(A/N)

Ini bunuh diri namanya. Masih banyak fanfic multichapter lain yang harus diselesaiin, eh, mulai lagi.

TAPI HASRAT (dan ide ini) HARUS DILAKSANAKAN

Ngomong2, di fanfic ini tingkatan sekolahnya sesuai umur, ya. Gopal semester 3 (tahun kedua kuliah), Fang Boboiboy Yaya semester 1 (tahun pertama kuliah), Ying masih SMA kelas 3. Di canon umur mereka memang berlainan, tapi dijadiin satu kelas karena Gopal telat masuk sekolah dan Ying loncat kelas.

Oh, dan ini ratingnya masih T. nggak bakal M, tenang aja. Paling ya nanti ada yang menjurus2 dikit lah. Gapapa kan ya. Kan dah kuliah. /heh jadi, yang masih kecil mending minggat aja. Ga baek masih kecil baca cuwu ama cuwu. Jangan kayak saya. Nanti susah tobatnya. Anak esde aja diship.

Yok mulai. Happy reading!


.

.

Boboiboy belongs to Animonsta. This fic is written purely for amusement. No profit is gained from the making of this fanfiction.

Warnings: BoyxBoy, BoyxFang (in that order), College!AU, formal nonformal nyampur

.

.


"Sip, selesai!"

Ruangan itu berbentuk kubus, 5x5, dengan tempat tidur, lemari, meja belajar, dan air-conditioner . Letaknya di lantai dua di kos-kosan Koko House yang tidak jauh dari Universitas Rintis. Kamar mandi di luar kamar, tapi kebersihannya terjamin. Di halamannya disediakan parkiran motor yang bersebelahan dengan taman kecil yang berbentuk U. Sewa perbulannya tidak terlalu mahal, hampir sepertiga dari uang jajan bulanannya, dan sudah termasuk biaya laundri. Ditambah kantin yang terletak di lantai satu.

Fang tersenyum puas melihat kamar barunya yang sudah selesai ditata. Di hari pertamanya pindah, si maniak rapi itu sudah membersihkan ulang kamarnya, menata barang-barang, dan tak lupa membuat poster berisi rancangan prakiraan studi dan agenda berdasarkan silabus tahun lalu yang diminta Fang oleh senior perempuannya di kampus dan menempelkannya di tembok.

Sempurna, sempurna.

Fang mengambil beberapa makanan dari tasnya, kemudian keluar kamar. Hendak memasukkan makanan ke dalam kulkas bersama. Namun, di sana sudah ada cowok berwajah India yang kira-kira seumuran dengannya. Cowok itu menoleh padanya dan tersenyum lebar.

"Hei! Anak baru?" Sapanya ramah.

Kalau Fang sedang tidak merantau, dia pasti akan menyueki cowok itu habis-habisan. Semua orang yang menyapanya dia perlakukan begitu. Namun, dia sudah diingatkan ibunya untuk berbaik hati pada orang-orang yang tinggal bersamanya.

"Iya. Baru semester satu."

Dia menjulurkan tangannya. "Namamu? Fakultas?"

"Fang." Fang menyambut tangannya. "Jurusan matematika. Kau?"

"Gopal. Teman baik kamu." Fang mengangkat alis mendengar klaimnya. "Jurusan tataboga semester tiga. Ganas banget, dari jurusan matematika."

"Aku masuk jurusan matematika karena cuman bisa matematika. Nggak ada yang spesial." Pernyataan Fang membuat Gopal makin heran. Fang menduga matematika tidak termasuk dari teman baik Gopal.

"Aku nggak melihatmu dari kemarin-kemarin."

"Aku baru pindah. Selama ospek, aku numpang di rumah saudara. Agak jauh dari sini."

"Rumahmu sendiri di mana?"

"KL."

Jawaban Fang membuat mata Gopal berbinar. Dia hanya pernah ke Kuala Lumpur dua-tiga kali. Gopal mengajak Fang makan siang bersama di kantin lantai bawah sambil bertanya-tanya soal kota asal Fang.

Kantinnya tidak buruk. Nuansanya coklat kayu dan sedikit aksen warna krem. Meja-mejanya ada yang berbentuk bundar, ada yang kotak. Di pojok kantin terlihat kasir dengan list makanan, dijaga oleh Bapak Kos. Di belakang meja kasir terdapat tembok yang ditempeli menu besar-besar dan lorong. Entah, mungkin menuju dapur.

"Tenang, Fang, kau kutraktir. Tok Aba, pancake dua porsi!"

Si Bapak Kos menatap Gopal bosan. "Enak, ya, bilang traktir-traktir. Uang kos sama makan dari dua hari lalu belum dibayar."

Gopal nyengir. "Besok, Tok, besok."

Fang memutar matanya. "Sudahlah. Aku saja yang bayar."

"Wah! Beneran!" Gopal menatap Fang dengan mata berbinar. Dirangkulnya Fang sampai pemuda tionghoa itu terbatuk-batuk. "Makasih, ya, teman baikku!"

Tok Aba menatap Fang. "Kamu dari kamar 213, 'kan, ya? Sudah lama kenal Gopal?"

"Belum, Tok. Baru beberapa menit lalu."

Tok Aba menatap Gopal penuh arti. Sekali lagi, Gopal nyengir.

"Duduk saja, nanti diantarkan. Mau minum apa?"

"Ah! Special hot chocolate satu!"

"Tok, special hot chocolate itu apa?"

"Minuman keahlian Tok Aba," kata Tok Aba bangga. "Mau? Tok Aba gratiskan buatmu. Hitung-hitung perkenalan penghuni baru."

Fang tersenyum. "Terima kasih, Tok."

"Tok Aba! Saya nggak?"

Tatapan Tok Aba cukup untuk menjadi jawaban. "Dah, sana, pergi duduk!"

Keduanya menurut. Mereka duduk di meja di pinggir jendela.

Fang melihat sekeliling. Kantin kos ini terlihat bersih. Kemudian matanya beralih pada daftar menu yang ditempelkan ke meja dengan list yang sama persis seperti yang dicetak besar-besar dan ditempel di kasir. Tak hanya minuman dan makanan ringan, makanan berat seperti nasi lemak pun ada.

Fang meneruskan ceritanya tentang kehidupannya di Kuala Lumpur sesuai permintaan Gopal, disusul dengan cerita Gopal tentang kehidupan di sini semenjak dirinya masih menjadi mahasiswa baru. Tak lama, pesanan datang. Namun, yang mengantarkannya bukanlah Tok Aba.

"Ini pesanannya."

Suaranya berbeda dengan Tok Aba. Bukannya suara orang tua. Suaranya sedikit berat, namun jernih. Fang menoleh ke atas. Seorang cowok bertopi bisbol berwarna merah dibalik dengan kaos oranye berlengan pendek tersenyum manis sambil memegang nampan.

"Boboiboy!"

.


.

"Boboiboy! Mari sini, katanya mau bantu Atok!"

"Iya, Tok! Baru selesai cuci piring!"

Boboiboy keluar dari ruang cuci yang bersebelahan dengan dapur kantin sambil mengelap tangannya yang basah. Peluh keringat ia seka dengan lengan bajunya yang pendek. Ujung-ujung rambutnya yang sedikit lepek karena keringat menyembul dari balik topinya. "Ada apa, Tok?"

"Atok lagi panasin pancake di oven. Sedikit lagi selesai. Kau siapkan dan taruh di meja Gopal dan Fang, ya?"

"Fang?" Ulang Boboiboy. Nama itu asing di lidahnya.

"Anak baru di lantai dua. Teman barunya Gopal. Jangan lupa suguhkan coklat panasnya, ada di dekat oven."

Boboiboy manggut-manggut. Diambilnya nampan persegi panjang dan menata dua gelas coklat panas dan dua piring kosong di atasnya. Kemudian, dia keluarkan pancake yang sudah kembali hangat dari oven dan menatanya di atas piring tadi. Tak lupa dia tuang saus coklat di atasnya dan dua scoop eskrim vanila di masing-masing pancake. Dibawanya nampan itu keluar dapur.

Boboiboy mengedarkan pandangannya. Di mana Gopal? Hem. Ah, ketemu. Benar kata Atok, Gopal tidak sendirian. Dia ditemani dengan pemuda berwajah Asia Timur berkacamata ungu.

"Mantanmu ternyata garang betul. Jadi, kau ke sini supaya nggak sekampus dengannya?" Gopal terkekeh.

"Kenapa pula aku cerita ini, ya…." Temannya Gopal menepuk jidatnya. "Kau, deh, yang cerita."

"Oh, boleh! Jadi, rumahku agak jauh di sini, tapi sejak SMA aku suka main ke kampus Rintis." Gopal tersenyum lebar. "Kau pasti betah di sini! Di sini nyaman, orangnya juga baik-baik. Sahabat-sahabatku juga tinggal di sini. Yang cowok cucunya Tok Aba dan tinggal di sini juga, yang cewek-cewek di kos depan."

"Cewek-cewek?"

"Iya. Yang satu anak yang punya kos juga. Satu lagi masih SMA, tapi sudah ngekos karena keluarganya pindah dari semester lalu. Dia nggak mau ikut pindah karena nanggung, dan lagi dia memang mau kuliah di sini. Keluarganya sekarang tinggal di Kampung Cina di Terengganu."

Fang manggut-manggut. "Hoo. Keluargaku juga ada di situ."

"Di sini asik, deh! Nanti kuajak kau ke—"

"Ini pesanannya."

Boboiboy tersenyum pada mereka. Dia sajikan dua pancake dan dua gelas coklat panas yang dia bawa di atas meja.

"Boboiboy!" Seru Gopal bersemangat. Gopal mengajak Boboiboy tos setelah Boboiboy menyajikan makanan mereka. "Dari mana aja?"

"Nyuci piring. Biasa." Boboiboy nyengir. Kemudian, dia beralih pada cowok yang duduk bersama sahabatnya. Entah kenapa, cowok itu melihat awas pada Boboiboy. Atau mungkin hanya perasaannya? Mata cowok yang dibingkai kacamata itu terlihat tajam dan waspada. Boboiboy berasumsi cowok ini tidak suka pembicaraannya diganggu. "Siapa ini, Gopal?"

Kemudian, tatapan tajam itu hilang.

"Oh, ini Fang. Anak lantai dua, selantai denganku. Fang, kenalin, ini Boboiboy, cucunya Tok Aba yang tadi kuceritain. Dia juga baru semester satu sepertimu." Kemudian Gopal seperti teringat sesuatu. "Oh iya, aku mau ajak Fang ke pasar malam nanti di Fakultas Seni. Mau ikut?"

"Boleh, boleh. Temanku juga ada di sana."

"Aku belum bilang kalau mau datang." Fang tiba-tiba berkata.

Gopal terlihat kecewa. "Kok gitu?"

"Aku masih harus beresin kamar. Lagian besok kuliah. Harus siap-siap."

Boboiboy mengangkat sebelah alis.

"Kamu nggak bisa ikut, Boboiboy. Kamu kan harus ke bandara. Sana mandi terus jalan. Biar Atok yang jaga kantin."

Boboiboy menepuk jidatnya. "Alamak! Gopal, nggak jadi. Harus jemput orang di bandara."

"Pikunmu nggak sembuh, Boboiboy." Gopal cekikikan.

"Ya udah, aku mau siap-siap dulu. Bye!"

Entah hanya perasaan Boboiboy, namun begitu dia kembali ke dapur, dia sempat mendengar Fang berkata, "Gopal, tadi aku cuman bercanda. Aku ikut ke pasar malam."

Boboiboy jadi curiga, "Itu anak nggak suka padaku, ya?"

.


.

"Fang, di sini!"

Fang mengekori Gopal, sedikit berlari. Jalannya Gopal cepat juga.

Mereka sampai di lapangan dekat parkiran Fakultas Seni Universitas Rintis. Di sana sudah tersedia gerobak-gerobak makanan dan beberapa stand permainan. Lapangan yang tidak berlampu itu dihias dengan lampion-lampion yang digantung melintang.

"Kampus ini keren juga." Komentar Fang.

"Benarkan? Tiap tahun fakultas sini suka bikin acara malam sebelum masuk semester baru. Libur semester mereka disisihin buat nyiapin acara ini. Kalau fakultasku, Fakultas Ilmu Tataboga, kami bakal buka restoran di kelas-kelas kampus, tapi masih agak lama. Tahun lalu aku bikin restoran melayu."

Fang berdecak kagum, sekaligus iri. Fakultas-fakultas noneksak sepertinya kaya akan acara. Dia yakin fakultasnya sendiri hanya akan ada acara seperti perlombaan olah otak. Bukannya tidak ada acara hiburan, tapi dia yakin tak sebanyak fakultas lain.

"Boboiboy juga pasti nanti begitu. Tapi acaranya masih sekitar bulan depan."

Fang diam saja, tidak menanggapi. Dia malah menatap sekitar. "Ada makanan enak apa aja, ya?"

"Ada banyak! Yang paling enak donat bakar."

"Donat bakar!" Seru Fang. Binar matanya menembus kacamata ungunya. Dia guncang-guncang badan subur Gopal. "Ada donat wortel? Ada? Ada?"

"Ada, ada." Gopal mendiamkan Fang. Kepalanya pening. "Ha, kalau itu biasanya Makcik kantin MIPA yang jual di sini. Aku sampai hapal. Ada donat kentang juga."

"Beda, lah!" Kata Fang galak. "Donat wortel lebih enak!"

"Iya deh, iya." Kini Gopal yang memutar bola matanya. "Nggak bener ini anak."

Fang sendiri heran. Dia sudah bisa leluasa ngobrol dengan Gopal. Sepertinya karena memang Gopal mudah berteman dengan siapa saja, buktinya sejak tadi di sini dia disapa beberapa orang. Sampai orang pendiam sepertinya jadi terbuka. Namun, kalau dipikir-pikir, dia memang galak kalau sudah menyangkut makanan kesukaannya.

"Ayoklah!"

Mereka melewati banyak stand makanan dan permainan. Gopal melihat sekeliling dengan mulut tergenang liur. Dia bahkan hampir berhenti untuk membeli gulali, namun diurungkan. Nanti saja. Fang sendiri tidak peduli dan ngotot mau beli donat wortel.

Namun, begitu sampai, Gopal kaget. Stand makanan Makcik kantin berubah menjadi stand permainan lempar gelang. Beberapa mahasiswa terlihat mati-matian menuntaskan permainan tersebut dengan melempar gelang pada makanan-makanan kecil yang dijajakan, namun tak ada yang kena sasaran. Makcik kantin sendiri berdiri di samping stand tersebut sambil merapikan dandanannya.

"Makcik! Ini apaan?" Tanya Gopal.

"Tahun ini Makcik jualan sambil buat permainan. Dagangan Makcik jadi hadiah. Hadiah utamanya donat wortel, karena di stand lain nggak ada yang jual. Makcik juga sempat pakai cara ini dua tahun lalu." Jelas Makcik, tersenyum dengan bibir tebalnya yang dipoles lipstik. "Mau? Lima gelang dijual satu ringgit."

"Mari sini," Gopal nyengir pede sambil mengambil beberapa gelang. "Lihat, ya, Fang. Aku bakal menangin donat wortelmu. Hitung-hitung sebagai ganti pancake tadi siang."

Namun kenyataannya tidak. Lima gelang yang dilempar Gopal mengenai semua makanan, tapi tidak mengenai donat wortel Fang. Fang menatapnya.

Gopal cengengesan. "Hehe. Sori. Salah sasaran semua."

Fang menghela nafas. "Sini, aku saja yang lempar. Aku biasa main basket, kok."

"Eh, jangan." Kata Makcik tiba-tiba, panik. "Yang jago nggak boleh ikutan. Nanti ludes."

"Lah, kok gitu, Makcik!" Fang mengerang protes.

"Jangan, ah. Kasian Makcik. Dua tahun lalu Makcik pakai cara ini juga, lalu makanan Makcik ludes."

"Resiko, Makcik."

"Pokoknya jangan."

Fang cemberut berat. Terpaksa dia tunggu Gopal memenangkan donatnya sambil memegangi kantong plastik berisi makanan-makanan yang telah dimenangkan. Setelah percobaan kedua, gelang lemparan Gopal makin salah sasaran, sampai makanan lain pun tidak kena.

Percobaan keenam, gelang kelima mendarat mulus di atas plastik donat wortel.

"Alright, kena juga!" Gopal mengangkat sebelah tangannya tinggi-tinggi.

Mata Fang kembali berbinar. Dia kembalikan kantong plastik berisi makanan Gopal, sementara Gopal memberinya donat wortel yang dia menangkan. "Makasih, Gopal!"

"Sama-sama! Besok malam datang ke kamarku, kita habisin makanan-makanan ini. Biar makanku banyak, nggak mungkin habis malam ini."

"Oke juga, tuh."

Mereka kembali berkeliling. Sambil jalan, Fang membuka plastik donatnya dan memakannya, sementara Gopal memakan apapun yang dia ambil dari kantongnya.

"Wuih, ada game tembak-tembakan Papazola! Fang, kita ke sana!"

"Eh, tunggu!"

Fang hendak mengejar Gopal yang tiba-tiba berlari, namun banyaknya orang menyurutkan niatnya. Dia hanya bisa berjalan cepat-cepat sambil menyelip sana sini. Hingga….

"Adoh!"

.


.

"Ke mana, sih, dia?"

Boboiboy menghela nafas.

Sejam yang lalu, dia baru saja menjemput saudaranya yang tiba-tiba meminta untuk diajak ke pasar malam begitu dia ceritakan. Begitu sampai kawasan Fakultas Seni, belum mobil masuk parkiran, saudaranya malah langsung keluar mobil dan menghilang di kerumunan. Dasar kurang ajar.

Boboiboy menghela nafas sekali lagi. Untung dia sabar.

Boboiboy mengganti strategi. Mengingat saudaranya, mungkin dia sedang ke tempat-tempat permainan. Ia berbalik, hendak memutar arah, namun….

"Adoh!"

Orang yang ditabraknya jatuh dengan kasar. Dirinya sendiri oleng, namun tidak sampai jatuh.

Fang.

"Eh, Fang!" Boboiboy menyodorkan tangannya, menawari bantuan. Namun, cowok itu tidak menanggapi. Fang malah melihat ke arah samping.

"Donatku…."

Sebuah donat wortel jatuh tergeletak dengan topping menghadap bawah. Seakan ingin memperburuk keadaannya, beberapa orang yang lewat sana menginjak donat itu hingga rata dengan tanah.

Boboiboy gelagapan. "Gara-gara aku ya? Maaf, maaf. Nanti kuganti."

Fang tidak mengalihkan pandangannya. "Nggak dijual. Dijadiin hadiah game. Aku nunggu limabelas menit sampai Gopal menangin."

Makin gelagapan.

"Ah, apa maumu, sih!" Bentak Fang tiba-tiba. Boboiboy sampai kaget. Fang berdiri sendiri sambil mencak-mencak. "Kau tiba-tiba muncul di kosku, lalu pura-pura nggak mengenaliku, lalu kau jatuhin donatku! Nggak puas, ya, kemarin-kemarin kau ngomelin aku di depan umum!"

"Hah? Tunggu… kau ngomong apa, sih? Eh, kita dilihatin, lho…." Boboiboy melirik sekeliling, gugup. Pasalnya memang orang-orang di sekitar mereka menonton 'pertengkaran' sebelah pihak mereka.

"Aku nggak peduli, waktu itu kan juga—"

"Kenapa kalian ribut-ribut?"

Fang dan Boboiboy sama-sama menoleh ke pelaku yang memotong ucapan Fang. Seorang cowok dengan jaket bisbol merah-hitam dan ransel merah mendekati mereka, bertanya tanpa maksud melerai apalagi menyurutkan keributan yang mereka buat.

Fang membelalak. Tak seperti Boboiboy, mulut topi yang dipakai cowok itu dihadapkan ke depan. Bayangan yang tercetak karena cahaya yang dihalang mulut topi itu tidak menyulitkan Fang untuk melihat wajahnya…

…yang sama persis dengan Boboiboy.

"Lho, Boboiboy…?"

Boboiboy ada dua!

.


.

TBC!