Kurobas tetap miliknya Tadatoshi Fujimaki Sensei, tapi kekonyolan Ahomine sama Bakagami dan teman–teman yang lain adalah milik kita bersama wkwkwk.
"Malam Minggu AoKagazone: Hadiah"
By : Zokashime
Warn: RATE M FOR LEMON, MUNGKIN SEDIKIT EKSPLISIT! MUNGKIN! Bahasanya kasar! YAOI, OOC/Typo bisa jadi, konyol, nggak jelas, humor garing, dan banyak lagi :D. DLDR!
Note: Untuk kelangsungan cerita, anggap malam ini hari ulang tahun abang Aho, oke.
Yosh! Semoga menghibur and happy reading.
.
.
.
…
Mukau saki ni wa
Dakishimete
Ranbu suru RIMFIRE
Get on my string
"Let's try now!" Dia berteriak keras semangat luar biasa mengeluarkan seluruh suaranya.
This is my string
"Let's fly now!" berteriak lebih mengikuti dentuman musik yang semakin menguar.
Get on my string
"Let's try now!" ia hentak sekali lagi sembari mendorong gagang pel maju mundur penuh atraksi.
Get on my string
"RIMFIRE! YEEEEEE!" teriak, menjerit. "RIMFIRE!" sound besar berdentum seolah dinding ikut menikmati. Tidak puas hanya dengan itu, Kagami melompat tinggi sebagai apresiasi. Ia membayangkan bahwa dirinya sedang melayang bersama bola basket, tinggi, tinggi sekali sampai manusia dipihak lain tercengang tidak percaya.
Melayang!
Melayang!
Melayang!
Shutttt!
Brukkkk!
"HAHAHAHAHA" tawa terpingkal keluar dari dia yang menyaksikan secara live di sudut lain.
Kagami meringis tertahan.
Kenyataan memang tak selalu manis. Ia terpeleset saat mendarat karena lantai yang masih sangat basah sehabis dipel. Bokong terlebih dahulu kemudian disusul dengan kepala yang menghentak ubin.
"Hahahaha!"
"SHUT UP! AHOMINE!" dia melirik tajam kearah pihak yang sedang menertawakannya penuh ejekan. Bangkit, memegangi bokong yang terasa nyut-nyutan juga kepala yang tak kalah membuatnya jalan sempoyongan menuju sofa.
"Hahahah, mampus lo! Rasain tuh rimpayer," celetuk Aomine, mendekati Kagami sembari membawa-bawa kain pel-nya.
Kagami mendelik dan menerka apa yang baru saja Aomine ucapkan. "Tsk! Nggak usah ngomonglah lo, buat pinggang gue tambah sakit."
Dia, si mahluk dim hanya cuek tak mendengarkan sewotan Kagami yang sedang mengurut pinggang. "Mau gue bantuin," tawarnya, meletakkan kain pel ke dalam ember.
Kagami pura-pura tak mendengar, melengos mencari penglihatan baru. Kesal dengan Aomine yang masih saja cengar-cengir menertawakan walau tak sekeras yang pertama.
"Sombong, sih. Gue tahu lompatan lo tinggi, tapi lihat situasi dong!" ceramah Aomine yang sekarang sudah duduk di samping Kagami, membungkam mulutnya sendiri sebelum ia ulurkan meraba pinggang si merah hitam.
"Au! Pelan-pelan, Ao. Emang kulit gue kulit kuda," sentaknya yang tak terima Aomine memijat terlalu keras.
"Hah? Nanti malem mau main kuda-kudaan," cengirnya. Ia majukan wajah, "Siap, mau berapa jam?" tanyanya setengah berbisik membuat Kagami menyerngit dan cepat mendorong.
"Hoi, kok basah?" Tanya Kagami memegang pinggangnya selepas dipijat.
"Iya, itu ludah gue," jawabnya tanpa minat.
"Hah!?"
Aomine menutup telinga kirinya yang berdengung akibat lengkingan suara Kagami. "Gue obatin pake ludah gue,"
"Ap–"
" –kata orang dulu ludah itu bisa jadi obat, Baka," jelasnya dengan kerut percaya diri.
Kagami menaikkan alisnya, sontak berdiri menjauh dari Aomine.
"Tuh, sembuh, kan," ucapnya girang.
Kagami face palm, ia berdiri dan menjauh bukannya sudah sembuh tapi merasa jika Aomine jorok sekali, ingin rasanya menyemen wajah dekil itu yang sekarang sedang senyum-senyum. Tidak peduli, ia melangkah menuju sound dan mematikan dentuman musik. "Aho, kerja lagi," perintahnya, kembali memegang pel dan melanjutkan apa yang tertunda.
Mendengar itu Aomine merubah mimik wajah, merengut. Berdiri dan melangkah gontai membawa peralatannya. "Baka, ini hari ulang tahun gue,"
"Terus?" Kagami menjawab tanpa memandang sang pemberi pernyataan.
"Masa iya hadiahnya gue suruh bersih-bersih," protesnya, menghentak-hentakkan kain pel malas. "Nggak ada kerjain lain apa? Main game gitu, main basket atau apalah selain bersih-bersih, gue ini kan laki!"
Pemilik kelereng crimson berhenti dari aktivitasnya, memandang surai navy tidak suka. "Hah? Terus maksud lo gue perempuan!?"
Aomine mengangguk tak melihat tatapan Kagami di depannya. "Iya, hobi lo masak, suka ngepel, lemari lo bersih dan rapi, itu kan kerjaan perempuan. Sayangnya aja lo nggak bisa hamil, tapi PMS lo bisa, sering malah."
Pletak!
"SHIT! Sakit~" Aomine berteriak garang mendapati kepalanya dicium gagang pel, sedangkan pelakuknya hanya tersenyum puas.
"Apa? Lo mau lagi?" Kagami mendelik.
"Kan lo pasti lagi PMS!"
"AHOMINE!"
Pletak! Pyur! Byur! Bruk! Bak!
Dengan itu sudah diputuskan bahwa mereka bertengkar hebat. Kagami menyerang, Aomine membalas, ataupun sebaliknya. Meski begitu pekerjaan mereka tetap terselesaikan walupun harus memakan waktu tiga kali lipat.
Salahkan mahluk pelangi yang mengacak-acak apartemennya tadi malam, lagi-lagi kerajaannya digunakan untuk berpesta ria. Ya, ia tahu itu untuk merayakan ulang tahun Aomine, tapi mengapa ia selalu mendapat jatah yang tidak enak macam ini. Jadi, jangan salahkan jika ia menjadikan Aomine sebagi pembantu sementara.
Peralatan bersih-bersih dikembalikan ke tempatnya semula. Selekasnya, mereka berdua duduk bersapingan dengan kaki berselonjor di dapur. Melepas lelah yang terasa membuat tubuh remuk. Mereka rasa itu bukan karena mengepel lantai, tapi karena mereka bergulat keterlaluan.
"Minum," ucap Kagami, menyodorkan botol minumannya ke hadapan Aomine.
Pihak yang ditawari langsung merebutnya tanpa suara, menegak brutal cairan pelepas dahaga tersebut sampai habis.
Kagami memperhatikannya dengan seksama, entah mengapa ada rasa tidak tega. Mungkin Aomine tidak pernah melakukan ini ketika tinggal bersama orangtuanya, tapi dengannya diperintah ini itu, walau mengomel Aomine tetap menjalankannya.
Kagami menoleh dan berbicara, "Mau keluar?"
"Hah?" sadar tak sadar Aomine menjawabnya, ia mengantuk.
"Keluar, Aho. Kita jalan-jalan."
Aomine mengerjap, menatap balik lawan bicaranya. "Serius?"
"Kapan gue nggak seriu–"
"Oke, kita ke bioskop," potongnya, kemudian ia bangkit dari duduk. "Gue mandi," katanya jelas.
Belum juga Kagami menjawab, Aomine sudah menghilang ditelan pintu kamar mandi. Ia hanya menghela napas dan pindah posisi.
Di dalam kamar mandi, Aomine bersiul-siul senang, jarang Kagami mengajaknya jalan-jalan. Bila tidak ia yang minta dengan merengek, pasti Kagami tidak mau pergi keluar.
Sower dihidupkan dan diatur, dia menikmati setiap guyuran air dingin yang jatuh pada tubuhnya.
Hari ini usianya berkurang, tadi malam dirayakan bersama teman-teman juga orang yang paling berharganya.
Bahagia, pasti. Meski tak peduli dengan hal semacam ini, ia tetap mengharapkan jika ada kesempatan dan dapat menciptakan momen yang indah.
Ia berharap dalam doa, semoga tidak ada yang berubah dalam hidupnya. Tetap kedua kaki yang menopang tubuh untuk selalu ada dekat dengan Kagami yang paling terkasih. Kedua mata yang dapat melihat dan menyaksikan konyolnya tingkah laku Kagami bagi dirinya. Kedua tangan yang dapat mendekap Kagami kapan pun ia butuh.
Terima kasih, hanya itu yang mampu ia ucapkan untuk segala keajaiban yang dimilikinya.
.
Tok! Tok!
"Ahomine, lo mati di dalem?"
Dan rendahkan tenshinya supaya tidak selalu berteriak jika Kagami sudah membuatnya kesal.
Jdak! Pintu ditendang. "Hoi, Aho. Mandi lama amat!"
Juga ampuni dosa Kagami yang tidak sopan terhadap calon suami yang tampan ini.
Jdak! "Ahomine!"
Clek!
"Mandi lam –mpppphh.."
Aomine melumat bibir Kagami dalam, turun ke bawah sedikit untuk mengecup singkat tonjolan merah terekspose liar di sana, dan tangannya dengan nakal meremas penis Kagami yang tertutup handuk, lalu ia berkata, "Berisik!" katanya.
Kagami membeku di ambang pintu kamar mandi. Sedangkan sang pelaku berlalu begitu saja dengan tubuh tak tertutupi kain sedikit pun, jawabannya karena ia lupa membawa handuk.
Berikan kekuatan pada bibirnya untuk dapat memakan Kagami dan juga stamina yang lebih untuk selalu ekstrim menikmati Kagami, dengan bangga dan membusungkan dada ia masuk ke dalam kamar.
Menuju lemari dan mengambil pakaian sekenanya. Kata Kise, "Aominecchi, selalu keren pakai baju apa pun." Dan ia memang mempercayai seratus persen pujian teman kuningnya itu.
Selang waktu limabelas menit, Kagami masuk sembari mengusap surainya untuk mengurangi tetesan air yag jatuh. Melirik Aomine sedang asyik bermain game di ponsel dengan posisi tiduran di kasur. "Aho, jam berapa?"
"Enam," jawabnya singkat.
Kagami mengangguk dan memakai pakaiannya cepat. Mengacak rambutnya di cermin pengganti sisir. "Mau langsung ke bioskop apa makan dulu?" tanyanya.
Aomine melempar ponselnya kesal karena ia baru saja game over. Mulai teralihkan dengan tawaran yang Kagami ucapkan. "Makan dulu aja, Majiba, ya," pintanya manja.
"Oke berangkat, yang ulang tahun traktir," cuap Kagami berjalan keluar kamar. Aomine loncat dari ranjang dan langsung berlari, merangkul Kagaminya. "Nggak punya uang, heheh."
"Huh, penyakit lo itu!" Kagami menggeram, walau begitu mereka tetap pergi. Seperti biasanya, berebut pintu keluar dan yang kalah harus mengunci pintu.
Setelah berada di jalan raya dengan perjuangan yang penuh karena banyak bertengkarnya daripada berjalan. Mereka mencegat taxi dengan kompak, dan naik dengan tertib takutnya bapak supir marah dan menurunkannya di tengah jalan. Tidak keren.
20 menit perjalanan, mereka turun di depan Majiba yang bersebelahan dengan gedung bioskop. Keduanya melangkah pasti setelah membayar. Masuk dengan perang mulut karena Aomine tak sengaja meraba pantat Kagami.
"Sumpah, nggak sengaja, Baka!"
"Halah! Ini tempat umum, malu, sialan!" bentaknya.
Aomine menyeringai licik. "Sok malu, tapi mau, hahahaha.."
Pletak! Satu jitakan lolos, Aomine meringis kesakitan. Kemudian setelahnya mereka duduk dengan santai di meja yang telah dipilih. "Sana pesen," Kagami angkat bicara.
"Hah? Gue?" jawab Aomine menunjuk dirinya sendiri.
"Setan, ya, iya elo."
"Males."
"Batu, gunting, kertas"
Selanjutnya, Aomine yang kalah, dan Kagami tertawa puas. Dengan wajah malasnya, ia berjalan pasrah, memesan makanan sesuai dengan intruksi sang raja.
Tidak menunggu lama, kagami menyaksikan Aomine nongol dengan segunung makanan. Meletakkannya di meja dengan kasar. "Makan tuh!"
"Eh, awas ya lo ikut makan!" Kagami meraup semua makanan dalam pelukannya.
"Kenapa?" protes Aomine. "Gue yang mesen," lanjutnya.
"Abis lo nggak sopan sama makanan."
Aomine hanya mendengus dan memutar bola matanya.
Butuh waktu tiga puluh menit untuk mereka menghabiskan makanannya dan tentu saja sepaket dengan cekcok mulut, balapan, atau segala hal yang menurut manusia normal tidak wajar.
"Hyuuhh, kenyang… eeeee…" Aomine bersendawa keras.
"Aho!" Kagami tidak suka sebab semua mata menoleh kearahnya dengan pandangan jijik.
"Peduli amat," katanya songong, enyah dari tempat itu meninggalkan Kagami di belakang.
"Hoi!" Kagami bergemeretak dongkol.
.
.
Saat ini mereka sudah ada di barisan konter pembelian tiket film, mengantri bersama dengan banyak pasangan muda-mudi, dan hanya mereka bedua yang berpasangan muda-muda(?). "Please, Aho. Jangan horror, film yang lain aja," Kagami mengusul.
"Tsk! Apa, sih, Baka," katanya. "Emang kenapa kalau horror!?" suaranya naik dan menggaung membuat para pengantri menoleh dan memperhatikan.
Kagami berkedip memalingkan wajah, pura-pura tidak kenal dengan lelaki di depannya. Tapi Aomine malah mendekati telinganya dan berbisik, "Lo takut, ya?"
"Hah!?" Kagami memandang Aomine kesal. Menurunkan sedikit emosinya dan merendahkan suara. "Lo juga takut, kan!" katanya pelan namun penuh penekanan.
"Hahaha." Ia tertawa mendengar apa yang diucapakan Kagami. "Gue takut?" katanya, kemudian merapat menempelkan diri. "I-iya, sih."
Kagami speechless. Tangannya bergerak menggeplak punggung Aomine. "Makanya jangan nonton horror."
"Oke, antrian berikutnya silahkan," nona cantik menyambut mereka dengan sopan dan senyum ramah.
"Sebentar," jawab Aomine kepada nona cantik tersebut, lalu ia menoleh pada Kagami di belakangnya. "Ayolah, Baka. Sesekali nggak apa-apa walau takut kita bisa lawan, kan."
Kagami menggeleng keras. "Nggak mau, nantinya malah mubajir, Aho. Bukannya nonton tapi kita pingsan sayang duitnya."
Aomine diam dan mencoba berpikir dengan jernih, setelahnya ia mengangguk pasti. "Kita pasti bisa, Baka," mengangguk lagi, "Percaya sama gue."
"Nggak, Aho. Lo nggak bisa dipercaya!" masih tetap pada pendiriannya.
Antrian di belakang sudah berdehem-dehem gerah dan dongkol. Mereka mau membeli tiket tapi terhalangi oleh dua pemuda yang entah sedang memperdebatkan apa.
"Maaf, bisakah kalian cepat membeli tiket, sudah banyak pengantri di belakang." Nona itu berkata lagi dengan wajah yang tak tersenyum ramah.
"Ayolah, Baka." Aomine memohon.
"Nggak mau, nanti kalau pingsan siapa yang mau tanggung jawab, hh?" meletakkan kedua tangannya di dada. "Kalau kita berdua dijual, lo tahu kan sekarang lagi jaman jualan manusia."
"Ehem." Lelaki yang sebaya dengan mereka berdehem sembari menghentakkan kaki.
"Maa–"
" –Oke, sabar dulu gue masih musyawarah sama dia," katanya, memotong perkataan nona pelayan penjualan tiket dan menunjuk Kagami.
"Gue nggak mau titik. Lo aja nonton sendiri dan bayar sendiri."
"Kita batu, gunting, kertas lagi, yang menang nonton horror, gimana?" tawar Aomine antusias.
Kagami menarik napas full. "Oke."
Mereka bersiap dengan serius, orang lain menaikkan alisnya tidak paham. Bola mata Aomine berkilat tajam, ia percaya akan menang. "Satu … dua … tig–"
– Setelahnya mereka diamankan oleh tiga security yang bertugas, dicermahi sejenak dan ditanya-tanya yang menurut Aomine itu tidak penting.
"Lo, sih!" Kagami membentak kala telah keluar dari ruangan.
"Kok, gue. Lo banyak maunya, sudah gue bilang nonton horror aja, lo ngajak berantem."
Mereka berjalan lagi ke dalam tempat pembelian tiket, memutuskan untuk menonton film lain selain horror.
"Maaf tiketnya sudah habis," katanya, ketika mereka di depan konter film action.
Keduanya terdiam dan saling melirik. "Nonton apa?" Kagami kali ini bertanya.
"Nggak tahu, terserah lo aja, Baka," jawabnya pasrah.
"Yang masih ada tiketnya tinggal film romance, lo mau nonton?"
Aomine mendengus, dan mengangguk. "Apa aja boleh."
Dengan persetujuan dari kedua belah pihak, akhirnya Kagami memesan tiket dan setelah itu mereka masuk ke dalam studio yang telah ditentukan. Membawa makanan bagaimana kebanyakan penonton lainnya, dengan Kagami yang membawa 4 buah popcorn ukuran paling besar dan Aomine membawa dua minuman ukuran sama besarnya.
Duduk di bangku urutan kesepuluh sigap, Aomine ambil paling pojok dan diikuti dengan Kagami di sampingnya. "Hoi, Bakagami, udah dulu makannya. Film aja belum diputer lo udah abis setengah," protesnya.
"Biarin ajalah, gue beli banyak," Kagami menunjukkan popcorn-nya yang lain.
Aomine memutar bola mata bersamaan dengan matinya lampu. Film diputar dengan dentuman yang fantastic, keduanya membuat posisi senyaman mungkin. Lagu mellow masuk ke dalam gendang telinga mereka yang disambut dengan serngitan.
Kagami menyibukkan mulutnya dengan makanan dan minuman, belum apa-apa sudah bosan. Matanya tak lepas dari layar yang sedang menayangkan adegan pertemuan antara pemeran wanita dan lelakinya. "Ao?" panggilnya. Ia menoleh dan didapati yang dipanggil sedang sibuk bermain game di ponsel, sesekali menyomot popcorn-nya.
Kagami mengedikkan bahu dan kembali ke dunianya. Terdengar sorakan dan teriakan dari para wanita, "Sosweet…" katanya.
Penasaran, ia pun memfokuskan pandangannya ke layar besar di depan sana. Terlihatlah adegan pasangan yang baru jatuh cinta melayangkan ciumannya di bawah guyuran hujan lebat.
Berpikir. Jika dirinya ada di posisi itu, Kagami akan menggeram dan berkata, "Ahomine, lo bego, ya? Nggak ada tempat lain, nanti gue sakit gimana!" –menggeleng, mengapa pula harus Aomine yang jadi contoh.
Itu.
Itu adegan terakhir yang ia tonton sebelum semuanya gelap. Lalu kemudian terdengar suara seseorang yang berkata, "Halo, kalian berdua cepat bangun, atau mau terkunci di sini."
Kagami mengerjap terbangun kaget. "Filmnya?" katanya cepat bertanya pada petugas yang terlihat sebagai pembersih.
Petugas yang sedang menyapu lantai hanya terkekeh. "Filmnya sudah habis setengah jam yang lalu."
"Hah!?" menggoyangkan punggung Aomine yang masih berseluncur bebas di alam mimpi. "Aho, bangun, woi!" katanya.
"Apa, sih, Baka," menyingkirkan tangan Kagami yang mengganggu tidurnya yang nikmat.
"Oi, lo kira kita di rumah!" sentaknya. "KITA DI BIOSKOP!" Kagami berteriak di lubang telinga Aomine sebagai keputusan terakhir.
"WHAT!?" Aomine terbangun tak percaya.
"What-what itu doang yang lo bisa, ayolah pulang." Kagami berdiri dan turun meninggalkan Aomine sembari menguap masih butuh tidur.
"Tsk!" ia berdecak, berlari kecil menyusul Kagami yang sudah keluar. "Oi, Baka," katanya merangkul pundak Kagami.
Kagami tak berekspresi, ia mati lemas. Kekenyangan popcorn dan ketiduran dalam bioskop selam dua jam cukup membuat tubuhnya sakit karena posisi tidur yang tidak benar.
.
.
Pintu dibuka dan masuk ruangan. "Udah jam sebelas," gumam Kagami sembari memandangi jam.
Aomine mendorong tubuh Kagami untuk duduk di sofa. "Baka, capek," rengeknya.
"Istirahatlah." Mengambil ponselnya dalam saku yang sudah bergetar sejak tadi, "Halo, Tatsuya, ada apa?" katanya dan enyah dari sisi Aomine.
Aomine sediri hanya menjadi memperhati percakapan Kagami dari kejauhan. Menunggu dua menit akhirnya Kagami kembali. "Ngomongin apa?" tanyanya.
"Enggak."
Aomine menaikkan alisnya. "Kemarin lo pergi ke mana sama dia? Dan ninggalin gue sendiri di rumah."
Kagami mengunci ponselnya dan diletakkan di meja. "Main basket, Aho."
"Halah, sampe seharian?" menyenderkan tubuhnya ke sofa.
"Ya, salah gitu? Kan dia kaka gue. Lagian lo lagi tidur kemarin." Kagami menjawab santai. "Ha, Jangan bilang lo cemburu."
Aomine menatap Kagami serius. "Memang gue nggak boleh cemburu, hh?"
Kagami menyipit tak menyangka dengan jawaban yang dilontarkan oleh Aomine. "Hahaha, becanda lo," katanya terkekeh, meninggalkan Aomine dan masuk ke dalam kamar.
Tak lama ia kembali ke hadapan Aomine yang sedang merengut tak sedap. "Aho?" panggilnya canggung menggaruk kepalanya bingung.
"Lo kenapa? Cacingan?"
Kagami terdegar berdecak sebelum ia duduk di samping Aomine. "Bukan."
"Terus? Muka lo juga aneh, lo sakit?" Aomine menempelkan punggung tangannya di kening Kagami. "Panas, Baka."
Kagami menepis tangan Aomine dari keningnya. "Gue nggak sakit."
"Terus kenapa badan lo panas?"
Kagami menarik napasnya dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan. Memandang Aomine yang sangat keheranan. "Aomine," katanya.
Orang yang namanya disebut hanya menaikkan kedua alisnya. "Apaan sih, Baka. Lo mau ciuman maksudnya."
Kagami mendelik dan memukul kepala Aomine. "Bukan itu, idiot!" geram.
"YA, TERUS?"
"Huh, ini hadiah buat lo!" lantang, keras, penuh geraman, Kagami memberikan sebuah kotak kepada Aomine.
"Weh, gue dapet hadiah. Apaan, nih." Menyambar kotak hitam dari tangan Kagami. membukanya antusias, Kagami menggaruk pelipisnya dan melengos.
Setelah kotak terbuka, Aomine diam tak bersuara. Kagami penasaran dan menoleh, didapati wajah Aomine tepat dihadapannya. "Apa-apaan ini?" Tanya Aomine dalam, melirik dua buah cincin bertengger dalam wadahnya.
"Uh, itu." ia bingung harus menjawab apa, tidak berani menatap manik Aomine. "Pikir aja sendiri."
"Eh, jangan bilang lo ngelamar gue, Baka." Aomine perlu jawaban.
Dahi berkerut. " Iya," jawab Kagami lugas. "Gue nyari itu kemarin sama Tatsuya sehabis main basket makanya lama," lanjutnya.
"HAHHHHH!? NGGAK MAU!" histeris, Aomine menutup kotak itu dan diletakan di atas meja kasar.
Kagami kaget. "Kenapa? Lo nggak mau hidup sama gue."
Si biru mengacak surainya greget dengan Kagami. "Arggh, bukan gitu, gue nggak mau lo yang ngelamar duluan. Harusnya gue yang ngelamar lo!"
Kagami berjengit heran. "Apa salahnya, sialan!"
Aomine mencak-mencak tidak suka, sama sekali tidak suka. "Jelas salah! Karena gue calon suami lo."
Mahluk crimson mendelik tajam. "Gue juga calon suami lo, idiot!" ia berdiri dan mengambil kotak cincin yang terlupakan, dibuka dan diambilnya benda yang tersemat di sana. "Pake, nih." Titah Kagami, memberikan satu cincin pada Aomine.
"Nggak mau!"
"Pake, Ahomine!"
Aomine geram dan merebut cincin itu dari tangan Kagami, kemudian dibuang begitu saja, Kagami yang merupakan pihak tersakiti membolakan matanya, namun Aomine tak memberikan kesempatan untuk Kagami protes.
Dia memeluk Kagami dan menciumnya ganas.
"A-Aommhhh.." hanya suara itu yang bisa lolos dari mulut Kagami, Aomine menguncinya kuat sampai ia terjatuh ke atas sofa.
Aomine menindih Kagami, menjilati bibir peach-nya, lidahnya meliar ke samping mengigit daun telinga yang sudah memerah dan manis. "Kalau hadiahnya kita main, gimana?" bisiknya eksotis.
"Akhh! Terserah." Rupanya ia sudah panas.
Aomine mengembangkan senyum sadis. Mengecup telinga Kagami sejenak dan lidahnya mulai meliar lagi menyusuri kulit madu di bawahnya. Menjilati, mulai dari pelipis Kagami yang penuh dengan bulu-bulu halus, mengecup sebentar bibir yang terlewati, lalu berlalu ke pelipis sebelahnya untuk meninggalkan becek saliva.
Lidah panas nan panjang itu masih bergerak, sekarang turun ke leher bagian samping menyusuri tulang selangka yang merupakan bagian favoritnya. Naik sedikit menemukan kulit leher yang panas sepanas birahinya. Menenggelamkan diri di sana, menghisap kuat apa yang tersaji.
"Ahh!" Kagami bersuara, tangannya sudah tidak dikunci, tetapi ia tak menolak dengan apa yang di lakukan oleh Aomine, jari-jarinya naik untuk meremas surai biru yang sedang menetap di lehernya.
Aomine menikmati, ia sedang melukis di sana. Menyeringai, punya cara supaya Kagami mengeluarkan suaranya. Mulai membenahi posisi, ia samakan pinggulnya dengan pinggul Kagami, membuat penisnya menindih penis seseorang di bawah dan menggeseknya menggoda. Bersamaan dengan itu Aomine menancapkan taringnya di kulit leher Kagami
"Ahhk! Shit! Fuck!" Kagami mengumpat dalam kenikmatan juga kesakitannya. "Fuck you, Aho!"
Aomine mengangkat kepalanya, meninggalkan kiss mark dan memar akibat hisapan dan gigitan. Tersenyum songong. "Mau nambah?" tawarnya.
"Lo pikir, lo berani ninggalin gue!" Kagami menjawab sewot.
Cengiran lolos dari bibir Aomine. "Minta lebih rupanya." Tanganya menuju ke bawah dan meremas penis Kagami yang masih tersembunyi rapat.
"Ah! S-shut up!"
Uh, Kagami yang seperti ini membuatnya tambah panas bergairah. Ia bangkit dan terduduk, menarik Kagami untuk kemudian menangkring di pangkuannya.
Kepala Kagami mulai melayang, tidak sadar ia membuka kausnya sendiri dan merampas kaus Aomine untuk ia buka juga. Keduanya bertelanjang dada. Mahluk navy menjilat bibir seduktif, selepasnya ia maju dan memilin putting kanan Kagami dengan bibir dan lidah. Putting kiri menggunkan tangannya.
"Ehhnn! Akkkh!" desah Kagami, mendorong tubuh Aomine menjauh dari dadanya. Rasanya sakit luar biasa, kalau saja ia tak mendorong bisa saja puttingnya putus akibat gigitan Aomine yang tidak kira-kira. "Brengsek!" umpatnya.
"Kelepasan," cengir Aomine.
Kagami berdecak, merampas rambut manusia di depannya brutal. Membawanya mendekat dan menempelkan bibirnya ke bibir kecoklatan Aomine, sang empu hanya diam tak membalas ajakan ciuman Kagami.
Kagami meraup sekaligus bibir di mulutnya. Bibir bawah Aomine ia hisap sampai susah bernapas. "Hmphhh!" ia berdesah sendiri. Aomine yang masih diam memperhatikan bagaimana permainan Kagami, hanya tertawa dalam hati. Macan di dipangkuannya sungguh sangat agresif.
Kedua tangan Aomine menelusup masuk ke dalam celana bagian belakang. Ia mencari kekenyalan di sana. Setelah dipertemukan dengan pipi bawah, tidak sungkan ia meremasnya, membuat Kagami menghentak dan menaikkan tarap ciumannya.
"A-Aho.."
"Hn."
Menjilati bibir bawah dan atas Aomine secara bergantian. Lidah masuk mencari suasana baru. Aomine dengan rela memberikan lidahnya untuk di emut Kagami. "Makanlah, sayang." Serunya dalam hati.
Aomine masih meremas pipi kenyal di bawah, enggan untuk meninggalkan. Tangannya berkeliling dan membuka kancing celana Kagami yang sudah mulai sesak. Ia elus raja yang mulai bangun dan mengeluarkan kemurkaannya.
"Hnnh! Ah!" Kagami membuat wajahnya maju mundur seolah melakukan blow job pada lidah panjang Aomine.
Sedangkan Aomine, sekarang tangannya sudah naik meraba punggung, mengelusnya. Pindah ke depan memijat kedua dada Kagami yang semakin ereksi, meremas, meremas. "Bangsat! Sialan lo, Baka!" menarik diri dari Kagami, membungkam mulutnya yang terasa perih. Rupanya Kagami balas dendam, lidahnya di gigit sampai ngilu nyut-nyutan.
Pelakunya hanya menebarkan cengiran. "Enak, kan." katanya.
"Fuck!"
Aomine menggeram murka. Ia tendang meja di hadapannya sampai terjungkal. Kagami shock dan menolah, mengela napas lega saat didapati mejanya masih baik-baik saja tidak pecah, kemungkinan ada retak.
Belum sempat ia menarik tolehannya, tubuhnya diangkat dan dihentakkan ke lantai oleh Aomine, kepalanya sukses mencium lantai. "Bangsat!" ia meringis. Langit-langit seperti berputar.
Aomine mengunci, mencengram kedua pergelangan tangan Kagami, dan kedua kaki bekerja mengunci bagian pinggang. "Ayo kita mulai," cengirnya.
Tanpa babibu Aomine menerkam Kagami, mulai dari mencium bibirnya, hidung, mata, kening sampai leher, bagian tengkuk, semuanya, tidak ada yang tidak terjilat dan terhisap.
Ke bawah lagi, mengecupi singkat kedua putting yang sudah memerah lebam. Lidah mulai berjalan menjelajah menyusuri lengkukan tubuh Kagami yang tak kalah sexi dengannya. Menghisap abs yang tercetak sempurna.
"Baka,"
"Nhhh! Ah!" Kagami menggeliat ketika lidah Aomine berhenti dipusarnya. Mengorek lubang pusarnya dan berputar-putar di sana. Tangan mencoba lepas dari cengkraman, dan ternyata Aomine mengijinkannya.
Aomine kembali ke atas menciumi Kagami yang mendapat balasan atusias. Mereka bergoyang lidah, saling jelajah, saling lilit, dan sling hisap satu sama lain. Tangan Kagami terkalung indah di lehernya. "Baka, ah!"
"Hnnh, i-itu…" kata Kagami tersedak, mengarahkan tangan Aomine untuk meremas penisnya yang sudah mengencang minta dimanjakan.
Aomine hanya tersenyum dalam ciuman. Menuruti permintaan pangeran, menurunkan celana jeans Kagami sampai paha terlebih dahulu. Mencabut ciumannya dan meninggalkan desahan.
Penis Kagami meringkal besar tertutupi celana dalam, Aomine mengelus dan menciuminya. Ia menghela napas berat, jangankan punya Kagami kepunyaannya pun sudah tidak sabar ingin keluar. Dari itu ia melepas kancing celana dan menurunkan persis seperti celana mahluk di bawahnya.
"Ah, Ao!"
"Sabar."
Aomine meremas penisnya sendiri seolah memberi tahu untuk bersabar. Ia kembali teralihkan oleh Kagami yang meminta lebih. Mengecup sebentar bibir peach di sana. Lekas dari itu, lidahnya lagi-lagi menyusuri bagian tubuh, memilin sejenak putting merah Kagami, lalu ke bawah mengucupi paha bagian dalam dan selangkangan.
"Oh, ah! fuck!" Kagami mengumpat dalam desahan.
Aomine mengulum penis Kagami dari luar yang sudah mulai becek, membuat sang empu terjengit kaget. "Ah! Aho."
"Hn, Baka." Melanjutkan kewajiban, ia gigit penis itu tanpa ampun. Kagami lagi-lagi dibuat terhentak tidak kuat, kakinya melingkar di leher Aomine kala itu, ia mengumpat penuh, mengutuk Aomine.
"Err …" gemas. Aomine membalikkan Kagami, membuat mahluk merah hitam itu menungging. Melorotkan celana dalamnya cepat. Terlihat sudah surga dunia yang ia dambakkan.
Memukul pantat kenyal Kagami, melebarkan belahan. Meneliti lubang semi kemerahan yang sudah berdenyut-denyut minta dimasuki. Ia usap terlebih dahulu, lalu ia cium dan jilat untuk membuat permukaan licin.
"Ah!" panas, pernapasan Aomine terganggu. Ia mengeluarkan penisnya dari kerangka yang sudah membengkak lebih besar dari Kagami, urat-urat kokoh jelas tercipta di sana. Tanpa meminta persetujuan ia langsung melesat masuk, kagami sukses terhujat pedang panjang.
"Akhhhh! Ah! Brengsek –ah, Ahomin –ah, sialan!" katanya sembari mendesah sakit. Aomine tak memberi kesempatan untuk Kagami rileks sama sekali, ia terus memaju mundurkan pinggangnya, menyodok Kagami tanpa ampun. Tangannya tak lupa mengocok penis Kagami yang terbebas.
"S-shit-ah! Fuck!" Kagami membalik diri sendiri, hingga berhadapan langsung dengan Aomine.
Sedangkan Aomine terkaget, tak percaya Kagami akan melakukan hal itu saat ia sedang menyodok analnya. Tapi cukup paham, Kagami memang suka tersakiti. Ia mengembangkan senyum, melihatkan barisan gigi-giginya.
Saat Aomine menunduk untuk menghajar lebih dalam. Punggungnya diraup oleh kedua tangan Kagami, dipeluknya erat. Makin keras, makin berutal, makin tak tertahan. Walau lantai sedingin dan sekeras beton mereka tetap merasakan bagaimana empuknya kasur.
"Baka…"
"Aho –ah! Ah!"
"Sebentar lagi."
" –ah, cepet! Ah! Gu-gue."
Aomine mempercepat hentakan dan sodokan. Kagami memelengkungkan tubuhnya, menggigit leher Aomine kuat dan mencakar punggung. "Ao –ah!"
Aomine memberi dua hentakkan lagi, dan keduanya sukses orgasme bersamaan. Melepaskan hasil cinta, lebih tepatnya hasil napsu. Aomine mengeluarkan penisnya, cairan putih kental keluar dari mulut liang anal Kagami. Ia jilat dan raup sebagian dan dibawanya ke mulut Kagami untuk berbagi.
Aomine berguling ke samping untuk berebah dari aktivitas yang menghabiskan energi. Mereka terengah-engah, menarik oksigen sebanyak-banyaknya.
Kagami berbalik dan menghadap Aomine. "Cariin cincinya, awas aja sampe hilang!" bentaknya diiringi dengan teriakan Aomine karena penisnya ditendang hebat oleh Kagami.
"BAKAGAMEEEEEEE! SAKIT SETAN!"
.
.
END
Weheheheh targetnya END itu waktu hari ulang tahun abang Aomine, tapi apalah ekspektasi hanyalah ekspektasi belaka tanpa tahu kenyataan/apasih.
Terima kasih banyak yang dukung perjalanan fanfiction AoKagazone sampe sejauh ini, sampe chap 20. Untuk yang udah rifiu, fav, follow, maupun silent. Pokoknya thanks udah mau baca hehehe.
Rate dan chap terakhir ini memang hadiah, baik hadiah untuk ulang tahun bang aho, hadiah untuk moment Aokaga, dan juga hadiah untuk kalian para reader. Mungkin lemonnya kurang, tapi ya itulah ya wkwkwkw.
Oke, segitu aja. Terima kasih banyak sangat.
SALAM AOKAGA
ZOKA