for dramione; and you.

o0o

PROLOG

Tongkatnya sudah teracung lurus, siap menyentak. Mantra itu telah mencapai ujung lidahnya, menunggu untuk dirapalkan. Targetnya berdiri hanya beberapa langkah di depan, tidak berdaya tanpa tongkat untuk diacungkan, pasrah menunggu jemputan kematian. Hening.

Tidak ada yang datang.

Mungkin seharusnya saat ini ia tertawa, tawa yang selalu berderai ketika segalanya dirasa sudah sempurna. Karena semua yang terjadi di sini memang sudah sempurna, justru sangat sempurna. Sekali sambaran, dan misi yang telah ia perjuangkan mati-matian selama nyaris setahun itu akan berakhir. Malam ini ia akan benar-benar menjadi seorang pemenang.

Benar, bukan?

Tapi sejauh ini tidak ada yang tahu mengapa bibirnya begitu kaku untuk tertawa. Lagipula, kepuasan yang seharusnya menggelegak itu mendadak raib entah ke mana. Ia tidak menemukan rasa bangga kendati telah menyelesaikan kerja kerasnya. Justru ada rasa pahit bersarang di tenggorokannya, seakan ia telah keliru. Seakan ia telah mengambil langkah yang salah. Seakan ia harus berbalik saat itu juga, membanting setir ke arah sebaliknya. Tapi ia tidak mengerti. Ia tidak bisa mengerti— atau tidak mau mengerti.

Ini tujuannya. Ia sudah berhasil sampai di sana, tapi sesuatu menghentikannya tepat di langkah terakhir. Sesuatu yang tidak pernah bisa dipahaminya.

Sesuatu yang hadir bersama dengan kehadiran gadis itu.

Kemudian ia merasakannya.

Sakit.

Sakit yang belakangan terus mencuri celah udara yang ia miliki, sakit yang membekap paru-parunya, sakit yang terasa hingga iris abu-abu itu berair. Ia memejamkan mata, dan benaknya kembali pada kesalahan-kesalahan lalu, kesalahan-kesalahan yang ia suka. Hazel dan ikal-ikal kecokelatan. Dasi dan perpustakaan. Sarkasme dan tawa. Tawanya. Sebutir air mata jatuh ke pipi pucat itu. Kemudian ia mengerti. Ia tidak akan bisa menangis jika hatinya memang sudah mati.

Entah untuk alasan apa, kali ini saja, ia ingin memutar ulang waktu. Ia hanya ingin hatinya tetap mati, tidak peduli kebahagiaan macam apa yang bisa dirasakan manusia. Ia hanya ingin hidup tanpa merasakan apa pun, tanpa bahagia pun juga tidak masalah.

Karena ia tahu, dengan hati yang mati, ia tidak akan merasakan sesuatu yang tidak ingin ia rasakan. Ketakutan, kegagalan, kesakitan, kehilangan—

Ia hanya ingin hidup tanpa hati, tanpa rasa. Karena ia sudah melihat ketidakberdayaan manusia tentang hati yang mereka miliki.

Tapi gadis itu sudah mengembalikan hatinya sejak lama.

Bukankah begitu?

"Avada—"

Adakah yang bisa kulakukan untuk melenyapkan rasa sakit ini?

Aku tak mampu.

Aku tak berdaya.

Aku mencintainya.

o0o