya ingin melihat wajah itu menyambut dirinya dengan senyuman serta tangan terentang lebar menunggu dipeluk, diikuti dengan pujian sang ayah untuk dirinya. Seperti yang lalu-lalu.

Sreettt...

Tubuh Tetsuya sedikit limbung ketika bahu kecil itu menyenggol tubuh besar ayahnya secara keras. Tetsuya hampir saja jatuh jika saja kakak perempuannya tidak ada untuk menangkap tubuh kecilnya.

"Tou-san?". Panggil Tetsuya dengan wajah bingung. Aneh sekali. Ayahnya berubah, bocah manis itu sadar. Ini diluar dugaannya sama sekali.

"Dia bukan lagi ayah kita, Tetsu-kun". Tetsuna melirik sinis ayahnya, gadis bersurai baby blue membantu adiknya untuk berdiri tegak kembali, mengabaikan kerutan di dahi adiknya yang berlipat lebih banyak.

Tetsuya kecil bertanya-tanya dalam hati. Ia semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan yang mulai simpang siur menurutnya. Tidak kah Tetsuna merindukan ayah mereka?. Tetsuya membatin dengan muka heran.

"Tou-san tetaplah Tou-san ku, Tetsuna-Nee...Kenapa Nee-san seperti itu?". Tetsuya sedikit mendengus, tangannya bersedekap dengan bibir mengerucut lucu. Tetsuna memegang kedua pundak adiknya, kemudian tersenyum tipis.

"Dia sudah bukan lagi ayah kita, Tetsu-kun...Tidak ada ayah yang ingin menjual anaknya sendiri demi keuntungan semata". Nada bicara Tetsuna menajam, menantang pria yang selama hidupnya ini dia angap sebagai seorang ayah pengertian dan baik.

Tetsuna bukannya tidak menyadari aura mencekam yang sejak tadi dikeluarkan ayahnya, ia terlalu marah dan kesal hingga rasa takutnya sendiri menghilang. Respek terhadap ayahnya segera sirna.

"Cih...jaga ucapanmu, Tetsuna". Tuan Kuroko menarik lengan anak sulungnya dengan kasar, ia bahkan tidak segan-segan untuk mengangkat tubuh putri yang selalu dibanggakannya. Kaki Tetsuna tidak menapak dilantai lagi.

"Bagaimana pun juga, aku tetaplah ayahmu, Tetsuna". Suaranya dingin, sedingin hati Tetsuna yang merasa tak terima dengan perlakuan sosok pria di depannya itu.

"Nee-san...Tou-san...Yamette kudasai". Kedua orang itu menatap Tetsuya dengan pandangan berbeda; Tetsuna yang khawatir, dan tuan Kuroko yang terlihat semakin kesal. Tetsuya bertemu pandang dengan mata ayahnya segera menunduk takut. Ia sama sekali tidak memiliki keberanian.

Tetsuya membisu setelahnya. Bagi bocah ingusan seperti dia, Tetsuya mengerti makna dari semua yang dilihatnya. Dia tidak bodoh untuk menyimpulkan beberapa hal buruk yang akan segera menimpa keluarganya itu.

"Asal kalian tahu, nilai kalian dimata ku sudah tidak ada apa-apanya lagi". Desis pria berumur tiga puluhan tersebut, membuat mata Kuroko Tetsuya membulat dengan dada yang bergemuruh.

Ah, apakah semua itu benar?. Rasanya Tetsuya tidak bisa mempercayai perkataan sang ayah yang lantas membuat diri merasakan sakit luar biasa dari dalam hati. Tetsuya sangsi jika pria di hadapan mereka ternyata bukanlah sosok ayah yang selama ini mereka hormati.

"Kenapa?". Tetsuya masih dengan kepala tertunduk, menyerukan sebuah pertanyaan. Tangan putih bocah lelaki itu mengepal sangat kuat. Tetsuya sama sekali tidak mengerti dengan sikap ayahnya sendiri. Sama sekali tidak mengerti.

"Dengar, mungkin jika dilihat sekilas, kita ini memang seolah memiliki hubungan darah, tapi nyatanya tidak. Kalian sebenarnya adalah anak dari Kakak laki-laki ku yang sangat pengecut. Tetsuna, aku yakin selama hidupmu, kau sama sekali tidak pernah melihat wajah ayah kandungmu. Tentu saja. Karena dia sebenarnya tidak menginginkan kalian, terutama kau Tetsuna". Pria itu menyeringai. "Aku kira, ibu kalian benar-benar mencintaiku ketika sudah dikhianati oleh kakak ku, tapi ternyata tidak. Dia hanya memanfaatkan diriku agar kalian bisa tumbuh tanpa rasa malu tak memiliki seorang ayah. Semua itu membuatku muak". Nafasnya berhembus dengan kasar di depan wajah Tetsuna yang masih ia cengkram erat. Kemudian ia mendelik kearah si bungsu yang sejak tadi diam membisu.

"Kau mengertikan, Tetsuya?. Entah mengapa, saat melihat dirimu, aku selalu merasa kesal. Kau seperti duplikat kakak ku yang pengecut itu". Kuroko Hirahui melayangkan tatapan penuh kebencian terhadap kedua anak kakaknya, terutama si bungsu.

Sementara itu, Tetsuna di dalam hati terus merapalkan doa agar kaa-sannya cepat pulang dari minimarket, keadaan sekarang mulai genting. Tetsuna tidak ingin sesuatu terjadi kepada adiknya yang masih kecil itu. Ia juga tidak menyangka jika ayah yang ternyata adalah pamannya itu datang ketika kaa-san sedang keluar.

"Aku merasa terkhianati setelah tahu kebenarannya. Maka dari itu aku memiliki hasrat untuk menghancurkan kalian semua". Tetsuya merinding, perkataan penuh tekanan itu bukan hanya gertakan belaka saja. Tetsuya yakin.

Gadis di tangan Hirahui mengeraskan rahangnya.

"Dasar lelaki brengsek yang hanya mementingkan ego". Tetsuna nampak tak gentar meluncurkan kalimat itu. Ia malah gencar melempar kata-kata menusuk untuk ayahnya. Hingga...

BRUUUKKK

Dan yang Tetsuya ingat ketika itu adalah, kakak perempuannya tergeletak dilantai dengan kepala yang bersimbah darah, diiringi dengan teriakan histeris dari sang ibu yang baru saja muncul.

====Song For You=====

Momoi Akane, ibunda dari kedua anak bersurai biru langit akhirnya memutuskan untuk cerai, dan mengajukan permasalahan ini kearah meja hijau. Ibu mana yang tinggal diam ketika melihat putrinya tergeletak dengan kepala bocor akibat dilempar hingga mengenai pinggiran meja kecil dan lantai rumah. Akane tak sempat meluapkan emosinya terhadap sang suami ketika itu, ia dengan- kesetanan- sibuk menggendong tubuh Tetsuna, sementara sebelah kiri tangan menggeret putrnya untuk segera pergi menuju rumah sakit. Meninggalkan lelaki perusak itu sendirian, membuat celah si pelaku terbuka untuk kabur.

Kuroko Hirahui menjadi buronan polisi, hingga satu minggu kemudia pria itu ditemukan tewas keracunan obat terlarang di salah satu apartemen tak jauh dari lokasi Tetsuna celaka.

Akane tidak hadir dalam pemakaman mantan suaminya itu, disamping menghindari bertemu dengan keluarga Kuroko, Akane juga tak tega harus meninggalkan Tetsuna yang masih koma sendirian.

"Tetsune-chan...". Lirih wanita cantik itu sembari menggenggam erat tangan Tetsuna yang koma. Ia nampak jauh dari kata sehat, kantung mata tebal menghiasi bawah matanya, bibirnya sangat pucat, belum lagi tubuhnya yang semakin ringkih akibat terlalu stress dan terus-menerus bekerja untuk biaya pengobatan anaknya.

"Kaa-san...". Tetsuya kecil menarik baju Akane, dengan posisi wanita itu membelakangi dan sedang duduk di kursi.

"Tet-chan...Kau sudah pulang, hmmm...Siapa yang mengantarmu?". Akane tersenyum, kedua tangannya dengan sigap langsung mengangkat Tetsuya kedalam pangkuannya, kemudian memeluk erat bocah itu, berharap setelahnya beban yang ia tanggung meringan barang hanya sedikit saja.

"Paman Ogiwara...Katanya, dia juga ingin menjenguk nee-san. Tapi sayang, Ogiwara-kun tidak boleh ikut". Tetsuya balas memeluk ibunya, dan dengan mata berbinar ia menceritakan perihal kunjungan dari keluarga sahabatnya itu.

"Hounto?...Wah, sayang sekali Ogi-chan tidak datang. Padahal disini ada canele kesuakaan kalian". Akane memasang wajah kecewa sama seperti Tetsuya, ia mulai meregangkan pelukannya, menatap wajah manis sang anak dan diam-diam tersenyum pilu. Kedua anaknya tidak seharusnya mengalami hal mengerikan semacam ini. Apa yang sebenarnya tuhan rencanakan?.

"Sou...sou..Eh, ada canele ?. Wahh, aku tak sabar untuk memakannya". Tetsuya berbinar, kedua tangan yang terkepal ia angkat keatas tanda selebrasi.

"Oh iya, kemana paman Ogiwara?, kok tidak datang bersama?".

"Ah, tadi paman Ogiwara sepertinya bertemu dengan seseorang, mereka terlihat akrab. Mereka terus mengobrol. Aku izin untuk pergi lebih dulu, jadinya. Tidak mau menganggu".

"Tetsuya anak pintar, yah. Bagaimana sekolahmu?". Akane mengelus rambut putranya.

"Sensei tadi menyuruh kami untuk menyebutkan cita-cita".

"Oh ya?, lalu apa cita-cita, Tetsu-kun?". Akane terlihat antusias.

"Aku ingin menjadi pemain basket yang hebat".

"Kenapa?". Alis Akane terangkat satu, manik coklatnya menatap aquamarine itu dengan penuh tanda tanya.

"Karena, itu memang cita-cita aku dan nee-san. Kalau bukan pemain basket, kami ingin menjadi artis terkenal di dunia". Tetsuya terenyum lebar sembari merentangkan tangannya gembira ketika sampai diakhir kata, menunjukan kesungguhan.

Dan tak berapa lama kemudian, Ogiwara Yuuji pun datang.

.

.

.

Tetsuya tidak ingat dengan pasti kenapa sikapnya berubah sekarang. Senyuman polos dengan tingkah pola yang melekat padanya berangsur mulai menghilang, persis seperti pergantian semburat oren kearah hitam. Tetsuya juga tidak lagi mengingat kapan terakhir ia bercengkrama akrab dengan teman-temannya. Tahu-tahu ketika sadar, ia sekarang ini sudah menjadi objek bullian disekolah.

"Minna, aku ingin bilang, besok datang semua ya keacara ulang tahunku. Umm, kecuali anak haram. Aku tidak mau rumahku menjadi kotor". Lirikan bocah yang sedang berdiri di depan kelas itu menghujat Tetsuya dengan telak. Meledek. Melecehkan.

Tetsuya bergeming, irisnya masih sibuk membaca deretan huruf-huruf pada bukunya. Jika dulu ia akan sangat marah dengan perlakuan tak pantas ini, maka sekarang berbeda, Tetsuya memutuskan untuk memilih jalan aman dengan diam. Seolah tak memperdulikan sekitarnya. Daripada sibuk mengurusi anak-anak yang entah mengapa membencinya sekarang.

"Jangan memperlakukan Kuroko seperti ini!".

BRUK

Perhatian kini sepenuhnya terfokus pada sosok bocah berambut coklat yang duduk di depan Tetsuya. Hening menjalar kelas dengan jam kosong tersebut. Tetsuya memandangi punggung sahabatnya tanpa ekspresi, atau lebih tepatnya ia sendiri yang ingin menyembunyikannya.

Ogiwara Shigehiro melayangkan ketidak setujuannya dengan mata berkobar marah. Satu bulan ini. Ia sudah cukup untuk bersabar melihat sosok Tetsuya yang selalu dicemooh. Cukup melihat wajah sendu Tetsuya ketika sehabis menjenguk kakak perempuanya, cukup melihat Tetsuya yang rapuh, cukup dengan perubahan yang lama-lama membuat Ogiwara sempat tak mengenali Tetsuya. Cukup. Cukup. Cukup semua penderitaan itu.

"Kalian tidak tahu apa yang selama ini dilalui oleh Kuroko, kan?. Jangan membuatnya semakin menderita. Coba pikirkan jika kalian berada diposisi Kuroko. Aku ragu kalian bisa menerima semua itu dengan mudah diumur kita yang sekarang!". Nafas Ogiwara memburu.

"Lebih baik kalian mendiami Kuroko ketimbang menghujat seperti itu!". Lanjutnya dengan penuh emosi.

Tetsuya menutup bukunya melihat keadaan yang semakin memanas, ia bangkit, berdiri tepat disamping Ogiwara, kemudian, tanpa ada yang bisa menebak, Tetsuya memukul wajah orang yang membelanya dengan tanpa ampun hingga bocah itu jatuh terjengkang. Membuat bangku disekitarnya berantakan, dan beberapa anak jatuh dari duduknya, dampak si surai coklat yang roboh.

"Aku tidak peduli". Tetsuya mengepalkan tangannya, memandang sekeliling kelas dengan tatapan dingin.

"– Kalian ingin memperlakukan diriku seperti apapun, aku cukup sadar siapa aku. Lagipula, perkataan kalian memang benar. Aku ini anak haram...". Ada jeda sejenak ketika Tetsuya melirik Ogiwara yang masih jatuh dengan tangan tertumpu pada kursi, tidak menatap Tetsuya sama sekali.

"Aku tidak suka diperlakukan secara lemah. Aku berterima kasih kepada Ogiwara-kun yang mau membela diriku. Tapi tetap, aku tidak suka. Aku tidak suka ketika melihat orang yang aku sayang marah atau merendahkan dirinya hanya karena aku. Apalagi disaat aku tidak bisa melakukan apapun. Rasanya...seperti ...aku sangat tidak berguna". Tetsuya mengangkat tangannya di depan dada, membuat kepalan kuat seraya menatap dengan lekat.

"Aku hanya peduli pada orang-orang yang peduli padaku. Itu saja. Dan aku bukanlah tipe anak yang suka menghamburkan duit orang tua. Konyol sekali mengadakan pesta meriah untuk berkurangnya umurmu". Tetsuya meletakan tangan kanannya dipinggang, menantang seorang di depan kelas dengan seringaian nakal.

"Kau...!".

"Nmaa...Aku tidak ada urusan dengan kalian untuk kali ini". Tetsuya membantu Ogiwara untuk berdiri. Wajah mereka saling berhadapan, Tetsuya menggumam maaf yang langsung disambut senyuman oleh temannya itu.

"Aku harus mengantarkan Ogiwara-kun ke UKS dan mempertanggung jawabkan kelakuan keras ku ini. Setidaknya aku bukanlah pengecut". Tetsuya menyunggingkan seulas senyum sarat akan sindiran.

Beberpa jam setelah kejadian aneh tadi, Akane sebagai wali Tetsuya dipanggil begitupula dengan Ogiwara. Mereka berbincang dengan guru konseling perihal masalah itu, sementara kedua anak yang bersangkutan di suruh menunggu diluar ruangan.

"Gomen nee, Ogiwara-kun". Tetsuya menatap ujung sepatunya, suara bocah berumur sembilan tahun itu menghela nafasnya, entah sudah berapa kali dia meminta maaf, hatinya tetap tak bisa tenang. Merasa sangat bersalah. Padahal, Ogiwara sudah memaafkannya berulang kali juga.

"Sudah kukatakan tidak apa-apa, lagipula ini juga salahku yang terlalu dalam ikut campur". Ogiwara melebarkan senyumannya.

Suara pintu terbuka mengejutkan mereka, keduanya pun berdiri, menunggu ibu masing-masing datang menghampiri.

Tetsuya tidak berani menatap kedua orang dewasa di depannya.

"Gomen kudasai". Lirihnya dengan kedua jari yang saling terpaut dibelakang, kepalanya menunduk dalam.

"Mou, tidak usah dipikirkan lagi, Tetsu-chan. Bibi yakin kau punya alasan tersendiri hingga memukul Shige-kun. Untuk bibi, dengan kau mengantarnya ke UKS saja sudah cukup". Ibunda Ogiwara menunduk, menepuk surai biru teman anaknya dengan kelembutan.

Tetsuya melirik. "Hounto?". Ia memastikan. Dan ketika melihat anggukan mantap dari wanita bermahkota coklat itu, Tetsuya melebarkan senyumannya.

"Tapi tetap saja kau harus dihukum, Tets-kun", kali ini suara Akane terdengar.

Ogiwara hendak menyangkal jika saja ibunya tidak berkedip padanya, dan membuat gestur untuk dirinya tetap diam. Sungguh, Ogiwara tidak mengerti dengan jalan pikiran orang dewasa disekitarnya.

"Apa itu, Kaa-san?".

"Tets-kun harus mau menemani Kaa-san untuk mengurusi kakakmu selama tiga hari tanpa sekolah".

"Aku di skors?". Tanya Tetsuya bingung.

"Tidak. Tidak. Itu murni keinginan Kaa-san, tadi Kaa-san sudah meminta izin pada gurumu. Bagaimana?. Kau terima hukaman ini?".

"Tentu saja!".

=====Song For You=====

Tetsuya sudah tidak asing lagi dengan lingkup rumah sakit tempat kakaknya dirawat. Mengingat lamanya Tetsuna dirawat, membuat Tetsuya mau tidak mau harus terbiasa dengan bau obat-obatan khas yang menyengat.

Siang itu, tepatnya hari kedua dimana Tetsuya melancarkan hukuman dari Akane, menemani kakak perempuannya selama wanita paruh baya itu bekerja, Tetsuya memberikan sebuah hadiah untuk kakaknya. Hadiah yang sebenarnya sudah sejak lama ingin ia berikan pada Tetsuna. Hadiah yang merupakan doa ketika Tetsuna masih koma.

"Nee-san suka?". Tetsuya mempertanyakan kesan kakaknya terhadap hadiah yang ia bawakan dengan antusias. Hanya sebuah liontin dengan foto mereka bertiga di dalamnya. Hadiah kecil dari Tetsuya yang sudah susah payah menabung demi liontin itu.

"Tentu saja. Ini hadiah dari adik ku tersayang. Masa aku tidak suka". Tetsuna menatap liontin di dihadapannya dengan raut wajah terkejut dan senang. Fakta bahwa adiknya akan menemani selama tiga hari penuh saja sudah cukup mengejutkan, ditambah dengan hadiah ini, tentu saja membuat Tetsuna terharu. Yah, meski sekarang ia sudah tidak bisa berjalan seperti orang normal (Memikirkannya saja sudah membuat Tetsuna menelan dengan pahit kenyataan dirinya sudah tidak bisa menggunakan kedua kakinya itu), Namun semasih ada kelurga dan orang yang menyayangi dirinya dari belakang, itu sudah juga menjadikan alasan Tetsuna agar bertahan.

Tetsuna sangat bangga memiliki adik seperti Kuroko Tetsuya. Semoga saja dikehidupan yang lain, mereka dapat berkumpul dengan keadaan yang jauh lebih baik lagi.

"Kalau begitu, aku pakaikan". Tetsuya segera naik ke kasur kakaknya, memposisikan diri untuk memasang liontin dileher gadis tersebut. Gadis bermanik merah muda tersenyum lembut dan menganggukan kepala atas kesetujuannya.

"Bagaimana sekolahmu?". Tanya Tetsuna kemudian.

Akhir-akhir ini, kalau diperhatikan lebih seksama, Tetsuya sepertinya-atau memang- terkesan berbeda dari yang lalu-lalu. Bocah itu memang masih sering tersenyum, tapi, tidak seceria dulu, bahkan sinar dikedua mata indahnya meredup. Jika memang tebakan Tetsuna betul, adiknya pasti sedang menghadapi masa sulit di lingkungannya.

"...Baik...".

Kau berbohong , Tets-kun. Tetsuna hanya tersenyum tipis, mengerti akan jawaban Tetsuya. Terdengar penuh keraguan, Tetsuna menangkap semua itu.

"Ogiwara-kun tidak ikut kemari?". Ia memilih untuk mengalihkan pembicaraan, memilih untuk tidak terlalu ikut campur. Karena, siapa tahu suatu saat nanti, ketika perlahan ia dan ibunya pergi, dan si bungsu tiba-tiba mendapat masalah tidak dapat menyelesaikannya sebab dihari-hari sebelumnya permasalahan yang ia alami selalu diselesaikan dengan bantuan Tetsuna maupun ibu mereka.

Tetsuna ingin adiknya mandiri dan tegar. Tetsuna percaya pada adiknya itu.

"Hehh...Ada apa ini, apakah Nee-san sudah mulai menyukainya?". Tetsuya yang telah selesai memakaikan kalung kembali ketempatnya semula.

"Baka!. Ogiwara-kun sudah aku anggap seperti adik sendiri, tahu". Tetsuna mendengus. "Oh iya, Satsuki-chan besok akan kesini ". Tetsuna memasang wajah jahil.

"Sepertinya aku lebih baik sekolah besok". Tetsuya mendadak merinding ketika nama sepupunya disebut, kelakuan bocah itu mengundang tawa lebar kakaknya.

"Mou...Nee-san...". Tapi Tetsuna tetap tertawa seperti itu, mengabaikan protesan kecil dari adik manisnya.

"Yare yare...Kaa-san ketinggalan apa ini...". Akane masuk keruang inap anaknya, wanita bertubuh semampai berjalan menuju sisi yang berlawanan dari Tetsuya.

"Kaa-san, wajahmu pucat". Komentar Tetsuya saat ibunya sudah duduk dikursi sebrang. Si bungsu menatap tidak suka kearah Akane yang malah melempar senyum.

"Kaa-san, tidak usah bekerja sekeras itu. Kami baik-baik saja, lebih baik tenaga Kaa-san disimpan selebihnya untuk kegiatan lain daripada harus bekerja terus selama dua bulan ini". Tetsuna nampak khawatir.

"Kaa-san tidak apa-apa kok. Istirahat saja pasti cukup". Akane membelai rambut panjang Tetsuna. Ah, sudah berapa lama anak sulungnya tidak melihat dunia luar, ya?. Rambut biru yang berkilau itu terlihat semakin redup.

"Aku tidak suka jika Kaa-san sakit". Tetsuya cemberut.

"Ha'i...Ha'i...Kaa-san akan lebih menjaga kesehatan lagi sekarang".

.

.

.

Akane tidak bodoh untuk menyadari tubuhnya yang semakin hari makin rusak ini. Dia hanya tidak ingin membuat kedua anaknya itu terlalu mencemaskan kondisinya saat ini. Tugas seorang ibu untuk menjaga kebahagiaan anak-anaknya meski harus dengan mengorbankan diri. Itu adalah bebannya.

Akane yang menolak untuk melakukan pemeriksaan diawal pun akhirnya rela memeriksakan diri ketika beberapa kerabat memaksa agar ia segera memeriksa kondisi kesehatannya yang seringkali naik turun tak terkendali.

Dan disinilah Akane, menunggu dengan perasaan cemas akan hasil dari pemeriksaannya.

"Menurut pemeriksaan kami, Momoi-san harus segera melakukan oprasi ginjal . Ginjal anda sudah sangat rusak, kalo dibiarkan, keselamatan anda menjadi taruhannya".

Akane terhenyak. Apalagi ketika mendengar penuturan dokter selanjutnya.

=====Song For You=====

Semakin hari, sifat Tetsuya semakin berubah. Frekuensi ia tersenyum dalam sehari sudah bisa dihitung dengan jari, bahkan ketika ia berkumpul dengan ibu dan kakaknya sekalipun. Tetsuna cukup menyadari dengan tingkah adiknya yang berubah drastis, dan ia cukup yakin dengan alasan dibalik semua itu adalah menyangkut dirinya, keluarga mereka.

Hari itu, akhirnya Tetsuna diperbolehkan untuk pulang. Beruntung karena keluarga kecil mereka tidak lagi tinggal di rumah yang dulu. Akane memilih sebuah apartemen dekat rumah sakit untuk tempat tinggal baru.

Pesta kecil-kecilan diadakan untuk menyambut kepulangan Tetsuna.

Ketika orang-orang dewasa sibuk mengobrol diluar, kelompok anak-anak yang terdiri dari; Tetsuya, Ogiwara, Satsuki, dan tentu saja Tetsuna. Sibuk bercengkrama di dalam kamar baru bernuansa merah yang disinyalir merupakan kamar bagi Tetsuna.

Seperti biasa, keributan selalu terjadi ketika empat anak itu kumpul bersama.

"Tetsu-kun, senyum dong". Satsuki mencubit kedua pipi Tetsuya dengan gemas, seminggu semenjak ia disini, Satsuki belum pernah melihat senyuman lebar Tetsuya seperti dulu lagi. Satsuki sangat merindukan kecerian Tetsuya sungguh.

"Satsuki-chan, sudah. Kasihan Kuroko". Ogiwara meringis melihat Tetsuya menjadi korban kebringasan sepupunya untuk kesekian kali, meski sedikit takut, Ogiwara tetap berusaha melepaskan Tetsuya dari Satsuki yang sudah ada dalam mode nenek sihir.

"Ogi-chan tidak seru, ah". Satsuki berkata dengan nada kesal.

"Eh?...".

"Dasar tukang nyengir aneh".

"Eh?!". Ogiwara memandang Satsuki tak suka." Dasar nenek sihir", desisnya.

"Apa kau bilang?!".

"Nenek sihir. Wleee". Ogiwara memeletkan lidahnya.

"Hyaah! Dasar orang gila aneh". Satsuki menggeram dengan kaki menghentak tidak ingat umur.

"Anak kecil".

"Orang aneh".

"Nenek sihir".

"Masokis".

"Bringas".

"Menyebalkan".

"Merepotkan".

Tetsuna terkikik melihat pertengkaran dadakan di dalam kamarnya. Tetsuya hanya bisa menghela nafas lelah. Ah, sungguh merepotkan jika mereka berdua disatukan seperti ini. Tetsuya memilih untuk pergi dari kamar kakaknya.

"Mau kemana kau, Tets-kun/Kuroko?". Keduanya serempak menoleh kearah Tetsuya. Kaki kecil Tetsuya berhenti di depan pintu, ia membalikan badannya kemudian.

"Bunuh diri". Jawabnya sakarstik dan segera pergi sebelum kupingnya pengang akibat kombinasi jeritan yang memekakan telinga.

"Heeeeeeeeee?!".

.

.

.

"Bagaimana hasil pemeriksaannya, Akane?". Tanya Momoi Riku, kakak kandung dari Akane sendiri.

Ketiga keluarga itu duduk dalam satu lingkaran sofa dengan meja sebagai penengah. Masing-masing dari mereka duduk dengan pasangan sendiri. Akane duduk di salah satu single chair dengan wajah sedikit pucat. Agaknya Akane belum melakukan tindakan apapun atas penyakitnya.

"...".

"Akane-chan, jangan menyembunyikan masalah penting seperti ini dari kami". Kirei, istri dari Riku memegang tangan Akane yang kebetulan duduk disampingnya. Wanita berpostur langsing dapat merasakan tangan Akane yang terasa lebih kurus dari sebelumnya.

"Kami keluarga Ogiwara akan senang membantu. Kita sudah berteman cukup lama loh". Wanita dengan rambut coklat disisi berlainan Akane mengucap. Ia dengan senyum penuh kelembutannya menepuk bahu sang sahabat. Menegarkan dalam diam.

Anggukan dan sahutan 'Iya, betul', dari mulut kepala keluarga Ogiwara membuat Akane mengangkat wajah ayunya yang tertunduk lesu. Ia masih sedikit bimbang untuk berterus terang mengenai keadaannya atau tidak. Ia takut merepotkan. Namun, perasaan itu segera hilang ketika Akane menatap setiap wajah orang-orang dihadapannya.

"A-Aku...mengidap penyakit kanker ginjal". Akane menghela nafas, semoga keputusannya benar.

Tak ada reaksi. Hening. Ah, Akane sangat takut tanpa alasan yang jelas. Ia mengigit bibir bawahnya gugup.

"Apa... yang kau lakukan selama ini?...". Riku memejamkan matanya sembari menghirup udara dalam-dalam, mencoba menahan gejolak di dalam hatinya sendiri. Apalagi sekarang?. Riku sungguh tidak mengerti dengan takdir adik perempuannya itu. Bukankah terlalu menyakitkan untuk dijalani?. Astaga. Apa yang sebenarnya terjadi?. Batin Riku memanas.

Akane paham maksud dari kakaknya. Apa yang kau lakukan selama ini?. Akane semakin kencang menggigit bibirnya. Dia bertanya pada dirinya sendiri dengan gemaan pertanyaan tadi. Akane hanya bisa menghela nafas tanpa bisa menemukan jawaban dari pertanyaan kakaknya. Kenapa?.

"Tidak kah Akane-chan harusnya segera melakukan operasi?". Semuanya khawatir. Semua peduli dengan dirinya. Akane terharu disela-sela kegundahan batin. Andaikan ia bisa hidup lebih lama lagi. Bodoh. Ia pasti bisa hidup lebih lama lagi. Demi kedua anaknya dan mereka yang akan menangis tulus jika ia meninggal kelak.

"Ya, nanti. Aku akan mengumpulkan uang dulu. Tabunganku mulai menipis",

"Kami bisa membantumu Akane-san". Ogiwara Yuuji menyahut. Perkataannya disetujui oleh ketiga orang lainnya. Mau bagaimana lagi?. Jika menunggu terlalu lama, bukankah keadannya akan semakin tambah buruk?.

"Aku...tidak ingin merepotkan kalian". Akane kembali menghela nafas untuk kesekian kalinya, kali ini helaan putus asa yang tak bisa terdefinisi. Akane enggan untuk meminta bantuan, ia sama sekali tidak mau melibatkan banyak orang kedalam itu tentu saja menghargai apresiasi semua orang, hanya saja, ada sebagian dari dirinya yang menolak. Ia tidak lah lemah.

"BAKA. Kita ini keluarga. Jangan berkata seperti itu lagi". Riku tersenyum. Senyuman sama yang selalu Akane terima ketika ia mendapat masalah.

Ah ia sangat bersyukur akan hal itu.

====Song For You=====

"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkannya".

Tetsuya mendadak tak bisa bergerak. Sekujur tubuhnya serasa berhenti bekerja.

Tidak ada yang lebih parah dibanding baru mengetahui kondisi ibumu yang kritis disaat terakhirnya. Apalagi, Tetsuya belum mau mengucapkan selamat tinggal pada wanita penuh penyayang itu.

Tetsuya melirik kesamping, ia mendapati seluruh keluarganya menangis pilu, apalagi...kakaknya yang duduk di kursi roda.

T B C

Wohoiii ini lanjutan dari cerita yang kemarin...kekekeke~ aku sangat berterima kasih pada teman teman yang sudah mau menyempatkan diri untuk membaca ;) .

Dannn...aku buat chapter mengenai masa lalu Kuroko ini menjadi du bag. Soalnya, takut kebanyakan kalo diselesaikan dalam satu waktu :'v /bilang aja males :'v . Scene yang akhir itu sebenernya cuman sedikit preview aja /ngokkk\ intinya tunggu chap depannya aja oke ngehuahahahahaha XD

Balasan Review

Izu13 : Ngehahahahaha Sei-nii disini aku buat jadi pria yang cinta mati sekali denga Tetsu-kun XD guahhh... Arigatou XD

Yui Yutikaisy : Kehkehkeh XD

Tenang aja kok..Akashi pasti baik baik aja /? Plak

Hueeee aku juga kasian banget sama Karmanya :'3 kok dia bisa idup begitu banget ya :3 hueeee

Becouse that is Kuroko's Destiny in FF world /plak :'v Arigatou XD

Atin350 : Iya dia udah lelah banget. Makanya nyerah T.T ...hahaha betul sekali, Karma itu dari anime tetangga. Yang pinter tapi badung :v Arigatou XD

Rarachi : Gomen gomen :3 ...yang penting mah kan udah lanjut :v /ngekkk

Saya lagi berjuang buat Akashi maso ini, doakan saja semoga berhasil wkwkwkwkw XD

Arigatou XD

Kasv : Gimana marathonnya ? XD ngehahahaha Arigatou XD

Lhiae932 : Aku juga sebenernya gak suka T.T /dzigg

Arigatou XD

PreciousPanda : Hahahaha seneng deh dengernya...Sippp...kita mulai dari masa lalu Kuroko dulu ya ;)

Ah oke oke...makasih atas masukannya. XD

Arigatou ! XD buat semua yang reviews, follow, favorit, atau baca doang. I lap u deh XD gehahahahahaha

[16/04/16]