Kandang burung hantu di sayap barat kastil sore itu sunyi senyap. Mengesampingkan Draco Malfoy yang tengah menggulung perkamen dan mengaitkannya ke salah satu kaki burung hantu sekolah (burung hantunya sendiri akan terlihat terlalu mencolok di udara hari-hari ini), tentu saja.

Draco mengingat-ingat isi suratnya kembali.

Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Aku akan menyelesaikan tugas itu.

Dan sederet kalimat-kalimat lain yang tidak ingin ia sampaikan. Kalimat-kalimat yang cuma ia tulis seadanya di atas perkamen setiap kali ibunya menanya kabar. Kalimat-kalimat yang nyaris ia hafal. Nyaris klise. Nyaris menyedihkan.

Tidak pernah ada aku lelah. Tidak pernah ada aku mau mati saja.

Toh kenyataannya ia takut mati. Ia ketakutan pada setiap hal yang belakangan ini mengurangi celah pernapasannya. Ia ketakutan tanpa berusaha meredam. Ia ketakutan dan mencari penghiburan. Ia kabur dari alasan-alasan yang ia punya, yang orang tuanya punya— untuk mengembalikannya ke Hogwarts tahun ini. Kenapa pula ia harus kembali? Haha. Ia tidak akan menginjakkan kaki di kelas enam kalau hanya sekadar untuk belajar.

Karena memang bukan untuk itu, kan?

Seandainya saja masalahnya berhenti secara cuma-cuma di sana. Tapi masalahnya adalah bagaimana. Bagaimana caranya menghindari kematian, bagaimana caranya menghindari waktu, bagaimana caranya menghindari mantra itu.

Draco sudah lupa mana yang benar dan yang salah sejak dulu. Apa bedanya baik dengan buruk. Apa bedanya melakukan dosa kecil dengan dosa besar.

Yang ia tahu hanya jangan mati. Yang ia tahu hanya terus hidup, terus bernapas, terus menjadi Draco menjadi kasanofa brengsek yang memenangkan segalanya, terus menjadi pangeran yang tidak tersentuh kecuali ia menginginkannya— terus menjadi seseorang yang tidak akan mungkin ketakutan.

Terus menjadi orang lain yang tidak sedang merasa kesakitan.

o0o

a Dramione fanfiction written by GinevraPutri:

THE DEAD HEART

Harry Potter © J.K. Rowling

Hogwarts, 1996

o0o

V

"Menurutmu kenapa dia memberitahuku?"

"Memangnya menurutmu kenapa dia memberitahumu?"

Hela napas panjang. Hermione melirik gadis di sebelahnya dengan jengkel. Alisnya tertaut, sementara kedua tangannya disilangkan. Habis sudah sepuluh menit jam makan siangnya dengan sia-sia.

"Serius, Hermione, kau bisa saja lupakan hal itu dan lanjutkan hidupmu," Ginny menyeruput jus labunya dengan tampang polos, "kenapa pula harus penasaran?"

Aula besar sedang ramai-ramainya sekarang. Meja-meja asrama didesaki murid-murid dari tujuh kelas sekaligus, belum lagi permukaannya yang dibombardir teko-teko jus labu— terisi ulang otomatis setiap kali ada yang menuangkannya ke gelas. Jam makan siang memang sudah dimulai sekitar sepuluh menit yang lalu. Bahkan Hermione sudah selesai menumpahkan tumpukan spekulasi di otaknya, yah, walaupun Ginny bungkam dan menolak berpendapat. Kendati bukan satu-satunya masalah yang menyesaki benak, tetap saja Hermione memikirkannya. Bagaimana tidak?

Esok harinya, orang tuanya terbukti ditemukan dalam keadaan selamat— kini berada di bawah perlindungan Kementerian Sihir sampai mereka bisa mendapatkan tempat tinggal yang baru.

Esok hari setelah Draco Malfoy memberitahunya.

Tarik napas. Hembuskan. Ini urusan mendesak. "Ginev—"

"—dan kenapa," Ginny menyela sengit, sebelum Hermione berhasil menyelotehkan nama lengkapnya keras-keras, "kau tidak langsung menanyai Malfoy saja?"

Kepada pertanyaan itu, sukses Hermione dibuatnya bungkam.

Kenapa dia tidak menanyai Malfoy saja?

"Hanya aku yang salah memahami situasi," Ginny mengulas kurva di sudut bibirnya, kentara sekali puas hati, "atau memang kau berharap lebih padanya?"

"BERHAR—"

"Berharap dia tidak sekedar terobsesi padamu, mungkin?"

Hermione kehabisan kata-kata. Iris hazel-nya menatap Ginny tanpa berkedip, separuh dendam, separuhnya lagi tidak percaya. "Kau sudah gila, ya? Aku kan hanya ingin tahu dari mana dia dapat informasi sensitif begitu. Dia memberitahuku sebelum pemberitahuan resmi dari Kementerian, kalau-kalau kau lupa, Nona." Gelengan kepala, penjernihan otak. "Lagipula aku juga jarang melihatnya akhir-akhir ini. Padahal biasanya nyaris setiap jam sekali." Hermione mendengus. "Coba beri aku pendapat yang lurus."

"Mm-hm," Ginny mengangkat bahu, "Pendapatku sih, tidak akan banyak bermanfaat untukmu. Tanya saja sendiri." Tangan kanannya digunakan untuk menopang dagu di atas meja. Pandangannya kembali ke kalkun panggang yang tinggal separuh di atas piring. "Mustahil atau tidak, kalau kau sebegitu salah tingkahnya diberi informasi oleh Malfoy, bukannya artinya kau berharap sesuatu?"

Tunggu dulu. Salah.. tingkah?

"Aku tidak—"

"Granger."

Nada berat tiba-tiba menyela kata-katanya. Hermione buru-buru menoleh dan menemukan Theodore Nott berdiri tepat di balik punggungnya, memasukkan tangan ke dalam saku, mengedikkan bahu.

Ginny meliriknya hati-hati.

Hermione menghela napas dan berdiri. "Kau menemukan sesuatu soal ramuannya?"

Ia tertawa kecil. "Bukan. Aku cuma mau memastikan kalau jadwal patrolimu di Hogsmeade berikutnya bersama Drake."

"Sori, siapa?"

"Maksudku Draco." Theo nyengir, sebelum Hermione memutar mata jengkel, menunggu kata-kata berikutnya. "Err.. aku tidak bisa datang untuk membahas proyeknya di Three Broomstick seperti yang sudah direncanakan, jadi.."

"Kau mau melempar cowok mesum itu kepadaku lagi?"

"Dia tidak—" Theo mengacak rambut. "Dia cuma akan menungguimu. Aku.. merasa tidak enak karena kau harus mengerjakan semuanya sendiri."

Untuk ukuran seorang Slytherin, hell yeah, Theodore Nott masuk golongan malaikat.

"Latihan Quidditch, atau yang lain?"

"Sebenarnya—"

"Kencan," celetuk Ginny dari bangku, memutar matanya sekali. "Prefek Ravenclaw itu siapa namanya, Hermione?"

"Prefek Ravenclaw?" Hermione tertawa pelan. "Tangkapan bagus, Nott."

Theo menyeringai. "Jangkauan gosipmu hebat juga, Weasley."

Ginny tertawa hambar, meneguk jus labunya lagi. "Itu pujian?"

Hermione kembali duduk, memilih ikut nyengir. "Oke, tidak masalah. Aku bisa mengerjakannya di asrama saja."

Mumpung Ron dan cewek sialan itu juga pergi kencan.

"Kau yakin?"

"Ketimbang harus direcoki Malf—"

"Kalau boleh jujur," Ginny menyela, berdeham sedikit. "Tentu saja Hermione akan dengan senang hati mendapat bantuan dari Draco Malfoy. Terima kasih banyak."

"Ap—"

"Beres kalau begitu. Nanti kuberitahu Drake." Theo tersenyum sekali lagi, sebelum berbalik pergi.

Hening.

"Oh, ayolah, datang saja dan tanyai dia langsung." Ginny menyeletuk. "Bisa saja dia memang memberitahumu karena punya perasaan pa—"

"Berhenti atau kukutuk."

Hermione membenturkan kepala ke sisi gelas.

o0o

"BRENGSEK!"

Prefek Hupplepuff itu langsung mundur selangkah begitu Draco menggebrak meja. Selusin murid dari balik kursi masing-masing menoleh terkejut.

"Konspirasi keparat macam apa ini?" Draco memaki keras-keras.

Tegukan ludah. "M-minggu ini.. memang jadwalmu patroli Hogsmeade, Malfoy."

"Kalau begitu kenapa harus dengan dia?" Bentakan lagi. "Kenapa bukan dengan prefek lain?"

"A-aku—"

"Wah, wah, ada apa ini, mate?"

Theodore Nott menyela, bergabung dari ambang pintu kelas, bergegas menepuk bahu teman seasramanya yang masih menegang. Draco Malfoy memberinya tatapan aku-baru-saja-menemui-akhir-hidupku-jadi-jangan-ikut-campur.

"Granger." Cowok pirang itu akhirnya mengerang perlahan. "Selalu Granger."

"Memangnya kenapa dengan Granger?"

"Salazar." Draco menyumpah. "Aku punya rencana penting akhir pekan ini— dan, dan, aku tidak butuh seseorang untuk mengacaukannya." Decihan. "Apalagi Granger."

"Seberapa penting?"

"Menurutmu seberapa penting?"

Theo mendesah. "Aku harus memberitahumu sesuatu. Err.. meminta bantuan, lebih tepatnya."

"Kalau ini soal proyek ramuan—"

"—ini soal itu."

"NOTT!"

"Oke, oke, sori!" Theo mengangkat kedua tangannya seperti isyarat menyerah. "Kupikir kau bakal.. semacam.. senang."

"Semacam—" Draco memijat kening, sepenuhnya putus asa. "—senang?"

"Kau tahu maksudku. Lebih banyak waktu untuk mendapatkan satu-satunya cewek di dunia ini yang menolakmu, yah, kenapa tidak?"

Satu-satunya cewek di dunia ini yang menolaknya?

"Aku memang butuh lebih banyak waktu." Pikirannya melayang. "Masih banyak.." Kali ini hela napas. "..yang harus kulakukan."

"Jadi?"

"Jadi katakan padanya dia harus patroli sendirian, dan katakan juga aku tidak peduli dia mau melaporkanku ke Mcgonagall atau Pangeran Kegelapan sekalian. Yang jelas aku tidak datang."

Final.

Draco bergegas menyisakan jejak sepatunya di lantai batu, meninggalkan Theo yang masih mempertahankan pandangan penuh tanda tanya. Ia sudah sering melihat Draco mengacaukan emosinya sendiri, tapi kalau boleh berpendapat, rasanya akhir-akhir ini cowok itu lepas kendali.

o0o

Sialan.

Sebenarnya ia sudah tahu malam ini bukan malam keberuntungannya (karena Hannah Abbot sedang meringkuk di bangsal gara-gara ditubruk Bludger waktu latihan, dan sebagai imbasnya Hermione harus patroli sendirian), tapi kalau ia tiba-tiba menemukan seseorang sedang makan apel di koridor, lewat jam malam, bersiul dengan santainya— itu beda urusan.

"Oh, poin Slytherin akan terpangkas habis kalau Mcgonagall nanti sudah menaruh perhatian pada kelakuanmu, Malfoy." Sindirannya langsung ke inti, kali ini Hermione sudah muak untuk berbasa-basi. "Setidaknya beri Ketua Murid kita alasan untuk tidak mendepak namamu dari jajaran prefek."

Draco Malfoy menghela napas, dengan kantung hitam di bagian bawah mata— yang jujur saja, membuatnya tampak mengerikan, sebegitu kontras dengan kulit pucatnya. Apelnya dikunyah, kemudian ditelan.

"Oh, Granger! Ini sangat menyenangkan karena aku harus bertemu denganmu saat ini juga!" Nadanya yang dibuat-buat, dan putaran mata yang dikirim menyebabkan Hermione harus menahan diri. Tongkatnya digenggam erat-erat di kanan.

"Aku tidak tahu kau sudah bosan hidup, Malfoy." Ia mencerca. "Ke mana saja kau belakangan ini? Sibuk mempersiapkan penyerangan Muggle selanjutnya?"

Kepada sarkasme itu, Draco terkekeh. "Bisa jadi?"

Hermione melipat tangannya di dada dengan enggan. "Kau pikir kau bisa membodohiku? Sudah jelas Pangeran Kegelapan tidak akan menerima bocah ingusan sepertimu untuk jadi bagian dari— kau tahu."

"Wow, wow. Aku tidak tahu kau sedang ceroboh atau bagaimana untuk mengangkat topik yang satu itu—" Draco menyeringai. "—tapi bagaimana kau bisa begitu yakin, Nona-Tahu-Segala?"

"Aku—"

"Ya, ya, katakan saja begitu, barangkali bisa sedikit meredakan kecemasanmu."

"Kecemasan apa, kalau boleh diperjelas?"

Draco maju selangkah, senyum di sudut bibirnya menaung. "Kau dan aku tahu dengan jelas tidak ada yang perlu dicemaskan, Granger." Jemarinya menyentuh dagu Hermione dengan lembut. "Ada aku, kan?"

Hermione memutar mata, menarik jemari Draco dari dagunya. "Orang tuaku benar-benar selamat, Malfoy."

Draco mengangkat alis. "Yeah, sama-sama?"

"Ayolah." Hermione mendesak. "Bagaimana mungkin kau tahu informasi itu lebih cepat dari Kementerian?"

Dengusan terdengar. Draco menarik jemarinya, memasukkannya ke saku celana. "Anggap saja aku.." lirikan penuh makna, "..mencari tahu di tempat yang tepat."

Hermione menghela napas. Ia sudah terlalu penat untuk bermain teka-teki. "Dan di mana tempat yang tepat itu, Malfoy?"

Hanya satu kedikan bahu. "Kukira kau sudah tahu."

Hening.

"Apa maksud—"

"Kau hanya tidak mau mempercayainya, Granger."

Decihan. "Secara teknis kau belum 17 tahun, Malfoy. Tidak ada alasan untuk merekutmu sekarang."

Draco tertawa. "Siapa kau, Nona, yang begitu tahu soal cara rekrut-merekrut?"

"Bahkan Pelahap Maut pasti juga punya otak untuk mempertimbangkan betapa riskannya merekrutmu menjadi bagian dari mere—"

"Kalau kau sebegitu tertariknya," sela Draco pelan, "kenapa tidak bergabung saja?" Kekehan kecil. "Jangan terlalu dipikirkan, Granger. Bukan urusanmu pula."

Heriome menghela napas keras. "Tapi kau masih punya urusan denganku akhir pekan ini. Hogsmeade."

"Blaise belum bilang apa-apa?" Draco menaikkan alis, menggigit potongan terakhir apelnya. "Aku tidak akan datang."

"Kau sudah gila?"

"Salazar, cari saja penggantiku! Suruh si kepala pitak atau siapa untuk menemanimu."

"Akhir pekan ini adalah akhir pekan paling bersalju, idiot. Siapa yang mau menemaniku patroli dengan risiko tertimbun salju atau justru terseret badai?"

"Jelas bukan aku."

"TAPI MINGGU INI JADWALMU PATROLI BERSA—"

"AKU SIBUK, OKE?" Draco mengacak rambut. "Aku punya banyak urusan—"

"Seberapa penting—"

"Lebih penting daripada berduaan di bawah salju denganmu."

"Kita tidak—" Hermione menelan mentah-mentah kata-katanya, memandang Draco dengan pandang paling garang yang ia punya. "Sejak kapan kau menolak berduaan denganku, Tuan-Pencuri-Kesempatan-di-Dalam-Kesempitan?"

"Oh, jangan bahagia begitu." Draco menyeringai kembali, memutuskan untuk menelengkan kepalanya sedikit. "Mungkin aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat."

"Untuk apa?"

"Untuk ini."

Kemudian cowok itu mendorong Hermione ke dinding dan mengunci pergerakannya.

"Demi Godric—"

"Ya, ya, tapi Godric Gryffindor tidak akan menolongmu dalam situasi seperti ini, Granger." Draco tersenyum, mencekal jemari Hermione di atas tongkatnya yang sudah berpijar (sepertinya kutukan itu sudah setengah dirapal)— "Kau sudah punya terlalu banyak dosa, tahu." Bibirnya sesenti kurang dari telinga si gadis. "Kalau begitu.. tidak masalah menambah satu dosa lagi, kan?"

Wajah Hermione terlalu panas untuk koridor malam yang dingin.

"Kutemani."

Draco memajukan bibirnya ke leher gadis itu, berhenti di sana.

"Malfoy, aku bersumpah bakal mengutukmu selamanya kecuali kau melepaskanku sekarang juga."

Jeda sejenak.

Draco tertawa lepas, sejurus kemudian menarik tangannya. Kakinya mundur dua langkah. Kepalanya dimiringkan sedikit. "Oke, aku ketakutan." Senyum meremehkannya dipasang kembali. "Sampai lain waktu, sweetheart."

Cowok itu menaikkan alis sekali lagi, sebelum melenggang dengan kedua tangan dalam saku dan siulan yang perlahan tapi pasti mulai mendidihkan otak Hermione. Gryffindor itu berusaha bernapas, menyentuh lehernya dengan geram.

Tanyakan pada dirimu sendiri, Hermione, apa itu tadi?

Hermione memejamkan mata, dadanya bergemuruh. Menjijikkan.

Tongkatnya tergenggam erat, paru-parunya sedikit lepas kendali. Persetan dengan Malfoy— oh, brengsek. Bahkan namanya terasa begitu memuakkan. Apa yang akan Harry dan Ron katakan mulai terngiang-ngiang di kepala Hermione.

Bukan. Bukan. Ia bukan salah satu dari jalang-jalang Malfoy.

Fuck.

"Kubunuh kau, Malfoy."

Salahkan Merlin untuk membiarkan dendamnya mengambil alih karena kali ini, kali ini, ia harus membunuh pemuda itu secepatnya, malam ini juga, apa pun iu untuk mengembalikan secuil harga dirinya. Dasar keparat. Brengsek tidak tahu diri. Sok kasanofa.

Hermione melafal sederet daftar kutukan dan mengulanginya, sebelum mulai mengejar Draco Malfoy tanpa ritme. Pirang idiot itu baru saja menghilang di tikungan depan, jadi ia tidak punya alasan kehilangan jejak.

Hermione bakal mengulitinya, dan mungkin menunjukkannya pada Harry dan Ron.

Yeah, dia bukan salah satu dari jalang-jalang Malfoy kurang ajar itu. Bukan. Jelas bukan. Ini pelecehan. Dan harus ada tindakan.

Bunuh dia, Hermione.

Hermione mencapai pertigaan dalam sepuluh langkah panjang dan segera saja menemui targetnya. Tongkatnya sudah terangkat setengah dan mantranya sudah nyaris dirapal ketika gadis itu sadar—

Draco tidak sedang sendiri.

Hermione menarik punggung ke balik dinding, memaksa jantungnya tidak lepas kendali.

Kemudian ia mulai mendengarkan.

o0o

To Be Continued

o0o

A/N: Halo, semua! Saya gasadar ngepost fik ini sejak 2015 trus ga kelar-kelar sampe sekarang wkwkw. Terima kasih untuk ulilil. olala, Riska662, Sasara Keiko, Staecia, erni. govato, NabilahAnanda, baeqtpie, ayuniejung, Xionsca, Nangellpotter, dan beberapa Guest yang sudah menitip review. Untuk kalian yang favo/follow juga, thanks a lot! Sampai ketemu lagi;)) -GP