[Where. The freakin. Hell. Are you.]

Kyung Soo meringis mendengar nada penuh racun Huang Zitao sedetik setelah ia mengangkat panggilan internasional lelaki tersebut. Zitao adalah sosok periang dan ramah, sedikit manja dan cengeng. Mereka semua selalu memanggil Zitao dengan sebutan Little Panda namun ia berubah menyeramkan ketika marah.

"He-hello, Zi. I'm sorry–"

[You left.] Zitao memotong cepat. [You fuckin' left without saying anything to anyone. What's your problem?]

Kyung Soo mendesah. Membujuk Zitao jauh lebih susah ketimbang menyuruh dua adiknya yang tak pernah berhenti bertengkar untuk berhenti bertengkar.

"Listen, pihak rumah sakit menghubungiku–"

[Bullshit. Aku tahu kau sudah mengurus izin ke rumah sakit dan universitas selama sepuluh hari.]

Kyung Soo kembali menghela napas. "Baiklah, aku minta maaf karena tidak pamit pada siapapun. Satu-satunya hal yang ada di kepalaku adalah bagaimana cara aku bisa sampai di Korea secepatnya."

[Karena Chan Yeol?]

Kyung Soo tak langsung menjawab, menimbang alasan macam apa yang mungkin bisa diterima oleh Zitao namun pada akhirnya memutuskan untuk jujur.

"Yeah. Karena dia." Kini giliran Zitao yang menghela napas. "I'm sorry Zi, but I can't–"

[Aku mengerti, Soo. Pasti bukan hal yang mudah bagimu untuk– yeah, you know.]

It never was. Kyung Soo mengaminkan dalam hati.

[Aku hanya kesal karena rencanaku batal. Padahal aku ingin membawamu melihat Paris dari puncak Arc de Triomphe.]

Dalam sekejap nada kekanakan Zitao kembali dan Kyung Soo akhirnya bisa bernapas lega mengetahui sahabatnya sudah tidak marah lagi padanya. Ia tersenyum membayangkan wajah merengut Zitao.

"Tidak apa-apa. Kau bawa saja Luhan-hyung dan yang lain."

[Tidak. Rencananya s ekarang benar-benar batal. Luhan-hyung ingin cepat-cepat pulang untuk mengurus pernikahannya dengan Sehun. Kris-ge dan Joonie-hyung katanya tidak mau diganggu, jadi yeah, rencananya batal.]

Beberapa menit setelahnya Kyung Soo membiarkan Zitao menceritakan hal-hal yang terjadi di Paris sejak kepulangannya. Ada satu pertanyaan yang terus berputar-putar di kepalanya, pertanyaan yang melibatkan tentang seseorang namun tidak dikeluarkannya.

[Soo, kau masih disana?]

"A-ah, yeah, aku mendengar. Selanjutnya apa yang terjadi?"

[Setelah itu mereka…]

Unbreakable Vow

© Nightingale

All the vacancy the words revealed is the only real thing that I've got left to feel

Just stuck, hollow and alone

And the fault is my own, and the fault is my own

(Somewhere I belong – LP)

"Kris-ssi?"

Yifan menghela napas lelah seraya mengangguk. "Mana dia?"

"Dia terus memanggil seseorang dan menarik perhatian banyak orang jadi kami membawanya ke belakang. Dari penampilannya dia sepertinya bukan orang biasa jadi manager melarang security mengusirnya."

Yifan mendengarkan dengan seksama penjelasan bartender di depannya dan kembali menghela napas lelah. Ia sedang dalam perjalanan menuju basement kantornya ketika mendapat telepon dari nomor asing dan juga suara asing menanyakan apakah dirinya mengenal pemilik nomor tersebut, dan disinilah Yifan sekarang, di bar yang sudah menjadi langganannya sejak ia kembali ke Korea beberapa tahun silam.

Ia mengikuti si bartender menuju ruang belakang bar, memasuki ruangan yang dipenuhi loker di salah satu dinding. Berhadapan dengan loker, sebuah sofa kulit berwarna gelap menempel di dinding yang satunya, dan seseorang sedang terbaring dengan posisi meringkuk disana.

Yifan melalui hari yang sempurna. Ia mengingat dirinya memandangi Joon Myeon yang sibuk membuat sarapan hanya mengenakan boxer pendek dan kaos sleeveless longgar, menampilkan kulitnya yang pucat dan terlihat begitu angelic. Sejam yang lalu Yifan berharap bisa segera pulang ke apartemen Joon Myeon dan kembali duduk di meja memandangi kekasihnya menghangatkan makan malam yang sudah dibuat untuknya.

Tapi sepertinya Joon Myeon harus menunggu sedikit lebih lama.

"Oi, Chan Yeol, bangun." Yifan menyundul lutut Chan Yeol menggunakan ujung sepatunya seenaknya. "Cepat bangun, kuantar kau pulang."

Chan Yeol membuka matanya lalu menatap Yifan dengan pandangan kosong. Ia lalu berkedip. Kedip. Kedip. Kedip. Ke–

"KRIS-HYUNG! I miss you!"

Chan Yeol secara literal melompat ke arahnya, mengaitkan kedua kaki panjangnya ke pinggang Yifan dan memeluk lehernya seperti bayi koala. Yifan yang sama sekali tidak memperkirakan tindakan Chan Yeol terhuyung ke belakang namun berhasil mempertahankan posisinya.

"Brengsek. Lepaskan aku, Chan Yeol."

Yifan merasa dirinya berada di ambang kematian jika Chan Yeol terus mencekiknya seperti ini.

"Kris-hyuuuuuuung. Jangan marah lagi." Igau Chan Yeol seraya menggesekkan pipinya ke milik yang lebih tua.

"Chan- ukh, aku tidak bisa ber- ugh, fuck."

Yifan sepenuhnya lupa. Park Chan Yeol yang sedang mabuk merupakan mimpi buruk. Ia berusaha membawa yang lebih muda keluar dari bar dengan Chan Yeol yang terus menempel padanya. Yifan menghela napas lelah sekaligus mengumpat begitu ia berhasil mendudukkan Chan Yeol di sebelah kursi kemudi.

"Ah, aku terlalu tua untuk hal seperti ini." Yifan berujar pada dirinya sendiri seraya meluruskan tubuhnya. Ia juga meregangkan sendi lehernya hingga berbunyi kretak yang menyedihkan.

Sementara itu Chan Yeol tampaknya kembali tak sadarkan diri. Ia terlihat nyaman bersandar ke jendela mobil, sama sekali tidak menyadari keputusan bodohnya untuk minum-minum sendirian telah menciptakan cacat besar pada hari seseorang yang nyaris sempurna.

Lelaki jangkung itu kemudian masuk ke mobilnya. Matanya menusuk tajam ke arah Chan Yeol yang terlelap dengan wajah damai. Yifan hampir saja melempar yang lebih muda keluar dari mobilnya dan bermasa bodoh, kembali pada rencana awalnya menikmati late dinner dengan malaikatnya. Namun panggilan lirih yang datang dari Chan Yeol membuat Yifan langsung membuang jauh-jauh gagasan nistanya barusan.

"Kyung Soo…"

Yang lebih tua kembali menghela napas tapi kali ini untuk alasan yang sepenuhnya berbeda. Wajah gusarnya melunak dan berganti dengan sorot prihatin bercampur sedih. Ketika putus dengan Joon Myeon dulu Yifan merasa hidupnya seolah kehilangan warna. Kadang pula ia merasa begitu konyol karena mencintai satu orang begitu payah hingga berada pada titik tidak bisa berpaling pada hati yang lain.

Apa yang Yifan katakan di malam pertunangan Zitao memang benar. Tidak semua cinta bisa memudar seiring berjalannya waktu, begitu pula dengan luka. Mungkin dirinya dan Chan Yeol termasuk orang-orang seperti itu, yang hanya bisa mencintai dan terluka oleh orang yang sama dalam hidup mereka.

Mungkin itulah alasan Yifan tidak pernah sepenuhnya menyalahkan Chan Yeol, karena sebanyak apapun kesedihan yang Kyung Soo pendam selama ini, lelaki di sampingnya pun merasakan hal yang sama. Yifan benar-benar berharap Chan Yeol dan Kyung Soo suatu saat nanti bisa kembali bersama, karena kemungkinan untuk keduanya jatuh cinta pada orang lain terlihat begitu tipis. Ia berhasil melalui masa-masa suramnya dan akhirnya mendapatkan pusat tawanya lagi, semoga saja mereka berdua pun bisa menemukan jalan tersebut.

Tak lama lagi.

Ode to a Nightingale

Chan Yeol bangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalanya.

Cahaya matahari yang menelusup dari celah gorden terasa terlalu terang. Tangannya terulur mencari sesuatu untuk menutupi wajahnya. Bantal itu hanya bertahan sesaat karena seseorang langsung menyingkirkannya, beserta selimut yang membungkus batang tubuhnya.

Sebuah erangan keluar dari dasar tenggorokan Chan Yeol.

"Kalau kau sudah bangun segera bersihkan dirimu. Aromamu seperti tikus mati."

Chan Yeol membuka sebelah matanya dan bertemu pandang dengan Yifan dalam balutan bathrobe dan sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

"Kris-hyung?"

"Ya, ini aku. Dan kau berada di apartemenku. Pergilah mandi setelah itu kita turun mencari sarapan." Yifan kemudian melangkah ke arah lemari besar di salah satu dinding, membuka kedua daun pintunya lebar-lebar, dan mengeluarkan beberapa lembar pakaian. "Kau bisa memakai pakaianku. Ukuran kita sama jadi itu bukan masalah. Kau juga pakai mantelku saja."

Chan Yeol mendengarkan ocehan Yifan dengan mata yang masih tertutup sebelah. Ia bahkan tidak menangkap setengah dari kalimat yang lebih tua barusan. Yifan yang pada akhirnya menoleh ke arah ranjang menemukan Chan Yeol tidak bergerak seinci pun dari posisinya. Sebuah perempatan imajiner muncul di sudut jidat Yifan, dengan kesal ia melangkah menuju tempat tidur lalu menarik selimut yang dipakai Chan Yeol dengan sekuat tenaga.

Duk.

"KUBILANG CEPAT BANGUN DAN MANDI, BANGSAT!"

Park Chan Yeol akhirnya mendapatkan kesadarannya dengan sempurna setelah kepalanya mencium lantai apartemen Wu Yifan.

Setelah insiden Chan Yeol terguling dari tempat tidur, empat puluh menit kemudian keduanya memasuki sebuah restoran yang berada tak jauh dari gedung apartemen Yifan. Ada dua meja yang diisi sekumpulan pekerja dan sepasang suami istri, para pengunjung tersebut tampak serius mengikuti drama pagi yang sedang diputar di TV yang di pasang di sudut atas restoran. Yifan memesan Seolleongtang untuk keduanya meski dirinya sama sekali tidak menyentuh alcohol semalam.

"Kapan kau sampai di Korea?"

"Dua hari yang lalu." Chan Yeol menjawab seraya mengaduk makanannya dengan gerakan lambat. Beberapa tahun terakhir menghabiskan waktu di luar negeri membuat beberapa kebiasaan lamanya terlupakan. Ia menjadi tidak terbiasa memakan makanan dalam keadaan terlalu panas.

"Dalam rangka apa?"

Kali ini Chan Yeol tak langsung menjawab dan sedikit banyak Yifan bisa menduga maksud yang lebih muda.

"Aku tidak akan melarangmu untuk bertemu dengannya, Yeol, tapi aku akan sangat senang jika kau tidak memperburuk keadaan sekarang. Kau yang paling tahu betapa Kyung Soo pantas mendapatkan kebahagiaan."

"Dia bilang dia sudah bahagia, Hyung."

Yang lebih tua mendengus. "Dan kau percaya?"

Chan Yeol kembali terdiam dan Yifan bingung entah harus merasa kasihan atau jengkel.

"Apakah kau benar-benar sebodoh itu? Jika memang dia bahagia, dia tidak akan menangis seperti anak kecil ketika dia melihatmu untuk pertama kali malam itu."

"Kyung Soo menangis?"

"Ya. Dia menangis seperti orang pesakitan, begitu keras hingga rasanya aku bisa merasakan kepedihannya."

Yang lebih muda menghela napas. Ia mengusap wajahnya sebelum mengalihkan pandangannya ke jalanan yang dilalui beragam manusia.

"Aku menghabiskan delapan tahun terakhir dengan meyakinkan diriku sendiri bahwa inilah yang terbaik." Ujar Chan Yeol dengan sorot mengenang. "Setiap hari aku terbangun dan mengingatkan diriku sendiri, dia akan lebih baik tanpamu, kau bahkan tidak berhak merindukannya, dan kau baik-baik saja tanpanya."

"Memangnya siapa yang bisa menjamin kebahagiaan orang lain? Kau bukan Tuhan, Bung."

"Aku tidak berpikir seperti itu, hanya saja sejak kecil aku tidak pernah bisa memberikan yang terbaik untuknya, Hyung. Setiap keputusan yang aku ambil, hal-hal yang kupikir akan memberinya kebahagiaan, selalu berakhir menjadi sesuatu yang buruk." Chan Yeol membawa pandangannya bertemu yang lebih tua. "Aku bekerja siang dan malam tapi yang bisa kuberikan padanya hanyalah sebuah rumah kecil dan makanan seadanya. Hyung, pikirmu Kyung Soo akan menjadi seperti sekarang jika dia tetap bersamaku? Kadang aku bersyukur karena ternyata kami tidak benar-benar bersaudara, tapi setiap kali aku mengingat malam mengerikan itu, rasanya aku ingin membunuh diriku sendiri. Semua itu takkan terjadi jika saja aku tidak memaksanya kembali ke keluarga kandungnya, tapi dia juga tidak akan mendapatkan apapun jika bersamaku. Aku– aku tidak tahu, Hyung. Aku bingung."

Entah sejak kapan, tapi dua mangkuk Seolleongtang diantara mereka terlupakan. Suara pengunjung lain bersahutan di udara, merespon drama yang sepertinya sedang berada pada puncak masalah.

Yifan mendesah. Ia mundur hingga punggungnya bertemu dengan sandaran kursi. "Mungkin semuanya berakhir buruk karena kau selalu memikirkannya dari sudut pandangmu sendiri. Bagaimana jika selama ini yang Kyung Soo butuhkan untuk bahagia adalah bersamamu? Cara berpikirmu terlalu dangkal jika mengukur kebahagiaan berdasarkan materi, Yeol."

"Sepertinya memang begitu, Hyung." ujar Chan Yeol seraya tersenyum sedih. "Aku tidak kekurangan apapun, tapi aku menghabiskan hari-hariku selama delapan tahun berpikir akan seperti apa rasanya jika saja dia ada bersamaku." Ia lalu menghela napas, menyisir rambutnya ke belakang namun tetap kembali jatuh ke dahinya. "I've fucked up, Hyung."

Yifan menahan kuat-kuat keinginannya untuk memutar bola mata karena, jujur saja, Chan Yeol termasuk lambat untuk ukuran lelaki sekelas dirinya. Pada akhirnya Yifan mengabaikan ucapan retorik yang lebih muda dan berucap,

"Cepat habiskan itu agar mabukmu hilang."

Ode to a Nightingale

"Selamat datang~"

Kyung Soo membalas sapaan Jung Yeon sebelum membawa matanya mengelilingi meja-meja. Ia langsung bertemu pandang dengan Sehun dan Jong In yang melambai ke arahnya.

"Sudah lama?" tanya Kyung Soo begitu ia menduduki kursi kosong di antara dua sahabatnya.

"Belum lama."

Jung Yeon kembali menghampiri keduanya dengan buku menu dan kembali undur diri setelah mencatat pesanan ketiganya.

"Aah, aku capek sekali." Sehun mengeluh seraya memijat tengkuknya.

"Bagaimana kuliahmu, Kyung?" tanya Jong In.

"Seperti biasa. Lancar."

"Geez. Semakin lama kau semakin irit bicara." Sehun menyahut seraya mendecak.

"Menjadi dokter bedah tidak butuh bicara banyak." Kyung Soo menjawab dengan enteng. Ia mengangkat kedua tangannya lalu menggerak-gerakkan jarinya. "Aku memiliki tangan yang sempurna, itu yang terpenting."

"Aku membayangkan kau akan terkenal sebagai dokter dingin di departemenmu."

"Ini salahmu." Jong In menyela. "Kau yang dulu menyarankan kita mengambil program spesialis. Lihat sekarang apa yang terjadi, Kyung Soo semakin irit bicara dan aku lelah sepanjang waktu. Aaah, menyebalkan sekali. Aku bahkan pernah hampir putus dengan Baek Hyun, kau tahu?!"

"Benar." Kyung Soo menimpali. "Aku ingat beberapa waktu yang lalu Baek Hyun menginap di rumah, ia bahkan membawa Jung Kook bersamanya."

Kedatangan Jung Yeon memotong pembicaraan mereka. Ketiganya mengucapkan terima kasih sebelum pelayan tersebut kembali meninggalkan meja mereka.

"Daebak. Sepertinya itu cukup parah. Tapi waktu di Paris kalian terlihat baik-baik saja, berarti kau bisa mengatasinya dengan baik, iya kan?" tanya Sehun.

"Tentu saja." Jong In menepuk dadanya dengan senyum kelewat lebar. "Baek Hyun itu tidak bisa hidup tanpaku."

"Cepat lamar dia. Aku bosan melihat kalian pacaran terus." Ujar Kyung Soo.

"Naega wae? Bukan aku yang melamar kekasihnya di Paris kemarin."

"Berhenti menyindirku, Kkamjong. Kali ini aku tidak akan menunggu delapan tahun lagi."

Jong In terkekeh. Ia bangkit dan mengacak rambut Sehun. "Aigooo uri maknae Sehunie~"

Sehun menampik tangan Jong In dengan wajah kesal. "Brengsek. You're just two months older, stop babying me."

"Do not care. I'm still older." Jong In membalas dengan cengiran penuh kemenangan sementara Kyung Soo hanya bisa menghela napas. Bertahun-tahun berlalu namun tingkah keduanya selalu sama setiap kali bertemu.

"Aku ingin mengambil cuti kuliah."

Kalimat Kyung Soo otomatis menghentikan ocehan Sehun dan Jong In. Dua manusia jangkung itu menatap Kyung Soo dengan ekspresi serupa.

"Cuti? Kenapa?" tanya Sehun.

"Do you wanna go somewhere?" lanjut Jong In, selanjutnya wajahnya berubah horror dan buru-buru menggenggam tangan Kyung Soo erat. "Kau tidak akan melakukan hal-hal aneh kan, Kyung? Please don't do something stupid, Kyung. We love you."

Kyung Soo menahan diri untuk tidak memukul kepala Jong In atau sekedar menendang tulang keringnya di bawah meja. Ia beralih menatap Sehun sejenak sebelum berujar:

"Pacaran dengan Baek Hyun benar-benar merubah karaktermu. Semakin lama kau semakin aneh."

"I second that." Sehun mengamini.

"And you two get boring." Tandas Jong In dengan jemari membentuk huruf v dengan kedua ujung yang terarah ke sahabatnya. "Dengan kau yang terlalu irit bicara dan Sehun yang terus memasang wajah datar mengharuskanku menjadi sedikit heboh."

"Back to the topic." Sehun dengan cepat mengambil alih sebelum Jong In mengeluarkan keluhan lebih banyak lagi. "Kenapa mengambil cuti?"

"Aku hanya ingin fokus dengan coschaap ku lebih dulu. Kupikir aku akan bisa menyelesaikannya dalam tiga tahun jika aku fokus. Jika tidak ada kendala cosschaap-ku selesai tahun depan, nah setelah itu aku akan melanjutkan kuliahku."

"Masuk akal juga." Sehun mengagguk paham. "Tapi itu berarti kami akan selesai lebih dulu."

Kyung Soo mengangkat bahu. "Tidak masalah. Toh aku juga tidak buru-buru."

Pembicaraan mereka terus berlanjut. Ketiganya saling berbagi cerita mengenai apa yang terjadi di hidup mereka. Hal ini sudah jarang mereka lakukan karena ketiganya mengambil program spesialis yang berbeda. Namun sekali sebulan mereka menghabiskan waktu makan siang bersama dan bertukar cerita.

Ketiganya meninggalkan Kamong ketika matahari sudah hampir tenggelam. Kyung Soo bersyukur karena ia tidak memiliki kelas sore itu karena sudah pasti ia akan terlambat.

"Kau yakin tidak mau ikut, Kyung?" tanya Jong In begitu ketiganya berdiri di depan kafe. "Kris-hyung juga akan datang."

Jong In dan Sehun akan pergi minum malam nanti di rumah baru Yixing sebagai perayaan. Namun Kyung Soo merasa terlalu lelah untuk pesta apapun malam ini. Ia ingin segera pulang, berendam lama-lama, kemudian menonton ulang drama di laptopnya dengan semangkuk ramen instan.

"Kalian pergi saja. Aku benar-benar merasa lelah. Aku ingin istirahat."

"See? Kyung Soo juga sangat lelah." Jong In menyahut berapi-api terhadap Sehun. "Ini semua salahmu. Menjadi dokter spesialis membuat kita menjadi lebih tua dari pada seharusnya, Hun!"

Kyung Soo mau tak mau terkekeh melihat Sehun yang tampak sudah muak mendengar ocehan tidak berguna Jong In sama sekali. Lelaki pucat itu memijit pangkal hidungnya yang sempurna sejenak sebelum menatap Jong In dengan ekspresi terdatar yang ia punya.

"Mengenalmu selama dua puluh enam tahun hidupku juga membuatku lebih tua dari seharusnya, kau tahu?"

Setelah mengatakan itu Sehun mengerling pamit ke arah Kyung Soo kemudian berlalu dari sana. Meninggalkan Jong In yang bergeming dengan mulut terbuka.

"A-apa- apa-apaan itu barusan? Kyung, kau dengar tadi? Berani-beraninya dia berkata seperti itu setelah semua yang kami lewati bersama?!"

Kyung Soo memutar mata. "Sampai jumpa, Kai."

"Kyung?! Kau juga meninggalkanku?" Jong In menatap punggung Kyung Soo yang menjauh sebelum akhirnya berbalik, mengejar Sehun yang sudah menghilang di sudut jalan.

Ode to a Nightingale

Chan Yeol tidak memiliki motif yang pasti dibalik tingkahnya saat ini. Yang diketahuinya adalah ada perasaan mendesak di dadanya untuk melihat Kyung Soo hari ini juga. Pemikiran itu membawanya pada situasi sekarang, berdiri menatap Kyung Soo yang sedang tertawa pada apapun yang kedua sahabatnya katakan.

Sekali lagi Chan Yeol menemukan dirinya terjatuh. Sosok itu terlihat begitu indah diterpa cahaya senja. Ujung jemarinya terasa gatal ingin meraih pundak sempit itu ke dalam dadanya, melindunginya dari semua hal kejam di dunia, memastikan bumi adalah tempat yang aman untuknya berpijak. Chan Yeol terbiasa dengan gagasan-gagasan seperti itu dulu. Ketika hidupnya hanyalah putaran konstan antara beragam pesanan dan aroma alkohol yang menyengat, Kyung Soo menjadi satu-satunya bintang yang menjaga Chan Yeol tetap berada pada orbitnya.

Kini Chan Yeol rela menukar segala yang ia miliki jika itu berarti ia bisa kembali merasakan itu semua.

Wajahnya terasa kaku karena tersenyum terlalu banyak dan tungkainya seolah mati rasa berdiri semalaman, tapi ia menjadi manusia paling bahagia setiap kali membuka pintu rumah dan menemukan Kyung Soo berbaring di sofa, tertidur sembari menunggunya pulang.

Chan Yeol membiarkan mobilnya terparkir di seberang jalan Kamong Kafe dan mengikuti Kyung Soo yang sendirian menyusuri trotoar. Yang lebih muda berjalan dengan langkah berat, seolah ada beban yang terpasung ke kakinya dan membuatnya kesusahan. Kyung Soo berhenti melangkah, pundaknya bergerak pelan ketika ia mengambil nafas dan menghembuskannya. Ia melihat bagaimana Kyung Soo mendongak dan Chan Yeol pun melakukan hal yang sama.

Langit terlihat polos dan suram, jadi Chan Yeol memilih untuk kembali menatap Kyung Soo saja (bagi Chan Yeol lelaki mungil itu adalah matahari jadi ia tidak butuh bintang yang lain). Kyung Soo masih disana, namun kini pandangannya jatuh pada kedai Baskin Robbins di sebelahnya. Ada sepasang kekasih yang tampak bahagia menikmati satu mangkuk es krim bersama. Dari posisi Chan Yeol ia melihat si laki-laki menyeka sisa es krim di sudut bibir kekasihnya, menghasilkan semu tebal di kulit pucat si perempuan. Chan Yeol hanya bisa melihat sisi wajah Kyung Soo namun Chan Yeol tahu sudut bibir yang terangkat itu bukanlah bermakna kebahagiaan. Senyum itu berisi kepedihan, harapan, dan kenangan yang juga kini berputar di benak Chan Yeol.

Samar-samar musik yang terputar di kedai es krim itu sampai ke telinga Chan Yeol.

An evening without an apparent answer

Flakes of warmth longing for something faraway

I live repeating these over and over*

Dalam hati Chan Yeol bertanya-tanya apakah hidup mereka memang digariskan demikian. Mengharapkan sesuatu yang tidak akan sanggup mereka gapai, terus seperti itu hingga akhirnya mereka kehabisan daya dan tertinggal, terlupakan.

God, if you can hear me now. Bisik Chan Yeol. Matanya tertuju pada Kyung Soo yang kembali melanjutkan langkahnya. Please, give me one last chance. Just one, please, please, please.

Ode to a Nightingale

Kyung Soo menutup pintu rumahnya dengan bunyi tuk pelan. Mendadak ia merasa kedua kakinya tidak sanggup menahan beban tubuhnya sendiri dan berakhir menyandarkan punggungnya pada daun pintu di belakangnya.

Ia bisa mendengar bunyi pintu pagar yang dibuka perlahan dan disusul langkah kaki yang seolah berusaha diredam. Namun pada dasarnya Chan Yeol bukanlah tipe orang yang bisa menyembunyikan sesuatu. Ia hidup bersama suara sehingga bagaimanapun Chan Yeol berusaha menyembunyikan diri, Kyung Soo langsung menyadari kehadirannya sejak awal. Kyung Soo bisa merasakan sosok Chan Yeol yang berada di balik pintu yang kini disandari Kyung Soo. Sedikit banyak Kyung Soo takut Chan Yeol akan sanggup mendengar suara detak jantung Kyung Soo yang bertalu. Namun itu tidak boleh terjadi. Lelaki jangkung itu harus tetap mengira Kyung Soo tidak tahu ia mengikutinya sejak tadi.

Kyung Soo harus mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih untuk mencegah dirinya sendiri membuka pintu itu dan menghambur ke pelukan Chan Yeol. Kyung Soo sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah pada hatinya, bahkan meski seluruh sel di dalam tubuhnya meneriakkan nama lelaki itu.

It's over. Stop. Don't.

Kyung Soo tidak tahu berapa lama ia berdiri disana dengan gestur kaku dan napas tak beraturan. Pada akhirnya ia kembali mendengar bunyi langkah kaki yang disusul dengan suara derit pintu pagar. Kyung Soo mengutuk dirinya sendiri karena tidak sanggup menahan dirinya untuk tidak membuka pintu dan menyaksikan punggung Chan Yeol yang menjauh.

Tapi Kyung Soo pikir itu tak apa selama Chan Yeol tidak menyadarinya.

Kemudian lelaki mungil itu mulai bertanya-tanya, apakah selamanya mereka akan terus seperti itu. Hanya bisa melihat punggung satu sama lain setiap kali salah satu dari mereka meningalkan yang lain.

Ode to a Nightingale

"Demam Kim Min Ho sudah turun?"

"Nde." Kyung Soo mengangguk sekali. "Saya sudah memberinya obat jadi demamnya sudah turun, tapi suhunya masih 39 derajat."

"Kau sudah melakukan All Culture dan Septic Lab?"

"Ya, siang ini hasilnya keluar."

"Baiklah, terus pantau perkembangannya dan laporkan jika ada kelainan."

Kyung Soo sekali lagi mengangguk dan menghembuskan napas panjang begitu dokter yang tadi ditemaninya bicara sudah masuk ke ruangannya. Another long day ahead.

Enam jam setelahnya, Kyung Soo berjalan menuju ruang istirahat yang disediakan khusus untuk para residen. Kakinya hampir tidak mampu menahan beban tubuhnya sendiri. Perutnya bergemuruh mengingat menu sarapannya tadi hanyalah dua tangkup sandwich dan secangkir kopi. Ia melirik jam tangannya hanya untuk mengeluarkan erangan sedih mengetahui ia hanya punya waktu lima jam untuk istirahat sebelum shift-nya kembali dimulai.

"Ssaeng!"

Kyung Soo menoleh ketika Young Do, residen tahun pertama tiba di sebelahnya dengan terengah-engah. Kyung Soo hanya diam memperhatikan pemuda itu mengatur napasnya dan menunggu dengan sabar hal yang ingin disampaikannya.

"Ada seseorang yang sedang menunggumu di lobi."

Kening Kyung Soo berkerut. Ia sama sekali tidak memiliki janji dengan siapapun hari ini. "Siapa?"

"Laki-laki. Tinggi. Tampan."

"Hanya itu yang bisa kau tahu?"

Young Do hanya menyengir. "Aku tidak melihatnya. Tapi perawat yang bertugas di meja resepsionis memberitahuku."

"Baiklah. Aku akan kesana sekarang."

"Aku ikut, Ssaeng."

Kyung Soo hanya membiarkan juniornya mengekor di belakang. Ia melangkah seraya mengira-ngira sosok yang sedang menunggunya. Tinggi dan tampan? Yifan? Sehun? Jong In? Min Gyu?

Lobi di departemen Bedah Saraf tampak ramai. Meja resepsionis itu dipenuhi banyak kaum hawa. Dua perawat yang bertugas di tempat lain mengerubuni meja bersama dua residen yang seangkatan dengan Kyung Soo. Mereka semua menatap ke arah yang sama dengan senyum yang terlalu lebar. Kyung Soo bahkan bisa menangkap bentuk hati yang terpancar dari mata mereka bahkan dari kejauhan. Dalam hati ia hanya bisa mengeluh.

Keindahan paras saudara dan teman-temannya sering membawanya ke dalam situasi seperti sekarang.

"O! Kyung Soo-ya!" salah satu rekan Kyung Soo yang melihatnya melambai dengan semangat.

"Apa yang kalian lakukan disini?" tanya Kyung Soo begitu berada di dekat mereka.

"Seseorang mencarimu, Sonssaengnim." Salah satu perawat menjawabnya.

"Ya, aku sudah tahu. Aku rasa kalian sudah bisa kembali ke pekerjaan kalian."

Kompak enam perempuan itu mengeluarkan suara seperti anjing yang dibuang, dan sekali lagi Kyung Soo mengutuk ketampanan orang-orang di sekitarnya.

"Sebentar lagi, Kyung. Dia sangat tampan. Jarang-jarang ada pengunjung seperti dia." Balas rekan residen Kyung Soo.

"Benar." Salah satu perawat menanggapi dengan cepat. "Andai saja ada dokter seperti dia di departemen kita, hidupku pasti akan lebih mudah."

Young Do yang berdiri di belakang Kyung Soo memasang wajah tersinggung yang sangat kentara. Namun sayangnya tidak ada yang peduli.

"Iya. Dia sangat tinggi, tapi telinganya mengingatkanku pada kurcaci."

Kyung Soo memutar bola mata mendengar komentar yang terakhir. Namun jantungnya kehilangan irama ketika menyadari kalimat perawat barusan.

Telinga kurcaci?

Kyung Soo dengan cepat menoleh ke arah yang sama dengan para perempuan tadi. Lelaki yang duduk di barisan kursi yang menempel di dinding itu memang tampan dan tinggi. Tapi lelaki itu bukan salah satu dari nama yang tadi terlintas di benak Kyung Soo.

Itu adalah Park Chan Yeol.

Yang duduk dengan sebelah kaki tertekuk ke dalam. Matanya berpusat pada ujung sepatunya yang sedikit terjulur ke depan. Kyung Soo yakin lelaki itu tidak nyaman duduk disana, kursi itu terlalu rendah untuk tungkainya yang panjang.

Dan seolah Chan Yeol bisa merasakan kehadirannya, lelaki itu mendongak dan bertemu pandang dengan Kyung Soo. Manik yang lebih tinggi terlihat melebar dan dengan sigap ia berdiri. Kyung Soo mendengar para perempuan di belakangnya yang berbisik heboh namun matanya hanya mengikuti sosok Chan Yeol yang terus mendekat ke arahnya.

"Hai." Sapa Chan Yeol ketika ia sudah berada tepat di hadapan Kyung Soo.

"Apa yang kau lakukan disini?" yang lebih pendek bertanya dengan nada dingin.

"Aku ingin bertemu denganmu." Chan Yeol menjawab dengan tenang, seolah ia sudah memperikirakan respon Kyung Soo.

"Ada perlu apa?"

Chan Yeol mengulurkan sebuah bungkusan di tangan kanannya. Kyung Soo bahkan tidak sadar lelaki itu menggenggam sesuatu. Lambang restoran barbeque terkenal tercetak tebal di sisi kemasan tersebut.

"Shift-mu baru saja selesai. Jadi kau pasti belum makan siang kan?"

Alih-alih mengambil bungkusan tersebut, Kyung Soo malah balik bertanya. "Dari mana kau tahu jadwalku?"

"Perawat itu yang memberitahuku." Chan Yeol menunjuk dengan dagu.

Kyung Soo menahan diri untuk berbalik. Ia berusaha menjaga wajahnya agar tetap datar. Chan Yeol yang merasa Kyung Soo tidak akan meraih bungkusan ditangannya memutuskan untuk melakukannya sendiri. Ia meraih tangan Kyung Soo dan bersorak dalam hati karena gerakan itu akhirnya memunculkan sesuatu di wajah yang lebih muda. Ia memastikan Kyung Soo menggenggam tali bungkusan itu sebelum melepaskan tangannya.

"Semangat bekerja, Kyung Soo-ya."

Chan Yeol tersenyum manis namun Kyung Soo sama sekali tidak bisa membalasnya. Jantungnya berdetak terlalu cepat namun Kyung Soo tidak menyukainya sama sekali. Tanpa mengatakan apapun, Kyung Soo berjalan menuju tempat sampah terdekat dan tanpa ragu memasukkan bungkusan itu ke dalam sana. Ia mendengar suara kesiap para perawat yang masih menyaksikan interaksi mereka.

Ia lalu menatap Chan Yeol dengan wajah terdingin yang sanggup ia keluarkan dan berujar:

"Pergi dari sini."

Bahkan suara Kyung Soo terdengar asing di telinganya sendiri. Ia lalu berbalik dan menjauh dari sana. Namun wajah sedih Park Chan Yeol terpahat jelas di benaknya.

.

Keesokan harinya Kyung Soo menemukan segelas coklat hangat dan boneka teddy bear cokelat di meja kerjanya. Kening Kyung Soo berkerut membaca tulisan di kertas yang diletakkan di atas pangkuan boneka tersebut.

Forgive me, please Q_Q

Kyung Soo menarik napas panjang. Ia mengeluarkan ponsel di saku jasnya dan mulai men-dial nomor seseorang.

[Yeobose-]

"Ke ruangan. Sekarang."

Kurang dari tiga menit kemudian Jung Young Do berdiri di hadapan Kyung Soo dengan wajah takut dan pelipis yang berkeringat.

"Jelaskan ini."

"I-itu- laki-laki yang kemarin memintaku-"

"Jung Young Do-ssi."

"N-ne." pemuda itu menelan ludah kasar ketika Kyung Soo maju selangkah hingga wajah mereka menjadi dekat. Terlalu dekat untuk ukuran Young Do.

"Apa mimpimu, Young Do-ssi?"

Yang ditanya bahkan tidak berani mengangkat pandangannya. "Me-menjadi dokter saraf, Ssaeng."

"Kalau begitu sebaiknya kau fokus mengejar cita-citamu daripada mengurusi hal tidak berguna seperti ini."

Kali ini Young Do hanya bisa mengangguk cepat.

"Sekali lagi aku menemukan hal seperti ini di mejaku, hidupmu berakhir. Got it?"

Sekali lagi Young Do menganguk. Sangat keras hingga Kyung Soo sedikit khawatir anak itu akan mematahkan tulang lehernya.

"Singkirkan benda itu dari mejaku. Sekarang."

Young Do melesat meninggalkan ruangan itu bersama coklat panas dan boneka tadi. Kyung Soo menatap meja kerjanya yang kini kembali seperti tadi pagi. Rapi dan tak tersentuh. Ia mengusap wajahnya pelan, berharap hal itu bisa menyingkirkan perasaan tidak nyaman di dadanya.

.

Young Do berjalan gontai menuju meja resepsionis.

"Aaah, aku lelah."

Perawat yang bertugas disana hanya bisa tersenyum maklum. Ia belum sempat mengatakan apapun ketika sosok lain berdiri di sebelah Young Do.

"Good morning."

Young Do yang sebelumnya menyandarkan kepalanya di meja langsung bangkit. Kilatan wajah dingin Kyung Soo kemarin langsung muncul di kepalanya.

"Chan Yeol-hyung!"

"Ada a- hei, hei, kita mau kemana?"

"Sssh!"

Young Do mendorong Chan Yeol ke rest room di sudut ruangan dan menutup pintunya cepat.

"Kenapa kita kesini?" Chan Yeol bertanya dengan wajah bingung, berbanding terbalik dengan Young Do yang terlihat ketakutan seolah dikejar hantu.

"Jika Kyung Soo-ssaem melihatmu, aku bisa mati!"

Kali ini Chan Yeol memutar bola mata. "Kyung Soo tidak mungkin membunuhmu. Kau berlebihan, Young Do-ya."

"Mungkin tidak membunuh, tapi dia bisa membuat hidupku menderita. Hyung, dia dijuluki Satansoo bukan tanpa alasan! Semua perawat dan dokter magang disini takut padanya, bahkan ada beberapa dokter fellow yang kurang nyaman bekerja dengannya."

"Apa yang kau bicarakan. Kyungie adalah manusia paling imut dan lucu yang pernah kutemui. Kau sepertinya tidak mengenalnya dengan baik."

Young Do hanya bisa meringis dalam hati mendengar panggilan yang diberikan Chan Yeol pada seniornya. Aura dingin dan sorot membunuh dibenaknya sama sekali tidak berpadu-padan dengan kata imut dan lucu. Ia hampir menduga bahwa sebenarnya Chan Yeol sedang membahas orang yang berbeda namun tahu bahwa hal itu bukanlah hal mendesak saat ini.

"Never mind. Yang terpenting adalah, kumohon jangan suruh aku membawakan apapun ke hadapan Dr. Do, Hyung. Aku masih menyayangi nyawaku. Jebal."

Young Do memohon dengan kedua telapak yang disatukan seolah sedang berdoa. Matanya terpejam erat penuh takut dan Chan Yeol menjadi kasihan melihatnya. Ia kemudian bertanya-tanya apa yang dilakukan Kyung Soo hingga membuat juniornya seperti ini.

Chan Yeol kemudian mendesah. "Baiklah, kalau begitu. Aku tidak akan melibatkanmu lagi."

Selagi ia berusaha menenangkan Young Do, otaknya berputar untuk menemukan cara agar Kyung Soo bisa memaafkannya. Chan Yeol sadar itu bukanlah perkara mudah, tetapi ia berpegangan pada harapan bahwa Kyung Soo juga merasakan hal yang sama dengannya. Namun jika pada akhirnya Chan Yeol benar-benar telah terlambat, setidaknya ia ingin mengembalikan Kyung Soo ke dirinya yang dulu meski itu berarti mengorbankan kebahagiaannya sendiri.

Ode to a Nightingale

Kyung Soo mulai memperhitungkan untuk membawa mobil sendiri ke rumah sakit. Lima belas menit yang lalu ia mendapat pesan dari Min Gyu yang berisi permintaan maaf karena tidak bisa menjemput Kyung Soo. Ada urusan mendadak, katanya. Min Gyu tidak pernah sekalipun berkata tidak bisa kepada Kyung Soo sejak maknae tersebut mendapatkan lisensi mengemudinya. Bahkan ketika sakit, ia akan tetap datang bersama supir.

Untuk pertama kalinya Min Gyu tidak datang.

Dan mendadak semua nomor teman-temannya juga tidak bisa dihubungi. Bahkan Yifan, yang meski selalu sibuk tapi tetap mengangkat telepon saudara-saudaranya.

Akhirnya Kyung Soo menyerah dan memutuskan untuk berjalan ke halte tak jauh dari rumah sakit. Seseorang sudah berada disana lebih dulu.

"Apa yang kau lakukan disini?"

Chan Yeol bangkit dari duduknya bersamaan dengan bus dengan jalur ke kompleks perumahan Kyung Soo datang.

"Aku akan mengantarmu pulang."

Kyung Soo tidak sempat mengatakan apapun karena pintu bus sudah terbuka dan ia harus segera masuk. Chan Yeol juga melakukan hal yang sama sebelum duduk dua baris di belakang yang lebih muda. Tidak banyak orang di atas bus mengingat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Hanya ada seorang pemuda dan dua wanita dengan pakaian formal yang asik mengobrol di baris paling depan.

Kyung Soo menahan dirinya agar tidak menoleh ke belakang. Ia tidak perlu melakukan itu untuk mengetahui bahwa ada sepasang mata yang tak henti menyorot belakang kepalanya saat ini. Anehnya, Kyung Soo tidak merasa risih maupun terintimidasi. Gagasan yang timbul di kepalanya adalah saat ini ia sedang dilindungi, dan tidak akan ada hal buruk yang terjadi karena ada Chan Yeol di belakangnya.

Dengan itu ia memutuskan untuk mengistirahatkan mata dan pikirannya.

Ode to a Nightingale

"Tunggu sebentar, Ahjussi."

Chan Yeol memandang resah sosok Kyung Soo yang tampaknya benar-benar terlelap.

Bus sudah berhenti di halte terdekat dengan kawasan kediaman Do namun ia juga tidak tega membangunkan yang lebih muda.

"Hei, Kyung. Kita sudah sampai." Chan Yeol mengguncang pundak Kyung Soo dengan pelan.

"Mmh." Sebuah gumaman terdengar namun Kyung Soo sama sekali tidak membuka matanya.

Chan Yeol terpaku memandang wajah yang lebih muda. Wajah yang terlihat begitu familiar namun terasa asing disaat yang bersamaan. Kulitnya tampak pucat dan kering, pengaruh jarang terpapar sinar matahari dan terus menerus berada di ruang ber-AC.

Chan Yeol selalu merasa Kyung Soo terlihat menawan dengan balutan cahaya matahari. Bibir membentuk hati ketika tersenyum, dan matanya yang seolah menyimpan ribuan gugusan bintang di dalamnya.

"Hei, kalian jadi turun atau tidak?"

Suara supir menyadarkan Chan Yeol dari lamunannya. Ia hanya berujar fuck it dengan suara rendah sebelum akhirnya memutuskan untuk memapah Kyung Soo di punggungnya. Langkahnya ia buat sepelan mungkin. Alasan pertama karena ia tidak ingin Kyung Soo terbangun, dan yang kedua adalah ia ingin menikmati saat-saat ini selama yang ia bisa.

Kyung Soo terjaga ketika Chan Yeol memasuki gerbang rumah dan berhenti di pos untuk melapor pada security yang sedang bertugas. Masih dengan mata yang tertutup Kyung Soo menyimak percakapan Chan Yeol dengan satpam untuk sesaat sebelum yang lebih tinggi kembali melanjutkan langkahnya. Sumber penerangan satu-satunya hanya berasal dari lampu jalan yang dipasang selang seling di kiri dan kanan setiap delapan meter. Lebar antara jalur masuk dan keluar rumah Kyung Soo berkisar empat meter dan diisi berbagai jenis pohon yang besar dan rindang. Ada pula jalan setapak disisi pohon-pohon tersebut, yang biasanya dilalui ibunya di sore hari.

"Aku tidak pernah sempat mengatakan ini, tapi dulu aku selalu ingin mengajakmu berjalan-jalan disini."

Suara Chan Yeol terdengar dan Kyung Soo sempat berpikir bahwa yang lebih tinggi sadar bahwa ia sebenarnya tidak tidur.

"Aku selalu merasa taman depan rumahmu adalah tempat yang bagus untuk kita berkencan."

Biasanya Kyung Soo merasa pemandangan malam taman depan rumahnya sedikit menyeramkan setiap kali ia pulang dengan Min Gyu yang menyetir di sebelahnya. Tapi saat ini, ia menemukan cahaya keemasan yang menimpa permukaan daun-daun itu terlihat menenangkan.

"Ah, harusnya aku menyempatkan diri dari dulu." Desah Chan Yeol lebih ke sendiri.

Luhan hanya terpaku sejenak ketika membukakan pintu kemudian menunjukkan arah kamar Kyung Soo tanpa kata. Kyung Soo terus menutup matanya ketika Chan Yeol menurunkannya dengan terlalu hati-hati ke atas ranjangnya yang wangi dan empuk. Chan Yeol lalu duduk di pinggir tempat tidur seraya memandangi wajah terlelap Kyung Soo. Untuk sesaat ia merasa seolah kembali ke masa lalu, ketika tiap malamnya ia pulang ke rumah mungil mereka dan menemukan Kyung Soo terbaring di sofa dengan sebuah buku tergeletak pasrah di lantai.

Kadang Chan Yeol bingung akan perasaannya sendiri. Ia sering terjebak dalam angan-angan atau banyak 'jika' yang ia buat sendiri. Dalam satu waktu ia berharap andai saja mereka tidak bertemu keluarga kandung mereka dan tetap tinggal bersama dengan hidup mereka yang sederhana. Namun disatu sisi Chan Yeol juga merasa bahwa kenyataan mereka bukanlah saudara kandung jauh lebih baik. Bukankah bagus Kyung Soo berasal dari keluarga terpandang? Chan Yeol tidak akan bisa memberikan apa yang Kyung Soo miliki sekarang dengan bekerja sebagai pegawai restoran kelas bawah. Dan yang terpenting, ia tidak akan bisa mencintai Kyung Soo seperti sekarang.

Tangan Chan Yeol terulur hendak merapikan surai gelap yang lebih muda namun jemarinya berhenti tepat sebelum menyentuh ujung rambut Kyung Soo. Pada akhirnya ia beralih menarik selimut hingga mencapi pundak. Chan Yeol tidak tahu berapa lama ia duduk disana menghitung setiap tarikan napas pusat dunianya. Namun pada akhirnya Chan Yeol berdiri dan meninggalkan kediaman Do dengan langkah berat, mengabaikan rintihan payah hatinya untuk tinggal lebih lama.

Ode to a Nightingale

"Sampai kapan kita harus melakukan ini?"

Jisoo mengayunkan kedua kakinya yang menjuntai. Tatapannya mengikuti pergerakan adiknya yang bermain basket sendirian di lapangan. Hanya ada mereka berdua di dalam gedung olahraga tersebut.

"Sampai rencana Chan Yeol-hyung berhasil." Min Gyu menjawab seraya mendribel bola menuju ring. Dalam satu kali lompatan ia melakukan dunk dengan usaha yang sedikit.

"Tapi aku tidak terbiasa merahasiakan sesuatu dari Hyung, apalagi sampai harus berbohong padanya."

Keringat yang bertumpuk di jidatnya Min Gyu sapu dengan bagian dalam kerah bajunya. "Satu kali ini saja, Jisoo-ya. Lagipula ini demi kebahagiaan Kyung Soo-hyung juga."

"Tidak ada jaminan si ahjussi tinggi itu bisa membahagiakan Hyung."

"Setidaknya dia bisa membuat Kyung Soo-hyung lebih banyak tersenyum daripada sekarang, menurutku itu sudah lebih baik." Min Gyu membalas. Kemudian ia menambahkan, "Lagipula Chan Yeol-hyung tidak setinggi itu kok, kau saja yang terlalu pendek."

"Ya!"

Ode to a Nightingale

"Sampai kapan kau akan melakukan ini?"

Chan Yeol menoleh kearah sumber suara tersebut dan menemukan Kyung Soo yang berdiri tak jauh darinya dengan wajah kelelahan. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi namun hanya ada mereka berdua di halte tersebut.

"Melakukan apa?" Chan Yeol balas bertanya.

"Berhenti berpura-pura tidak tahu. Setiap hari kau mengikutiku pulang-pergi rumah sakit selama tiga minggu terakhir. Tidak adaka hal lain yang bisa kau lakukan?"

"Wah, sudah tiga minggu yah? Sepertinya waktu memang berlalu lebih cepat jika dihabiskan dengan orang yang istimewa."

Kyung Soo menganga mendengar balasan Chan Yeol yang sama sekali diluar dugaan. Pelan tapi pasti ia bisa merasakan pening muncul yang menyerang tepat di belakang matanya.

"Do you hear what I'm sayin right now?" Kyung Soo bertanya dengan nada frustasi.

"Of course, I'm all ears."

"Berhenti mengikutiku."

"Siapa yang mengikutimu? Aku tidak pernah merasa melakukan hal itu."

"Lalu apa yang kau lakukan disini sekarang?"

Chan Yeol mengangkat bahu. "Seperti yang dilakukan semua orang ketika berada di halte. Menunggu bus datang. Isn't it clear?" Bersamaan dengan itu, bus yang dimaksud Chan Yeol datang dan berhenti tepat disamping keduanya. "Nah, itu bisku datang. Kau tidak mau naik?"

Kyung Soo hanya bisa menatap Chan Yeol yang berdiri di sebelah pintu bus dan menantapnya dengan alis terangkat sebelah. Tidak tahu harus berkata apa, Kyung Soo akhirnya masuk ke dalam bus yang kemudian diikuti oleh Chan Yeol.

Seperti biasa, Chan Yeol duduk di belakang yang lebih muda. Dua baris bangku yang memisahkan keduanya secara kebetulan kosong dan tanpa menoleh Kyung Soo bisa merasakan tatapan Chan Yeol yang tidak pernah teralih darinya. Keduanya tidak bertukar kata apapun ketika turun di dekat rumah Kyung Soo. Seperti malam-malam sebelumnya, Chan Yeol menjaga jaraknya terpaut sepuluh langkah dari lelaki di depannya. Menurutnya, menjaga Kyung Soo dari jarak sepuluh langkah ini sudah cukup. Jika tidak bisa berada disisi Kyung Soo, berdiri di belakangnya juga tidak mengapa.

Chan Yeol menghentikan langkah begitu Kyung Soo sampai di depan rumahnya, namun Kyung Soo tidak langsung masuk seperti biasanya. Secara mengejutkan lelaki itu justru menoleh ke arah Chan Yeol.

"Aku sudah sampai. Sekarang pulanglah."

Jika Chan Yeol terkejut dengan ucapan Kyung Soo, ia tidak menunjukkannya sama sekali. Ia justru tersenyum lebar hingga kedua barisan giginya hampir terlihat semua. Lampu di seberang jalan menyirami puncak kepala Kyung Soo dengan warna kuning yang pudar, namun dimata Chan Yeol sosok itu tetap terlihat indah dan penuh warna. Mungkin malam ini adalah malam keberuntungannya, atau mungkin secara perlahan hati Kyung Soo mulai melunak padanya. Merasa mendapat kesempatan, Chan Yeol memutuskan untuk mengetes keberuntungan sedikit lebih jauh.

"Arasseo. Good night, Sunflower."

Chan Yeol memilih untuk tidak melihat reaksi Kyung Soo dengan nama panggilan yang dulu ia sering gunakan. Chan Yeol memilih untuk segera berbalik dan kembali menyusuri jalan yang telah dilaluinya tadi. Senyman lebarnya terus bertahan hingga ia berbaring di tempat tidurnya tak lama kemudian.

tbc

*Nakushita Kotoba (Naruto 9th Ending) by No Regret Life