== BL == BL == BL ==

Contains: fanmade plot twist! Twist tidak berkaitan dengan serial aslinya, merupakan reimajinasi dari penulis berdasarkan diskusi bersama fans dan doujin gelap yang bertebaran di Facebook.

Pairing: Saitama x Genos [One Punch Man; keseluruhan esensi serial milik ONE/Yuusuke Murata]

Genre: Angst / Tragedy / Romance

Rating: TBA/under development

Sudah lama tidak menulis fic, mohon kritik dan saran happy reading! Maaf atas segala kekurangan dan typo serta autocorrect!

*) selamat tahun baru 2016! w)b semoga tulisanku semakin stabil orz;;; happy reading!

.

=== author's note===

Karena sepertinya penjelasan ruang dan waktuku terlampau rumit… orz Maaf banget ya, kujelasin di awal- silahkan bertanya kalau ada yang sulit dipahami- karena masukin konsep tanpa visualisasi kalau untuk sci-fi agak bingung ya;;;

Perjalanan waktu memiliki dua tipe efek dalam dimensi waktu: multilinear (seperti yang Kuseno sebut di chapter sebelumnya) dan multiverse.

Konsep multilinear itu seperti takdir, kalaupun kamu merubah apapun di masa lalu, bagaimanapun caranya, masa depan (masa kini yang telah dialami) akan tetap terjadi. Seperti halnya melempar kerikil ke sungai mengalir, hanya bisa menciptakan cipratan, tapi tidak mengubah aliran air tersebut. kerikil kecil ini anggaplah tindakan perubahan yang dilakukan. Jika tidak besar perubahan yang dilakukan, maka Saitama tidak akan merubah fakta Genos mati dibunuh oleh Saitama di masa depan nantinya. Oleh karenanya, hanya membunuh Kuseno di masa lalu tidak akan cukup membuat masa depan berubah.

Konsep multiverse adalah konsep dimana kamu membuat dimensi baru jika kau merubah masa lalu. Anggaplah, timeline Genos dibunuh Saitama memiliki masa lalu A1 dan masa depan B1. Ketika Saitama kembali ke A1, dan membuat perubahan besar seperti mengganti dirinya sendiri dengan membunuh dirinya di masa lalu, maka dia akan menciptakan masa depan B2, alias dimensi waktu (untuk masa depan) yang baru. Bagaimana dengan masa depan B1 yang ditinggalkan Saitama dimana Genos terbunuh? Akan tetap ada, tapi tanpa dirinya (karena dia sudah pindah ke dimensi B2).

Mudah-mudahan lebih jelas v yup, Saitama mengambil multiverse. Anw, hope you enjoy this story this year. Cheers!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Vermillion Lullaby [Part 5 / X]

"Selamat pagi, Genos."

[Selamat pagi, Guru.]

"Hoaaaahmmm…"

[Guru, apakah kau ingin makan katsudon pagi ini?]

"Eeeeh… kita punya benda semahal itu?"

[Kebetulan, honor pahlawan kelas S-ku bulan ini lebih banyak dari biasanya. Aku bisa merekomendasikan sukiyaki untuk makan malam.]

"Ah, tidak, tidak. Uangmu ya uangmu. Aku tidak butuh. Lagipula, siapa juga yang makan makanan seberat katsudon pagi-pagi begini?"

[Oh, kukira makan makanan yang 'mewah' untuk sarapan berpengaruh pada performamu, Guru. Kau memang luar biasa..]

"… Ya, makan apapun juga sebenarnya tidak berpengaruh, lah, kau ini. yang penting makan. Sudahlah, hari ini makan ikan panggang saja. Aku sedang ingin rasa masakan Jepang di pagi hari."

[Baik, guru!]

… adalah percakapan terakhir kita di hari itu, bukan? Memori kecil ini terus terbayang-bayang di kepalaku setiap pagi. Tidak hanya itu, sebenarnya. Banyak. Aku ingat kau bahkan pernah menyediakan cake dan cokelat di pagi hari sebelumnya. Semakin aku memutar mundur memori setiap pagiku, rasanya seperti semesta berkata itu adalah pesan kematian. Jika aku ingat kembali, harusnya aku lebih menjaga momen itu lebih, dan lebih. Seharusnya aku melakukan lebih banyak hal denganmu. Apa kira-kira? Aku tidak pernah memberi banyak hal yang berarti, sepertinya. Aku memang orang yang kelewat santai. Tapi aku ingin meyakinkanmu bahwa aku selalu ingat apa yang pernah kau berikan padaku.

Mengingatmu kembali… membuat kepalaku tertunduk di dapur. Membuat telur untuk tamagoyaki-ku di pagi ini menjadi lebih asin, ketimbang manis, sebagaimana kau selalu membuatnya begitu. Rupanya, ini air mataku.

Aku memanggilmu di dalam batinku, berteriak dan menggema hingga sekujur tubuhku. Aku memikirkan kata-kata professor sialan itu- Kuseno-, dia yang telah menawariku jalan untuk bertemu denganmu. Meskipun aku tidak yakin. Apa maksudnya aku harus membunuh diriku di masa lalu? Apa itu karena aku cukup brengsek untuk mati? Antara memori tentangmu dan cara untuk menyelamatkanmu… semua berputar dalam kepalaku. Telah beranjak tiga hari dari tawaran aneh itu, ini pertama kalinya aku berpikir panjang untuk melakukan sesuatu.

[Guru, professor memanggilku sebentar, aku akan segera kembali.]

Andaikan aku bisa menghentikanmu saat itu, jika aku tahu kau tidak akan pernah kembali lagi.

.

.

.

.

.

"Kulihat kau sudah siap, Saitama."

"Jangan banyak bicara, langsung saja ke intinya. Aku benar bisa menyelamatkan Genos, kan?"

"Tentu, tergantung usahamu."

"JANGAN MAIN-MAIN DENGANKU! Kau tahu aku bisa membunuhmu disini sekarang juga kalau kau masih tidak serius soal ini!"

"… Tumben, kau serius, bukan? Aku selalu serius dengan apa yang kulakukan. Saat ini kau hanya perlu tidur sejenak dalam kapsul ini. dan jika berhasil, kecepatannya akan mencapai singularitas untuk-"

"Kembalikan aku pada hari dimana Genos hendak pergi ke tempatmu. Tidak usah banyak bicara soal singletistas-apalah itu."

Percakapan sederhana di siang itu. Saitama memutuskan untuk melakukan apapun yang dia bisa. Saat ini yang dipikirkannya hanyalah mencegah Genos pergi dari tempatnya di hari itu. Jika dia mampu, maka Genos akan tetap hidup. Dan semua akan kembali seperti semula. "Ingatlah, Saitama. Aku memindahkan tubuhmu, bukan memorimu. Ketika kau kembali kesana, aka nada dua dirimu. Terserah langkah apa yang akan kau ambil. Aku hanya ingin menelitinya. Itu saja.

Saitama tidak mendengarkan detil kisah ilmiah sang professor yang bersemangat itu. Yang dia tahu, dia hanya akan bertemu Genos dan dirinya lagi di masa lalu. Saitama masuk ke dalam kapsul tersebut. Terlentang menghadap langit-langit. Setelah kapsul tersebut di tutup, Saitama hanya dapat mendengar sedikit suara dari luar. Professor sialan itu masih mengoceh, batinnya. "Oi, cepatlah sedikit, aku bukan kesini untuk menjadi tuna kaleng."

Professor Kuseno menghela napas, memaklumi perilaku Saitama yang semakin arogan.

"… Semoga beruntung." Jawab professor, meski mungkin tak akan terdengar oleh Saitama.

Suara mesin mulai nyaring, bergemuruh. Di dalam kapsul itu, Saitama hanya bisa merasakan getaran hebat. Getaran yang sangat cepat, membuatnya pusing dan terasa mual. Dia menutup matanya, berusaha menahan keinginannya untuk segera muntah. Berhubung dia ingat dia akan tetap di dalam kapsul tersebut dalam keadaan terlentang. Yang pasti jika dia muntah, dia jelas akan memuntahi dirinya sendiri.

Dalam kapsul tersebut, rasanya sangat membingungkan. Beberapa saat suara gemuruh itu hilang, mendadak sunyi. Tapi kesunyian itu tetap berbisik, seperti suara yang menggema di dalam kepala. Seperti sedang memutar kembali sebuah kaset dalam waktu yang sangat cepat, terlampau cepat. Hingga tidak jelas apa isinya. Saat Saitama membuka matanya, dia hanya dapat melihat dalam ruang-ruang yang melayang di depannya. Ruangan itu sangat tipis, kecil, seperti benang. Dalam kapsul itu sendiri, dia tidak bisa merasakan lagi tubuhnya, seakan-akan terhimpit antara lubang tang lebih, lebih, dan lebih kecil dari pori-pori kulit. Menyesakkan, nyaris tak ada keinginan untuk bernapas. Semua terlihat sangat kompleks. Tak ada lagi suara, bahkan kerongkongannya terasa hilang. Semua hal ini, di beberapa sisi, bahkan tidak dapat dia deskripsikan dengan baik di kepalanya. Dia hanya ingin semua ini segera berakhir.

.

.

.

Ketika dia membuka mata lagi, dia telah berada di ruangan yang sama saat dia pergi, hanya saja, benar-benar gelap disana, tidak ada apapun, hanya dirinya dan kapsul… waktunya. Tubuhnya, seperti dugaan Kuseno, cukup kuat untuk melintasi kehampaan. Sehingga dalam keadaan utuh, dia dapat terbangun lagi di masa lalu.

Hal yang pertama dia lakukan setelah keluar dari kapsul tersebut adalah…

"HOEEEEEEEEEEKH-!"

… Muntah.

"Sialan… brengsek… kepalaku sakit, rasanya benar-benar tidak enak-HOEKH-!"

Untuk pertama kalinya, Saitama muntah parah dan merasakan nyeri di sekujur tubuhnya. Mungkin serangan musuh menjadi tak berarti, namun tetap saja dia tidak dapat melawan semesta dan hukum alam. Matanya berkunang-kunang, tangannya gemetaran, wajahnya menjadi pucat. Dia segera duduk di lantai, dengan keadaan sangat berantakan. Dia tidak peduli bajunya kotor. Saat ini yang dia butuhkan adalah istirahat sejenak. "Perjalanan waktu sialan... jika saja… bukan karena-ghhh-anak itu… aku tidak ingin…melakukan ini lagi…" keluhnya sesaat. Dia mencoba berdiri beberapa saat kemudian. Mencari air karena mendadak dia sangat haus, mungkin karena perjalanan panjang yang dipercepat hingga sepermilyar detik itu. Meski kosong, ternyata masih terdapat sejenis perlengkapan sandang dan pangan di dalam sana. Sepertinya, tempat ini merupakan laboratorium cadangan darurat milik Kuseno, meski masih kosong saat ini.

Ah, apa pentingnya. Yang dia tahu, nantinya ruangan ini akan diisi dengan beragam peralatan lagi di masa depan.

… Jika dia tidak mencegah Kuseno menyentuh Genos dengan tangan liciknya.

Saitama mengganti pakaiannya yang sudah kotor dengan sandang yang ada, sambil meminum air sebanyak yang dia bisa. Dia tidak merasa lapar, hanya sangat haus, namun rasanya setelah meminum beberapa botol air mineralpun, tubuhnya masih memberontak untuk segera pulih.

Memaksakan dirinya sedikit, dia beranjak keluar dari tempat itu, mencoba mencari cahaya matahari dan udara bebas. Langkahnya agak berat, namun udara segar lebih penting.

Saat dia keluar, langit masih sangat biru.

"… Ah…" gumamnya saat melihat langit. "Hari itu, sangat cerah, ya…" dia memutar kembali ingatan di hari Genos pergi dari apartemennya.

Menghela napas dalam, membuatnya melupakan rasa mualnya sedikit demi sedikit.

Dia tidak bisa berdiam diri saja. Dia harus segera menuntaskan misinya.

.

.

.

.

.

"Pro…fesor…?"

Sebuah suara terdengar sangat terkejut di dalam sebuah labolatorium. Labolatorium tersebut porak poranda, dengan kertas yang terburai, tercecer ke seluruh ruangan, sebagian telah terbakar akibat-sepertinya, mesin yang meledak disana-sini. Ruangan itu menjadi gelap gulita, bahkan membuat Genos harus mengerahkan setikit penglihatan malam, padahal saat itu matahari masih bersinar di luar. "Profesor?! Dimana kau?! Profesor Kuseno?!"

Genos memanggil-manggil nama penciptanya-atau yang dia anggap sebagai 'ayah'-nya tersebut di ruangan itu. Tak ada jawaban. Dia baru saja tiba di ruangan itu karena professor Kuseno memanggilnya, sekarang bahkan dia tidak dapat menemukannya. Dia menyalakan reseptor transmisi sinyal keberadaan professor. Genos bernapas lega sejenak. Sinyalnya positif, artinya professor masih hidup, namun tidak sedang berada di laboratorium itu lagi. Laboratorium yang seakan rumahnya yang kedua, tempat dimana dia dibangkitkan kembali sejak empat tahun lalu. Profesor sepertinya berada cukup jauh dari tempat dia berdiri. Maka misi selanjutnya adalah mencari professor Kuseno.

Saat membalikkan badannya, dia merasakan dingin di punggungnya.

Dingin, seperti hawa pembunuh.

"Tck, aku memang tak pernah belajar."

Ya, dia melupakan esensi kewaspadaan yang harus dipertahankan setiap saat. Dia kembali memanaskan sensornya, lalu menyalakan fungsi penglihatannya. Sensor gerak menangkap bayangan yang bergerak sangat cepat, hampir tak terlihat. Selain itu, gerakan tersebut sangatlah ringan, sepertinya, hingga tak menimbulkan suara. Bahkan tidak membentur suatu benda pun, seakan melayang. Sangat hening. Genos membuka tangannya, "Siapapun yang ada di dalam sini, keluarlah. Sebelum aku membakar seluruh tempat ini, kau akan menjadi abu yang sia-sia." Katanya tenang.

Tetap tak ada jawaban, maka Genos menyalakan sensor suhu dalam penglihatannya. Sekelebat, sejenak, dia mencari ke seluruh ruangan.

Tak memerlukan waktu lama untuknya menemukan sosok yang terlihat dalam sensornya, memancarkan suhu hangat, artinya adalah, makhluk hidup. Baru saja Genos hendak mengarahkan tangannya, bayangan itu melesat cepat. "SIAL-"

Genos melompat secepat yang dia bisa, lalu menembakkan api dari canon tangannya, bergerak segesit yang dia bisa, menolak kakinya dari tembok. Dia langsung menghampiri sosok tersebut dengan kecepatan yang sangat tinggi, berusaha untuk memberikan tendangan terkuatnya.

"… Genos, kau tetap bersemangat seperti biasanya."

Sosok tersebut mengeluarkan suara.

Yang sangat familiar.

Membuatnya tersentak, lalu mundur kembali, lalu mendarat dengan lututnya, dan bergeser cepat, menyapu lantai hingga berdecit dan menimbulkan percikan api. "SIAPA KAU?!"

"…"

Suara itu tak menjawab. Saat Genos mengedipkan matanya sejenak untuk memperkuat penglihatannya, sosok itu telah hilang. Genos yakin sosok itu yang membuat ruangan itu terburai, namun yang membuatnya heran adalah, makhluk macam apa yang bisa-bisanya, hanya dengan suara, bagai menghipnotisnya untuk menghentikan serangannya?

Padahal, Genos, hanyalah cyborg.

.

.

.

Jantung laki-laki itu berdegup kencang, menggebu. Tangannya gemetaran, badannya menggigil tak karuan.

Sekujur bulu kuduknya merinding, seakan ketakutan telah membungkus tubuhnya erat. Teringat saat dia telah membiarkan tangannya menghabisi nyawa seseorang yang dia cintai.

Saitama, merasakan lagi ketakutan luar biasa itu. Saat dia kembali bertemu dengan Genos, bergerak, bernapas, bersuara, di hadapannya, beberapa saat yang lalu sebelum akhirnya tanpa dia sadari, dia melarikan diri dari tempat yang dia porak-porandakan sebelumnya, labolatorium professor Kuseno. Namun tak hanya ketakutan yang dia rasakan.

Dia merasakan rindu yang sangat kuat di dalam dirinya.

Perasaan ingin memeluk Genos kembali dalam dekapan tangannya.

Saat matanya memandang Genos di dalam kegelapan itu, dia merasakan nyata aliran udara yang bergerak saat Genos bergerak menyerangnya.

Di dimensi ini, Genos masih hidup.

Saitama menghela napas sedalam-dalamnya, memegang tangannya sendiri yang gemetaran, hingga mengepalkan tangan sekuat tenaganya. "Ge…nos…" dia tertunduk, kakinya lemas hingga tak sanggup lagi berdiri. "Genos…kau…masih…hidup…" suaranya tertahan.

Saitama menangis.

Seorang pahlawan terkuat, akhirnya menunjukkan kelemahannya yang luar biasa dalam balut rahasia yang hanya diketahui dirinya. Kepalan tangannya sangat erat, bahkan bisa terlihat bagaimana urat-uratnya terlihat menonjol. Saitama merasakan sakit yang luar biasa setiap air matanya jatuh ke ke tanah. Perlahan, dia berdiri, mengikuti jejak Genos. Bagaimanapun, saat ini professor Kuseno telah berhasil lolos. Tak dapat disangka ternyata orang itu telah menyiapkan kapsul darurat untuk evakuasi, hingga Saitama tidak sempat menyentuhnya sedikitpun, hanya dapat mengamuk di dalam laboratorium tersebut.

Saitama melihat bayangan yang melompat di langit, itu adalah Genos.

Terpesona sesaat, Saitama kemudian mengikuti jejak muridnya tersebut. Genos tetaplah berada dalam bahaya. Saitama mengira mungkin Genos akan pergi mencari professor Kuseno. Genos bergerak cepat menuju kota. Begitupun Saitama.

Rasanya seperti berubah menjadi seorang stalker.

Mengingat dulunya, Genos, sepertinya, melakukan hal yang sama terhadap dirinya.

Karena yang ada di pikirannya, lambat laun bukanlah untuk membunuh professor Kuseno lagi, melainkan untuk memandang wajah muridnya lebih lama. Di masa depan-masanya, Genos sudah tiada. Maka hati Saitama hanya terpaku untuk melihat hanya wajah Genos.

Genos yang melintasi kota dengan serius.

Genos yang kemudian bertemu dengan monster kecil selama perjalanan.

Genos yang menolong seorang paruh baya menyebrang jalan sambil membawa beban belanjaan sekiranya delapan atau sepuluh kilo.

Ini adalah Genos dalam keseharian.

Begitu merindukan. Rasanya menjadi sangat disayangkan Saitama dulunya nyaris tidak mempedulikan apa yang dilakukan Genos dalam bermasyarakat.

Saitama melangkahkan kakinya lebih dekat, dan dekat. Dengan pakaian temuannya yang tidak terlalu mencolok, Saitama cukup mudah membaur dengan orang-orang di sekitarnya. Sepertinya, tubuhnya bergerak sendiri.

[Aku ingin menyentuhmu sekali lagi…]

Saat tangannya ternyata sudah mengulur, hendak menyentuh helaian rambut murid di hadapannya, sebuah suara mengejutkan baik Saitama maupun Genos. "Oh, Genos! Kau sudah pulang? Aku baru pinjam beberapa game dari King."

Itu adalah suaranya sendiri.

Tak lama, Saitama dari masa depan, langsung mundur, tak berani menatap atau berhadapan langsung dengan dirinya sendiri. dia ingat pesan professor Kuseno, yakni tidak dapat dibiarkan dua orang yang sama hadir dalam satu waktu, karena bisa menimbulkan kekacauan. Saitama dari masa depan langsung membalikkan punggungnya, dan segera bersembunyi di celah gang antara gedung. Cukup jauh untuk tak terlihat, dan cukup dekat untuk dapat sedikit memperhatikan.

"Baik, Guru!"

Adalah salah satu dari sedikit yang dapat dia dengar dari kejauhan.

Saitama kemudian menjadi fokus.

Fokusnya adalah; kini dia bisa melihat Genos tersenyum dari sisi yang lain.

Genos terlihat sangat indah.

Atau cantik.

Atau menawan.

Atau apapun itu.

Dia mencintai Genos… sejak lama, namun hari ini dia bisa melihat raut wajah Genos dari sisi lain. Genos tersenyum tulus pada dirinya yang lain, yang ada di seberang sana. Masih dapat berbincang dengan Genos dengan bebas. Dada Saitama dari masa depan terasa sangat tersiksa. Mungkin ini yang dikatakan manusia normal sebagai rasa cemburu. Meskipun dia, mungkin terdengar aneh… cemburu pada dirinya sendiri. Secara logika, Saitama di masa lalu adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Tapi perasaan rindu yang tertahan, memori penglihatannya di hari yang merah itu membutakan logika. Semua orang selain dirinya ini, adalah orang lain, meski itu adalah dirinya sendiri.

[Bisa-bisanya kau tenang seperti itu.

Dia bisa saja segera mati, tahu.

Kau tidak bisa menyelamatkannya.

Semua ini salahmu.

SALAHMU.

KAU TIDAK AKAN PAHAM RASANYA.

KAU TIDAK BISA MELINDUNGINYA SEPERTI AKU!

AKU TELAH MELIHATNYA MATI!

MATI DI TANGANKU-

DAN KAU MASIH BISA BERBINCANG DENGANNYA.

Ini tidak adil.

Kau, di masa lalu… tidak berhak menerima semua kebaikan Genos.

Kau tidak bisa tenang seperti itu… sadarlah, kau itu orang idiot.

AKU BISA MENYELAMATKANNYA.

HANYA AKU YANG BISA.]

Saitama dari masa depan mengeraskan giginya, menahan amarah. Tak lama, perasaan cemburu ini menjadi luar biasa, luar biasa mengganggu. Seakan di dalam kepalanya ada yang menjerit-jerit, memaki, menghina, membisikkan sesuatu dalam waktu yang sama. Dunia sesaat terasa berputar baginya, seakan-akan ada sesuatu yang pekat mencoba meraih dirinya.

Saitama pun kembali menjauhkan dirinya dari tempat itu.

.

.

.

.

.

"Jadi, tumben kamu pulang cepat, Genos?"

"Tidak, guru. Saat aku tiba di laboratorium, sepertinya ada jejak amukan monster."

"Heeeeeee- sungguh merepotkan."

"Paling tidak, aku telah memastikan professor Kuseno masih selamat dengan-"

"Whoa, whoa, tahan. Aku tidak peduli kau mendeteksinya dengan apa, yang pasti tolong bantu aku membawa game-game ini. King bilang, ini game langka. Aku tidak tahu apa maksudnya, dia hanya bilang aku harus menjaganya dengan baik-ups."

Baru saja berkata demikian, satu CD telah jatuh ke tanah dalam keadaan terbuka, dan sepertinya tergores jalanan. "… Y-yah, jangan kasih tahu King, kita masih bisa memperbaikinya."

"Baik, Guru!"

Saitama di hadapannya masih berusaha menaruh game-game di tangannya dengan rapi untuk berpindah tangan pada Genos. Melihat gurnya sedikit berusaha, membuat bibirnya melengkung tipis. Yang terpenting, guru merasa senang dan antusias. Hanya beberapa saat, dia kemudian merasakan keberadaan aura monster di punggungnya. Hanya sesaat. Saat dia menoleh, matanya langsung tertuju pada celah gang kecil, yang kemungkinan adalah sumber dari aura monster tersebut. "Wh-whoa, Genos, jangan tiba-tiba bergerak seperti itu, kau lihat apa, sih?" Tanya Saitama, karena saat Genos menoleh, badannya ikut bergerak, nyaris membanting game-game King tersebut ke jalan.

"Ah, tidak. Aku sesaat merasakan keberadaan monster. Tapi sekarang sudah hilang, sepertinya."

"Heeee… seperti biasanya, kau selalu bersemangat, ya."

Genos menyerap kata-kata guru di hadapannya. Mengingat kembali beberapa waktu yang lalu, sosok di labolatorium professor Kuseno, juga sepertinya menyebutkan hal yang sama.

Dengan suara yang sama.

Nada yang sama.

Seakan terasa de javu di titik dia berdiri, Genos terdiam menatap gurunya. "Hm? Ada apa?"

"… Ah, tidak ada apa-apa, guru."

"Dasar. Ayo kita pulang. Taruh dulu game-game ini di rumah."

Genos berjalan di belakang gurunya sambil membawa sebagian game di tangannya.

Langit sedang cerah menuju sore. "Guru, hari ini ada diskon sawi dan ikan di supermarket Y." katanya. "Heeeehhh… aku nyaris lupa! Astagaaaaaa-kalau begitu aku pergi belanja dulu. Kau pulang saja duluan membawa ini. Aku sedang senang hari ini."

Mendengarnya, Genos tersenyum lagi. "Baik, Guru!"

Genos berjalan pulang sendirian. Dalam kepalanya tidak lagi memprioritaskan professor Kuseno, melainkan suara monster di ruangan itu.

Suaranya sangat mirip dengan gurunya.

Hanya saja, lebih bergetar. Suara monster, atau makhluk apapun di laboratorium yang berantakan itu, terdengar…

Penuh dengan kesedihan.