24 Desember 2015, Kamis.

Terjadi kecelakaan beruntun tepat pada jam 23.35 malam di persimpangan jalan xxx. Korban diketahui seorang remaja laki-laki berusia sekitar 15 sampai dengan 16 tahun. Informasi yang diketahui tentang korban kecelakaan adalah korban merupakan siswa dari sekolah menengah ternama, Kunugigaoka.

Tidak ada korban meninggal, hanya saja korban harus dilarikan ke rumah sakit karena mendapatkan luka cukup serius di bagian kepala. Saat ini korban yang tidak sadarkan diri masih dirawat secara itensif dan polisi masih menyelidiki penyebab kecelakaan tersebut.

.

.

.

Fanfiction

Assassination Classroom own by Yuusei Matsui

.

[7 Days]

Rated T

Prompt: Honesty

.

Gakushuu – Karma

.

.

.

Akabane Karma syok.

Melihat tubuh seorang remaja dengan wajah yang sangat familiar tergeletak tak sadarkan diri di tempat tidur kamar rumah sakit. Dilihatnya selang pernafasan menjadi satu-satunya alat penunjang kehidupan tubuh itu. Kepalanya dibalut oleh kain berwarna putih dan Karma masih bisa melihat bekas operasi serta sedikit bercak darah yang merembes keluar dari kain tersebut. Dada tubuh remaja itu naik turun dengan cepat menandakan dia masih berjuang antara hidup dan mati.

Di samping tubuh sekarat tersebut, Akabane Karma hanya bisa berdiri dan melihat dengan ekspresi wajah terkejut dan kecewa. Namun, ada satu titik di dalam hatinya yang masih menyimpan harapan bahwa tubuh tersebut akan tersadar dan terbangun.

Tersadar untuk melihat hari esok…

Tersadar untuk melihat bahwa semua ternyata baik-baik saja…

Dan tidak ada yang berubah…

"Itu mustahil."

Karma memutar kepalanya ke arah suara yang barusan dia dengar. Di depannya, berdiri sesosok pria berpakaian sangat rapi dan tubuhnya dibalut oleh satu setel jas hitam mengkilat dari atas sampai bawah. Pria itu mengenakan topi bulat berwarna hitam yang juga serasi dengan kacamata berwarna sama dipakai untuk menyembunyikan matanya.

Tinggi pria itu kira-kira 6 kaki, rambut dan wajahnya tidak begitu terlihat jelas karena tersembunyi di balik topi dan kacamata yang dia kenakan. Tetapi Karma yakin bahwa pria tersebut memiliki bentuk wajah tirus. Dan anehnya, pria itu seperti mengeluarkan suatu aura yang membuat Karma sesak, apalagi ketika dia mendengar pria tersebut berbicara kembali dengan suara yang dalam dan berat.

"Itu mustahil," pria itu mengulang kembali ucapan yang baru saja dia lontarkan. Seakan-akan seperti dapat membaca apa yang sedang dipikirkan oleh Karma.

"Apa maksudmu?"

"Kecelakaan yang menimpamu itu telah membuat pendarahan otak di bagian kepala. Persentase kau akan sadarkan diri dan sembuh hanya sekitar 5 persen. Jadi, mustahil bagimu untuk bertahan hidup," suaranya terdengar lambat dan jelas, wajahnya datar seperti patung saat menyampaikan maksudnya. "Kau hanya perlu menunggu waktu sampai melewati batas dan kematian memanggilmu."

"Heh, kau pikir aku akan percaya?" Akabane Karma mundur selangkah untuk menatap pria yang berdiri di depannya dengan lebih jelas. "Lalu kau sendiri siapa? Jangan bilang kau adalah dewa kematian?"

Pria tersebut tidak menjawab, malahan dia melangkah mendekati tempat tidur yang terisi oleh tubuh yang sedang tidak sadarkan diri tersebut. Pria tersebut menundukkan wajahnya untuk menatap seorang remaja bersurai merah dengan kedua mata yang tertutup serta wajah yang penuh dengan luka-luka kecil.

"Berarti kau sudah sadar kalau aku ke sini datang untuk menjemputmu, Akabane Karma?"

Ruangan tersebut sunyi sejenak, Karma hanya bisa memandang pria yang berada di dekatnya tersebut dengan campuran perasaan antara ragu dan tidak senang. Selama ini Karma tidak pernah merasakan takut, hal yang paling dia takutkan adalah dirinya yang tidak pernah merasakan takut. Tetapi saat ini, diam-diam ada "sedikit" perasaan ketakutan saat melihat pria tersebut.

Lebih tepatnya, Karma tidak takut dengan pria yang lebih tinggi sedikit darinya itu. Tidak. Dia takut pada jawaban yang akan dia dapatkan saat dia penasaran dan bertanya lebih lanjut ke pria hitam tersebut.

"Jadi, kau benar malaikat kematianku?" Karma tetap berusaha mempertahankan gayanya yang tenang. "Berarti aku akan mati dan masuk neraka, begitu?"

Pria hitam tersebut memalingkan wajahnya ke arah Karma. Seperti biasa, ekspresi wajahnya datar, namun beberapa detik berikutnya pria tersebut menyeringai.

"Apa kau takut masuk ke dalam neraka, Akabane Karma?"

Akabane Karma tidak mau mengakui bahwa pertanyaan yang terdengar di telinganya membuat tangannya yang terkepal tiba-tiba berkeringat dingin. Tetapi Karma tidak mau mengalah dan malahan giliran memberikan seringaian kecil.

"Setan saja takut padaku."

"Apa kau takut mati?"

"Aku tidak takut mati."

"Kalau begitu bagus. Karena aku tidak perlu repot-repot bergelut dengan roh-mu saat kubawa nanti."

Aneh sekali, mengapa tiba-tiba Karma menganggap omongan pria tersebut sungguh lucu.

"Aku hanya bercanda," pria hitam itu melanjutkan bicara. "Setiap roh yang kubawa memang sudah ditakdirkan untuk mati, mau tidak mau mereka harus ikut denganku ke tempat berikutnya."

"Tempat berikutnya?"

"Ck, kau akan tahu nanti setelah aku membawamu," pria tersebut mulai terdengar bosan.

"Jadi sekarang kau akan membawaku?" tanya Karma setengah menantang.

"Menurutmu untuk apa aku ke sini repot-repot?"

Pintu kamar rumah sakit menjeblak terbuka, dilihatnya teman-teman Akabane Karma dari kelas 3E berdatangan dengan ekspresi wajah cemas, takut, dan sedih. Bahkan Koro-sensei, sang guru gurita diam-diam datang dengan pakaian serta hidung penyamaran yang lengkap. Di belakangnya mengikuti, satu orang suster yang bertugas menjaga ruangan Karma.

Karma tidak suka ini.

"Saat ini pasien sedang tidak sadarkan diri. Dokter tidak bisa memprediksi kapan pasien akan bangun lagi," suster tersebut menjelaskan dengan cepat. "Saat ini kalian hanya diberikan waktu 5 menit untuk berkunjung."

"Kami mengerti suster, terima kasih," sahut Nagisa cepat, suster itu mengangguk dan pergi sambil menutup pintu di belakangnya.

"Karma!" suara Maehara terdengar cemas dan nyaring di seluruh ruangan.

"Sttt, Mae, jangan berisik, ini rumah sakit," Isogai yang berdiri di sampingnya tampak sama cemasnya.

"Ini semua salah kita! Kalau seandainya kita tadi tidak mengirim pesan ke Karma untuk datang ke sekolah tengah malam demi memberikannya kejutan ulang tahun, ini semua tidak akan terjadi!" Suara Maehara tetap terdengar nyaring, rupanya dia tidak menghiraukan ucapan Isogai barusan.

"Nurufufu, ini semua bukan salah siapa-siapa Maehara-kun," tentakel Koro-sensei mengusap lembut rambut Maehara yang sedang menahan air mata. Dan sepertinya tidak hanya Maehara yang datang dengan wajah sedih dan masam. "Ingat, ini bukan salah siapa-siapa, Karma-kun pasti akan sadar dan kembali bersekolah bersama kita."

"Iya, sensei," Nagisa hanya bisa mengangguk dan menghela napas sedih. Di dalam hatinya dia juga sedang diam-diam menahan air matanya mengalir. Tangan kanannya bergerak untuk menggenggam tangan tubuh sahabat baiknya yang tak sadarkan diri. "Karma, cepatlah bangun."

Sungguh pemandangan menyedihkan, itu pikir Karma saat dirinya melihat teman-teman sekelasnya berdiri berkerumun di samping tempat tidur rumah sakit. Terisak, sesenggukan, dan saling menyalahkan diri sendiri.

"Hei, hei, aku ada di sini tahu," Karma menatap kawanan yang berkerumun di depannya.

"Mereka tidak bisa melihatmu," Pria yang berdiri di samping Karma sekarang memberi penjelasan dengan suara malas. "Saat ini kau hanyalah sebuah roh, mereka juga tidak bisa mendengarmu."

Sial…

Karma kembali mengepalkan tangannya kesal setelah mendengar kenyataan yang disampaikan. Dia tidak percaya akan takdir, sungguh. Selama ini dia yakin bahwa bukan takdir yang menentukan nasibnya, karena seorang Karma bisa menentukan nasibnya sendiri. Sayang, kenyataan berkata lain. Dirinya saat ini hanyalah sebuah entitas tanpa tubuh yang tak dapat disentuh maupun suara yang tak dapat didengar. Meski dia adalah Akabane Karma yang sama dengan tubuh yang saat ini tergeletak tak berdaya di tempat tidur, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena dia hanyalah sebuah roh. Roh yang sebentar lagi bertemu dengan ajalnya, yaitu kematian total.

Tapi itu lebih baik daripada harus terus-terusan melihat tubuhmu sendiri tergeletak tak bernyawa di tempat tidur dalam keadaan yang menyedihkan. Secara fisik Akabane Karma masih ada, tetapi arwahnya sudah berjalan bebas keluar dari tubuh lemah tak berdaya itu.

Jadi mungkin begini rasanya kalau mati…

Karma menghela napas, mungkin sudah saatnya dia belajar menjadi sedikit lebih dewasa untuk menerima takdir yang dibencinya. Mungkin di neraka pun dia tidak akan bosan karena ada setan-setan yang bisa diganggunya.

"Baiklah, jadi sekarang aku harus pergi denganmu, begitu, eh?" Karma berpaling ke arah pria yang dia pikir adalah dewa atau malaikat kematian atau entah apa tersebut, kedua tangannya saat ini bersembunyi di dalam saku celana kanan kiri.

Pria hitam yang ditanya menatap Karma dengan datar, beberapa saat kemudian satu alisnya terangkat.

"Jadi kau sudah menerima takdirmu?"

"Memang aku bisa apa?"

"Yaah, sebenarnya ada satu hal penting yang harus kusampaikan sebelum aku membawamu."

Karma mengeluarkan dua tangannya dari dalam saku celana. Dia menatap pria dewasa itu dengan keheranan, "Maksudmu?"

"7 hari."

"Apa?"

"7 hari. Sebelum aku mengantarmu ke tempat berikutnya, kau diberikan waktu 7 hari untuk menyelesaikan perkaramu apapun itu."

Karma diam sejenak, sangsi. Apa-apaan ini? Bisa-bisanya sekarang pria tersebut mengatakan hal yang paling tidak masuk akal saat ini. Ah, tapi dirinya yang dalam keadaan hanya sebuah entitas tak berfisik dan melihat tubuhnya sendiri tergeletak tak berjiwa saja, hal tersebut sudah merupakan kenyataan paling tidak masuk diakal.

"Kenapa 7 hari?"

"Karena menurut kami itu sudah lebih dari cukup bagi manusia untuk menyelesaikan semua perkaranya di dunia ini," pria tersebut tetap memasang ekspresi wajah datar. "Mereka yang akan dipanggil diberikan kesempatan menyelesaikan perkara yang masih tertinggal, agar tidak jadi penghalang bagi mereka menuju ke tempat tujuan berikutnya."

"Jadi aku akan kembali ke dalam tubuhku hanya untuk waktu 7 hari, begitu?"

"Tidak. Kau harus tetap tinggal dalam keadaanmu seperti sekarang ini," pria tersebut memberikan pernyataan. "Dalam keadaan jiwa dan roh."

"Lalu bagaimana caranya aku bisa menyelesaikan urusanku?!" Karma mulai mengeluarkan emosinya yang dari tadi dia berusaha pendam.

"Itu urusan kalian, manusia. Itu bukan urusan kami."

"Yang benar saja...," Karma mengepalkan tangannya setelah mendengar jawaban tidak memuaskan tersebut.

Tiba-tiba pria tersebut mengeluarkan sebuah arloji emas dengan rantai panjang yang mengalungi lehernya. "Waktumu tinggal 6 hari 5 jam. Cepat selesaikan perkaramu dan aku akan datang kembali menjemputmu."

"Eh, tunggu dulu…!" Karma berusaha menghentikan pria yang tiba-tiba melangkah pergi itu. Dilihatnya pria tersebut tidak perlu repot-repot membuka pintu rumah sakit dan memilih berjalan menembus dinding ruangan rumah sakit. Karma kaget melihat dirinya sendiri ikut menembus dinding saat mengejar pria yang sayangnya sudah menghilang dari pandangan Karma hanya dengan satu kedipan mata.

Sial, kemana dia pergi…

Dengan terpaksa Karma kembali ke tempat tubuhnya berada, dilihatnya teman-teman sekelas mulai beranjak pergi karena jam jenguk telah usai. Nagisa dan Rio Nakamura di sisi lain, keduanya seperti tidak tega meninggalkan Karma sendirian, sayang Koro-sensei memaksa mereka semua untuk meninggalkan tempat itu segera.

Nagisa…Nakamura…

Karma mengingat-ingat perkataan malaikat kematian yang baru saja pergi. Seperti ada belati kecil yang menusuk jantungnya, entah mengapa perasaannya saat ini begitu sakit saat berusaha memutar kembali kalimat tersebut kata per kata di otaknya.

"Kau diberikan waktu 7 hari untuk menyelesaikan perkaramu apapun itu…"

Karma bersandar di kaca jendela rumah sakit, ekspresinya begitu dingin. Wajahnya terlihat kosong, dia sudah tidak lagi memandang tubuhnya sendiri yang tergeletak di tempat tidur. Bahkan bunyi elektrokardiogram yang menjadi satu-satunya sumber suara di ruangan tersebut selain nafas cepat tubuh Karma tidak mengalihkan perhatiannya dari lamunan. Saat ini yang dia pikirkan hanya satu.

Perkaramu apapun itu…

Karma memutar kepalanya untuk menatap pemandangan di luar jendela. Tiba-tiba dia menutup matanya, kejadian kecelakaan tersebut masih terngiang-ngiang di benaknya. Saat itu Karma sedang bermain game di kamarnya sendirian. Mendadak dia mendapatkan sms dari Nagisa untuk datang ke kelas 3E tepat tengah malam.

Sebagai seseorang yang cerdas, Karma tentu sudah tahu alasan Nagisa mengundangnya ke sekolah di tengah malam tepat sehari sebelum hari ulang tahunnya. Bukan hal yang mengejutkan lagi bagi Karma kalau Nagisa serta teman-teman sekelasnya pasti berencana memberikan kejutan untuknya.

Tetapi nasib berkata lain, dalam perjalanan ke sana, Karma mendapat kecelakaan. Meski saat ini dia hanyalah sebuah roh dan jiwa tanpa wujud fisik, tetapi rasa nyeri dan ngeri saat mengingat tubuhnya sendiri terlempar begitu jauh akibat benturan yang keras itu masih dapat dirasakan. Karma berjengit memikirkannya.

Dan inilah dia sekarang. Hanya bisa melihat tubuhnya sendiri lemas, lemah, tak bernyawa, hanya organ-organ tubuhnya lah yang sepertinya masih tidak mau menyerah.

Lamunan kosongnya teralihkan saat melihat pintu ruangan rumah sakit lagi-lagi menjeblak terbuka. Dilihatnya dua orang dewasa berlari dengan ekspresi wajah ketakutan sekaligus sedih.

"Karma sayang!"

Teriakan kedua orang tuanya memenuhi ruangan tersebut. Karma hanya bisa melihat tuan dan nyonya Akabane berdiri di samping tubuhnya sambil berteriak-teriak dan terisak. Diguncang-guncangkannya tubuh Karma dengan harapan tubuh tersebut akan tersadar dan membuka matanya.

Sungguh ironis…

"Maafkan kami tuan dan nyonya Akabane, dokter sudah berusaha menangani pasien. Harap tuan dan nyonya sekarang tenang," suster berusaha menenangkan kedua orang tua pasien.

"Karma, maafkan kami, nak!"

Karma sudah tidak mau melihat pemandangan ini lagi…

Akhirnya remaja berambut merah itu mengalihkan pandangannya ke pintu. Ia melangkah berjalan ke arah pintu, namun langkahnya terhenti. Tangannya berusaha meraih gagang pintu, tetapi tidak bisa. Karma lupa kalau sekarang dia hanyalah sebuah nyawa.

"Perkaraku, apapun itu, ya?"

Karma membisikkan kalimat yang hanya bisa telinganya sendiri yang mendengar. Wajahnya menatap lurus ke pintu, matanya lagi-lagi tertutup.

Di dunia ini hanya ada satu perkara yang belum diselesaikan oleh Karma. Perkara itu bukanlah perkara tentang perasaan kecewa terhadap kedua orang tuanya yang sering meninggalkannya sendirian di rumah. Perkara itu bukanlah tentang keinginannya bertemu dengan Nagisa, Nakamura, ataupun teman-teman sekelasnya yang lain untuk terakhir kali. Bahkan juga bukan tentang keinginannya untuk membunuh Koro-sensei.

Tetapi perkara yang lebih rumit…

Tentang kejujuran…

Dan juga ketulusan…

Yang selama ini hanya Karma dan Tuhan yang tahu. Yang Karma sebetulnya berniat ingin pendam dalam-dalam di kuburannya kalau memang dia harus meninggal suatu saat nanti. Jadi biarlah hanya hati dan kuburannya yang menyimpan semua rahasia itu. Itu awalnya, sebelum semua ini terjadi.

Mata Karma terbuka, sorot matanya kelihatan tajam. Sambil menghela napas, akhirnya dia melangkah menembus dinding pintu yang memisahkan tubuh fisiknya dengan dunia luar.

Karma tahu kemana saat ini dia harus melangkah, kakinya seperti memiliki sepasang bola mata karena bergerak secara otomatis seperti tahu kemana arah tujuan Karma. Orang-orang yang berlalu lalang di sepanjang lorong Rumah Sakit itu tidak dia hiraukan.

Saat ini fokus Karma hanya satu, yaitu menggali rahasia yang selama ini dia kubur dalam-dalam dibenaknya dan dihatinya.

Perkara yang belum dia selesaikan…

Dan bahkan dia sendiri tahu mustahil untuk diselesaikan…

Tetapi siapalah Karma kalau tidak berbuat nekad?

.

.

.

Akabane Karma terus berjalan dalam diam. Anehnya tubuhnya tidak merasa lelah meski dia berjalan kaki bermeter-meter jauhnya. Ada untungnya juga menjadi arwah, sayang dia belum menemukan cara untuk bisa terbang seperti hantu-hantu yang selama ini dia suka tonton di acara-acara televisi.

Langkahnya terhenti saat dia sudah sampai ke tempat tujuan. Dilihatnya sebuah rumah mewah bertingkat dengan gaya minimalis modern yang tepat berada di samping persimpangan jalan. Kakinya dia kembali gerakkan untuk melangkah ke depan pagar pintu rumah tersebut.

Semua terasa begitu hening di dunia Karma saat dia menatap pintu rumah tersebut. Ada sedikit perasaan ragu berkecamuk di dada Karma.

Apa yang sebetulnya kulakukan di sini, sih?

Mungkin ini adalah keputusan bodoh, begitu pikir Karma. Tetapi sebelum Karma mati, sebelum pria hitam berengsek tersebut menjemputnya untuk pergi ke neraka. Ada satu perkara yang Karma ingin lakukan, satu hal yang ingin dia selesaikan.

Matanya mendadak tertuju pada papan nama yang terpasang tepat di samping pagar. Papan nama berwarna coklat tua terbuat dari kayu yang bertuliskan sebuah nama yang sangat familiar.

Nama yang mengandung kebencian sekaligus perasaan lain yang selama ini Karma pendam di hatinya. Nama yang terlepas dari mulut Karma dalam bentuk bisikan saat pria bersurai merah tersebut membisikkannya …

"Asano."

.

.

.

To be continued

.

.

.

Mind to review?