Hello, who's miss me? I'm back, btw. Just enjoy and hope you're like it

Skyscraper

by

AchernarEve

I own nothing, Rowling has

Summary: Tegas dan dingin adalah dua kata yang dapat menggambarkan Hermione Granger, wanita dengan karier cemerlang namun selalu terjebak dengan bayang-bayang masa lalu.

Chapter One

"Lagi?" tanya seorang pria yang hampir seluruh lengannya tertutupi tato saat aku menggoyangkan gelas yang sudah kosong beberapa saat yang lalu.

Ia menghampiriku dengan senyuman menggodanya. "Kau yakin?" ia kembali bertanya.

Aku mengangguk dengan ikut membalas senyumannya. "Ini hanya vodka dengan soda," jawabku. "Aku tak akan mabuk," tambahku lagi.

Bartender itu kembali mengisi gelas yang kosong tadi lalu kembali ke dalam pekerjaannya. Tangan demi tangan melambai sebagai tanda dari panggilan dari para pelanggan yang menginginkan minumannya. Aku hanya mengedik dan kembali menyesap minuman di hadapanku. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru bar and lounge yang tampak tak terlalu ramai hari ini. Meskipun di luar sana tak ada salju yang turun, tapi semua orang tahu bahwa malam ini adalah malam Natal. Dan semua orang pasti merayakannya bersama keluarga dan orang-orang terdekat mereka, terkecuali diriku dan tentunya beberapa orang yang duduk meja bar ini. Bahkan Las Vegas akan menjadi seketika hening saat Natal menyapa. Aku mendengus menyadari pikiranku lalu kembali menggoyangkan gelas untuk kembali memanggil bartender yang aku tahu sedari tadi berusaha menggodaku.

Saat gelas ke tujuh, kepalaku mulai sedikit pusing. Baiklah, aku berbohong saat mengatakan bahwa minuman ini tak akan membuatku mabuk. Mungkin aku akan sedikit mabuk.

"Boleh aku duduk di sampingmu?"

Tatapanku langsung mencari sumber suara yang ternyata berada tepat di sampingku. "Sure," hanya itu jawabanku.

"Kau sendiri di malam Natal seperti ini?" tanya pria itu lagi.

Aku mengangguk. "Begitupula denganmu," balasku yang disambut dengan semacam seringaian di wajahnya.

Kupaksa mataku untuk berakomodasi dengan maksimal demi menatap pria di sampingku ini. Tampan. Satu kata itu yang dapat mendeskripsikan dirinya dalam satu kata. Rambutnya yang kepirangan dan tertata rapih serta setelan busana yang aku yakin ia datang ke kota ini bukan untuk berlibur. Tak ada orang normal yang datang ke kota sejuta kesenangan ini dengan menggunakan setelan jas lengkap seperti dirinya. "Apa ada yang salah dengan diriku?" tanya pria asing ini.

Aku menggeleng. "Wajahmu sangat familiar."

Kembali seringaian di wajahnya terpulas. "Bila kau sering membaca majalah," jawabnya santai setelah menyesap minuman yang dipesannya.

"Kau pengusaha," ujarku yang lebih mirip pernyataan ketimbang dengan pertanyaan.

Dia hanya tersenyum. Kali ini ia tersenyum bukan menyeringai seperti yang ia lakukan sebelumnya. "Tebakan yang jitu."

Aku masih menatapnya dan aku sepenuhnya tahu bahwa ia sadar dengan tatapanku. "You're blushing."

"Karena aku sedang menatapmu."

Aku memang tak memiliki kekasih, tapi aku tahu betul cara menggoda lelaki. Kulirik jam yang melingkari pergelangan tanganku lalu bangkit karena aku harus mengejar penerbangan pagi untuk kembali ke New York. Kuambil mantel yang berada di sandaran kursi ini dan menggunakannya sambil merapihkan rokku yang sedikit kusut. "Kau pergi?"

Aku hanya mengangguk. Baru saja aku akan mengeluarkan beberapa lembar dollar dari dompetku, pria asing ini mengangkat tangannya. "My treat," ujarnya.

"Thank you."

Tanpa perlu berpamitan lagi padanya aku melenggang keluar dari klub ini menuju kamarku yang hanya berada beberapa lantai di atas. Pria itu ikut berdiri tepat di sampingku saat lift yang akan kutumpangi tiba. Aku masuk hampir berbarengan dengan dirinya. "Kau menginap disini?" tanyanya ketika secara perlahan lift ini merangkak ke atas yang kujawab dengan sebuah anggukan.

Aku memerhatikan napasnya mulai menderu saat ia terus menatapku dari sudut ruangan ini. Aku tahu apa yang ia inginkan dan dapat aku pastikan bahwa aku juga menginginkan hal yang sama dengan dirinya. Suara ding terdengar dari lift ini yang menandakan bahwa aku sudah sampai di lantai yang kuinginkan. Aku sedikit melihatnya dari balik bahuku dan tersenyum tipis. "Selamat malam."

Sebuah tangan langsung menahanku saat baru saja aku akan keluar dari lift itu. Ia menarik kemuadian mendorongku ke dinding lift ini. Seketika saja ia mengunci lift ini dan wajah kami hanya berjarak beberapa centi. Aku dapat merasakan hela demi hela napasnya yang menderu serta aroma tubuhnya yang terasa lebih memabukkan dari sekadar bergelas-gela vodka. "Who're you?"

Aku tersenyum padanya dengan napas yang menderu dengan terlalu cepat. "Stranger," jawabku cepat.

Ia masih diam untuk kemudian menyeringai dengan diriku yang terjebak di antara dirinya dengan dinding dingin lift dari hotel ini. "Malam baru saja dimulai," ujarnya yang langsung melumat bibirku.

Aku dapat merasakan bibirnya yang lembut dan seluruh aroma tubuhnya. Tangannya masih melingkari pinggangku saat secara perlahan ciumannya mulai turun ke leher dan tulang selangkaku. Panas bibirnya seakan dapat membakar secara perlahan tubuhku. Tak hanya tubuhku, tapi seluruh baju yang kukenakan. Kakiku melemas dan secara cepat ia mengetahuinya. Saat bibirnya telah berada di puncak dadaku yang sudah mulai menegang dan aku mulai mengerang ia sedikit melepaskannya dan menatapku sesaat. Bibirnya kembali naik untuk menciumi telingaku. "Aku tahu apa yang kau lakukan di bar tadi dan kau berhasil," ujarnya yang seperti berbisik di telingaku lalu menggigitnya lembut dengan tangan yang terus berusaha menyibak rokku.

"Kau tidur di kamar nomor berapa?"

"1096," ujarku yang terengah-engah.

Dia kembali melumat bibirku dan melepaskan tombol lock di lift. "Lingkarkan kedua kakimu di pinggangku."

Dengan cepat aku menurutinya dan dengan sangat mudahnya ia menggendongku dengan satu kali angkat. Bibirnya tak pernah lepas dari tubuhku sampai akhirnya kami sampai di depan kamarku. Ia merogoh keycard dari mantel yang sudah mulai terlepas dari tubuhku. "Aku suka sekali harum tubuhmu," ucapnya saat mendorongku ke ranjang king size kamar ini.

Aku tersenyum sekilas dan menarik dasi biru metalik yang masih ia kenakan. Kucium bibirnya sesaat. "Kau akan lebih menyukainya saat tak ada lagi helaian baju yang menutupinya dan kau dapat merasakannya sendiri."

"You're a naughty girl."

"And you like it, huh?"

"Oh God, who're you, woman?"

Aku tertawa karena ia sangat ingin namaku. "I'm stranger."

Tanpa perlu berbasa-basi lagi dia berhasil melepaskan seluruh pakaian yang menempel di tubuhku. Bibirnya secara perlahan namun pasti menelusuri tubuhku. Dan ketika dia berada di bagian bawah tubuh tersensitifku, aku mengerang. Aku dapat merasakan cara kerja lidahnya yang terlalu profesional dan membuatku seakan terbang dan melayang dari ranjang ini. "Oh please," pintaku.

Aku tahu ia menyeringai saat mendengar permintaanku. Aku dapat merasakan ranjang ini semakin berderak saat ia merangkak ke arahku. "Please what?" tanyanya dengan nada seduktif.

Dada bidangnya yang sekarang berada tepat di wajahku langsung membuyarkan seluruh akal sehatku. Kuletakkan tanganku disana saat perlahan tangannya kembali turun untuk menggodaku. "Please," pintaku sekali lagi.

Dia merunduk dan menciumi telingaku. "Please what?" untuk kedua kalinya ia menanyakan hal yang sama.

"Fuck me. Please fuck me."

Pria yang aku bahkan tak tahu namanya ini bangkit dengan satu gerakan cepat ia bangkit dan melepaskan celananya dan aku menahan napas saat memandangnya. "See what you like?"

"Just hurry," ujarku tak sabar.

Dan aku mendengar ia merobek alumunium foil dan memasangkan isinya ke bagian tubuhnya. Dengan satu gerakan ia memasukiku dan dengan satu gerakan refleks pula aku mencengkram rambutnya. "Eehm," aku mulai melenguh.

Ia mulai mempercepat gerakannya setelah menarik tubuhku dan meletakkan satu kakiku di pundaknya. "Come," ujarnya seakan memerintah kepadaku.

Dengan satu hentakan dari dirinya, kami mencapai puncaknya dan ia kembali merangkak ke arahku sambil menyeringai. Dia merunduk dan kembali mengecupku. "Lets's do this again."

000

Ruang meeting ini benar-benar hening, tanpa sedikitpun suara meskipun aku tahu bahwa pria di depanku ini tengah berusaha mengatur napasnya semaksimal mungkin. Aku masih menatap salah satu Sales Manager yang mengacau dengan pekerjaannya. "Ada yang masih ingin kau katakan?" tanyaku untuk menyudahi keheningan ini.

Ia perlahan menatapku, lalu menyesap air mineral di hadapannya. "Aku tak bersalah dalam hal ini."

Aku mengangguk perlahan. "Maksudmu kau tak bersalah setelah hotel kita kehilangan reservasi 100 kamar dalam waktu dua hari setelah kau membloknya dua bulan?" tanyanyaku tenang kepadanya.

"Tapi mereka meminta hal yang tidak masuk akal, Miss Granger."

"Buat menjadi masuk akal."

"Tapi dia meminta harga yang tak masuk akal untuk ukuran hotel kita."

Aku mengerutkan sebelah alisku dan masih menatapnya tenang. "Dan kau sama sekali tak mencariku untuk mengonsultasikan hal ini?"

Ia terdiam sesaat setelah mendengar jawabanku. Pria yang kukenal bernama Jhon ini langsung melonggarkan dasi yang sepertinya secara perlahan dapat mencekiknya hidup-hidup. "Apakah kau mempunyai ide untuk mengembalikan penjualan kita seperti semula?"

"Miss Granger," ia berusaha untuk menjawabku.

Aku mengangkat tangan untuk membuatnya menutup mulutnya. "Siapa yang bertanggung jawab dengan proyek ini sejak awal?"

Ia menghela napas. "Aku," jawabnya.

"Lalu siapa yang mengacaukannya di menit-menit terakhir

Untuk kesekian kalinya ia menghela napas. "Jhon Brown, ini kali kedua kau mengacaukan penjualan hotel. Kredibilitasmu sebagai sales manager-ku sudah sangat kupertanyakan."

Ia tak menjawab dan tak juga memandangku. "One more mistake, you're done."

Tatapannya langsung menuju ke arahku. "Kau mengerti? Kau bisa keluar sekarang."

Tanpa sepatah katapun lagi ia mengangguk kepadaku dan keluar dari ruangan ini. Aku tak pernah habis pikir dengan otak-otak dungu semacam Jhon Brown yang dengan mudahnya membatalkan kontrak dengan salah satu instansi pemerintah yang akan menginap di hotel ini hanya karena permintaan akan kolam renang yang diisi dengan air panas. Aku tahu memang hal itu adalah permintaan yang tidak masuk akal melihat lokasi kolam renang hotel kami yang berada di luar ruangan dan hotel ini sudah memiliki whirpool yang dapat mereka gunakan kapanpun yang mereka inginkan. Tetapi, bukan berarti si dungu itu dapat membatalkan seluruh kontrak yang bernilai jutaan dollar. Dan yang membuat hal ini menjadi sangat membuatku geram adalah ia sama sekali tak berkonsultasi dengan diriku, atasannya.

Kuhela napasku sedalam mungkin untuk menetralisir kebodohan manusia itu dan membalikan kursi ku sehingga kini aku duduk dengan pemandangan lanskap kota New York yang tengah diguyur hujan deras sedari pagi tadi. Aku tak pernah menyukai hujan. Karena menurutku hujan hanya membahwa kesedihan, kesengsaraan, dan semua kata negativ yang berada di muka bumi ini. Belum lagi, kemacetan yang tak henti-hentinya melanda kota ini setiap hujan membuatku semakin muak dengan fenomena alam ini. Tanpa sengaja aku memegang pergelangan tanganku dan untuk kesekian kalinya aku sadar bahwa ada sesuatu yang hilang darisana. Gelang perakku. Satu-satunya peninggalan ibuku yang tersisa kini berada entah di tangan siapa. Satu hal yang kuyakini adalah gelang itu pasti tertinggal di malam terakhir saat aku di Las Vegas. Saat aku menghubungi petugas concierge hotel itu mereka mengatakan bahwa tak ada yang tertinggal disana. Pikiranku langsung jatuh pada pria asing yang kutiduri saat itu. Mungkinkah sekarang gelang itu berada bersamanya? Bukan harganya yang kupermasalahkan, namun kenangannya. Kuhela napasku untuk kesekian kalinya dan kembali mengingat pagi dimana aku meninggalkan pria yang bahkan aku tak tahu namanya itu. Alarmku berbunyi tepat di waktu yang aku inginkan dan aku berusaha merangsek keluar dari tumpukan selimut dan tangannya yang melingkar di pingganngku. Aku hanya duduk sesaat dan mengangumi ketampanannya lalu bangkit mandi untuk membersihkan diri. Saat aku sedang mengenakan parfum, pria asing itu bangkit dan berusaha membuka matanya. "Kau pergi?" tanyanya dengan suara yang parau.

"Aku harus mengejar pesawat," jawabku sambil kembali merapihkan tas dan koper di sudut ruangan ini.

Jujur saja, dadanya yang tanpa sehelai kain dan terlihat sangat bidang itu membuatku sangat jauh dari kata berkonsentrasi. Kehadirannya terlalu mengacaukan pikiran dan seakan tak dapat kutolak. Aku ingin sekali kembali menerjangnya dan mengubur diri bersamanya. "Kau akan meninggalkanku seperti ini?" tanyanya lagi.

"Tentu. Kau bisa menggunakan semua fasilitas di kamar ini dan pergi setelahnya," jawabku santai.

Dia tersenyum tipis padaku. "Kau pandai menghancurkan hati pria."

Aku hanya tertawa untuk menanggapinya lalu dengan sigap menarik koperku keluar dari kamar ini. "Tunggu."

Kutatap kembali dirinya menunggu ia untuk mengutarakan maksudnya. "Siapa namamu?"

Aku tersenyum kali ini dan menggeleng. "I'm stranger," jawabku yang kesekian kalinya.

"Goodbye," tambahku lagi.

Saat sudah berada di kabin pesawat barulah aku menyadari bahwa gelang itu telah menghilang dari pergelanganku. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Suara intercom membuatku kembali ke kantor ini. "Miss Granger, kita harus mengunjungi restaurant sekarang."

"Okay.

Setelah menjawab intercom tersebut aku mengambil blazer yang tergantug di sudut ruangan dan keluar dari ruanganku. "Apa jadwalku siang ini?" tanyaku pada Nikki yang sudah berada di sampingku sesaat setelah aku keluar.

"Kau akan bertemu Chef Luca untuk keputusan final hidangan makan malam delegasi dari Spanyol, setelah itu kau akan rapat dengan para manager dari House Keeping Department dan terakhir kau akan bertemu dengan CEO hotel kita yang baru," ujar Nikki sambil terus beriringan bersamaku menuju restaurant yang terletak di lantai dasar hotel ini.

Aku membaca jadwalku yang kemudian diberikan oleh asistenku untuk lebih kupahami. "CEO baru? Proses akuisisi berjalan dengan sangat lancar," komentarku.

Nikki mengangguk. "Benar sekali. Belum secara resmi memang, tapi CEO baru kita akan mulai berkantor disini esok hari."

"Lalu apa yang akan ia lakukan hari ini?"

"Aku rasa hanya memantau," jawab Nikki.

Aku hanya mengangguk. Aku tahu isu akuisisi ini setelah kembali dari Las Vegas satu bulan yang lalu. Seluruh direktur sudah sibuk dengan hal ini, tak terkecuali dengan diriku. Tetapi, aku tak mau terlalu terikut dalam masalah ini. Siapapun pemimpin dari hotel ini selama ini tak ikut campur serta mempertanyakan pekerjaanku tak akan pernah menjadi masalah. Bila yang terjadi adalah hal yang sebaliknya, dengan senang hati aku akan hengkang dari hotel ini.

"Selamat siang, Miss Granger," sapa seorang pelayan saat aku memasuki restaurant.

Aku hanya mengangguk. "Dimana Chef Luca?"

"Sudah menunggumu di dapur," jawabnya cepat dan langsung membawa aku dan Nikki ke dalam dapaur restaurant ini.

Harum makanan yang seperti perpaduan rempah, keju, serta hidangan laut seketika menyeruak di penciumanku dan membuat perutku seolah-oleh berdemo karenanya. Dari tempatku berada terlihat Luca Dimarco berdiri di salah satu pantri dengan pan di tangannya. Saat tatapan kami bertemu ia terseyum dan berbisik ke salah satu kokinya dan menyerahkan pan itu kepadanya. "Selamat siang, Ma'am."

Aku tertawa. "Siap untuk mencicipi masakanku."

"Dengan senang hati," jawabku yang kemudian mengekori dirinya ke pantri yang lain.

Ada beberapa piring yang berisikan makanan pembuka, utama, serta penutup. "Setelah beberapa kali berdiskusi denganmu, aku rasa kombinasi makanan ini akan cocok dengan selera tamumu nanti."

"Tamu hotel kita," koreksiku padanya dan langsung menyuap potongan ayam yang menjadi hidangan utama itu ke mulutku.

Dia tertawa dan hanya melakukan gestur untuk mengunci mulutnya, sementara itu aku diam dan terus mencicipi satu per satu hidangan itu. "Aku mau hidangan ini untuk makan malam para delegasi itu."

"Aku jenius," kekeh Luca padaku

Aku menatapnya tak percaya. "Ya, kau sangat jenius. Jangan ada perubahan rasa sedikitpun. Katakan pada kokimu untuk tak mengacau."

Dia mengangguk. "My kitchen, my rules. Kau hanya butuh percaya padaku, Hermione."

Aku mengangguk. "Kau mau mencicipi wine yang telah kupilih untuk melengkapi hidangan ini?"

Kukedikan bahuku "Tentu."

Luca langsung membuka apronnya dan meletakkannya di salah satu meja pantry di dapur super besar ini. Aku sedikit mendengar bahwa ia mengatakan bahwa akan ke gudang wine bersamaku sebentar yang disambut dengan anggukan oleh kokinya. "Shall we, Miss Granger?"

Aku selalu tertawa melihat gesture tubuh dari pria ini. "Sure. Lead the way, please."

Kami berada di gudang wine hotel ini yang merupakan bagian dari restaurant dimana Luca Dimarco adalah head chef-nya. Ada beratus-ratus botol wine dari seluruh penjuru negeri dengan beragam umur yang memenuhi gudang ini. Luca mulai memilih satu dari rentetan botol di hadapannya lalu menuangkannya di gelasku setelah membuka penutupnya terlebih dahulu. "Barolo?" tanyaku saat ia menuangkannya ke dalam gelasku.

Ia mengangguk. "Aku rasa sangat cocok jika dipadukan dengan hidanganku tadi," jawabnya santai lalu menggoyang gelasnya dan menyesapnya perlahan.

Kuikuti caranya dan sensasinya benar-benar terasa. Sisa rasa hidangan tadi terasa bercampur menjadi satu di mulutku dan mengahasilkan sensasi yang begitu mengagumkan. "Kau menyukainya?" tanya Luca yang sebenarnya sudah sangat mengetahui apa yang akan menjadi jawabanku padanya.

Aku mengangguk-angguk dan kembali menyesap wine yang dipilihkannya ini. "Aku jenius, huh?" ia masih berusaha untuk membuatku memujinya.

"Kau sangat jenius," dan kami tertartawa.

Ia kembali menyesap sisa wine di gelasnya begitupula dengan diriku. Luca DiMarco adalah pria keturunan Itali yang telah lama menetap di New York dan dengan sangat kebetulan merupakan seniorku di kampus semasa kami berkuliah dulu. Ia berada di jurusan kuliner sementara aku mengambil hospitality management. Ia terkejut saat mendapati juniornya kini sudah menjadi General Manager di hotel dimana ia bekerja dan sejak saat itu kami sering bertemu hanya untuk sekadar mengobrol.

"Jadi hotel kita sudah berganti pemimpin?" tanya Luca yang sudah kembali menyusun wine-wine yang tadi ia keluarakan.

"Dan aku akan bertemu dengan CEO baru kita sore ini," balasku yang hanya bersandar memperhatikan kegiatan pria berambut hitam legam di hadapanku ini.

Luca menatapku. "Lalu dia akan mengganti nama hotel kita?"

Aku langsung menggeleng mendengar pertanyaannya. "Tetap The Regency namun dengan tambahan managed by Malfoy Group di bawahnya."

"Mereka tak akan semudah itu mengganti nama hotel yang sudah terkenal di hampir seantero dunia ini," tambahku lagi.

Kami tertawa sesaat sebelum aku memutuskan untuk mengundurkan diri saat Nikki menginterupsi obrolan ringan kami dengan jadwalku selanjutnya. Luca merupakan salah satu rekan kerja yang dapat berbincang dengan mudahnya denganku, bahkan aku jarang melakukan hal ini dengan Nikki. Hampir seluruh rekan kerjaku menyegani keberadaanku. Sikapku yang tak terbuka dan dingin mungkin menjadi beberapa faktornya. Namun percayalah aku sama sekali tak terganggu dengan hal itu. menurutku berada di kerumunan banyak orang dan harus mengobrol hanya untuk sekadar basa-basi bukan termasuk cara hidupku.

"Mereka sudah menunggu kita?" tanyaku pada Nikki yang tengah memperhatikan iPhone-nya di sampingku sambil terus berusaha mengimbangi langkahku.

Dia masih belum menjawab sampai akhirnya ia menghentikan langkahnya. "Hermione, ada sedikit perubahan."

Aku menatapnya tak suka dan ia tahu akan hal itu. "Apa maksudmu?"

"Pertemuan dengan CEO baru kita dimajukan menjadi sepuluh menit lagi," ucapnya langsung sambil memperhatikan perubahan raut wajahku.

Aku masih menatapnya tak percaya. Bagaimana mungkin jadwalku dapat berubah hanya dalam hitungan menit. "Kau salah membaca jadwalku?" tanyaku padanya yang disambut dengan helaan napas dari dirinya.

Ia menggeleng. "Aku baru saja diberitahukan oleh sekretaris direksi bahwa CEO baru itu mempercepat kedatangannya dan kau serta seluruh jajaran direksi diminta untuk menemuinya sekarang juga."

Kali ini aku yang menghela napas. "Lantai berapa?" tanyaku kembali berjalan menuju .

000

Sudah ada beberapa direktur dari berbagai divisi di hotel ini yang telah menduduki posisinya masing-masing dan langsung saja aku menduduki kursi yang telah disediakan untukku. Kami hanya saling mengangguk sopan dan aku sesekali berbalik sapa saat salah satu dari mereka menyapa namaku. Tepat sepuluh menit setelah Nikki memberitahukan bahwa rapat ini dimajukan sosok yang tengah ditunggu oleh seluruh jajaran direksi The Regency memunculkan dirinya.

Napasku seakan tercekat mendapati sosok yang baru saja melangkahkan kakinya ke dalam ruangan ini. Dengan dua orang yang mendampinginya ia berjalan kemudian sedikit tersenyum pada kelompok ini. Aku masih tak lepas memandangnya. Memandangnya dengan tatapan yang sangat tak percaya. Aku masih berpikir bahwa ini adalah halusinasi, tapi suara pria itu saat menyapa kami semualah yang meyakinkan aku bahwa ia nyata. Sejak pertama kali melihatnya malam Natal lalu di Vegas aku tahu betul bahwa ia seorang pengusaha, tapi aku tak tahu bahwa ia adalah calon pemimpin baru hotel ini.

Saat matanya bertemu pandang denganku, bukan terkejutan yang menghiasinya melainkan seringaian yang malam itu ia tunjukan padaku. Ia tahu aku bekerja disini.

"Ladies and gentlemen, meet our new CEO . Mister Draco Malfoy."

Ia hanya mengangguk pada kami dengan tatapan yang tak lepas memandangku. Kuhela napasku perlahan, namun kegelisahan ini tetap terbaca oleh Carl, pria berusia 50 tahunan di sampingku yang menjabat sebagai Director of Sales hotel ini. "Kau baik-baik saja, Miss Granger?"

Aku berusaha untuk memulaskan senyum di wajah untuk kemudian mengangguk. "Aku baik-baik saja."

Ketika pertemuan ini mencapai penghujungnya aku bergegas membereskan notes kecil dan iPhone yang selalu menemaniku di setiap meeting yang kuhadiri. Para kolegaku mulai beramah tamah dengan saling mengangguk dan berjabat tangan satu sama lain, sementara aku sudah tak sabar ingin segera keluar dari ruangan ini dan menghilang secepat mungkin dari hadapannya. Setiap tatapan kami bertemu, adegan-adegan erotik yang terjadi di Vegas sebulan yang lalu itu seperti kembali terputar dan itu teramat sangat menyiksaku. Napasku seakan tercekat saat Draco Malfoy berada tepat di hadapanku. Dengan sekuat tenaga aku melemparkan senyum kepadanya untuk selanjutnya mengambil langkah seribu untuk menghilang dari hadapannya. Ia mengangguk untuk menanggapiku dan kembali sibuk berbincang dengan para director.

Sisa hariku dihabiskan untuk meeting sesuai jadwal dan memeriksa beberapa laporan yang kuminta dari berbagai department. Tepat pukul 5 aku langsung mengambil mantel dan tasku untuk langsung turun ke basement dimana aku menyimpan mobilku setiap harinya di hotel ini. Rasanya aku ingin secepatnya pulang untuk menetralisir wajah CEO baru hotel ini dari kepalaku. Lelucon macam apa ini? Bagaimana mungkin aku bekerja dengan pria yang kutiduri tak lama ini?

"Kau mau pulang?"

Tubuhku membeku saat mendengar suara itu. Remote control mobilku kini menjadi terasa amat berat di tanganku sehingga aku hampir saja menjatuhkannya. Aku membalikan tubuhku untuk memastikan sosok yang memanggilku tadi. Pria itu tersenyum atau lebih tepatnya menyeringai. Aku tak mampu berkata-kata. Ia masih berdiri di tempatnya dan seringaian itu masih berada di wajahnya. "Hello, stranger."

000

to be continued

Should I continued this? Let me hear your thoughts. Thank You