Disclaimer: Naruto hanya milik Mashashi Kishimoto seorang.

Chapter 4

Love Is Lawless

Di sebuah apartemen. Uchiha Sasuke memencet bel. Tak lama kemudian, pintu pun dibuka selebar batas panjang rantai kunci pintu yang masih dipasang. Seorang wanita menyembulkan wajahnya, memasang wajah sebal, ia berkata, "Sekarang apa lagi?"

Pasalanya lelaki itu sudah memencet bel untuk kesekian kali. Yah, secara ajaib Uchiha Sasuke sekarang menjadi 'tetangganya'. Heran, Ino sampai-sampai mengira kalau ia sedang bermimpi, tapi bunyi bel yang sudah kesekian kali itu menyadarkan Ino sesadar-sadarnya. Ino benar-benar merasa jengkel. Tidak banyak orang yang mau diganggu tengah malam begini. Orang yang minta diganggu malah lebih jarang lagi.

"Sebenarnya..." Sasuke berkata dengan nada sok penting. Ino menatap tajam pria itu, sedangkan yang ditatap memasang wajah datar dan melanjutkan kalimat yang membuat Ino melongo. "Aku tidak betah tidur sendiri," katanya.

Oh, wow. Ino mendengus sebal. "Gini loh, Uchiha-san," katanya dengan gaya santai yang berlebihan. "Sekarang jam dinding menunjukan pukul 1: 15 dini hari, dan karena aku harus bangun pagi untuk pergi bekerja, maka aku harus cepat tidur. Kau betah tidur sendirian atau tidak, aku tak peduli. Kenapa? Karena itu bukan urusanku. Intinya jangan memencet bel, atau pun mengetuk pintu lagi, oke?" Dengan itu Ino hendak menutup pintunya dan berharap pria di depannya itu bisa menyerap semua perkataan Ino barusan sampe ke urat-uratnya, meski tak ada hubungannya sama sekali.

Si pria menjawab dengan nada santai. "Aku tak akan memencet bel lagi kalau kau membiarkanku tidur denganmu."

Ino rasanya ingin berteriak agar orang-orang berdatangan untuk menghajar wajah Sasuke. Sayangnya setelah dipikir lagi, masalahnya akan semakin berkepanjangan yang berarti Ino tak akan bisa tidur. Dengan kasar Ino menutup pintu di depan wajah Sasuke. Kalau orang lain pasti terkejut bukan main, tapi ini Uchiha Sasuke ... diperlakukan seperti itu juga tetap saja ganteng dan keren. Malahan jika pintu itu bernyawa maka ia akan berteriak kegirangan tak terkira karena hampir bersentuhan dengan wajah Sasuke.

Ah, berlebihan memang.

Masih belum menyerah, Sasuke kembali memencet bel, namun Ino benar-benar mengabaikannya. Untuk beberapa detik Sasuke berdiri di sana kemudian memutar tubuhnya dan berjalan menjauh.

Ino tersenyum dan bernapas lega ketika bunyi bel tak terdengar lagi. Hari itu cukup melelahkan baginya, sehingga saat ia merebahkan tubuhnya di atas kasur kelopak matanya langsung terasa berat.

Ah, cukup di kehidupan nyata saja ia tak bisa bahagia, di mimpi jangan. Tapi Tuhan sepertinya tak peduli. Ia tidak tidur nyenyak, tidur yang terganggu oleh mimpi buruk menakutkan dan terjadi pada tengah malam buta. Telah membuatnya insomnia.

Sementara itu Ino masih tetap harus menjalani kehidupan tak kalah melelahkan di hari itu.

Ketika sampai di kantor, ia mendapati Kiba melambaikan tangan ke arahanya. Lelaki itu memamerkan senyum lima jarinya. Dengan langkah gontai Ino menuju meja kerja miliknya, di sana sudah banyak berkas dan dokumen yang harus ia urus.

Hari berat Yamanaka Ino telah di mulai rupanya.

.

Uchiha Sarada memasuki ruang kelas dengan perasaan kesal. Semalam ayahnya tak pulang, dan kecurigaan itu semakin menjadi ketika pagi tadi ia mendapati sang ayah tersenyum sumringah.

Adalah hal langka mendapati ayahnya tersenyum seperti itu. Bak anak muda yang baru saja bertemu dengan kekasih pujaan hatinya, Sasuke bersenandung pelan ketika menikmati sarapan pagi tadi. Sarada awalnya tak mempercayai pendengarannya ketika sang ayah memilih lagu Wolf milik boyband tersohor asal negeri gingseng tersebut. Ia bahakan hampir saja membenturkan kepalanya ke dinding demi mendapati sang ayah yang bersikap demikian, tapi niat itu ia urungkan karena rasa ingin tahunya lebih tinggi daripada rasa terkejut yang membuat selera makannya menghilang. Ia tiba-tiba bergidik ngeri mengingat kejadian tadi pagi.

Bukannya ia tak suka mendengar suara baritone sang ayah, bukan. Bukan juga ia tak menyukai lagu boyband asal Korea tersebut, bukan. Hanya saja, memadukan dua hal antara wajah datar sang ayah dan irama lagu tersebut benar-benar jauh dari kata cocok.

Ia buru-buru menepis pemikirannya tersebut ketika sadar masalah utamanya bukan hal itu. Melihat bagaimana prilaku tak wajar ayahnya tersebut pasti ada sesuatu hal yang telah terjadi. Benar. Apalagi mendapati Sasuke tak pulang ke rumah semalam. Itu adalah sebuah tanda yang tidak baik.

Ini munglin hanya tahap awal, tapi Sarada tak akan membiarkan ayahnya jatuh pada wanita yang salah. Ia buru-buru memeriksa ponselnya untuk melihat jadwal kerja sang ayah hari itu. Jangan tanya dari mana Sarada memperoleh semua info tentang ayahnya, karena seorang Sarada selalu mempunyai koneksi luas dan mata-mata yang dapat dipercaya untuk selalu mengamati kegiatan sang ayah.

Sayangnya ia tak menemukan informasi apa pun mengenai kepergian Sasuke semalam. Segera setelah Ayahnya pamit pergi, Sarada menyuruh orang-orangnya untuk mengikuti, namun Sasuke bak menghilang dari peradaban. Bagaimana pun, mengikuti Sasuke memang bukanlah perkara mudah. Kadang-kadang Sarada tak mendapati orang suruhannya kembali padanya.

Repot sekali memang memantau orang dewasa. Pikir Sarada kesal.

Gadis itu lalu menegakkan tubuhnya ketika melihat Mrs. Kurenai memasuki kelas. Wanita itu terlihat cantik dan mempesona meskipun perutnya kini nampak semakin membuncit karena sudah memasuki usia kehamilan yang ke delapan. Sarada kadang-kadang heran sendiri dibuatnya, wanita itu masih saja terlihat sangat bersemangat padahal ia tengah hamil tua.

Ia berseta murid lainnya membungkuk sopan ketika sang ketua kelas memberi kan aba-aba. Guru cantik itu tersenyum dan memberi gestur agar murid-muridnya duduk kembali. "Aku punya berita menyenangkan untuk kalian," katanya seraya mendudukkan diri di kursi depan. "Kelas ini dipilih untuk menampilkan drama di acara festival budaya minggu depan."

Sarada memutar mata bosan. Sedangkan teman-teman sekelasnya bersorak-sorai mendengar hal tersebut.

Drama untuk festifal budaya?

Ia mendecih. Itu artinya ia harus meluangkan waktu berharganya untuk kegiatan konyol daripada memata-matai ayahnya. Ia lalu mengalihkan pandanganya ketika Mrs. Kurenai menjelaskan persiapan yang dibutuhkan untuk festival nanti.

.

Ino berpikir, semangat untuk menyelesaikan semua tugasnya sekaligus bisa membuatnya teramat kelelahan. Ia meresa sedikit tidak puas saat pekerjaanya harus dirombak ulang semua. Gaara dengan seenak jidat jenongnya mengatakan kalau laporan yang Ino buat tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Padahal jelas-jelas Ino mengerjakan laporan tersebut secara rinci berdasarkan data yang ada dan sesuai arahan dari Temari ketika ia mendiskusikan hal apa saja yang perlu ia masukan dalam laporan tersebut.

Kini ia malah berakhir di sana, sibuk mengetik di depan komputer ketika orang-orang sudah mulai menyelesaikan pekerjaan mereka.

Aarghh. Hilang sudah harapannya untuk pulang tepat waktu. Ia yakin sekali jika Gaara akan tetap meminta Ino untuk mengerjakan laporan itu meski ia sudah mengerjakannya sampai sepuluh kali sekali pun. Ino hendak memprotes ketika tiba-tiba Gaara mengatakan jika ia tak segan-segan akan memotong gajinya bulan ini jika Ino tak menurut.

Ia menghela napas, dan berpikir bahwa ia tak akan pernah bisa memahami sikap bosnya itu.

Dan dengan berat hati ia juga harus mengesampingkan keinginanya untuk mengambil cuti di awal bulan depan. Sudah menjadi kebiasaan Ino mengambil cuti pada tanggal muda, ia perlu mengunjungi kampung halamannya di Kyoto. Namun karena akhir-akhir ini ia mendapat sedikit kesulitan dalam hal keuangan, maka ia harus bekerja ekstra untuk mengganti uang yang ia habiskan untuk belanja, ia tak bisa mengehentikan kebiasaannya berbelanja. Memburu model baju keluaran terbaru, agar ia tak terlihat kalah modis dengan rekan-rekan kerjanya.

Ino memang akan tetap menjadi Ino.

Ia menekuk wajahnya murung membuat rekan berisik di sebelahnya mengernyitikan sebelah alisnya dan berkata, "Ada apa dengan wajah murungmu itu?"

Si pirang menoleh mendapati Kiba sedang memandang ke arahanya. "Oh, kau sudah kembali." respon Ino acuh tak acuh. Padahal ia tahu sedari tadi Kiba melihat ke arahnya. Ia juga tahu lelaki itu orang pertama yang menyapanya tadi pagi, tapi Ino mengabaikannya. Dia masih merasa jengkel dengan kejadian sebelumnya, ketika ia kalah dalam permainan konyol kiba.

"Hei—hei, kenapa nada bicaramu seperti itu?"

Ino tak menyahut dan semakin menekuk wajahnya membuat Kiba gemas. "Katakan saja, kau pasti merindukanku, 'kan?" katanya setengah menggoda. Namun sayang, Ino tak memiliki minat untuk menanggapi candaan lelaki itu.

Merasa diabaikan seperti itu, Kiba kembali melanjutkan. "Ada apa sih denganmu? Aku yang sedang galau saja tak berlebihan sepertimu, Ino-chan."

Ck! Emang susah kalau sudah begini. Lelaki di sampingnya tidak akan diam sampai ia puas mendapat jawaban.

Ino melirik layar komputer di hadapannya lalu menatap Kiba yang kini terkekeh pelan. Sebelah tangan lelaki itu mengacak-ngacak pelan rambut Ino, membuat Ino semakin dongkol dibuatnya. Dan dengan tak santainya Ino menepeis tangan Kiba, membuat lelaki itu mengatakan kata 'Woohoo~' dengan nada yang dibuat-buat.

"Kau memang menakutkan kalau sedang datang bulan ya." Katanya seraya tertawa.

Ino menepis kasar tangan kiba yang kembali mencoba untuk mengacak-ngacak rambutnya. Ia berniat memarahi lelaki itu ketika tiba-tiba tak sengaja melihat selembar kertas di meja kerja Kiba. Kertas itu berisikan hal tes kesehatan ibunya, Tsume Inuzuku.

Menurut Ino, pada waktu mood Kiba sedang jelek, leluconnya cenderung abnormal. Lalu di saat sedih pun, tidak memperlihatkan ekspresi sedih yang parah. Kesedihannya sering ditunjukan dengan lelucon yang tidak masuk akal.

Ino kemudian mengalihkan pandangan pada komputer di hadapannya. Kedua tangannya kembali menari di atas keyboard, ia mencoba mengabaikan Kiba yang kini mulai membereskan barang-barangnya. Jika kiba pergi, maka tinggalah Ino seorang diri di sana.

Tinggal sedikit lagi, Ino! Berjuanglah! Serunya dalam hati menyemangati diri sendiri.

"Kau tidak apa-apa 'kan kalau kutinggal?"

Ino tak mengalihkan pandangannya dan berkata. "Tentu saja. Pergilah."

"Ck! Kau ini."

Kemudian Ino benar-benar merasa lelaki itu berjalan menjauh. Ino mungkin kini tinggal sendirian di sana, tapi ia merasakan seseorang menatapanya tanpa henti sedari tadi. Ino enggan peduli dan tetap sibuk dengan laporan yang kini hampir selesai. Seandainya saja Ino meluangkan waktunya untuk menoleh sebentar, ia sudah pasti mendapati Gaara yang kini memperhatikannya dari sebelah ruangan yang hanya terpisahkan oleh dinding kaca.

Ketika Ino fokus pada layar komputer, Gaara diam-diam menghampirinya. Langkah yang hampir tak terdengar itu berhenti tepat di samping Ino, dan dalam hitungan detik saja Ino terlonjak kaget dibuatnya. Untung saja ia tak menjerit histeris, jika tidak sudah dipastikan gendang telinga bosnya itu pasti pecah. Ino komat-kamit tak jelas seraya mengusap dadanya karena kaget.

Apa kau hantu? Langkah kakimu sama sekali tak terdengar!

"Ah, Sabaku-san." Ino cepat-cepat berdiri. "Laporanku sebentar lagi selesai."

Beberapa detik lamanya Gaara terdiam dan hanya memandangi Ino. Kemudian lelaki itu berkata, "Bersiaplah, akan ku antar kau pulang."

"Huh? Pulang? Tapi laporannya sebentar lagi selesai."

"Kau bisa menyerahkan laporanmu besok."

Hell! Lalu kerjaanku sedari tadi akan sia-sia!

Ino mencoba mengatur emosinya dan berkata, "Sabaku-san, bukannya saya lancang tapi seharian ini anda menyuruh saya untuk memperbaiki laporan itu dan tiba-tiba sekarang anda menyuruh saya pulang?"

"Ya."

Ingin rasanya Ino berteriak dan mengomeli Gaara saat itu juga. Tapi dia tak akan pernah bisa melakukan hal semcam itu. Tidak sampai ia menemukan pekerjaan yang lebih baik tentunya.

"Lebih cepat lebih baik," Katanya. "Bergegaslah."

Ino buru-buru menyimpan hasil laporannya lalu mematikan komputer tersebut dan langsung mengekor di belakang Gaara. Rupanya kali ini pun ia dapat tumpangan gratis karena sulit sekali bagi Ino untuk menolak tawaran lelaki itu.

Gaara dengan santai membuka pintu mobil untuk Ino. "Masuklah."

Ino menurut dan mengomel dalam hati. Sedangkan bibir tipisnya melengkung ke atas menampakkan seulas senyuman canggung. Kali ini ia akan minta turun dekat halte bus saja, karena Ino tak mau berlama-lama berdua dalam mobil bersama Gaara. Bukan apa-apa, tapi Ino tak tahan dengan susana canggung dengan lelaki dingin macam Gaara.

Ino merasakan mobil yang ditumpanginya melaju dengan kecepatan yang bisa dikatakan sangat lambat, dan pada saat itulah sebuah alasan terbesit dalam benaknya. "Sabaku-san," katanya, "Err... saya rasa... saya akan turun di sini saja."

Gaara menoleh dan bertanya, "Apa ada yang tertinggal?"

"Ah, tidak. Saya hanya ingin turun di sini." Ino berusaha menyakinkan Gaara. "Kiba mengirimku pesan kalau ia akan menjemputku."

Dalam sekejap raut wajah Gaara berubah. "Oh."

Ino mungkin tak akan pernah tahu jika Gaara saat itu mendesah kecewa ketika Ino mulai membuka pintu mobil untuk turun di sana. Jarak mereka dari kantor saja belum cukup jauh, dan malam itu sia-sia saja usaha Gaara yang memang sudah memiliki rencana untuk mengantar Ino. Ia bahkan sengaja menyuruh Ino terus memperbaiki hasil laporannya agar dapat kesempatan yang akhirnya hanyalah suatu upaya yang sia-sia.

"Terima kasih untuk tumpangnnya, Sabaku-san." Kata Ino sebelum akhirnya menutup pintu mobil dan berjalan menjauh.

Dengan perasaan kecewa, Gaara akhirnya melajukan kembali mobilnya. Mungkin lain kali ia sebaiknya berkata terus terang pada Ino, buakn malah mengerjai wanita itu. Meski pun Gaara tidak pernah bermaksud demikian.

Ino menghela napas pelan ketika akhirnya mobil Gaara menjauh pergi. Ia mungkin bisa bernapas lega, tapi kenyataan bahwa dirinya berjalan kaki di jalan sepi dengan udara yang kian terasa dingin bukanlah pilihan yang menyenangkan. Sejauh mata memandang, Ino hanya mendapati beberapa mobil mewah yang terpakir manis di sepanjang jalan menuju halte.

"Eits!" dengan perasaan kesal, Ino menendang batu kecil di pinggir jalan. Batu kecil itu terlempar sempurna mengenai bagian samping mobil yang sedang parkir. Mobil impor warna hitam yang mungkin tak akan pernah mampu ia beli meski menggunakkan uang sampai tujuh turunan sekali pun. Perbuatannya itu menimbulkan bunyi dentingan yang terdengar keras. Ino sontak menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Oh, gawat!"

Pintu depan mobil pun langsung terbuka, munculah seorang pria tinggi. Ino yang sibuk melihat di bagian sisi mobil untuk memeriksa kerusakan mobil tak memperhatikan si pemilik yang menghampirinya. "Maaf," kata Ino menundukan kepala. "Biaya perbaikannya kira-kira berapa ya?"

Jujur saja, Ino mencemaskan nasib sebelah ginjalnya. Jika orang itu meminta ganti rugi dengan harga tak masuk akal, Ino bisa saja melakukan hal nekat. Menjual sebelah ginjalnya, mungkin.

"Tidak usah khawatir. Paling banyak pun mungkin hanya sekitar sembilan ratus ribu yen*," kata pria itu santai.

Ino mendongak dengan wajah horror. Ia hendak memprotes ketika pria itu kembali melanjutkan, "Kunggap lunas jika kau mau tidur denganku."

Ah. Entah harus bersyukur atau marah, namun raut wajah Ino nampak sedikit lega ketika mengetahui pria itu ternyata adalah Uchiha Sasuke.

Ya, Uchiha Sasuke.

Arrgggghhhh!

Kenapa ia ujung-ujungnya malah bertemu dengan pria itu? Kenapa Tuhan senang sekali menguji kesabarannya? Kenapa cerita ini tidak membuat Ino langsung dapat akhir yang bahagia saja? Kenapa Ino tak bisa langsung jadi kaya? "Seorang Wanita Mendadak Kaya Karena Batu Kerikil" Misalnya. Akan menarik sekali jika judul absurd itu menjadi headline berita utama di halaman depan koran-koran.

"Aku mungkin terlihat gampangan di matamu, tuan. Tapi—" Ino berusaha agar tak terpancing emosi. "Aku tak akan tidur dengan sembarang orang."

"Aku bukan sembarang orang." Sasuke ngotot. "Kalau kau masih tak mau tidur denganku, aku akan menikahimu sekalian."

Yang ujung-ujung tetep tidur bareng. Sama saja 'kan. Pikir Ino jengkel.

"Jika hanya ingin bersenang-senang, kau salah orang." Ino hendak pergi dari sana ketika Sasuke menahannya dengan mencengkram sebalah tangan Ino. Cengkraman itu sangat kuat dan membuat Ino meringis pelan.

"Aku bisa saja menculikmu, dan memaksamu untuk menjadi istriku."

Ino menatap ke arah Sasuke dengan tatapan tak percaya. Ia kemudian meronta dan mencoba melepaskan diri, namun tentu saja Sasuke lebih kuat daripada Ino. Hingga akhirnya Sasuke memaksa Ino untuk masuk ke dalam mobilnya. Mengabaikan Ino yang berusaha menjerit dan berteriak meminta tolong.

Tindakkan Sasuke kali ini bena-benar membuat Ino marah. "Apa maumu Sasuke!? Turunkan aku!"

Sasuke tak menggubris Ino dan mulai melajukan mobil meski ia harus menahan pukulan serta jambakkan dari Ino yang mulai menggila. "Kau sudah berlebihan, Sasuke! Kau benar-benar mau menculikku?! Yak! Hentikan! Turunkan aku!"

Oh Tuhan! Seseorang selamatka aku!

.

To be continued ...

.

Semoga saya bisa update cepat untuk chapter berikutnya, dan juga semoga masih ada yang mau baca fanfic ini. Hehe

Terima kasih untuk yang sudah review, fav sama follow :*