Gintama © Sorachi Hideaki

Nothing is impossible in Gintama, right?


"Aku tidak menyangka wanita itu punya anak. Kenapa dia mati dan meninggalkan anaknya kepada kita?"

"Sekarang apa yang akan kita lakukan? Membiarkan anak haram itu tinggal di sini? Siapa yang akan mengurusnya?"

"Sepertinya kita harus menunggu keputusan Aniue."

"Aniue belum tahu detailnya, kan? Mungkin masih sempat kalau kita menyingkirkan anak itu—"


Kaki mungilnya yang telanjang berjalan tergesa di atas lantai kayu. Derit halus menemani tiap langkah ke mana ia pergi menjelajah.

Setelah kematian ibunya dua minggu yang lalu, ia tidak punya siapa-siapa lagi. Ibunya hanya meninggalkan secarik kertas bertuliskan alamat dan pesan singkat, yang kemudian mengantarnya ke tempat ini. Sudah dua hari ia tinggal di rumah besar ini; kediaman Hijikata. Kabarnya, mereka yang tinggal di sini memiliki hubungan darah dengannya. Tapi baru dua hari dan ia sudah tahu kalau hubungan darah tidak selalu berarti keluarga. Mereka, kakak-kakaknya, tidak peduli padanya.

Rumah ini begitu luas, tidak seperti tempat tinggalnya dulu bersama ibu. Ia belum hapal tiap-tiap ruangan yang ada di sini, bahkan ia agak lupa jalan menuju kamarnya sendiri. Semua pintunya tampak sama; berderet-deret tanpa pembeda. Beberapa saat yang lalu ia salah membuka pintu. Yang ia kira ruang makan ternyata adalah ruang pertemuan. Kakak-kakaknya sedang serius berdiskusi. Membicarakan tentang dirinya. Pembicaraan terhenti seketika, tapi sorot mata mereka tetap tajam mengawasinya. Lidahnya kelu – dua hari ini ia belum bicara.

Akhirnya ia pergi tanpa permisi, dan kini melangkah tanpa arah tujuan pasti.

Ia menemukan sendalnya di ujung undakan. Ia melompat turun dan memakainya dengan asal. Tanpa tahu daerah sekitar, ia nekat melangkahkan kaki keluar gerbang tinggi. Boleh jadi rumah itu luas dan ramai, tapi berada di dalam sana begitu menyesakkan.

Ia membiarkan kakinya menuntunnya pergi. Memasuki belantara hutan sunyi. Dulu, kepada ibunya, ia selalu pamit untuk pergi bermain dengan anak-anak desa sebelah. Tapi dia bohong. Kalau jujur, ia tahu ibu tidak akan mengizinkan. Karena dia tidak pergi ke lapangan dan bermain layang-layang. Ia selalu menyusuri hutan kecil di balik bukit. Tempat yang menenangkan. Dan ia berencana menjadikan hutan ini tempat pelarian selanjutnya. Ia tak mau berlama-lama berada di sekitar orang-orang yang mencibiri keberadaannya.

Sepasang mata birunya mengerjap. Ada sebuah lubang pada batang pohon besar. Seekor kelinci putih melompat melewatinya, kemudian masuk ke dalam lubang itu.

"Ah!" Ia berseru. "Tunggu!" Ia ingin menangkapnya. Mungkin kelinci itu mau jadi temannya.

Tanpa pikir panjang ia ikut merangkak masuk ke dalam lubang yang gelap. Tak disangka, bentuknya seperti lorong panjang. Dia tidak sempat merasa takut, karena ada seberkas cahaya di hadapannya. Kelinci putih tadi terus melompat-lompat, hingga akhirnya menghilang keluar. Ia masih mengikuti.

Sampai di luar ia langsung memejamkan mata. Sejak kapan matahari pagi begitu menyilaukan?

Kemudian ada butiran-butiran yang terjatuh dari langit, menumpuk di atas kepalanya. Dingin. Apakah itu salju? Sejak kapan salju turun di musim panas?

"Hatsyi!"


"Haah, nenek tua itu benar-benar menyebalkan. Apa dia tidak tahu udara di luar begitu dingin? Kenapa dia menyuruh kita pergi mengantarkan barang?"

"Kau harus bersyukur karena Otose-san hanya menyuruh mengantar barang dan tidak mengusirmu keluar, Gin-san. Kau harus segera membayar uang sewa kalau tidak mau mati kedinginan di luar sini."

"Hei, hei, ini belum waktunya membayar sewa, Patsuan. Lagipula kau tahu Gin-san tidak punya uang. Kemarin dia kalah bermain pachinko. Ah…"

"Shinpachi, aku ingin makan iga bakar dan sup kentang, aru. Aku juga ingin makan jeruk dan sukonbu!"

"Kagura-chan, kau tahu kalau kita tidak punya— AAAAAHH!"

Gintoki mengerjapkan matanya. Tiba-tiba saja Shinpachi berlari duluan ke depan meninggalkan mereka. Si kacamata itu berjongkok di dekat gundukan salju dan mengangkat sesuatu. Seseorang lebih tepatnya.

"G-Gin-san!"

Ia dan Kagura berlari mendekat.

Apa yang sedang ia lakukan berbaring di atas salju dengan pakaian setipis itu? Seorang anak laki-laki. Mungkin usianya sekitar 6 tahun. Rambutnya yang hitam tampak kontras dengan putihnya salju. Dilihat dari kimono yang ia kenakan, sepertinya dia bukan anak buangan yang sudah lama tinggal di jalanan. Tapi apa yang ia lakukan di tengah cuaca dingin seperti ini?

"Gin-san, apa yang harus kita lakukan?" Shinpachi menoleh ke arahnya dengan ekspresi panik. Ia mendekap erat tubuh mungil anak laki-laki itu, tapi sepertinya tidak cukup hangat.

"Dia masih bernafas. Sebaiknya kita membawanya pulang, aru."

Gintoki menghela nafas. Ia melepas syal dan melilitkannya pada anak laki-laki itu, kemudian memberi isyarat pada Shinpachi agar bergantian menggendongnya. Karena tentu saja anak itu akan merasa lebih hangat kalau bersamanya. Sekilas ia memperhatikan anak laki-laki misterius itu. Wajahnya tampak familiar, mengingatkannya pada seseorang.

"Ayo kita segera pulang, aru. Dia bisa mati kedinginan kalau di luar terlalu lama."

"Kagura benar, Gin-san. Sebaiknya kita bergegas—"

"Tidak." Ia berujar. Membenarkan posisi lengannya, mendekap anak itu semakin erat. Tubuh mungilnya terasa bergetar dalam pelukannya. "Kita tidak punya apa-apa di rumah, percuma saja. Lagipula pemanas ruangannya rusak. Kotatsu saja tidak cukup menghangatkannya."

"Gin-san, aku yakin Otose-san akan—"

"Mungkin saat ini orangtuanya sedang panik mencarinya. Sebaiknya kita mengantarnya ke kantor polisi. Shinsengumi tidak jauh dari sini, kan?" Ia bangkit berdiri, kemudian melangkah pergi tanpa menunggu Kagura dan Shinpachi.

"Gin-san—"

"Cepat. Dia kedinginan." ujarnya tanpa menoleh ke belakang. Langkah kakinya dipercepat setelah mendengar Kagura dan Shinpachi mengikutinya. Sesekali ia mengecek kondisi anak itu; siapa tahu tiba-tiba dia berubah menjadi amanto berwajah seram.

Ia sempat mendengar erangan pelan yang segera menarik perhatiannya, kemudian sepasang mata anak itu terbuka sebentar. Biru. Mengerjap berat, dan perlahan menutup kembali.

Gintoki mempercepat langkahnya hingga setengah berlari. Ia ingin memastikan sesuatu.


"Maaf, Danna, tapi kalian tidak bisa masuk begitu saja. Nanti Fukuchou akan—"

Tanpa menggubris peringatan Yamazaki, ia menerjang maju. Melewati sekumpulan anjing Bakufu lain yang hanya bisa tercengang melihat Kagura menjatuhkan beberapa kawan mereka dengan mudah. Ia dibuat takjub sekaligus khawatir karena keributan ini tidak membangunkan anak laki-laki dalam pelukannya. Dia masih bernafas, kan?

"ADA KERIBUTAN APA INI?!"

Ah, orang yang dia cari. Langkah kakinya terhenti. Ketika ia menoleh ke bawah, ia bertemu sepasang mata biru yang nampak tidak fokus memandanginya. Akhirnya anak itu bangun juga. Teriakan iblis wakil komandan yang menggelegar memang tidak ada duanya. Tiba-tiba semuanya menjadi sunyi seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya terdengar derap langkah gusar sang fukuchou. Bahkan tidak ada yang berani bergerak.

"Yamazaki! Coba jelaskan apa yang—" Dua pasang mata mereka bertemu. Hijikata tidak repot-repot menyembunyikan kekesalannya, menggeram marah dengan urat berkedut pada pelipis kirinya. "Yorozuya! Apa yang kau lakukan menyusup kemari seenaknya?!"

Hijikata berubah haluan. Ia dapat melihat Yamazaki menghela nafas lega; sasaran amukan Hijikata bukan lagi dirinya.

Pria berambut hitam itu menghentak-hentakkan kakinya kesal. Gintoki sudah bersiap untuk melompat mundur, kalau-kalau penggemar mayonaise itu memutuskan untuk menerjang ke depan dan langsung menyerangnya. Tapi kemudian langkah Hijikata terhenti. Tangan kanannya yang sudah bersiap untuk mencabut pedang juga terdiam. Sepasang mata birunya membulat. Gintoki mengikuti arah pandangnya, hingga mendarat pada anak laki-laki dalam gendongannya—yang telah bangun sepenuhnya dan tampak keheranan.

Dua pasang mata biru bertemu; mengerjap seirama.

"Uh, Oogushi-kun, aku tidak tahu apa masalahmu, tapi kau tidak seharusnya meninggalkan anak sekecil ini di luar di tengah cuaca dingin. Ayah macam apa kau?"

"Haa?!"