Hi, everyone!

Anne akhirnya muncul lagi ditengah malam.. Oh ya Happy New Year! Semoga akan semakin baik di tahun baru ini, serta Anne tak lupa ucapkan terima kasih sebesar-besarnya telah menyupport Anne di dunia fanfiction yang baru saja Anne masuki beberapa bulan ini. Terima kasih.. Kalian memang luar biasa.

Baiklah, epilog ini Anne buat memang sudah lama tapi nggak ada kesempatan buat post. Tugas Anne banyak banget. Bahkan Januari ini adalah bulan penggempuran sebelum UAS. Jadinya, rencana Anne buat fic baru tentang Harry-Ginny pas di hari ulang tahun ayah Anne akan terjadi kendala. Ohhh doakan saja semoga bisa terwujud ficnya.

DiahImbarsiwi15: Ketemu kakek dan nenek itu rasanya beda. Ada sensasi bahagia yang luar biasa. Benar nggak sih? Aku gitu soalnya tiap ketemu kakek nenek aku, kak. Thanks, ya! :)

Syarazeina: Yahh maaf selalu ada typo. Rencananya aku mau buat fic pair Hinny, khusus tentang Harry sama anak-anaknya buat hari spesial ulang tahun ayah aku. Tapi nggak tahu juga bagaimana nanti. Tugas masih minta diselesaikan. Ditunggu saja, ya! Thanks :)

Afadh: Untunglah kalau nggak ada masalah.. aku sendiri kalau sama ayah nggak pernah punya masalah besar. Kalau sama ibu lebih sering. Ayah orangnya lebih kalem. Kalau ibu aku powerfull banget, hehehe. Kuret itu pembersihan sisa jaringan. Setiap orang hamil kan pasti rahimnya mulai menebal untuk tempat janin. Nah.. karena keguguran itu, masih ada sisa. Jadi kalau yang masih usia muda, bisa disedot kayak waktu Hermione pengen gugurin kandungannya. Tapi kalau sudah agak lama, biasanya sampai dikerok. Ada alat kayak sendok yang dimasukkan melalui bibir rahim gitu.. Dipelajarin aja hereditas itu. Penting juga loh! Thanks, ya! :)

NrHikmah20: Terima kasih, Hikmah.. aku buat sebagai cambuk semangat pujiannya. Thanks, ya! :)

Baiklah langsung saja.

Happy reading!


Aku tahu, di sini memang kebahagiaan itu aku dapatkan. Bersama Mum dan Dad, begitu juga Al. Aku punya keluarga yang utuh. Orang tua, adik.. kakek dan nenek. Rumah ini sungguh indah. Ya, semua orang tahu rumah ini indah dan besar. Jauh dari rumahku.. dulu. Rumah Dad. Sekarang, kamarku tiga kali lebih luas dari kamarku yang dulu. Jendelanya besar, ranjangku sekarang luas. Ini luar biasa, meski sebenarnya kamarku ini masih kalah luas dari kamar Al ataupun kamar Mum dan Dad.

Tapi.. entahlah, aku merasa masih ada yang kurang. Di sini.. aku seperti bukan diriku.

"Kok kamu pakai pakaian ini, sih, James?" Mum tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Bayangannya tercetak di depan cermin yang aku tatap sejak setengah jam lalu.

Mum, yang dulu aku panggil Mrs. Potter, menatapku dengan senyuman tersungging indah. Penampilannya kali ini sangat rapi. Ia menggunakan gaun berwarna merah muda yang lembut. Rambut berombaknya tertata rapi dengan gaya kepang unik menyamping di pundak kirinya. Cantik. Ibuku sangat cantik.

Aku tergagap ketika ia melepaskan kemeja biruku. Baju terbaik yang pernah dibelikan Dad saat ulang tahunku yang ke sembilan. Mum membuka kancingnya satu persatu. Aku mulai risih ketika jemarinya sampai di kancing ke tiga. "Tapi—" aku menahan tangannya.

"Kau mau memakai pakaian seperti ini di acara makan malam Kementerian?" tanya Mum.

Aku memperhatikan setelan pakaian yang aku pakai. Kemeja berlengan panjang yang aku tekuk hingga siku dan celana jins usang paling baik yang sering aku pakai setiap acara pesta. Jujur, aku tak pernah mempermasalahkan penampilanku ketika menghadiri sebuah acara. Apapun acaranya, aku selalu memakai pakaian terbaik yang aku punya. Tak pandang apakah itu acara resmi ataupun acara santai.

Mum tertawa ketika aku hanya bisa diam. "Aku sudah siapkan pakaianmu, James." Katanya sambil menyerahkan satu kantung berisi pakaian dan juga sepatu.

Tuxedo hitam komplit dengan sepatu yang senada aku keluarkan dari dalam kantung itu. Aku pernah memakai pakaian seperti ini, tapi hanya sekali. Itupun menyewa, bukan milik sendiri. Sejak kecil, aku hanya melihat tuxedo hanya dipakai oleh orang-orang kaya tampan saja. Tapi sekarang? Oh, James, ingat kau itu sekarang siapa!

"Pakailah, Dad sudah memesannya beberapa hari lalu dengan mengira-ngira ukuranmu. Aku lihat pasti pas denganmu. Oke, kami tunggu di bawah." Bisik Mum kemudian ia meninggalkanku di kamar sendirian.

Aku masih mengamati pakaian hebat ini di tanganku. Ini luar biasa. Acara semalam saja, tapi pakaian yang harus aku pakai adalah pakaian baru. "Apa memang orang kaya selalu membeli pakaian baru setiap mendatangi pesta?" batinku heran. Apapun itu, aku harus segera memakainya. Malam ini adalah acara makan malam keluarga besar pegawai Kementerian Sihir. Semua keluarganya diundang. Itu artinya aku dan Al juga akan diajak. Tentu, Dad dan Mum adalah orang penting di Kementerian. Apalagi Dad, aku tahu sekali bagaimana reputasinya di Kementerian sebagai pemimpin departemen penting di sana. Jangan sampai hanya karena pakaian aku bisa merusak nama besar mereka.

"Di mana James, Al?"

"Aku di sini," kataku menjawab pertanyaan Dad yang seharusnya Al jawab. Al tersenyum padaku yang memakai setelan jas hitam bermodel sama seperti yang aku kenakan.

Mum menghampiriku dengan pandangan terpukau. Tangannya tergerak mengusap kepalaku dan membenarkan tatanan rambutku yang susah diatur. "Oh, God! Ketiga priaku tampan-tampan sekali malam ini!" katanya sambil menatapku lantas berganti ke arah Al dan terakhir Dad.

"Itu susahnya. Ketampanan kami bisa diadu. Tapi kalau kau.. kau wanita paling cantik di antara kami, love." Kata Dad langsung mencium bibir Mum di depanku dan Al. Aku hanya mendelik dan Al yang memasang wajah jijik.

"Aku rasa kita memang harus pergi sekarang. Bukan begitu, James?" kata Al meminta pembelaanku agar lepas dari tontonan kemesraan kedua orang tua kami.

Aku tertawa lantas mengangguk setuju. Kami masuk dalam perapian dan menghilang.

Dalam acara makan malam Kementerian, Dad dan Mum tampak akrab dengan beberapa orang yang terlihat begitu dihormati di sana. "Itu semua pimpinan setiap departemen Kementerian, James. Aku sempat mengenalnya satu. Yang berdiri paling kiri.. dia pernah main ke rumah." Bisik Al padaku.

Tempat ini ramai sekali. Banyak kilatan cahaya lampu sampai cahaya-cahaya aneh dari tongkat-tongkat para tamu yang silih berganti keluar. Aku tak tahu mengapa, tapi aku suka sekali melihatnya. Sampai ada sebuah kilatan cahaya aneh begitu terang tiba-tiba bersinar di dekatku. Lebih tepatnya ke arahku.

"Apa itu tadi?" tanyaku tak sempat melihat sekitar. Mataku terlalu silau.

"Oh, tidak!" itu suara Al. Ada yang mengajaknya berbicara. Aku tak kenal suara itu. Perlahan aku buka mataku dan melihat sendiri siapa orang yang berdiri di samping tempat duduk Al.

Wanita tua dengan rambut pirang, ia berkacamata aneh melihatku sambil tersenyum lebar. Gayanya genit sekali. Melebihi gaya Elarica. "Hai," sapaku sok ramah.

Al mendelik sambil bergumam 'no' di mulutnya. Memangnya kenapa? Bukannya aku harus bersikap baik? Ini acara besar!

"Akhirnya! Aku bisa bertemu denganmu juga." Katanya. Aku kembali membalasnya dengan senyuman. Selanjutnya ia mulai mengulurkan tangannya ke arahku dan memulai ritual mengenalkan diri. "Kenalkan, namaku Rita Ske—"

"Oh, hai, Madam Skeeter."

Dad datang langsung mengantikan salamku pada wanita itu. Mum yang berjalan lemas di belakangnya cepat menurunkan tanganku dan menahannya untuk tidak bersalaman. Apa di tangan wanita itu ada racunnya? Mum menggeleng tenang memberiku isyarat agar diam.

"Lama tak jumpa, Mr. Potter. Maklum, sudah usia. Jadi cepat lelah, tapi itu fisikku. Gairah untuk mewawancarai orang-orang spesial seperti kalian tetaplah kuat. Hahaha."

Tawanya lucu sekali. Dad meringis. "Oh, semoga anda sehat selalu, Madam." Kata Dad. Sepertinya ia tak ikhlas mengucapkannya.

"Selalu. Ah, aku melewatkan acara speak up keluarga kalian. Oh.. ternyata putra kalian masih hidup. Itu skandal yang sempurna—"

"Ahh, kami sudah ingin pulang. Anak-anak pasti sudah mengantuk. Bukan begitu, boys?" Mum bertanya padaku dan Al bersamaan. Al langsung mengangguk dan tersenyum terpaksa. Sementara Dad langsung memberi kode agar aku mengikuti apa yang Al lakukan.

Aku tersenyum dan berpura-pura menguap. Akting yang bagus bukan?

"Kami undur diri dulu, Madam. Selamat malam."

Dad mengapit pundak Al dan berjalan menjauh. Begitu juga Mum yang kini mengandengku segera mengikuti langkah Dad dan Al. Kami menuju beberapa gerombolan keluarga yang juga bersiap meninggalkan Kementrian. Aku masih belum paham siapa wanita itu. Apakah jabatannya sama pentingnya dengan Dad? Atau dia artis?

"Akan aku ceritakan di rumah, James." Bisik Dad sebelum kami bersamaan menghilang dari jilatan asap hijau dari perapian.


Dad dan Mum bercerita wanita yang aku temui itu adalah Rita Skeeter, seorang reporter senior dari koran sihir ternama, Daily Prophet. Menurut mereka, Madam Skeeter tidak disukai oleh banyak penyihir terkenal karena hobinya membuat gosip. Orang-orang seperti Mum dan Dad-lah yang sering jadi sasarannya. Bahkan sejak mereka masih remaja, apalagi Dad.. ia sudah dikejar-kejar sejak bayi.

Aku sendiri baru melihatnya malam ini. Acara pengenalan diriku ke muka publik sihir sebagai anak pertama Mum dan Dad yang pernah dikabarkan meninggal beberapa bulan lalu, memang dihadiri oleh banyak reporter dari berbagai media. Tapi.. aku sendiri tak pernah melihat Madam Skeeter waktu itu.

"Dia mungkin sakit, kau lihat saja Madam Skeeter itu sudah tua sekali. Sakit-sakitan, banyak yang tak suka dengannya, sih." Seloroh Al. Kami pun ikut tertawa. Memang benar, Madam Skeeter memang sudah tua. Mungkin itu karmanya.

"Ya maka dari itu, dia histeris saat melihatmu tadi." Kata Dad. Ia duduk santai di dekat perapian sambil menikmati teh buatan Mum.

Aku dan Al duduk mengapit Mum di kiri dan kanannya. Ibu kami sedang bermain rambut hitam kami secara bersamaan. Tangan kanan Mum lebih leluasa mengusap rambut Al dibandingkan aku yang ada di sebelah kirinya. Walaupun usapannya pelan di kepalaku. Aku merasa nyaman dengan tangan itu. Tangan Mummy.

"Jika kalian bertanya siapa saja wanita yang sangat Mum benci di dunia ini.. salah satu nama yang tidak perlu lama-lama Mum pikirkan adalah nama Rita Skeeter. Sudah sejak lama aku sangat membencinya." Kata Mum geram.

"Kau benar-benar masih membencinya, sayang?" Dad menurunkan koran yang ia baca dan melipatnya kembali ke atas meja.

Mum mendelik. Itu sudah mewakili jawaban Dad.

"Suara apa itu?" tanyaku saat suara aneh pelan-pelan terdengar. Dad dan Mum ikut mempertajam pendengaran mereka. Kami sejenak terdiam. Dan ternyata.. Auror seperti Dad tidak butuh waktu lama menemukan suara-suara aneh seperti itu.

"Merlin—" pekik Dad, "coba lihat itu!"

Dad bangkit dari duduknya dan mendekat ke sisi Mum. Astaga, Al tertidur pulas. Mum yang mengusap kepalanya sejak tadi sampai tidak terasa jika Al sudah tertidur. "Tanganmu itu ada obat biusnya, ya, kalau pegang kepala Al?" tanya Dad mengoda. Ia mengangkat tangan Al dan mengaitkannya ke pundak. Dad menggendong tubuh Al perlahan dan segera dibawa ke kamarnya.

"Al kalau sudah aku usap kepalanya, pasti langsung tidur." Jawab Mum, ia melirikku.

"Pantaslah.. aku saja keenakan diusap Mummy." Kataku.

Mum berhenti mengusap lantas mencium keningku. "Mum pucat. Pasti lelah, ya? Mum istirahat saja. Sudah malam." Pintaku. Aku melihat Mum begitu kasihan. kelelahan. Sejak menghadiri acara tadi, Mum begitu kelelahan mengikuti Dad bertemu dengan para tamu.

"Kau juga harus tidur, James. Sudah malam, oke!" bisik Mum lantas mengecup dahiku.

"Good night, sweetheart!"

"Good night, Mummy!"


Hampir dua jam aku tak bisa tidur. Aku memikirkan diriku yang kini semakin dikenal banyak penyihir di dunia baruku itu. Karena aku anak Seorang Harry dan Hermione Potter. Meski namaku tetap James Martin, nama keluargaku berubah.

"Aku seorang Potter. Aku hanya harus terbiasa—"

"Lama-lama juga akan terbiasa. Semua butuh waktu, son!"

Aku melihat Dad naik dan mendekatiku. Pelan-pelan ia menjejakkan kaki telanjangnya ke atas genting dan mengambil posisi nyaman di sampingku. Posisi kami sekarang tidak sembarangan. "Senang sekali kamu tiap malam di atas genting?" tanya Dad.

"Dad tahu aku sering ke sini?"

"Aku hanya menebak. Aku baru tahu sekarang. Jadi benar kalau kau sering naik ke sini? Ini berbahaya, James."

Di atas atap rumah, aku dan Dad malam ini sedianya akan menghabiskan malam berdua. Ya, aku sering menyendiri di atas atap rumah tiap kali aku tak bisa tidur. "Aku suka di tempat tinggi. Aku jadi lebih dekat dengan langit," aku lirik bulan yang tampak separuh di atas sana, "lebih dekat dengan orang yang—"

"Kau merindukan Dad? Daddy Martin?" tanya Dad suaranya melemah. Apakah aku membuatnya tak nyaman karena masih memikirkan Daddy Martin? Oh, God! Aku jadi merasa bersalah.

"Maafkan aku, Dad—"

"Tak apa, son. Aku tahu bagaimana perasaanmu. Ini memang sulit. Kau mengenal kami.. saat kau sebesar ini. Hahh—"

Suara Dad serak, aku lihat ada genangan air mata di balik kacamata bulatnya. Dad menangis.

"Aku bergegas pulang dari misi karena.. mendapat kabar jika Mum pendarahan. Saat itu aku bingung karena aku tahu belum waktunya Mum melahirkan. Dan saat aku sampai.. semuanya sudah menangis. Aku melihat buntalan kain yang dipeluk erat di dadanya."

Aku melihatnya yang sedang bercerita masa laluku. Ketika aku dinyatakan meninggal di hadapan banyak orang. "Aku menangisi bayi.. putraku, yang ternyata hanya manipulasi sihir. Kadang, rasa sakit itu masih ada, James. Aku dibohongi. Kau dirugikan."

Dad menceritakan betapa ia sedih ketika Mum berkata jika aku meninggal karena ia terjatuh dari tangga. Namun, ketika secara sadar Mum menjelaskan bahwa ia berbohong, Dad sungguh marah. Tapi ia menahannya. "Aku memahami perasaan istriku. Ia melakukan itu karena ia belum siap menerimamu di kehidupan kami."

Aku sedikit memutar tubuhku menghadap Dad. Kami ada di ujung atap dekat cerobong asap. Dad mengosok pelan pundakku. "James, Dad hanya berharap kau mau menerima kami sebagai orang tuamu. Ini rumahmu juga. Kau sama seperti Al, putra kami." Dad kini memperhalus setiap kata yang ia ucapkan demi membuatku semakin nyaman. Aku bersyukur memiliki ayah seperti dirinya. Dad yang tegas ketika bekerja, akan jauh berbeda jika berhadapan dengan kami keluarganya.

Aku tersenyum langsung memeluknya. Aku bangga memiliki ayah seperti dirinya, ya.. aku tahu singkat tentang masa lalu Dad yang hidup menderita dengan keluarga ibunya sendiri. Aku patut bersyukur mengenal keluarga Murray. Meski aku hidup dengan orang lain yang bukan keluarga kandungku, aku masih merasakan kebahagiaan dari sebuah keluarga. Aku disayangi selayaknya anak kandung.

"Aku tidak bisa bayangkan jika kau tinggal di rumah keluarga lain selain keluarga Mr. Murray. Apakah kau akan bertemu dengan kami atau tidak. Lalu.. kepribadianmu. Aku sangat berterima kasih dengan Mr. dan Mrs. Murray yang mendidikmu dengan baik, James." Dad menarik tubuhku hingga bersandar di dadanya.

Nyaman sekali, sungguh. "Mereka begitu baik padaku, Dad. Sama.. aku juga tak bisa bayangkan jika aku tak pernah bertemu dengan Al waktu itu, lalu denganmu. Rahasia itu akan terbongkar juga, dan jika itu terlalu lama.. akan membuatku sakit hati sendiri."

"Jadi kau sakit hati karena kau kami—" Dad mulai kembali tak nyaman. Aagghh.. aku salah bicara lagi.

Cepat-cepat aku menggeleng, "bukan begitu, Dad. Yahh.. aku memang syok saat tahu semua ini. Sangat syok. Begitu tiba-tiba. Mulai dari mengetahui aku bukan anak Daddy Martin, aku anak kalian sampai aku seorang penyihir, semuanya kini merubah hidupku. Seperti yang kau lakukan pada Mum, aku tak bisa marah begitu saja walaupun rasa sakit itu memang ada. Hanya berpikir.. mengapa aku?" kataku pelan. Aku tak cukup kuat untuk tak mengakuinya di depan Dad.

"Karena kau kuat, son. Buktinya.. kau masih bisa bertemu kami. Dengarkan aku, James. Aku bangga padamu. Kau mewarisi hatiku dalam bertindak. Jadilah rendah hati. Jadilah dirimu apa adanya. Ok!"

Aku memeluk Dad begitu erat. Rasa dingin malam ini terobati karena kehadiran Dad di sisiku. Meski piama yang dikenakannya juga dingin karena angin, aku menyukai tubuhnya yang tidak terlalu besar. Dad memang kecil, tapi aku tahu ia memiliki hati yang besar. Hampir tujuh bulan setelah aku resmi pindah ke rumah Dad ini, aku mulai merasa nyaman dengan keluarga biologisku. Keluargaku mau menerima diriku apa adanya. Dad, Mum, Al.. semuanya.

Dad mengajakku untuk kembali turun dan kembali tidur, tapi aku menolak. Aku membiarkan Dad kembali ke kamar lebih dulu karena aku butuh waktu sendiri beberapa menit lagi. Aku coba mengingat-ingat apa yang sebenarnya aku cari malam ini. Ketenangan seperti apa? Menyendiri di atas atap? Ternyata.. aku akhirnya sadar. Aku telah menemukan ketenangan itu tadi. Bersama ayahku sendiri.

Aku turun dari tangga lantai tiga menuju kamarku. Tepat di ujung tangga sisi kamar, aku mendengar suara panik Al. "Ada apa, Al?" tanyaku mendapati Al hampir menangis di depan kamar Dad yang terbuka.

Penasaran, aku berlari mendekat. Di dalam kamar Mum dan Dad, aku melihat Dad sedang membantu Mum berdiri dari atas ranjang. Piamanya kotor karena noda merah di kakinya. Begitu juga atas ranjang. Itu darah.

"Ambil jaket kalian. Segera ke mobil." Pinta Dad sambil membopong tubuh Mum yang lemas menuju mobil di depan rumah. Kami diminta segera menyusul.

Mum dibawa kembali ke rumah sakit yang sama ketika ia pendarahan waktu itu. Di depan ruang rawatnya, aku, Dad, dan Al menunggu sambil was-was. Kami takut Mum pendarahan akibat bekas kuretnya waktu itu. Karena menurut dokter, pendarahan masih bisa terjadi jika Mum memiliki luka di rahim atau organ lain yang berpengaruh dari kuretnya itu.

Hampir satu jam kami menunggu, sampai akhirnya seorang dokter keluar dan meminta kami untuk segera masuk. Dokter wanita yang sama seperti waktu itu. Aku ingat namanya, Dr. Krane.

"Istri anda kembali keguguran, Mr. Potter. Ya, Mrs. Potter sedang hamil." Kata dokter itu pada Dad. Aku saling pandang dengan Al. Kami kehilangan calon adik kami lagi.

"Mengapa selalu begini, dokter. Apakah ada yang salah dengan istri saya? Kandungannya?"

Dad begitu panik ketika dokter menunjukkan satu berkas ke atas meja. itu hasil pemeriksaan kesehatan Mum yang masih disimpan di rumah sakit. Dr. Krane langsung menjelaskan apa maksud dari data-data itu pada kami.

"Janin menjadi benda asing di rahim istri anda, sir. Kondisi ini terjadi karena Rh istri anda negatif. Lebih tepatnya golongan O negatif. Dan itu termasuk jarang dan sangat berbahaya jika ia memiliki janin dalam tubuhnya memiliki Rh positif. Tubuh istri anda akan menolaknya. Akan banyak peluang janin memiliki Rh positif karena diturunkan dari ibu atau ayahnya. Dan menurut hasil tes, Rh anda positif, Mr. Potter. Rh positif sangat dominan diturunkan."

Kami bertiga dibuat tercengang dengan hasil ini. Aku tak mengerti apa kesimpulannya.

"Jika melihat keadaannya, dua kehamilan terakhir ini berakhir dengan abortus, dan itu akan terjadi pada kehamilan ke dua dan seterusnya. Anda sangat beruntung karena putra kedua anda memiliki rhesus yang sama dengan istri anda."

Dokter melihat ke arah Al yang tertunduk lemas. Hidupnya sungguh beruntung. "Tapi, mengapa James bisa bertahan? Dia memiliki darah yang sama dengan saya," tanya Dad mempertanyakan diriku.

"Kehamilan pertama masih memiliki peluang besar untuk janin selamat. Meski banyak masalah pada saat bayi lahir. Seperti badan membiru, kuning, atau anemia. Apakah dulu putra anda begitu, sir?"

Ekspresi Dad berubah tegang. Dad pasti tak tahu bagaimana aku dulu. Segera, aku mengangguk membenarkan penjelasan dokter tadi. Aku pernah mendengar cerita dari Mum dan Dad Martin jika dulu aku sempat sakit kuning ketika bayi. Dan sampai sekarang aku juga menderita anemia. Jadi itu memang benar.

"Jadi artinya.. istri saya akan kesulitan kembali mengandung?"

"Benar, sir. Bayi akan selamat jika kondisinya sama seperti putra kedua anda. Tapi itu kemungkinannya sangat kecil sekali." Jelas Dr. Krane.

Kami hanya bisa pasrah.


Kami mendekati Mum yang berbaring di atas ranjang. Ia menangis melihat kedatangan kami. "Maafkan aku, Harry. Aku tak bisa kembali memberikanmu keturunan—" Mum terus menangis sambil terus dipeluk oleh Daddy. Aku tak tega melihatnya seperti ini.

"No.. it's OK. Aku tak masalah. Hidup kita telah sempurna dengan kehadiran James dan Al. Dan juga kau.. aku sudah sangat bersyukur. Terima kasih."

Mum memanggil kami agar mendekat dan memeluknya. "Kami akan selalu ada untukmu, Mummy. Percayalah.. kami sangat menyayangimu." Bisikku padanya.

"Kami menyayangimu, Mum. Kami mencintaimu." Bisik Al juga.

Dad memeluk tubuh kami jadi satu. Malam ini kami kembali dipersatukan dengan cinta. Keluarga yang utuh. "Cinta kita tak akan pernah berakhir." Dad mencium Mummy. Cinta keluarga memanglah yang paling indah. Kau akan menemukan kebahagiaan itu dari keluargamu, dari mereka semua yang akan selalu menyayangimu.

- FIN -


#

Akhirnya! Selesai.

Anne ucapkan terima kasih untuk para pembaca, reviewers, like maupun yang favoritkan fanfic ini. Anne terima kasih sekali karena apresiasi kalian luar biasa. Anne terharus! Huhuhu.. maaf jika update lama. Anne juga maaf jika ada kesalahan data dan typo yang merajalela. Mohon dikoreksi jika berkenan dan mengabarkannya pada Anne, Anne akan segera perbaiki. Tunggu kisah-kisah baru dari Anne. Bisa lihat updatenya di IG Anne.. tanya-tanya di ask fm Anne juga bisa.. Pokoknya Anne ucapkan banyak terima kasih.

Anne tunggu review kalian!

Anne sayang kalian!

Thanks,

Anne xoxo