15/16

Prolog

Aku menunggumu, jika di masa ini kita tak akan bersatu, aku menunggumu di masa depan. Seribu tahunpun aku akan tetap setia menunggumu, jangan pernah meragukan perasaan cinta tulus ini, kupersembahkan hanya untukmu seorang.

DEAR LOVE: Boomiee92

BAB SATU

"Aku tidak butuh rumah tua itu." ucap Suho kepada seluruh anggota keluarga yang hadir. "Berikan saja pada Jongin, dia yang paling dekat dengan Kakek."

"Bisakah kita tidak membahas hal ini dulu? Pemakaman Kakek baru saja berlangsung beberapa jam yang lalu." ucap Jongin.

"Sayangnya ini harus dibahas sekarang Tuan Muda." Balas Lee Taemin sang pengacara keluarga. Jongin akhirnya diam dan memilih untuk menyimak rapat keluarga yang sedang berlangsung. "Semua warisan sudah dibagi kecuali rumah tua tempat tinggal Tuan Chanyeol di Jangho."

"Itu untuk Jongin." Tegas Suho.

"Aku terima." Balas Jongin dia tidak ingin mendengar pembahasan tak penting ini lebih lama lagi. "Sudah selesai kan? Saya bisa pergi." Jongin mengedarkan pandangannya menatap satu-persatu anggota keluarga yang hadir, mereka semua mengangguk setuju.

Jongin berdiri dari duduknya membungkukkan badan sebagai tanda hormat kemudian berjalan pelan meninggalkan ruang keluarga. Kepalanya sudah pening mendengar perdebatan tak penting itu. Ia berjalan perlahan menuju pintu kembar dari kayu mahoni.

Di luar ia melihat bayangan seseorang yang tak asing menunggunya, Jongin mempercepat kedua langkah kakinya menghampiri seseorang itu.

"Aku terlambat, maafkan aku Jongin."

"Tak apa, aku bisa mengerti jika Kris hyung sangat sibuk."

"Aku melewatkan upacara pemakamannya?" Jongin hanya melempar senyum simpul.

"Ya, dan sekarang semua orang sedang membahas pembagian warisan. Aku tidak tahan lagi berada di dalam jadi aku pergi."

"Aku bisa membayangkan betapa tak tahannya kau ada di dalam sana." Jongin tertawa pelan mendengar kalimat Kris. "Maaf!" Kris sedikit memekik karena ponsel di dalam saku jas hitamnya bergetar. "Aku angkat ini sebentar." Jongin mengangguk pelan.

Jongin memilih untuk memperhatikan semua potret kakeknya, senyum lebar beliau, senyuman yang ramah dan hangat, dan senyuman itu kini menghilang. Tidak, itu salah, senyum itu tersimpan dengan baik dalam ingatannya, selamanya hingga dirinya tak mampu mengingat lagi suatu hari nanti.

"Jongin." Panggilan Kris membuat Jongin memberikan seluruh perhatiannya pada sang kekasih. "Aku minta maaf, aku harus kembali ke kantor sekarang."

"Tentu, hati-hati di jalan. Aku mungkin akan tinggal di Jangho." Jongin berharap jika Kris akan menyetujui rencananya namun tatapan mata pria itu, membuatnya tahu apa yang ingin Kris katakan.

"Aku berharap kau tinggal di Seoul, Jangho membuat kita akan jarang bertemu."

"Seoul juga tak berbeda kita jarang sekali bertemu." Ucap Jongin mencoba menyindir sang kekasih.

"Saat ada waktu luang aku bisa mengajakmu untuk bertemu, makan siang, makan malam, atau mengunjungi suatu tempat. Semua itu akan mudah dilakukan jika kau tinggal di Seoul."

"Jika itu mudah seharusnya kau sudah melakukannya sejak beberapa tahun yang lalu."

"Jongin…," panggilan Kris terdengar mengintimidasi.

"Baiklah, aku tak akan mulai Kris hyung." Jongin mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Hati-hati dijalan."

Kris tersenyum kemudian meraih pinggang Jongin memeluknya dengan erat, mencium bibir Jongin sekilas dan mengecup kening Jongin. "Aku akan merindukanmu jika kau benar-benar tinggal di Jangho."

Jongin memutar tubuhnya kemudian mendongak melihat seluruh anggota keluarga berjalan menuruni anak tangga. Suho tersenyum lebar. "Kau mendapat rumah di Jangho adik manis, kau bisa berenang di laut sepuasmu dan menghitamkan kulitmu."

"Suho!" peringat tuan Kim. Suho dan Jongin memang tak memiliki hubungan yang cukup akrab itu karena Suho selalu menganggap jika kakek mereka hanya menyayangi Jongin seorang. Jongin memilih diam tak menanggapi kalimat sarkas Suho.

"Abaikan kakakmu Sayang." Bisik nyonya Park, Jongin mengangguk pelan. "Kau yakin tak ikut pulang?"

"Tidak Ibu, aku akan tinggal di sini."

"Baiklah, besok setelah pekerjaan Ibu selesai, Ibu akan datang ke sini bersama dengan ayahmu dan—Ibu juga akan mencoba membujuk Suho untuk datang."

"Ibu tak perlu memaksa Suho hyung, Ibu dan Ayah juga tak perlu memaksakan diri untuk datang." Balas Jongin kemudian diiringi dengan sebuah senyuman tulus.

"Jaga dirimu baik-baik, hubungi rumah jika terjadi sesuatu."

"Tak akan terjadi apa-apa Ibu. Ayolah Ibu sudah banyak pekerjaan yang menungguku." Suho menatap sinis ke arah Jongin.

"Pulanglah Bu." Bisik Jongin, nyonya Park tersenyum kemudian mengecup pipi kiri Jongin.

"Ayah pulang dulu." Kali ini giliran tuan Park yang berpamitan. Jongin mengangguk pelan dan mengikuti keluarganya serta anggota keluarga yang lain keluar dari rumah. Jongin berdiri di beranda melambaikan tangannya pada kedua orangtuanya serta paman dan bibinya. Memperhatikan semua mobil perlahan namun pasti, pergi meninggalkan halaman rumah berumput dengan dua pohon cherry1 milik sang kakek.

Jongin memperhatikan dua pohon cherry yang sedang berbunga, musim semi sedang berlangsung, aroma manis bunga cherry tercium dengan jelas di udara. "Kakek menyukai musim semi." Jongin menggumam seorang diri. "Kakek, apa Kakek memilih musim semi untuk pergi dari dunia ini?" Jongin mendongak menatap langit cerah yang menaunginya sekarang. "Seharusnya Kakek menemaniku lebih lama lagi—sudahlah, aku yakin sekarang Kakek pasti bahagia di sana."

Memutar tubuhnya dan melangkah pelan memasuki rumah. Jongin menutup pintu kembar Mahoni setelah dirinya berada di dalam. Kesunyian kini benar-benar terasa menekan, rasanya begitu nyata jika kakek yang paling dia sayangi sudah pergi dan tak akan pernah kembali lagi.

Jongin menaiki anak tangga dengan perlahan menuju lantai dua, ia ingin mengunjungi kamar tidur sang kakek. Sesampainya di depan pintu Jongin mendorong pintu kamar bercat putih, kamar dalam keadaan rapi, terlalu rapi, dan terlalu sepi. Perlahan Jongin melangkahkan kedua kakinya memasuki kamar, melepas jas hitam yang ia kenakan dan menggantungnya. Ia duduk di pinggir ranjang tempat tidur, seorang diri, mencoba memanggil semua kenangan.

Jongin menghampiri kakeknya yang sedang duduk mengamati taman kecil di belakang rumah. "Kakek!" Jongin memekik riang.

"Sayang, kemarilah." Ucap sang kakek penuh perhatian. Diiringi tawa khas anak kecilnya Jongin mempercepat langkah kakinya, ia tak sadar jika sebelah tali sepatunya terlepas. BRUG! Jongin kecil menginjak tali sepatu kemudian terjatuh dan terhempas keras ke atas tanah berumput.

Bibir Jongin mencebik bersiap mengeluarkan tangisan namun wajah ramah sang kakek yang mendekatinya serta mengangkat tubuhnya menghentikan tangisan itu. "Jongin harus kuat jangan menangis."

"Sakit." Keluh Jongin.

"Ini hanya luka kecil Sayang, besok sudah mengering dan hilang."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Jongin ingin mendengar cerita dari Kakek?"

"Bagaimana jika kita menyebutnya dengan dongeng."

"Dongeng yang Kakek buat sendiri?"

"Ya, mau mendengarnya?"

"Tentu."

Jongin menghapus air mata yang hampir mengalir keluar, mengingat kenangan tentang kakeknya ternyata tidak mudah. Ia alihkan perhatiannya pada rak buku, tempat buku-buku favorit kakeknya disimpan juga beberapa benda-benda koleksi. Jongin memutuskan untuk menghampiri rak buku itu, selama ini Jongin belum pernah mengamati dari dekat rak buku milik kakeknya.

Semua buku diatur dengan rapi sesuai abjad. Kebanyakan adalah buku-buku yang membahas tentang sejarah, baik sejarah Korea maupun sejarah belahan dunia lain. Ya, kakeknya, Park Chanyeol memang menyukai sejarah bahkan bisa disebut menggilai sejarah.

Kening Jongin berkerut melihat kotak kayu yang sering sekali kakeknya perhatikan, dan setiap memperhatikan kotak kayu itu entah mengapa kakeknya terlihat sedih. Jongin memutuskan untuk mengambil kotak kayu itu, meletakkannya ke atas lantai kemudian dia duduk bersila di atas lantai.

"Surat?" entah kepada siapa Jongin bertanya setelah membuka penutup kotak, ia melihat tumpukan amplop berwarna cokelat buram, masih dalam keadaan yang sangat baik. Di dalam kotak yang sama tepatnya di sebalah kanan, Jongin melihat tumpukan amplop lain yang terlihat lebih baik dan lebih baru.

Jongin mengambil dua amplop teratas, dari kiri dan kanan, amplop yang terlihat buram dan amplop yang terlihat baru. Ia buka amplop itu dan menarik perlahan kertas di dalamnya. Jongin tersenyum, rupanya amplop yang terlihat baru itu berisi salinan surat dari dalam amplop lama.

Jongin mengembalikan isi surat ke dalam amplop yang lama, dia mengambil tumpukan amplop baru, mengeluarkannya, dan meletakannya ke atas lantai kamar. Meski sudah disalin Jongin tetap mengeluarkan isi surat di dalam amplop dengan penuh kehatian-hatian. "Untuk siapa Kakek menulis surat-surat ini?" Sambil membuka lipatan kertas Jongin bertanya kepada dirinya sendiri atau entah kepada siapa.

Dear Love

Aku tidak tahu mengapa aku mengawali surat ini dengan bahasa asing, mungkin aku berharap jika surat ini akan sampai ditanganmu tepat waktu karena pengantar surat berpikir jika ini adalah surat dari tentara Amerika Serikat yang sangat darurat. Aku hanya ingin mengenang pertemuan pertama kita, saat itu aku tergabung dalam tentara pelajar, aku terluka dan kau merawatku. Sungguh itu semua terasa sangat jelas sekarang. Aku jatuh cinta padamu Baekhyun, dan aku tak menyangka kau juga membalas rasa cintaku. Aku berharap perdamaian segara terwujud kurasa seluruh manusia di dunia berharap kedamaian. Aku berusaha menulis surat untukmu setiap minggu dan mengirimkannya, jangan berpikir jika aku melupakanmu tolong maafkan para petugas pos. Negara dalam keadaan genting, surat cinta dari remaja sepertiku bukanlah prioritas utama. Maafkan mereka semua Baekhyun dan maafkan aku. Aku mencintaimu. Aku menggunakan nama Seoul karena itulah nama yang seharusnya dipakai bukan Keijo pemberian Jepang.

Seoul 5 Desember 1944

"Baekhyun." Gumam Jongin. "Kakek mencintai orang bernama Baekhyun, Kakek tak pernah bercerita padaku. Kurasa aku harus membaca surat yang lainnya." Jongin melipat dan memasukkan surat yang telah selesai dibaca ke dalam amplop dengan sangat berhati-hati.

Dear Love

Aku menulis ini saat mendapat giliran jaga malam. Sunyi sekali Baek, membuatku berpikir tentang Seoul di masa lalu saat bernama Hanyang juga saat kerajaan masih berdiri. Pasukan perang, dan raja, penaklukan-penaklukan. Tapi nyatanya Seoul di masa depan telah kalah oleh Jepang. Aku menunggu, semua orang menunggu, datangnya perlawanan, aku tidak pernah menyukai perang, tapi dalam sejarah telah jelas jika kita memiliki wilayah sendiri dan pihak Jepang adalah pihak yang melanggar. Kurasa perang pembebasan hanya tinggal menunggu waktu, Jepang melakukan banyak invasi ke berbagai Negara, kurasa mereka akan kewalahan mengawasi seluruh Negara yang mereka kuasai, ditambah lagi Jepang berada di pihak minoritas. Mereka bergabung dengan Jerman dan Italia, aku tak bisa membayangkan jika akhirnya blok barat dan blok timur turun tangan. Kurasa dalam perang, kawan bisa menjadi lawan begitu pula sebaliknya, disini semua sangat rapuh Baek, kuharap kau aman di Jangho. Kuharap para tentara tak datang kesana.

Seoul 28 Januari 1945

"Kenapa surat ini terdengar menyedihkan," gumam Jongin,berikutnya ia letakkan amplop surat itu ke atas lantai. Jongin langsung mengambil amplop surat yang tersisa. Membawanya ke ruang makan.

Dibawanya amplop berisi surat-surat itu dengan kedua tangannya, ia letakkan seluruh surat itu ke atas meja makan meninggalkannya di sana sementara dirinya mengambil biskuit dari dalam toples. Ia masukkan dua buah biskuit berukuran mungil ke dalam mulutnya kemudian membawa toples biskuit itu ke atas meja makan. Setelah semua persiapan untuk menunda lapar selesai, Jongin melanjutkan acaranya membaca surat masa lalu sang kakek.

Dear Love

Mungkin ini terdengar mengerikan tapi aku tahu kau sudah cukup terbiasa dengan kabar seperti ini. Untukku ini sesuatu yang mengerikan, bukannya menyedihkan. Kemarin aku bertugas untuk mengantar makanan ke Namsan, tidak jauh dari tempatku bertugas. Aku baru kembali menjelang malam, para Ibu menyalakan lentera untuk menerangi jalan kami, lalu ada beberapa rumah yang tidak menyalakan lentera karena mereka tak menemukan anak-anak mereka di antara rombongan, aku melihat ibu dan rumahku dari kejauhan. Aku melihat ayah dan ibuku baik-baik saja, aku ingin berlari dan memeluk mereka namun itu tak diizinkan sebab itu akan terlihat sangat tidak adil bagi para ibu yang kehilangan putra-putra mereka. Hari ini aku mengetahui satu hal baru, lentera yang tak dinyalakan adalah tanda berduka. Aku berharap yang terbaik untukmu, aku selalu mencintaimu Baekhyun.

Seoul, 23 Februari 1945

Jongin benar-benar terlarut pada untaian kata-kata indah yang kakeknya tuliskan. "Kakek sangat mencintai Baekhyun." Jongin terdiam mengamati sisa surat yang ada di atas meja makan. Berbagai pertanyaan langsung terbersit di kepalanya. Apa yang terjadi pada Baekhyun? Kenapa kakeknya tak bisa bersatu dengan Baekhyun? Apa Baekhyun tidak selamat dalam perang?

Tidak sabar Jongin memilih untuk mengambil surat yang berada pada tumpukan kedua dari bawah. Kakeknya mengatur surat itu sesuai tanggal penulisan jadi Jongin yakin surat di tumpukan terbawah adalah surat terakhir yang kakeknya tulis untuk Baekhyun.

Dear Love

Kabar ini datang sangat terlambat Baek, kurasa kau telah mendengarnya aku menunggu surat balasan darimu tapi surat itu tak datang. Jepang kalah perang, sesuatu yang mengerikan terjadi di Hiroshima dan Nagasaki. Seharusnya aku dan seluruh orang Korea merasa senang karena mereka tidak bersikap baik pada kita, tapi ternyata aku tak merasa senang. Membayangkan lebih banyak lagi manusia-manusia yang menderita akibat peperangan, aku sama sekali tak merasa bahagia. Baek kadang aku berpikir akan seperti apa jika kita bertemu di masa depan? Di masa depan yang penuh kedamaian dan kita bisa bertemu tanpa ada sesuatu yang mengancam tanpa ada pertanyaan apakah besok kita bisa melihat matahari terbit. Baekhyun aku merindukanmu, aku mencintaimu, dan aku selalu menunggu balasan suratmu.

Seoul 15 Agustus 1945

Jongin mengamati kertas surat ditangannya dengan seksama. "Apakah aku harus mencari Baekhyun? Di Jangho?" Jongin menggaruk pelipisnya kemudian ia raih ponselnya yang hampir seharian penuh terabaikan. "Kakek, meski Kakek tidak pernah mengungkapkan ini padaku, aku akan mencari Baekhyun. Jika Kakek setuju bantulah aku." Ucap Jongin, iapun mengetikkan nama Baekhyun pada layar mesin pencari.

Daftar teratas, nama Baekhyun tertera pada biodata Sehun, Oh Sehun. "Apa hubungan Sehun dengan Baekhyun?" cepat-cepat Jongin membuka biodata Oh Sehun, sang sutradara muda terkenal Korea. "Baekhyun, Haraboji2 Oh Sehun?!" Jongin merasakan detak jantungnya berubah cepat karena antusias. "Tapi belum bisa dipastikan aku tidak tahu wajah Baekhyun seperti apa. Baiklah, aku akan mencobanya." Jongin sudah membulatkan tekad untuk mencari sosok Baekhyun. Meski informasi tentang siap Baekhyun itu sangat sedikit.

Jongin menyimpan kembali surat itu ke dalam amplop, sekarang perutnya benar-benar lapar. Ia berdiri dari kursi melangkah menuju dapur membuka lemari pendingin, mengambil satu buah pisang, satu cup puding, juga sekotak sereal. Masa berduka, semua orang lupa belanja dan sekarang Jongin yang harus menanggung kelaparan karena hanya dirinya saja yang memutuskan untuk tinggal.

Setelah perutnya terasa cukup puas, Jongin bergegas membereskan meja makan. Membuang kulit pisang dan plastik cup puding ke dalam tempat sampah. Mencuci mangkuk dan sendok bekas sereal, ia keringkan kedua tangannya setelah acara mencuci selesai. Jongin menumpuk amplop surat-surat itu sesuai tumpukan semula, ia matikan seluruh lampu yang menerangi setiap ruangan sebelum naik ke lantai dua.

"Kurasa besok aku harus pergi ke kantor pusat rumah produksi keluarga Oh. Semoga besok berjalan lancar aku tidak memiliki janji, tidak mempunyai koneksi. Kakek bantu aku, aku benar-benar ingin menyampaikan surat-surat itu kepada Baekhyun. Kekasih Kakek di masa perang." Jongin bermonolog seorang diri dan entah mengapa sekarang dirinya tersenyum, kisah cinta kakeknya terdengar sangat manis namun tragis diwaktu bersamaan.

Ia kembalikan amplop surat-surat itu ke dalam kotak kayu milik sang kakek, mengangkat dan meletakkan kotak kayu penyimpanan ke dalam rak buku. Jongin menoleh memeriksa jam dinding. "Sebelas malam sudah cukup larut, sebaiknya aku melakukan ritual kamar mandi dan tidur." Ucap Jongin.

Samar-samar Jongin mencium aroma manis bunga cherry. Di halaman depan ada dua pohon cherry besar, aromanya pasti dari sana, namun Jongin ingin menganggapnya sebagai hal lain. "Kakek suka musim semi dan aroma bunga cherry, apa Baekhyun juga menyukai hal yang sama?" Aroma bunga cherry tercium semakin kuat. Jongin tertawa pelan. "Kuanggap itu sebagai jawaban iya. Baiklah, bantu aku mencari Baekhyun agar semua surat itu bisa dibaca Baekhyun."

Jongin menatap lekat-lekat frame foto sang kakek yang berada di atas meja nakas. Perlahan tangan kanannya terjulur untuk mengangkat frame mungil itu. "Aku harap Baekhyun masih bertahan, kuharap Baekhyun sempat membaca semua surat yang Kakek tulis."

I have died every day waiting for you

Darling, don't be afraid I have loved you….

Jongin tersentak karena tiba-tiba musik yang ia simpan di memori ponselnya berbunyi, padahal Jongin tak membuka aplikasi pemutar musik. Jongin hanya tersenyum dan mengikuti lagu Christina Perri berjudul A Thousand Years. "For a thousand years, I'll love you for a thousand more." Ia pandangi wajah sang kakek di dalam frame yang tersenyum bahagia seolah menatapnya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Kakek aku bukan anak kecil lagi, jangan menggodaku. Aku ke kamar mandi dulu lalu tidur, aku tahu Kakek akan kesal jika aku begadang, aku akan jarang begadang sekarang. Aku mencintaimu." Jongin mengecup permukaan frame foto ditangannya sebelum meletakkannya kembali ke atas nakas.

Jam beker tua diatas nakas berbunyi nyaring, karena besi pemukul di tengah dua besi setengah lingkaran berwarna merah tua, bergerak cepat memukul dua besi setengah lingkaran di kiri dan kanan besi pemukul mungil itu. Tidur nyenyak Jongin langsung berakhir, ia menggeliat pelan membuka kedua kelopak matanya yang jujur masih terasa sangat berat.

Pukul delapan pagi. Biasanya Jongin akan bangun saat jarum pendek sudah berada pada angka sepuluh, dan kakeknya dengan kesal akan memukul pantatnya keras. "Selamat pagi Kek." Ucap Jongin sambil memaksa tubuhnya untuk bergerak. Ia duduk di pinggir tempat tidur menunggu hingga kesadarannya benar-benar terkumpul.

Keningnya langsung berkerut dalam kala melihat kelopak-kelopak bunga cherry yang berada di atas lantai kayu kamar. Ia yakin sekali tadi malam jendela sudah tertutup dan terkunci. Jongin menoleh ke kanan ke arah jendela. Tirai tipis berwarna biru muda tertiup angin, Jongin tersenyum simpul iapun bangkit dan berjalan pelan mendekati jendela.

Aroma harum dan manis bunga cherry tercium sangat jelas kala Jongin berdiri di belakang kusen jendela. "Terimakasih sudah membangunkanku dengan cara yang menyenangkan Kakek." Menarik napas dalam-dalam kemudian dia menutup jendela kembali saat memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Hari ini ia berharap bisa bertemu dengan Oh Sehun. Jongin yakin jika kakeknya setuju dengan rencananya, entahlah ia hanya merasa sang kakek hadir untuk mendukungnya. Semenjak dirinya memutuskan untuk mencari Baekhyun.

Lima belas menit kemudianJongin sudah hampir siap, ia berdiri di depan cermin seukuran pria dewasa dengan frame kayu, mengamati penampilannya. Di hari biasa dirinya bukanlah orang yang mementingkan penampilan asalkan pakaian yang ia kenakan nyaman itu sudah cukup. Hari ini ceritanya berbeda, dia harus bertemu dengan orang asing dan meminta sesuatu yang mungkin terdengar sulit untuk dikabulkan, Jongin memikirkan kesan pertama yang baik. "Semoga hari ini berjalan lancar." Harapnya.

Kemeja putih dengan lengan sebatas siku berwarna hitam, ia padukan dengan jins hitam, sneakers hitam dengan bagian alas sepatu berwarna putih. Jongin merasa penampilannya cukup baik, ia sisir rambut kecoklatan tebalnya rapi ke belakang dengan bagian tengah yang sedikit berdiri. Rambutnya sudah cukup panjang dan nampak bergelombang. "Baiklah, semua sudah selesai mari kita lakukan sekarang Kakek."

Jongin memilih untuk pergi ke kantor pusat rumah produksi keluarga Oh di kawasan Gangnam menggunakan taksi, alasannya sederhana ia tak mau susah-susah mencari tempat parkir jika membawa kendaraan pribadi. Ada banyak pilihan menuju Pyeongchang-dong dari Gangnam atau sebaliknya.

Delapan belas menit dengan taksi, delapan belas menit dengan kendaraan pribadi, menggunakan bus bisa sampai satu jam jika waktu menunggu bus juga dihitung. Bus tetap menjadi pilihan utama, tentu saja karena perbedaan biaya yang harus dikeluarkan cukup banyak. Ah ada satu pilihan lain lagi, hemat dan sehat yaitu berjalan kaki.

Jongin pergi dengan taksi dia tidak pernah keberatan menggunakan bus hanya saja hari ini ia tak boleh melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan Sehun. Jongin harus datang sepagi mungkin. Lima belas menit ia sampai di Gangnam, dia menghemat waktu tiga menit karena jalanan yang cukup lengang hari ini. Setelah membayar taksi Jongin melangkah keluar.

Gangnam terlalu ramai, terlalu bising, dan semua orang selalu melempar tatapan penuh penghakiman. Salah berpakaian maka bersiaplah untuk menjadi pusat perhatian dalam artian yang tak baik. "Inikan alamatnya." Gumam Jongin sambil mencocokkan alamat yang tertulis pada papan nama di luar gedung, dengan alamat yang dia dapat dari internet.

Rumah produksi keluarga Oh bukanlah sebuah gedung pencakar langit melainkan bangunan yang lebih mirip rumah tempat tinggal bergaya minimalis dengan dua lantai. Jongin melangkah masuk melewati pintu kaca menuju meja resepsionis. "Selamat pagi ada yang bisa saya bantu Tuan?"

"Hmmm…, saya ingin bertemu dengan tuan Oh Sehun. Apa beliau ada?"

"Maaf, apa Anda sudah membuat janji dengan tuan Oh Sehun?"

"Belum."

"Apa Anda salah satu yang lolos audisi menjadi bintang film, drama, video musik, iklan?" Jongin menggeleng pelan sambil berusaha keras untuk tak tertawa. Ayolah, pertanyaan yang terlalu mendetail membuatnya geli.

"Ini urusan keluarga."

"Saya akan bertanya pada tuan Oh, tetapi maaf saya tidak bisa menjajikan Anda akan bertemu dengan tuan Oh."

"Tidak masalah." Balas Jongin sambil melempar senyum tipis.

"Silakan duduk Tuan." Jongin mengikuti arah petunjuk sang resepsionis cantik di hadapannya, ia melihat sofa ruang tunggu yang terlihat nyaman berwarna hitam berlapis beludru.

"Terimakasih banyak." Jongin menjawab sopan sebelum melangkahkan kedua kakinya menuju ruang tunggu.

TBC

1 Sebutan lain untuk bunga Sakura

2 Panggilan untuk Kakek