A/N: Fanfic ini dedicated for Karma Akabane, setan wasabi berambut merah kita tertjintah /ohok
BROMANCE ALL THE WAAY YASSSSS

Happy reading~!


Baby Karma
23 November 2015
by Esile the Raven, Characters by Yuusei Matsui


1. Di Depan Pintu
Thanks to Koshiba Kiri for beta!


Sejak orang tuanya bercerai, Nagisa Shiota tinggal di rumah neneknya. Neneknya sendiri sudah lama dirawat di rumah sakit karena lemah jantung. Cucunya yang baru naik ke kelas satu SMP itu akhirnya tinggal sendiri. Sempat ada tetangga yang menawarkan bantuan, namun tidak bisa selalu ada di rumah, jadi akhirnya ia tetap sendirian.

Sebenarnya Nagisa senang, dibandingkan dengan tinggal di rumah dengan ibunya yang memberinya tekanan berat, atau dengan ayahnya yang juga terlalu sibuk dan tiap pulang selalu mengeluh kelelahan.

Ia harus pindah sekolah untuk tinggal di rumah neneknya, di daerah pedesaan. Nagisa memang ingin sendiri saja, namun ternyata cukup susah untuk punya teman dekat setelah pindah sekolah; dia benar-benar tidak kenal siapa-siapa di sekolah barunya. Memang mereka ramah, dan kadang mereka keluar bersama untuk karaoke atau makan, tapi sampai sekarang, Nagisa belum memiliki teman dekat.

Nagisa mengerjakan pekerjaan rumah selain mengurus dirinya sendiri. Cukup adil; ia sudah menumpang rumah neneknya, paling tidak ia mengurus rumah beliau juga. Tiap pagi ia menyirami bunga-bunga dan bonsai. Bunga yang sudah cukup mekar akan ia potong dan rangkai untuk menghias ruang tengah.

Saat ini ia sedang memikirkan bagaimana caranya menghabiskan liburan musim dingin sampai semester baru dimulai lagi. Dari ponsel Nagisa, Morning Mood yang syahdu terdengar. Setelah menyantap sarapan di pagi hari yang tenang itu, ia mendengar suara pintu diketuk.

Siapa datang sepagi ini? Pikirnya heran, mengikat rambut panjangnya menjadi kuciran rendah di belakang kepala, lalu beringsut untuk membuka pintu depan. Ia kembali untuk menghentikan music player di ponselnya lalu bergegas ke depan lagi.

Mata birunya melirik ke kiri dan kanan segera setelah pintu ditarik mundur; tidak ada siapa-siapa. Saat ia sudah mau berbalik dan menutup pintu, memutuskan bahwa ketukan tadi hanya perasaannya saja...

"Hnn! Hmm, hehe!"

Organ dalam Nagisa jatuh ke dasar perutnya, matanya belum pernah selebar itu, dan rahangnya lemas seketika.

Di sana, di pijakan teras kecil rumah neneknya, di dalam kardus bekas mie instan, terbungkus oleh selimut tebal—bayi berambut merah. Dan sepucuk surat.

Sebagai seorang anak SMP ini benar-benar bukan bidangnya. Bayi. Demi apa ada orang buang bayi di rumah orang!? Ia menoleh ke belakang, ke telepon di lorong. Telepon polisi? Benar juga. Tapi tidak etis juga kalau ia meninggalkan bayi itu di luar. Dengan gugup, Nagisa mencoba mengangkat kardus itu beserta isinya—bayi—dan ternyata tangannya terlalu lemah untuk itu.

Ukh, aku harus latihan push-up lebih rajin...Nagisa berjanji dalam hati, lalu karena ia tidak tahu bagaimana cara menggendong bayi yang benar—dan dia tidak suka ambil risiko—akhirnya Nagisa menyeret kardus itu ke dalam rumah, membuat si bayi tergelak;

"Wahaha~! Muuuuuff!" tangan kecilnya melambai-lambai, membuka dan menggenggam, kakinya menendang-nendang muka Nagisa saking semangatnya.

"Uuh...Kau sehat sekali ya..." ia tertawa gugup, dan setelah berhasil memasukkan kardus itu ke lorong, Nagisa pun bergegas menyambangi telepon dan menghubungi kantor polisi.

Agak lama menghubunginya—mungkin terlalu pagi untuk jam dinas, tapi tidak lama diangkat juga. Dia segera memberitahukan apa yang terjadi dan mendeskripsikan bayinya secara detil.

Sementara itu, si bayi berambut merah berguling-guling di dalam kardus, berusaha melepaskan diri dari selimutnya. Ia bertelungkup dan terkikik, dan berusaha meraih pinggiran kardus. Tahu-tahu saja lutut kecilnya menekuk dan ia sudah mulai merangkak. Bayi itu tertawa lagi, namun Nagisa tidak mendengar.

"Haauumm...foooff!" bayi itu sudah bisa duduk, kepalanya mengintip dari sisi kardus, mengamati sekitarnya dengan penasaran. Tidak punya rasa takut sedikitpun, ia melihat sandal rumah dan insting pertamanya adalah:

Gigit. Sandal. Itu!

"Muuuuf! Huumff!" satu tangannya meraih ke luar, membuat kardus itu oleng, dan akhirnya ia terbebas dari kungkungan karton tebal tersebut, terkikik girang dan merangkak ke arah sandal. "Waaan! Aaawwaa!" serunya, dengan penuh kemenangan melambai-lambaikan sandal kain itu, mata tembaga pucatnya berbinar.

Seakan bangga dan minta dipuji, si bayi menoleh ke satu-satunya manusia di lorong itu. Ujung sandal masih di mulutnya, ia merangkak ke arah Nagisa, kepalanya menengadah penuh harap, lalu ia jatuh terduduk. Tiba-tiba Nagisa dikejutkan oleh beban hangat yang mendekap kaki kanannya.

Ia menatap ke bawah melihat si bayi memeluk kakinya sambil...menggigit sandal rumahnya.

"A-Anu...Maaf pak, hanya itu yang bisa saya beritahu. Iya. Terimakasih." ia menutup telepon lalu pelan-pelan melepas tangan si bayi sebelum ikut duduk di lantai. "Hei, jangan gigit itu..." ujar Nagisa, dengan pelan meraih sandalnya.

Si bayi langsung menoleh, menjauhkan sandal dari tangan Nagisa. "Hmmbhffh!"

"Itu kotor..."

Si bayi menoleh lagi ke arah lain.

"Ayo, dilepas duluuu..." Nagisa sedikit tidak sabar merengkuh pipi si bayi dan dengan lembut menarik sandal itu lepas dari mulutnya. Si bayi mengerjapkan matanya, terdiam merasakan tangan besar di pipinya. Ia tertawa.

"Hiyaa! Mmmff!" dengan girang, bayi berambut merah itu memeluk tangan Nagisa, mengusapkan kepalanya ke telapak yang besar itu.

Nagisa terkejut, dan mau tidak mau mengakui bayi ini manis juga.

...Sampai dia mulai memasukkan ibu jari Nagisa ke dalam mulutnya.

"Hummffhhsshaam?"

"Sepertinya kau lapar."

"Apba!" si bayi bersorak.


Warning: fic ini banyak bromance dan...GAY. *gigit sendal*
Update setiap hari, jadi jangan sampai kelewatan ;D

Kindly review if you have the time.