Siap - siap ini last chaaaappp!

.

.

Minseok berusaha membuka matanya perlahan, mendapati dirinya sudah berada di salah satu kamar rumah sakit. Ia tidak ingat kejadian semalam, ia hanya tau tadi malam serangan itu tiba – tiba muncul kembali. Minseok menemukan kedua orang tuanya tertidur di sofa, dan Luhan tidur di sebelahnya. Mereka bahkan masih memakai baju tidur karena terburu – buru menyelamatkan Minseok.

Perasaan bersalah itu datang kembali. Ia rasa baru saja kemaren keluarganya itu tertawa bersamanya, kini ia sudah melihat jejak – jejak air mata dan lelah dari setiap wajah anggota keluarganya. Air matanya hendak jatuh ketika sang ibu terbangun, menyadari Minseok sudah sadar.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya sang ibu menghampiri Minseok.

Minseok yang merasa sangat lemas hanya tersenyum dan mengangguk. Ia memegang erat tangan sang ibu yang juga memegangnya.

"Istirahatlah lagi, eomma punya kabar baik untukmu."

Minseok berusaha untuk tidak penasaran karena kantuk yang kembali menyerang dirinya. Ia pun kembali tersenyum dan mulai menutup matanya perlahan memasuki alam mimpi.

.

.

.

Saat matahari sudah mulai meninggi, keempat anggota keluarga tersebut telah terbangun dari alam mimpinya masing – masing. Luhan nampak mengajak Minseok yang masih terbaring lemah berbicara. Sedangkan sang ibu dan ayah mendiskusikan bagaimana memberitau Minseok tentang kabar baik itu. Mereka akhirnya memutuskan untuk secepatnya memberitau Minseok secara langsung.

"Minseok-ah, kami punya kabar baik untukmu." Ujar sang ayah mendekati ranjang Minseok.

Minseok sendiri terlihat cukup membaik di bandingkan dengan keadaannya semalam. Hanya saja selang oksigen yang masih tertambat di hidungnya menandakan ia belum bisa bernapas dengan normal.

"Ada apa, appa?" tanyanya dengan suara serak.

"Dr. Park telah menemukan jantung yang cocok untukmu. Jika dalam dua hari ini kondisimu membaik, kau bisa dioperasi secepatnya."

Setelah selesai mengatakan hal itu, sang ayah heran melihat tidak ada reaksi apapun dari Minseok. Ia hanya terdiam menatap ayahnya. Seketika saja kepanikan kembali meliputi ketiga orang yang memperhatikan Minseok yang terus terdiam. Mereka takut Minseok terlalu terkejut dan membahayakan kembali jantungnya yang masih lemah.

"Minseok, katakan sesuatu!" ujar Luhan tak sabar.

"Jadi... aku akan terus bersama kalian?"

"Iya, sayang... tentu saja. Kau tidak akan pergi kemana – mana."

Kemudian rasa haru meliputi keempat orang tersebut kala Minseok mulai menjatuhkan air mata. Ia begitu bahagia sampai tak bisa mengucapkan apa – apa. Ia hanya berterimakasih dan bersyukur atas kabar baik yang disampaikan oleh sang ayah.

.

.

.

Sesaat setelah dokter memeriksa Minseok keluar diikuti kedua orang tuanya, Minseok memutuskan untuk turun dari ranjangnya. Ia sudah membaik sehingga tidak harus lagi dipasangkan selang oksigen di hidungnya. Ia bermaksud menguping pembicaraan orang tuanya dan sang dokter.

"Apa?!" terdengar suara sang ayah.

"Walaupun secara fisik kondisinya membaik, tetapi tidak dengan keadaan jantungnya. Kami tidak bisa mengambil resiko, pasien bisa saja tidak terselamatkan di meja operasi."

'Deg,' Minseok menegang di tempatnya.

"Lalu bagaimana? Aku akan membayar berapapun asal kau menyelamatkannya!"

"Maaf tuan, seperti yang telah saya katakan. Keadaannya bisa saja memburuk saat operasi, dan itu sangat membahayakan nyawanya. Kami akan menunggu satu hari lagi."

Saat itu juga ia kembali mendengar suara tangis sang ibu. Minseok menutup pintu kamarnya perlahan dan kembali duduk di sisi ranjangnya. Memikirkan apa yang sang dokter katakan. Tangannya menyentuh dadanya yang masih terasa berdetak itu.

"Tenanglah… kita akan baik – baik saja."

.

.

.

Minseok terlihat berjalan – jalan sendiri mengitari rumah sakit. Luhan belum pulang sekolah, sedang kedua orang tuanya izin untuk mengambil beberapa barang di rumahnya. Ia merasa bosan dan memutuskan untuk keluar kamar. Saat ia tengah melewati beberapa kamar di wilayah anak – anak, ia berhenti di salah satu kamar yang berisikan seorang gadis kecil yang tengah bermain dengan bonekanya.

"Sedang apa oppa di situ?" tanya sang gadis kecil.

"Apa oppa boleh masuk?"

Setelah mendapat persetujuan dari sang pemilik kamar, Minseok pun masuk.

"Oppa jika sedang sakit, kenapa berjalan – jalan?"

Minseok baru menyadari terpasang selang oksigen di hidung sang gadis kecil.

"Oppa bosan di kamar, boleh kan oppa bermain di sini?"

"Tentu saja! Eomma sedang membeli sesuatu, jadi aku sendiri. Nama oppa siapa?"

"Minseok, namamu siapa?"

"Sora, dan ini bonekaku, Mina."

"Hello Mina."

Minseok berbincang banyak dengan Sora tanpa ingin bertanya penyakitnya. Ia tidak ingin obrolan dengan teman barunya berubah menjadi sedih. Sora juga nampak senang bermain dengan Minseok. Mereka terus bermain sampai tidak menyadari sang ibu sudah datang dan melihat mereka berdua dari pintu.

"Eomma!"

Minseok segera berdiri ketika menyadari ibu dari Sora sudah datang.

"Annyeonghaseyo, Kim Minseok imnida." Ia mengenalkan dirinya.

"Terimakasih sudah menemani Sora, Minseok."

"Ahh… bukan apa – apa. Aku juga senang bisa bermain dengannya. Iya kan Sora?"

"Iya, eomma. Minseok oppa bercerita banyak hal padaku."

"Benarkah? Baguslah jika Sora senang. Tapi sekarang, Sora harus istirahat. Ingat kata dokter, kau harus banyak istirahat."

"Tapi Sora masih ingin bermain dengan Minseok oppa."

"Oppa janji besok oppa akan kembali, oke?"

Setelah mendapat beberapa bujukan akhirnya Sora pun terlelap di tempat tidurnya. Kini Minseok bersama dengan nyonya Kang duduk di depan ruangan Sora.

"Ahjumma, sebenarnya Sora sakit apa?"

"Kelainan jantung, sejak lahir jantungnya sangat lemah."

Minseok tersentak mendengar jawaban nyonya Kang.

"Kelainan jantung?"

"Iya, kondisinya makin melemah dari hari ke hari. Aku takut Sora tidak sempat bertemu ayahnya."

"Bertemu…. ayahnya?"

"Tujuh tahun lalu, saat aku masih mengandung Sora, ada seseorang yang memfitnah suamiku. Ia dipenjara sejak saat itu. Ia bahkan belum sempat bertemu dengan Sora. Akupun tidak bisa membawa Sora untuk menjenguknya di penjara. Tiga bulan lagi, suamiku akhirnya akan bebas. Tetapi dokter bilang, dengan keadaan Sora yang seperti ini, ia tidak akan bisa menunggu sampai tiga bulan."

Minseok lagi – lagi menegang di tempatnya. Tangannya mulai bergetar mendengar cerita nyonya Kang.

"Ahh…. Aku jadi bercerita panjang lebar. Oh iya, ngomong – ngomong apa yang membuatmu dirawat, Minseok-ah?"

"Ahjumma…. Sepertinya aku harus kembali ke kamar. Orang tuaku mungkin mencariku."

Setelah berpamitan Minseok segera kembali ke kamarnya. Segala macam hal mulai kembali merasuki pikirannya. Tentang keadaannya, keadaan Sora, serta cerita nyonya Kang tadi, semuanya bergerombol memasuki kepalanya yang semakin penat. Ia merasa hidup Sora seperti dirinya. Ia juga merasakan bagaimana tidak memiliki seorang ayah. Entah kenapa rasa bersalah kemudian menyerang dirinya. Ia merasa menjadi orang yang paling egois. Tetapi tak lama kemudian Minseok merasa begitu lelah sampai akhirnya ia memejamkan matanya.

.

.

.

"Minseok-ah….. Minseok-ah….."

Panggilan sang ibu menyambutnya di pagi hari. Ia merasakan sebuah selang kembali terpasang di hidungnya. Minseok rasa tadi malam tanpa sadar ia kembali collapse. Sang ibu tersenyum padanya saat matanya terbuka sempurna.

"Kau akan dioperasi, Minseok-ah. Kau akan baik – baik saja." Ujarnya.

Mendengar kata operasi pikiran Minseok kembali melayang pada Sora. Sesaat kemudian air mata mulai mengalir di pipinya.

"Aku….. aku tidak mau dioperasi, eomma." Ujarnya pelan.

"Minseok?"

"Aku tidak mau egois….. aku tidak mau dioperasi."

"Semuanya sudah siap, kau akan dioperasi sore ini. Kau akan baik – baik saja." Sekarang sang ayah yang berbicara.

"Tidak, appa. Aku tidak mau dioperasi. Berikan jantung itu pada Sora. Aku tidak ingin egois."

"YA! Ada apa denganmu?!" Luhan yang sejak tadi diam memperhatikan akhirnya geram dengan perkataan Minseok. "Bagaimana bisa kau menyerah sedangkan semuanya tengah memperjuangkanmu?!"

"Lu… tenanglah…" sang ibu berusaha menahan Luhan, takut ia akan melakukan sesuatu pada Minseok.

"Lu… Sora belum pernah bertemu dengan ayahnya sejak ia lahir, hampir sama sepertiku sebelum ini. Tiga bulan lagi ayahnya akan keluar dari penjara, tapi Sora tidak akan bisa bertahan. Aku hanya ingin membagikan kebahagiaanku padanya. Aku juga ingin ia merasakan bagaimana memiliki seorang ayah. Aku tidak ingin egois mengambil jantung itu untukku sendiri. Kau bilang kau ingin membagikan kebahagiaanmu sebelum kau meninggal, begitu juga denganku."

"Kau benar – benar mendengarkanku?! Oh demi Tuhan, Kim Minseok! Keluarganya juga berharap kesembuhan Sora, bukan hanya kau. Tapi kau juga memiliki keluarga yang sepenuh hati mengharapkan kesembuhanmu. Kau memiliki keluarga yang tidak siap ditinggalkan olehmu. Jika kau berpikir kau egois karena kau akan sembuh sedangkan Sora tidak, kau egois karena meninggalkan keluargamu! Argh! Persetan denganmu!" setelah mengatakan kata – kata yang menusuk hati Minseok, Luhan segera meninggalkan ruangan itu.

Sedangkan Minseok hanya bisa terdiam menatap kedua orang tuanya sambil terus menangis.

"Eomma…. Appa….. aku harus bagaimana? Aku mendengar semua percakapan kalian dengan dokter Park kemarin. Jika aku memang harus pergi, setidaknya jangan biarkan aku mati di atas meja operasi. Biarkan aku berguna untuk orang lain. Kumohon…"

Tak segan – segan kedua orang tuanya segera membawa Minseok ke pelukan mereka. Tak menyangka Minseok akan mendengar kondisi tubuhnya yang sebenarnya.

.

.

.

Permintaan Minseok akhirnya dikabulkan dengan berat hati, mengingat kondisi Minseok yang juga semakin melemah. Sora akan dioperasi keesokan harinya. Mendengar hal itu Minseok sangat senang. Ia lega tidak lagi diliputi rasa bersalah kepada Sora. Tetapi sejak kejadian tadi pagi, ia tidak melihat Luhan kembali ke ruangannya. Luhan bahkan tidak mengangkat panggilan teleponnya. Ia menyimpulkan Luhan marah besar kepadanya.

Di tempat lain, yaitu rumah keluarga Kim, Luhan tengah duduk diam di atas tempat tidur Minseok. Ia memikirkan kejadian tadi pagi yang membuat hatinya sakit. Bagaimana ia bisa melepaskan Minseok yang benar – benar sudah ia anggap saudara kandung sekaligus sahabatnya itu. Bagaimana bisa keluarganya akan kembali seperti dulu, saat sebelum Minseok datang.

"Kau bodoh dan egois Kim Minseok." Ujarnya di sela tangis yang ia tahan sejak tadi.

.

.

.

"Oppa aku takut." Ujar Sora saat Minseok mengunjunginya sebelum operasi.

"Kau akan baik – baik saja. Semua dokter yang menanganimu pintar – pintar. Kau akan aman di dalam sana."

"Tapi tetap saja aku takut."

"Emm begini saja. Kau tau cerita Peter Pan?"

"Tentu saja!"

"Cukup tutup matamu dan bayangkan saja hal – hal yang membuatmu bahagia yang bisa membawamu terbang, bagaimana?"

"Akan kucoba!"

"Baguslah! Kau tidak perlu takut lagi." Minseok mencubit pipi Sora.

"Oppa berjanji akan menungguku sampai operasi selesai?"

"Oppa berjanji."

"Sora, sudah waktunya." Seorang suster yang akan membawanya memasuki ruangan Sora.

"Oppa doakan aku yaa!"

.

.

.

Sudah lebih dari lima jam operasi berlangsung, Minseok masih saja bertahan menunggu di depan ruang operasi. Udara cukup dingin malam itu, membuatnya harus dilindungi oleh beberapa helai selimut karena tubuhnya mulai menggigil.

"Minseok-ah, sebaiknya kau menunggu di kamar. Kau juga harus memperhatikan kondisimu." Ujar sang ibu yang juga menemaninya menunggu.

"Tidak, eomma. Aku baik – baik saja. Aku sudah berjanji pada Sora untuk menunggunya sampai selesai."

"Tapi…."

Saat itu bertepatan dengan dibukanya pintu ruang operasi. Sang dokter yang menangani Sora pun keluar masih dengan berbalut baju operasi. Nyonya Kang segera mendekati sang dokter dan menanyakan keadaan Sora.

"Operasinya berhasil, keadaan pasien juga stabil. Kita berdoa agar pasien segera sadar."

Setelah mendengar kalimat melegakan tersebut, Minseok tidak lagi menyembunyikan sakitnya. Ia ambruk ke lantai dan tidak sadarkan diri.

.

.

.

Sudah 3 hari Minseok dinyatakan koma, bahkan ia menempati ruang intensif 3 hari ini. Dokter menyatakan tak ada lagi harapan untuknya. Minseok sudah cukup berjuang selama ini, ia merupakan anak yang tangguh. Tapi ada yang mengganjal pada perasaan kedua orang tuanya beberapa hari ini. Luhan tidak mau menjenguk Minseok. Ia masih marah pada saudaranya yang bahkan kini enggan membuka mata.

Kedua orang tuanya masih terdiam di tempat tunggu khusus sampai pintu yang terbuka memecah keheningan. Mereka melihat nyonya Kang, ibu dari Sora datang.

"Nyonya Kang? Bagaimana keadaan Sora?" tanya sang ibu.

"Ia sudah baik – baik saja sekarang. Sebenarnya saya kesini untuk…." Ia tiba – tiba berlutut di hadapan kedua orang tua Minseok.

"Nyonya Kang, apa yang anda lakukan?"

"Maafkan kami, tuan dan nyonya Kim. Kami tidak tau bahwa jantung yang dimiliki Sora sekarang seharusnya menjadi milik Minseok. Maafkan kami."

Nyonya Kim tersentuh dengan permintaan maaf Nyonya Kang. Ia membantu nyonya Kang untuk berdiri.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Minseok menginginkannya, ia bilang ia ingin membagi kebahagiannya bersama sahabat kecil barunya."

"Boleh saya bertemu dengan Minseok?"

"Tentu saja."

Nyonya Kim pun mengantar nyonya Kang masuk ke dalam ruangan Minseok. Ia sedikit terkejut melihat alat – alat yang membantu Minseok bertahan. Iaa berjalan mendekat dan mendekatkan wajahnya ke telinga Minseok.

"Minseok-ah, terimakasih banyak. Sora sudah mulai membaik sekarang. Ini semua berkatmu. Kau anak yang baik. Jika kau sadar nanti, aku berjanji akan membawa Sora padamu. Ia selalu menanyakanmu."

Nyonya Kang kembali menatap nyonya Kim yang mengelus tangan anaknya dengan saying.

"Saya harap Minseok segera sadar."

"Terimakasih…."

.

.

.

Di tempatnya, Luhan merasa gelisah. Ia tau Minseok koma beberapa hari ini, tapi ego nya seperti tidak ingin mengalah. Ia takut untuk bertemu Minseok setelah kejadian kemarin. Minseok tidak berhak dibentak olehnya. Ia sadar semua ini sepenuhnya menjadi keputusan Minseok. Ia seharusnya tidak semarah kemarin.

Bunyi di ponselnya mengejutkannya. Hatinya berdetak lebih cepat ketika menemukan siapa yang memanggilnya saat itu.

"Ne, appa…." Ujarnya perlahan. Berharap sang appa tidak membawa kabar buruk.

"Lu, Minseok sadar."

"Benarkah? Syukurlah…" walaupun begitu perasaannya masih saja tidak tenang.

"Tapi, Lu…. Kita tidak bisa berharap banyak."

Luhan menegang mendengar perkataan sang ayah. Ia bisa menangkap maksud dari perkataan sang ayah tersebut.

"Sebaiknya kau segera ke rumah sakit, Lu. Appa mohon."

.

.

.

Luhan segera meninggalkan rumah saat mendengar sang ayah memohon. Ia kini tengah berada di depan ruangan Minseok. Terhenti karena mendengar suara anak kecil di dalam. Ia tau itu pasti Sora, anak kecil yang Minseok maksud.

"Oppa, selamat malam." Sayup – sayup ia mendengar Sora mengucapkan kata perpisahan untuk Minseok.

Saat ia menyeka air matanya yang jatuh, saat itu juga pintu terbuka menampilkan sesosok anak kecil yang duduk di kursi roda.

"Kau pasti Luhan oppa." Ujarnya.

"Dan kau pasti Sora." Luhan berlutut untuk menyamai tinggi dengan Sora.

"Minseok oppa bilang, aku harus bermain dengan oppa nanti agar kau tidak kesepian."

"Tentu saja, nanti oppa akan bermain ke kamarmu."

"Sora-ya, ayo kita kembali ke kamar."

"Ne eomma. Bye, oppa."

Luhan melambaikan tangannya sebelum ia kembali dihadapkan dengan pintu ruangan Minseok. Dengan ragu ia membuka pintu tersebut, membuat perhatian ketiga orang yang berada di dalam terpusat padanya. Sang ayah kemudian mendekatinya lalu membisikan sesuatu.

"Hilangkan penderitaannya, Lu. Sudah cukup Minseok bertahan selama ini."

Kemudian sang ayah memutuskan untuk diam di pojok ruangan, berusaha menahan air mata yang sejak tadi memberontak. Sang ibupun memeluk Minseok kemudian Luhan sebelum ia mengikuti sang suami.

Luhan mendekati Minseok yang terbaring. Ia melihat semua alat yang bahkan tidak pernah ia lihat sebelumnya terhubung ke badan Minseok yang sudah sangat lemah itu.

"Hei…" sapa Minseok terlebih dahulu.

"Hei…" jawab Luhan canggung. Tidak tega melihat Minseok semenderita ini.

"Lu, kau masih marah padaku?"

"Tidak…. Aku bahkan ingin meminta maaf karena membentakmu tempo hari."

Minseok menggeleng pelan.

"Tidak, aku yang salah. Aku memang egois. Tapi aku tidak pernah bermaksud ingin meninggalkan kalian. Aku sudah cukup bertahan, dan aku ingin berguna untuk orang lain."

"Kau saudara terbaikku. Walaupun kita bertemu dalam suasana yang tidak tepat, tapi kau tetap menjadi saudara terbaikku."

Minseok tersenyum, sedangkan Luhan mengalihkan pandangannya pada dada Minseok. Kemudian ia menaruh satu tangannya di atas dada Minseok, merasakan detak jantung yang berdetak sangat lemah itu.

"Sakitkah?" tanyanya miris.

Luhan melihat Minseok mengangguk.

"Bolehkah aku menyerah? Aku lelah, Lu. Ini sangat sakit."

Luhan tak bisa menahan air matanya lagi.

"Ya, Minseok-ah, terimakasih kau sudah bertahan." Ujarnya di sela – sela tetesan air mata yang sibuk berjatuhan.

"Selamat malam, Lu…."

"Selamat malam."

Dan Luhan pun mendengar sebuah suara yang tidak pernah ingin ia dengar. Sebuah mimpi buruk yang selalu ia lupakan. Sebuah suara yang mengantarkan saudaranya ke keabadian.

.

.

.

"Terimakasih kau sudah membantu charity ini, Lu!" ujar Mirae kepada Luhan yang tengah memperhatikan orang – orang.

Keduanya tengah berada di tengah – tengah acara penggalangan dana untuk penderita penyakit jantung yang diadakan oleh perusahaan keluarga Mirae.

"Tak masalah. Ini semua juga untuk Minseok." Ujarnya pada gadis yang kini telah menyandang status sebagai kekasihnya itu.

"Sudah setahun berlalu tetapi aku masih merasakan kehangatan Minseok."

"Ia akan selalu menjaga kita dari atas sana. Ia bukan tipe yang akan mengabaikan orang – orang yang menyayanginya."

"Kau benar…."

.

.

.

FIN

.

.

.

Yeaay finally FF ini selesaiiii

Panjang banget sih wkwkwk tadinya mau dibikin dua chapter tapi nanggung

Terimakasih buat yang udah review dan kasih support sampai akhirnya FF ini bisa beres

maaf kalo endingnya mengecewakan atau ceritanya gak bagus

emang sedikit klise sih, tapi yaa suka aja bikin bias nya menderita gimana lagi wkwkwk

Sekali lagi terimakasih sama yang udah menyempatkan baca sampai akhir dan juga kasih review sama support

tunggu FF yng lain lainnyaaa

THAAAAANNNKSSS