Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto – Intimidate © barapanda

Warning: AU, OOC, teacher-student, age gap, plot-rush, third's POV, et cetera, don't like don't read!

(remake dari fanfiksi "Little Girl" punyaku sebelumnya, storyboard agak berubah)

.

Chapter 3: Pengakuan

.

Uchiha Itachi tampak tak fokus ketika sedang mengetik laporan data nilai para muridnya di dalam ruang guru. Saat itu suasana sedang sepi karena kebanyakan guru sedang pergi mengajar, sementara dirinya sedang tidak ada jam mengajar saat ini—terutama di siang yang sudah terik ini, siapa juga yang mau berolahraga di saat hari sedang panas? Ini sudah hampir melewati sebulan di semester awal, maka ia pun juga telah mulai memasukkan data nilai murid-muridnya di komputer—begitulah ia menghabiskan waktu.

Pikirannya saat ini sedang melayang pada kejadian yang lalu, saat sedang mengajar kelas Hyuuga Hinata dan juga insiden terbenturnya gadis itu dengan bola basket. Mungkin saat ini gadis itu sudah kembali ke kelas setelah kepalanya mulai terasa membaik, atau kakinya sudah tak begitu sakit lagi. Namun bisa juga ia masih tertidur karena efek benturan yang mungkin saja lumayan keras.

Ya, pasti keras sekali.

Karena… ketika Itachi sedang merawat luka di lutut Hinata, gadis itu mulai bertindak aneh lagi. Tampak gelisah dan tak nyaman. Awalnya, Itachi tak begitu memusingkannya. Ia menganggap itu sebagai efek benturan bola tadi. Namun… tetap saja itu aneh.

Gadis itu lebih seperti… tak suka dengan keberadaannya.

Itachi tak tahu pasti. Tapi ia masih ingat betul, saat ia sedang membersihkan lukanya ataupun sekedar menanyainya, reaksi Hinata tampak ganjil. Bagaimana Hinata menghindari tatapannya, atau ketika Hinata tiba-tiba gemetaran saat ia menyentuhnya… apa gadis itu memang selalu begitu pada orang lain? Mungkinkah ini penyebab Hinata menjadi seorang diri saja tanpa punya teman? Itachi tak tahu. Namun yang pasti, sikap Hinata saat berada di hadapannya sangat membuatnya geram.

Memang apa yang telah diperbuatnya sampai gadis itu begitu tak nyaman berada di dekatnya? Baiklah, ia akui bahwa saat ini ia adalah guru olahraga, yang mana bidang yang diajarkannya itu merupakan bidang yang paling payah dikuasai oleh Hinata. Apa karena itu? Dan juga karena ia memberinya jam tambahan di setiap akhir pelajaran olahraga seorang diri membuatnya tampak terbebani?

Itachi menopang wajahnya pada sebelah tangannya, menatapi layar komputer yang penuh dengan tabel dan angka, sementara tangan lainnya hanya mengetuk sisi meja.

Sepertinya ia sudah dapat alasannya.

Gadis itu tak suka dengannya, sebagai guru olahraga yang keras dalam mengajar.

Itachi tertawa dalam hati. Lihat ini, sementara dirinya mulai menunjukkan ketertarikan pada gadis mungil itu, Hinata malah menanggapinya dengan gestur menolak secara tersirat. Padahal, tak banyak yang ia perbuat selain mencuri pandang ke arahnya atau menatapinya intens diam-diam.

Atau sengaja mengambil waktu berdua saja di akhir pelajaran olahraga, dengan dalih memberinya pelajaran ekstra.

Itu motifnya, memang. Namun siapa sangka, gadis itu malah meresponnya demikian.

Itachi menghela napas lelah. Diusapnya wajahnya cepat, dan kemudian menatap dokumen nilai murid tanpa minat.

Padahal, ini pertama kalinya ia mulai menunjukkan ketertarikannya pada seorang perempuan. Mungkin saja ini bisa berkembang ke hal yang lebih serius.

Kalau saja status dan posisi mereka saat ini tidak menghambatnya.

Ia akui, sepertinya ia telah mengalami cinta pada pandangan pertama dengan Hinata—di saat pertemuan pertama mereka di koridor sekolah sewaktu gadis itu tersesat mencari kelasnya. Itachi tak tahu mengapa. Mungkin karena posisinya sebagai guru membuatnya merasa lebih santai sehingga pikirannya pun akhirnya meluangkan tempat untuk seorang perempuan. Berbeda dengan dirinya semasa masih pelajar dan terlalu fokus untuk belajar demi tuntutan sang ayah.

Meskipun begitu, mengapa harus sekarang, di sini? Di saat status dan posisi mereka akan sulit untuk dipersatukan selama beberapa waktu.

Seorang guru dan murid.

Itu merupakan suatu hal yang identik dengan tabu, yang mana hal itu akan menimbulkan kontra dari tanggapan orang-orang.

Namun sekali lagi, jika Itachi berpikir lurus dan mengabaikan fakta yang lain, mereka bisa saja bersama. Siapa juga yang peduli dengan komentar orang lain? Toh, tidak selamanya Hinata menjadi murid, dan dalam beberapa waktu nanti ia akan lulus dan tak ada lagi istilah tabu. Jika itu tentang perestuan hubungan mereka, Itachi bisa membicarakannya dengan damai bersama ibunya—beliau pernah berkata bahwa ia akan menyetujui siapa pun yang akan dipilih oleh Itachi sebagai pendampingnya, selama itu masih dianggap normal. Itachi yakin jika ia bersama Hinata, mereka tidak akan dianggap aneh selain perbandingan umur yang sedikit jauh. Berapa jaraknya? Sembilan atau sepuluh tahun? Tidak masalah. Kemudian ayahnya, mereka sama-sama keras dan tegas, mungkin akan sulit menerima restunya, tapi Itachi yakin bisa mengatasinya jika ibunya sudah setuju.

Kemudian, dari pihak Hinata. Ia sudah pernah mencoba mencari tahu nama orang tua Hinata dari data informasi siswa yang ia lihat diam-diam—setelah berbicara baik-baik dengan salah satu staf tata usaha yang merupakan seorang wanita yang tampaknya menyukainya. Kalau tidak salah, ayahnya punya kenalan yang bernama Hyuuga. Dan ternyata memang benar.

Hyuuga Hiashi adalah pemilik sekaligus ketua dojo untuk kendo yang pernah diikuti oleh Itachi sewaktu ia masih SMA. Dan seingatnya, hubungan Itachi dengan Hyuuga Hiashi cukup baik, terlebih karena ia termasuk murid yang cukup mahir selama berlatih di sana. Jadi, tentu saja soal perestuan dengan beliau juga dapat diatasi.

Tetapi… masalahnya bukan itu.

Masalahnya adalah Hyuuga Hinata itu sendiri.

Bagaimana mungkin ia bisa meminta restu pada orang tua mereka jika sang gadis itu pun tampak enggan dengannya. Ini sedikit mengganggunya. Terlebih lagi jika selama ini hanya Itachi yang begitu tertarik dengan hubungan mereka.

Ia merasa seperti perasaan sepihak saja.

Dan pikiran itu membuatnya tak bisa menerimanya begitu saja.

Jika Itachi yakin bahwa ia bisa mengatasi perestuan mereka, maka ia pun juga yakin bisa mengatasi perasaan gadis yang mulai disukainya ini.

Bahkan ketika semua itu mengelebati pikirannya, ia merasa konyol sekali.

Beginilah ia—sewaktu mulai menyukai sesuatu, ia akan bertindak cepat dan berusaha mendapatkannya segera.

Namun, respon Hinata terhadapnya… karena itulah ia sengaja mengecup lutut gadis itu dan mengusap kepalanya sewaktu di ruang kesehatan untuk melihat seberapa jauh reaksi Hinata jika ia menyentuhnya. Dan ternyata gadis itu malah gemetaran kembali.

Itu membuatnya memikirkannya terus.

Saat bel pergantian jam pun berdering, Itachi tersadar dari lamunannya dan kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda sejenak.

.

.

Langit mulai menguning sewaktu Itachi beranjak keluar dari ruang guru. Pekerjaannya untuk menyalin data nilai murid ke komputer ternyata cukup memakan waktu. Ia berjalan menelusuri koridor dan melihat beberapa murid masih beraktivitas di sekolah. Mungkin kegiatan klub atau pelajaran tambahan lainnya.

Itachi meneruskan langkahnya dan hendak berbelok ke salah satu persimpangan di koridor ketika samar-samar mendengar suara pintu terbuka dan sebuah percakapan.

"Baiklah, Hinata, segera beristirahat di rumah begitu sampai ya! Kau tampak lelah sekali tadi, sampai tidurmu pulas. Dan kurasa lututmu juga tak begitu nyeri, bukan?" Suara Shizune terdengar di ujung koridor yang hendak ia lalui. Entah karena alasan apa, Itachi memutuskan untuk berbalik mundur dan mendengar dari balik dinding—tampak tertarik saat mendengar nama Hinata disebutkan tadi. Apa sedari tadi gadis itu masih berada di ruang kesehatan?

Kemudian, suara pelan itu pun menjawab, "Ya, Shizune-san. Terima kasih. Saya akan segera pulang dan beristirahat."

"Apa Hinata pulang sendiri? Tak adakah yang menjemputmu?"

"Tidak, biasanya saya pulang bersama kakak sepupu saya, tapi ia sedang ada kegiatan klub hari ini. Lagipula rumah saya tidak begitu jauh dari sini."

"Baiklah, kalau begitu hati-hati ya."

Setelah suara langkah kaki yang pelan semakin menjauh, suara pintu yang tertutup pun terdengar. Itachi kemudian mencoba melirik ke arah koridor yang hendak dilaluinya tadi, dan mendapati Hinata sedang berjalan lesu ke arah tangga.

Benar juga, tasnya masih tertinggal di kelas, dan gadis itu juga masih mengenakan seragam olahraga.

Setelah dilihatnya bahwa Hinata sudah menaiki tangga hingga ke lantai atas, barulah Itachi menyusul sembari memikirkan sesuatu.

Jika pendengaran tidak salah dengar, ia merasa kalau intonasi yang digunakan Hinata saat sedang berbicara dengan Shizune agak berbeda dibanding dengannya. Nadanya pun terasa lebih alami dan lancar, tidak terkesan gugup dan juga lebih santai. Mungkin saja itu karena staf ruang kesehatan tersebut berperawakan lebih ramah dibanding dirinya. Tapi, tetap saja itu aneh.

Apa hanya terhadap Itachi saja Hinata bereaksi seperti itu? Seolah terintimidasi dengan keberadaannya.

Begitu sampai di lantai atas, Itachi menelusuri satu per satu kelas yang berjejer dengan melihat papan namanya. Semua tampak kosong dan lengang. Hingga ia sampai pada sebuah kelas dengan tas yang tergeletak di salah satu mejanya.

Itachi amati papan nama di depan pintu.

Memang benar, ini kelas Hinata.

Sepertinya gadis itu sedang mengganti seragamnya di ruang ganti terlebih dahulu. Maka, Itachi pun membuka geser pintu kelas dan memasukinya. Saat ini, ia merasa ingin berbicara dengan Hinata dulu, sehingga ia pun menungguinya di dalam kelas, dan menduduki bangku di mana tas Hinata berada.

Perlu beberapa menit yang dibutuhkan baginya untuk menunggu sampai pintu kelas pun kembali terbuka dan menampilkan sosok Hyuuga Hinata yang tampak lelah. Gadis itu pun tampak terkejut melihat keberadaannya di sana, sementara Itachi balik terpana memandangnya.

Mungkin ini akibat efek sinar mentari senja yang terbias dari jendela sehingga membuat wajah Hinata tampak merona menggemaskan. Atau mungkin saja matanya telah mengelabuinya.

Keheningan yang terjadi selama beberapa saat membuat Hinata tersadar pada apa yang ada dihadapannya dan kemudian berdiri canggung di ambang pintu—terutama ketika Itachi terus-terusan menancapkan pandangannya pada Hinata. Dan meskipun Itachi menyadari bahwa Hinata tengah kebingungan, ia pun sengaja membisu untuk memancing Hinata berbicara terlebih dahulu.

Dan akhirnya.

"Uhm… sensei?"

Sapaan yang serupa dengan saat mereka berada di ruang kesehatan.

Dalam hati ia pun tersenyum karena gadis itu menyapanya—meskipun dengan nada ragu-ragu. Lalu Itachi balas menyapa, "Ya, Hyuuga-san?"

Hinata masih sama bingungnya dengan sebelumnya, sesaat ia tampak ragu untuk bertanya, namun akhirnya ditanyakannya juga, "K-kenapa sensei ada di sini?"

Diawali dengan ucapan yang agak terbata. Itachi kembali menangkap kesan enggan pada Hinata, terlebih lagi pada tatapan Hinata yang tak lama kemudian dialihkan ke arah yang lain.

Maka, ia pun sengaja menopang dagunya di atas meja dengan siku yang menghimpit tali tas Hinata yang juga berada di meja, seraya menjawab santai, "Hanya ingin melihat kondisimu sekarang."

Hinata sedikit terperangah mendengarnya.

Itachi melanjutkan, "Sudah merasa lebih baik? Bagaimana lututmu?"

Refleks, Hinata menunduk untuk melihat lututnya yang tertutupi rok sekolahnya yang panjangnya sampai ke bawah lutut, sehingga kapas yang ditempelinya tadi itu pun juga tertutupi oleh roknya.

Itachi baru sadar bahwa seragam sekolah Hinata tampak lebih longgar dan tertutup. Karena selama ini ia lebih sering melihat murid-muridnya mengenakan seragam olahraga dengan lengan baju pendek dan celana selutut, juga dari kebanyakan murid perempuan yang lebih senang mengenakan rok pendek yang bahkan ada yang sampai terlalu ekstrim.

Mungkin saja karena faktor tubuh Hinata yang mungil membuat rok sekolah yang umumnya bila dipakai gadis seumurannya itu akan sampai di atas lutut, maka dengan Hinata, panjangnya jadi di bawah lutut.

Ditambah lagi dengan sweater lengan panjang yang dipakai gadis itu untuk melapisi kemeja seragamnya—yang lengannya sampai menutupi punggung tangannya itu… membuatnya tampak lebih manis.

Tunggu, kenapa ia sampai berpikir begitu?

Sementara Hinata tampak semakin gelisah dipandangi oleh dirinya, akhirnya Itachi mencoba kembali bersuara—setelah didapatinya bahwa Hinata tidak menjawab pertanyaannya barusan.

"Hyuu—"

"Sensei…."

Seketika, pandangan mereka pun bertemu. Kali ini Itachi kembali terpana menatapi kedua mata Hinata yang juga balas menatapnya—mungkin karena refleks barusan dan tak sengaja. Hinata tampak begitu salah tingkah karena berbicara tepat di saat Itachi juga hendak berbicara, ditambah lagi kedua mata mereka yang seolah terkunci… membuat sensasi mengerikan yang pernah dialaminya sebelumnya kembali menyergapnya.

Padahal jarak mereka cukup jauh, dengan Itachi yang duduk di bangku depan yang berdekatan dengan jendela, sementara Hinata berada di ambang pintu yang berseberangan dengan jendela. Jatuhnya, dari ujung kelas ke ujung lainnya. Namun, ini seolah mereka sudah cukup dekat, ditambah lagi situasi mereka yang kembali berdua saja.

Hinata tak pernah suka ini.

Dan Itachi… yang akhirnya tersadar dan mengetahui bahwa Hinata juga sempat ingin mengatakan sesuatu, memutuskan untuk kembali berbicara, "Ada yang ingin kau katakan, Hyuuga-san?"

Sontak, Hinata tampak gugup di tempatnya.

Kepalanya pun kembali menunduk, bahunya yang juga bergetar mulai tampak jelas oleh Itachi, membuatnya bisa salah dianggap bahwa ia sedang menangis. Namun, sebelum Itachi sempat menanyainya, Hinata kembali berujar.

"Se-sensei… saya ingin segera pulang. B-bisakah… sensei bergeser sedikit? Tas saya… t-tak sengaja terhimpit di… sana…."

Itachi mendengar nada segan di sana, namun gadis itu terpaksa mengatakannya karena melihat bahwa sikunya masih menghimpit tali tasnya.

Dengan enggan, Itachi pun mengangkat tangannya dari sana, sementara Hinata akhirnya mulai berjalan mendekat ke arahnya—meskipun agak ke pinggir seolah menghindari berdiri di hadapannya.

Padahal, maksud Itachi tadi untuk sengaja menghimpit tali tasnya itu supaya ketika Hinata hendak mengambil tasnya dan melihat bahwa talinya agak tertahan, Itachi bisa mendengar suara gadis itu dari dekat lagi.

Hanya itu saja keinginannya, awalnya.

Namun sayangnya, Hinata sudah menyadarinya lebih dulu.

Pandangan Itachi terus mengekori langkah Hinata hingga akhirnya sampai di depan mejanya—terburu-buru hendak mengambil tasnya tanpa sekali pun memandang Itachi. Namun, sebelum Hinata sempat menyampirkan tasnya di bahunya, tiba-tiba tangan Itachi menumpu pada punggung tangan Hinata.

Yang tentunya membuat Hinata begitu terkesiap hingga kedua bahunya tersentak.

Hinata membelalak ngeri menatapi kedua telapak tangannya sudah ditangkupkan jadi satu dan ditumpu di bawah kedua telapak tangan Itachi yang lebih besar. Sementara Itachi mencoba mendongak sedikit menatapi Hinata yang menunduk begitu dalam hingga rambutnya yang panjang menutupi hampir seluruh wajahnya. Posisi mereka saat ini dengan Itachi yang duduk di kursi, sedangkan Hinata berdiri di depan meja, membuat pandangan Itachi menjadi lebih rendah dari Hinata. Ia memang perlu mendongak untuk menelusuri ekspresi Hinata saat ini.

Namun apa yang didapatnya?

Wajah ketakutan Hinata yang juga tampak tertekan membuat Itachi terkesiap.

Kenapa bisa begitu?

Inilah yang membuatnya bertanya-tanya.

Apa Hinata tak pernah sekali pun bersikap lebih rileks saat sedang bersamanya?

Itachi merasa bahwa Hinata hanya bersikap seperti itu pada dirinya saja—membuatnya merasa bahwa ini semua tidak adil.

Kenapa harus pada dirinya—padanya yang setelah akhirnya dipikirkannya kembali ternyata memang telah menyukai gadis mungil itu. Namun, respon sang gadis yang membuatnya merasa seolah bersalah membuatnya gemas.

Apa yang telah diperbuatnya sehingga Hinata… tampak begitu takut padanya?

Semua pemikiran itu membuat Itachi tanpa sadar mengeratkan genggamannya dan menatapi lekat-lekat pada ekspresi Hinata.

"Tidak bisakah kau bertingkah biasa saja saat bersamaku?"

"…!?"

Bersamaan dengan itu, sepasang tangan yang berada dalam genggaman Itachi sempat hendak menyentaknya agar terlepas, namun tetap saja usaha itu sia-sia jika dilakukan dengan tenaga kecil. Di detik itu juga, ia yakin bahwa Hinata sempat berniat melarikan diri segera untuk menghindari situasi ini, dan sayangnya gadis itu benar-benar sudah terkurung.

Tidak ada jalan lagi selain menjelaskannya.

Jika memang dengan begitu caranya agar Itachi tak lagi menanyai Hinata tentang hal itu lagi, maka gadis itu mulai mempersiapkan kata dan keberanian untuk bicara, diiringi dengan degupan jantung yang menggila dan gelenyar aneh yang menggerogoti kedua telapak tangannya yang ditangkup.

"Uh… mm, itu karena…," dipandanginya sekilas raut wajah Itachi sebagai pemastian bagi Hinata, maka dilanjutkannya.

Yang mana pengungkapan tersebut membuat Itachi terkejut sejenak.

Dan membuktikan dugaannya selama ini.

"…sensei membuat saya takut."

.

Sungguh, satu-satunya pengakuan yang paling tidak ingin didengar oleh Itachi dari Hinata adalah tentang seberapa takutnya gadis itu dengannya. Tidak, bahkan jika Hinata hanya terganggu karenanya, itu masih tidak bisa diterima. Tapi kali ini apa? Takut? Seperti apa yang telah dicemaskannya?

Karena apa?

Kalau ditelisik lebih lanjut ekspresi Hinata sesudah mengatakan hal tersebut, Hinata benar-benar tak berani lagi menatapnya. Atau mungkin di dalam kepalanya sedang merutuki dirinya sendiri karena sudah mengatakan hal itu. Namun yang pasti, sepasang tangan gadis itu sekarang mulai berkeringat dingin.

Dan sialnya, ini semakin mendukung pernyataan tersebut.

Takut?

Terintimidasi?

Tidak, Itachi tak suka suatu kesalahpahaman. Kebanyakan dari permasalahan seperti ini adalah karena tidak terselesaikan. Kalau Itachi mengabaikan kondisi mental Hinata setelah mengucapkan hal itu, maka Itachi akan terus menggali lebih dalam mengenainya. Ia harus tahu akar permasalahannya. Karena jika tidak, hubungan mereka akan semakin meregang. Dan Itachi tak perlu memperumit hubungan itu.

Dengan lembut, Itachi kemudian meregangkan genggamannya yang sempat mengerat setelah mendengar perkataan Hinata tadi, lalu secara perlahan membawa sepasang tangan mereka di antara jarak mereka. Gestur ini lebih terlihat seperti sebuah permohonan.

"Hyuuga Hinata."

Itachi menarik napas dalam-dalam, lalu menghela panjang.

"Beritahukan padaku keluhanmu segera, jika ada yang bisa kulakukan untuk melenyapkan perasaanmu itu."

Tepat.

Perasaan takut itu.

Bukanlah yang dibutuhkannya sebagai balasan.

.

.

.

Bersambung

A/N: Terima kasih review dari para pembaca sekalian. Aku mohon maaf kalau fanfic ini tidak dapat di-update secara rutin, tapi bukan berarti terabaikan. Dan akan kuusahakan untuk terus update meskipun tidak secara terjadwal. Lalu mengenai sikap Hinata yang nggak pingsan meskipun udah segugup itu, yah… rasanya garing banget kalau di setiap adegan harus berakhir pingsan. Soalnya kesan dalam fanfic ini kan 'intimidasi', bukan berarti harus buat Hinata pingsan terus. Kemudian tokoh-tokoh lain memang nggak banyak yang muncul, tapi lihat saja chapter berikutnya nanti. Terus kenapa di warning kutulis plot-rush padahal aslinya malah lambat? Karena awalnya sih kupikir bakal kengebutan soal Itachi yang tiba-tiba suka, terus lompat hari berikutnya, minggu berikutnya…. Dan terakhir… soal rating, nggak bakal sampai M. Tapi suatu saat akan kutulis di warning-nya 'semi-M' /uhuk