Sleepy Party

Summary: Menginap di rumah sahabat baru memanglah hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Namun apa jadinya jika di malam pertama saja sudah ada kejadian tak menyenangkan yang dialami oleh Hinata. Tak disangka tak dinyana, tak diduga tak ditanya, eh, ternyata eh ternyata, kejadian tersebut adalah awal kisah baru bagi sang Hyuuga muda kita... / Sorry, gak pandai buat summary.../ Gambar bukan punya saya / RnR please... ^^

Disclaimer: Masashi Kishimoto always

Pair: Gaara x Hinata [4ever ever after *?*]

Rated: T

Genre: Romance, drama, family, fluffy and humor [maybe]

Warning: OOC tingkat akut, AU, typo, gaje, abal, ide pasaran, dan warning-warning lainnya

DON'T LIKE DON'T READ

CHAPTER 7: Begin of Fissure

...

Mereka duduk dalam diam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dua cangkir teh yang masih mengepul menandakan kebersamaan canggung ini belum berlangsung lama. Namun seolah terjadi berjam-jam lalu, dengan hawa atmosfer yang begitu tak nyaman.

Hinata duduk menghadap Gaara dengan wajah menunduk seperti biasa. Setelah acara maaf-maafan akibat tindakan konyolnya tadi, ia menyilakan Gaara masuk ke dalam rumah. Menyediakan teh dan setoples biskuit buatannya. Dan disinilah mereka sekarang. Duduk dalam kebisuan di ruang tamu kediaman Hyuuga.

"Ano..."

"Okaa-san mengajakku kemari untuk mengunjungi Hyuuga-basan. Mereka berniat belanja bersama dan menyuruhku menjaga rumah ini karena kau belum pulang."

"A-ah, itu... sumimasen..." Hinata ingat dengan acara singkatnya bersama senpai sangar yang membawanya melihat pemandangan laut beberapa waktu lalu.

Suasa hening kembali tercipta selama beberapa menit, sebelum Gaara memulai pembicaraan.

"Ibumu sudah tahu,"

"Eh?"

"Kalau kau adalah 'kekasihku'," Gaara berbicara lirih di akhir kalimat. Mencoba melihat reaksi Hinata dengan menatap tepat pada amnethyst yang membelalakkan pupilnya.

"A-apa?"

"Okaa-san yang terlalu banyak bicara, makanya ibumu bisa tahu hal itu..."

Hinata megap-megap seolah tak bisa bernafas. Ketakutan mulai melingkupi nyalinya.

"... Beliau terlihat senang dan terus menggodaku." Gaara terlihat ngeri ketika mengingat cerocosan Hikari –Ibu Hinata- yang menghujaminya keantusiasan yang bahkan melebihi ibunya sendiri -Karura-.

"L-lalu?" Hinata mulai waspada.

"Ia hanya mengatakan jangan sampai hal itu diketahui oleh ayahmu,"

Hinata bernafas lega. Apa yang ia takutkan ternyata tidak terjadi. Ia kira ayahnya juga tahu mengenai hal tersebut. Apa jadinya jika kepala keluarga itu tahu anak gadisnya sudah berpacaran? Mengetahui Neji yang mulai menjalin hubungan dengan Tenten saja ia sudah banyak berceramah tentang ini-itu. Walau tak melarang, bisa dipastikan mulut pria yang berumur hampir kepala empat tersebut tak akan berhenti memberikan faedahnya kepada anak-anaknya yang sudah mengenal interaksi bersama lawan jenis. Memikirkannya saja membuat kepala Hinata pening tanpa sebab.

"Syukurlah..."

Gaara mengerutkan keningnya.

"Kau tidak marah?"

"Hm? U-untuk apa?"

"Aku sudah memaksamu berpura-pura hingga sejauh ini. Aku tahu kau bukan tipe gadis yang suka berbohong. Apalagi kebohongan itu sekarang juga menyangkut... keluargamu,"

Hinata menelan ludah gugup. Ia tak pernah berpikir Gaara akan memperhatikan perasaannya. Dan kemudian pemuda itu bertanya. Dalam hati, gadis bermata khas itu berpikir. Ia membenarkan ucapan Gaara tentang ia yang tak pandai berbohong. Tapi jika dikatakan marah, gadis itu tak yakin. Hinata tak pernah merasa marah padanya. Hanya perasaan takut kalau kebohongan mereka terbongkar dan membuat Hinata dibenci semua orang –terutama keluarga Sabaku-. Hinata hanya takut, dan... kecewa?

Kecewa untuk apa? Entahlah, terkadang perasaan itu muncul ketika Hinata mendapati kesenangan dalam kepura-puaraannya dengan Gaara yang lalu terhempas oleh kenyataan bahwa kesenangan tersebut hanyalah sebuah kesemuan. Semu karena kebohongan yang mereka buat. Palsu oleh kesepakatan yang sebenarnya tak pernah Hinata harapkan.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Meremas tangan yang terpangku di paha. Menatap Gaara dengan senyum terpaksa.

"T-tidak apa-apa. A-aku senang bisa membantu Gaara-san,"

Sebisa mungkin Hinata menyembunyikan kegetiran yang tiba-tiba melanda.

"..."

"Hanya saja..."

Gaara menatap intens gadis mungil yang tengah menunduk tersebut. Perasaannya tak enak. Ia merasa berdebar entah karena apa. Sesuatu ganjil mulai melingkupi feelingnya.

"... A-aku ingin mengakhiri semua ini s-secepatnya. Go-gomen... T-tapi aku tidak ingin terus-menerus b-berbohong, Gaara-san,"

Dan ternyata benar. Feelingnya benar. Meski tak Gaara sangka ucapan Hinata yang seperti itu yang membuat denyutan nyeri di hatinya. Gaara mafhum. Ia tak mau memaksa. Semua ini ada karena ulahnya. Ini semua salahnya. Jika gadis di hadapannya itu ingin mengakhiri semua kebohongan yang ia buat, Gaara tak berhak untuk menyuarakan keberatan.

Tapi perasaan tak rela tiba-tiba menghujaminya. Seolah tidak membolehkan pria itu berucap,

"Ya, kau benar."

Entah kenapa hati Gaara sakit. Walau hubungan mereka hanyalah suatu kepura-puraan semata, tapi pemuda itu seolah enggan melepas gadis yang baru-baru ini berhasil mengisi pikirannya. Dengan semua senyum manis itu, sikap malu-malunya, juga semburat merah yang selalu berhasil membuat debaran pemuda berambut maroon tersebut. Gaara merasa... tak rela...

Pemuda itu berdiri dari tempat duduknya.

"Berhubung kau sudah di rumah, aku akan pulang sekarang,"

Hinata hanya bisa tersenyum paksa melihat gerik Gaara setelah percakapan tak menyenangkan ini. Gadis itu mengantar kepergian Gaara hingga ambang pintu, menyisakan remasan kuat di dada setelah ia tak bisa melihat punggung pemuda itu lagi.

Gaara pulang dalam diam. Wajahnya murung. Ia merasakan berbagai perasaan yang berkecamuk yang melanda teramat sangat kuat saat mendengar ucapan terakhir dari Hinata.

Tanpa pemuda itu sadari, sampai sekarang ia masih mengingkari suatu perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya kepada gadis indigo tersebut.

~)))))00(((((

Suara kelontang tongkat besi yang dipukulkan pada dinding metal di sekelilingnya membuat suasana sepi gang kumuh itu pecah. Uap-uap yang mendesis dari cerobong asap tak mengubah langkah Sasuke yang semakin memasuki areal yang kental akan nuansa berandal. Ia sudah kebal. Walau masih 19 tahun, dengan santainya ia menyampirkan jas sekolah dan menyulut sebatang rokok di sudut bibirnya, ketika langkahnya terhenti mendapati sebuah jalan buntu.

"Suigetsu, kau yakin ini jalannya?"

Yang dipanggil Suigetsu hanya berhenti memainkan tongkat besinya dan melirik mantan 'ketua'nya saat pemuda itu bertanya tanpa membalikkan badan.

"Tentu saja, Sasuke. Jika aku tak yakin, buat apa aku susah-susah datang kesini dari Oto hanya untuk mempertemukanmu dengan ketua geng paling disegani di Konoha?"

Sasuke mendecih.

"Karena kau berhutang banyak padaku, brengsek,"

Suigetsu menyeringai memperlihatkan barisan gigi tajamnya.

Gang sempit itu menjadi menyesakkan ketika Sasuke mengepulkan asap rokoknya. Berusaha tak menghajar Suigetsu yang nyatanya sengaja mempermainkannya untuk ajang balas dendam.

"Di sebelah kiri ada intercom di balik pipa besi itu. Kau bisa mengatakan nama dan maksud kedatanganmu disana," Pemuda berwajah ikan itu baru menjelaskan ketika Sasuke menginjak kesal puntung rokoknya.

Sasuke berbalik cepat dan mencengkram kaos Suigetsu.

"Teme, kenapa kau tidak bilang dari tadi?!"

"Ara, aku sedang sesak nafas dan tidak bisa bicara karena kau merokok di tempat sempit ini," Suigetsu menyeringai. Puas dengan ekspresi kesal pemuda yang sudah menjadikannya 'budak' selama ia di Oto. Sedikit menggoda, dan itu berhasil. Nyatanya Sasuke hanyalah pemuda labil yang mudah marah.

"Sudahlah, aku mau pulang. Karin menungguku," Suigetsu melepas cengkraman Sasuke paksa ketika pemuda itu masih tak kunjung berhenti melepasnya. Pemuda yang sebenarnya lebih tua dari Sasuke itu berdecak malas melihat pelototan yang masih ia dapatkan ketika sudah terbebas dari cengkramnya.

Menghiraukan kekurangajaran Suigetsu, Sasuke mulai melakukan instruksi pemuda ikan tadi yang kini sudah lenyap dari pandangnya. Membongkar pipa besi karatan yang berjubel, akhirnya ia menemukan sebuah benda menempel yang ia cari. Sepertinya geng yang akan ia ikuti ini begitu elit dan tertutup, sampai-sampai untuk urusan penerimaan anggota baru pun tidak banyak yang bisa diketahui dari mereka.

Menekan tombol hijau, Sasuke mengeluarkan suaranya.

"Uchiha Sasuke. Ingin bergabung dengan Akatsuki."

~)))))00(((((

"GAARA..! MAKAN MALAM SUDAH SIAP…!"

Gaara membuka pelan jadenya. Ia tidur terlentang dengan masih mengenakan seragam sekolah lengkap. Tanpa melepas sepatu. Tanpa mandi. Hingga malam menjelang dengan keadaan kamarnya yang gelap gulita. Pemuda itu seolah tak peduli.

Teringat ketika di sekolah ia sama sekali tak bisa berinteraksi dengan Hinata. Setidaknya ia ingin berbincang-bincang untuk mencairkan suasana tegang dengan gadis itu setelah percakapan kaku di kediaman Hyuuga waktu lalu. Namun sepertinya dewi fortuna sedang tidak ada bersamanya seharian ini. Hinata seolah menghindarinya ketika berhadapan, tidak sengaja berpas-pasan, atau saat Gaara yang sengaja menemuinya. Padahal ia selalu bersama Matsuri. Tapi entah kenapa gadis itu kini mulai pandai membuat celah untuk melarikan diri. Membuat perasaan bersalah Gaara semakin bertumpuk. Mungkinkah Hinata sakit hati? Mungkinkah Hinata membencinya? Mungkinkah gadis itu juga merasakan apa yang Gaara rasakan? Apa Hinata menyukainya? Apa Gaara juga… menyukainya?

"Woi, Teme! Kenapa kau tak segera turun dari tempat tidurmu, eh?!"

Tiba-tiba Kankuro muncul menggebrak pintu kamar Gaara. Dengan sebuah apron berwarna pink dan spatula dalam genggamnya.

"Hn…" Gaara bergeming dan hanya menjawab sekedarnya.

"Kau sakit, hah? Kenapa gelap-gelapan seperti ini?!" Kankurou menekan saklar lampu yang langsung membuat mata Gaara menyipit -merasa terganggu-.

"Bisakah kau bicara tanpa berteriak-teriak?" Gaara bangun dari posisi nyamannya. Dengan ogah-ogahan ia berlalu melewati Kankurou yang dongkol karena diabaikan.

"Bocah tengik! Sudah menumpang, tidak tau terima kasih, dan kau mengabaikanku?! Woi, Gaara!"

Dan malam itu apartemen mereka dipenuhi oleh suara-suara teriakan Kankurou yang membahana di seluruh ruangan. Baru bisa berhenti ketika mereka sudah berada di meja makan dan mulai berbincang ringan. Seakan melupakan luapan kesalnya, Kankurou sudah mulai berbicara tenang dengan adiknya yang memang selalu bisa menaikkan tensi darahnya.

"Kieteru? Ada seorang anggota geng motor yang tertembak polisi hingga tewas."

Ini dia. Hal yang paling dibenci Gaara ketika pemuda itu mulai bercerita untuk menakut-nakuti dirinya.

Memutar mata malas, Gaara enggan menanggapi dan terus memakan masakan Kankurou yang terasa pas-pasan di lidah. Tak menghiraukan cerocosan pemuda kucing itu lebih lama. Paling-paling Kankurou diancam lagi oleh ibu mereka untuk mencegah mati-matian adiknya itu bermain balap motor lagi.

.

.

.

"Permintaan kedua, kau harus berhenti mengikuti balap motor mulai dari sekarang,"

"Demo, Kaa-san…"

"Tak ada toleransi, Gaara. Kankurou bilang kau selalu pulang saat dini hari di hari minggu. Kaa-san tahu kau masih mengikuti kegiatan ilegal itu,"

Gaara berdecak. Persetan dengan Kankurou yang mau saja mengawasinya seperti orang dewasa mengawasi anak kecil hanya karena ancaman pembakaran boneka-boneka bodohnya.

"Sebenarnya ada berapa permintaanmu, Kaa-san?"

"Hm?" Karura menyuguhkan masakan untuk makan siang putra ketiganya itu, sebelum ia menjawab,

"Entahlah, itukan terserah Kaa-san,"

Perempatan sebal muncul di pelipis Gaara. Melihat sifat cuek dan seenakanya sendiri dari ibunya.

"Kaa-san, aku tidak mau menuruti apapun lagi perintah darimu mulai saat ini."

Karura melotot tak percaya. Gaara mulai menunjukkang mode membangkang.

"Apa katamu?" aura iblis Karura muncul.

"Cukup tiga. Selebihnya aku tidak akan menuruti semua permintaanmu apapun alasannya," Gaara mulai menyuap dengan santai nasi ke dalam mulutnya.

"Gaara-chan… Okaa-san akan benar-benar marah lho…" Karura mulai menakuti.

"Dan sudah terpakai dua. Hanya tinggal satu permintaan lagi, Okaa-san." Sebelum Karura sempat meledakkan jiwa iblisnya, Gaara lebih dulu memeluk lalu mencium pipi ibunya dan segera berlalu meninggalkan kediaman Sabaku -lagi-.

"Terima kasih makan siangnya. Maaf, tidak bisa kuhabiskan,"

Setelah bangun dari keluluhan yang baru saja Gaara buat, Karura sadar jika putra ketiganya itu telah raib dari pandangannya. Begitu tahu, wanita itu langsung meledak tak karuan dan bersumpah akan membuat permintaan terakhirnya pada Gaara menjadi hal yang mebuat pemuda itu kapok, sekapok-kapoknya.

.

.

.

"Hah…" Gaara menghela nafas mengingat kejadian itu. Dirinya hanya bisa sedikit bernafas lega dengan satu permintaan masih tertinggal untuk menjadi bombastis Karura yang pasti akan sulit sekali untuk Gaara lakukan. Ia tahu resiko jika membuat wanita itu marah. Dua permintaan sebelumnya cukup membuat Sabaku ketiga itu memeras segala otak, tenaga, pikiran, hati, bahkan perasaan. Cukup dengan Hinata. Cukup dengan kebosanan yang melanda karena merasa terkungkung tidak bisa menaiki motor kesayangannya lagi. Dan ia tidak tahu hal ketiga apa dari Karura yang akan dimintanya untuk 'menghancurkan' Gaara.

"Masakanmu sangat tidak enak," Gaara berceletuk. Mengalihkan kepeningan yang tiba-tiba melanda akibat ulah ibunya sendiri.

"Hah?! Sudah untung aku memasak makanan untukmu, Gaara-chan... Jangan komen dan makan saja! Lagi pula aku juga tidak mau masak, lebih baik beli pizza atau ramen saja. Itu semua karena kau, Teme. Kaa-san yang menyuruhku mengurusmu! Sebaiknya kau pulang saja ke rumah, daripada aku kena getah juga karena Okaa-san terus-terusan menerorku!" Kankurou yang dongkol segera menyuap lahap masakan yang sebenarnya ingin ia caci dan buang ke tempat sampah.

"Kenapa aku harus susah payah melakukan itu? Kau kan lebih tua dariku, jadi kau wajib mengurusku," Gaara seolah tak peduli.

"Kau pikir aku babumu apa?! Kau itu sudah menumpang, tidak mau cuci baju sendiri, bersih-bersih juga tidak pernah! Aku tak habis pikir kenapa Kaa-san lebih memanjakanmu daripada aku,"

"Itu sudah jelas. Karena aku lebih tampan darimu,"

Kankurou tertohok. Ia terpukul telak tepat pada sasarannya. Dan langsung mencak-mencak tak karuan dengan bibir belepotan penuh nasi. Setelah selesai makan, ia beralih pada washtafel dan mencuci perkakas kotor dengan kasar sambil menggerutu. Gaara sedang malas untuk menggoda kakaknya itu lebih jauh lagi. Ia sedang tidak mood. Selesai makan ia langsung melesat ke kamar dan mengunci pintunya membiarkan Kankurou berteriak-teriak tidak jelas saking jengkelnya.

Menuju kamar mandi dan menyalakan keran air panas pada bathub. Gaara melepas seragam yang ia kenakan. Mencoba berendam pada genangan air panas yang sudah bercampur air dingin hingga menjadi air hangat tersebut. Meresapi kehangatan yang perlahan mampu mengangkat segala kepenatannya. Membuatnya terpejam beberapa saat untuk merilekskan pikiran. Sampai ponselnya berbunyi dan menunjukkan notifikasi panggilan. Ia membiarkan benda datar itu terus berdering lama lalu berhenti. Gaara seakan enggan untuk beranjak dari posisi ternyamannya. Tapi terpaksa ia akhiri acara berendam itu saat untuk ketiga kalinya ponselnya kembali mendapat panggilan yang sama.

"Mosh-"

"Brengsek, jika kau tidak ada kepentingan, kenapa tidak segera menjawab telponku?!" Terdengar suara bentakan ketika Gaara baru saja akan mengucapkan salam.

"Ada apa Sasori?" Tak biasanya sepupu jauhnya itu menelponnya.

Terdengar dengusan nafas kasar dari seberang sana. Sasori masih kesal dengan sifat menyebalkan Gaara. Anak itu memang selalu bisa membuat orang lain menjadi marah-marah saja bawaannya.

"Aku cuma mau memberimu info. Akatsuki mengadakan race lagi. Kali ini mereka mengadakannya secara besar-besaran, di samping ingin merekrut anggota baru mereka. Hadiahnya lumayan Gaar, pesertanya juga menantang, kebanyakan para pembalap kawakan gitu..." Sasori seperti menjawab panggilan seseorang sebentar sebelum melanjutkan bicaranya.

"...Mungkin itu bisa menjadi lomba terakhirmu, sebelum kau terkurung di rumah menjadi anak Mama, bwahahahaha..." Tentu saja bocah itu tahu perjanjian Gaara dengan Karura.

Perempatan siku-siku muncul di pelipis Gaara.

"Siapa yang anak mama?!"

"Sudahlah Gaara, kau mau ikut atau tidak?" Sasori yang notabenenya anggota Akatsuki sekaligus merangkap sebagai panitia penyelenggara balap motor -?- itu bertanya dengan nada serius.

"Aku tidak ikut. Aku balapan bukan untuk uang, aku hanya menikmatinya saja."

"Ayolah Gaara... Aku tahu kau adalah seorang yang berbakat! Bantulah sepupumu ini ya... Aku janji tidak akan merekrutmu atau merekomendasikanmu pada ketua lagi. Ayolah... Simpananku mulai menipis, bantu aku sekali iniii saja, ya, ya, ya..."

Suara memelas Sasori seakan ingin membuat Gaara ingin muntah. Ia tahu Sasori memberinya info ini karena ingin menjadikannya bahan taruhan. Setiap kali Gaara menang lomba, 80% uang hadiah pria babyface itulah yang mengantongi. Gaara juga tidak peduli, toh ia suka balapan liar hanya karena menikmatinya saja. Lagi pula uang untuk taruhan Sasori juga yang selalu mengurusnya. Satu hal yang tidak pernah diketahui keluarga Sabaku bahwa pemuda itulah yang membua putra ketiga mereka itu kenal dengan balap motor.

Gaara berpikir sejenak. Ia sudah mendapat permintaan kedua dari Karura. Yaitu untuk tidak ikut balap motor lagi. Tapi mengingat kesuntukan yang ia jalani pada hari-hari terakhirnya, pemuda itu berpikir ulang. Mungkin tak ada salahnya mengikuti saran Baka-sori itu untuk melakukan balap motor terakhirnya. Ia berpikir sejenak. Menimbang-nimbang hingga keputusan terucap dari bibirnya.

"Baiklah, aku ikut. Jika acaranya bukan malam hari. Tugas sekolahku mulai menumpuk akhir-akhir ini,"

"Hwuuuaaaaa...! Hounto? Tepat sekali Gaar, acaranya emang pas sore, hari minggu besok! Wah, Gaara emang yang terbaik deh!"

Dan yang disebut namanya sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara muntahannya ketika ia benar-benar hampir melakukannya.

"Kali ini si bos ngadain acara yang semi-illegal. Makanya aku berani jamin, kagak bakal bahaya, dan mengajakmu. Balapannya di lintasan pribadi milik bocah yang mau gabung sama Akatsuki. Jadi gak usah khawatir."

"Hn, itu saja? Aku mau melanjutkan acara mandiku dulu. Beritahu saja infonya lewat e-mail,"

"Heh?! C-chotto, Gaa-"

Bip!

Gaara mematikan ponsel dan mencopot baterainya. Ia tak ingin mendapat gangguan lagi setelah ini. Merendamkan diri pada bathtub. Memikirkan sesuatu hingga jam yang berdentang menunjukkan perubahan angka membuat ia mulai beranjak dari berendamnya. Mengambil handuk dan mengganti baju, bersiap untuk tidur.

~)))))00(((((

Pagi yang tenang seperti biasa. Hinata bangun tidur, terus mandi, tidak lupa menggosok gigi, habis mandi menolong ibu...

*keinget sebuah lagu, gak?

#gubrak!

... Skip!

Sarapan kali ini hanya toast bread dengan selai kacang dan telur dadar. Hikari sedang sibuk menyiapkan perbekalan untuk Hanabi yang akan pergi kemah dalam acara tur sekolah. Adik bungsu Hinata itu terlihat terburu-buru menata ulang ransel besarnya dengan semua barang yang menurutnya patut dibawa. Walau Hinata hanya memiringkan kepala saja melihat laba-laba dan ular karet yang turut menyemarakkan isi tasnya.

Meneguk segelas susu, Hinata mengakhiri acara sarapan dan berpamitan kepada ibunya. Memeluk sebentar Hanabi yang akan 'hilang' dari rumah selama dua hari ke depan. Gadis berponi rata itu sedang santai-santainya berjalan menyusur jalan lenggang Konoha yang sejuk. Berjalan beberapa blok untuk mencapai rumah Matsuri. Mereka berencana berjalan kaki saja hari ini, karena si gadis berambut coklat teman Hinata tersebut sedang dalam program diet untuk menarik hati pemuda malas bernama Omoi. Hinata belum mengabari Matsuri jika ia sudah OTW ke rumah gadis itu. Baru saja ia akan mengambil ponselnya, sebuah suara derum motor mengagetkan Hinata ketika motor tersebut berhenti tepat di sampingnya.

"Yo!"

"S-senpai?" Hinata mengerutkan kening melihat senpai berambut raven yang beberapa hari lalu mengajaknya melihat laut. Hinata hanya memandang helm dan motor gede yang sama seperti tempo lalu. Namun yang membuat gadis itu terus-terusan mengamatinya adalah karena ia ingin mengingat-ingat siapa namanya.

"Etto..."

"Naiklah, kuantar sampai ke sekolah,"

"Hah?" Hinata memainkan ujung jari telunjuknya. Ia ragu.

"T-tapi aku sudah punya janji akan b-berangkat bersama te-temanku..."

"Batalkan."

"Eh?"

"Jangan hah, heh, hah, heh, saja! Cepat naik!" Hinata tersentak. Sepertinya ia harus membatalkan acara jalan bersama untuk diet Matsuri.

"S-sebentar, aku akan mengirim pesan padanya," Sasuke menunggu dengan tidak sabar. Tapi ia mencoba tetap menunggu gadis itu untuk suatu alasan.

Di tengah ketikan pesan yang ia tulis, Hinata berhenti sejenak. Ia ingat peringatan Matsuri tentang senpai itu. Seperti apa sebenarnya dia, Hinata tidak tahu. Ia mulai ragu ketika ingat sifatnya waktu mereka pertama kali bertemu. Apalagi kemesteriusannya yang tiba-tiba mengajak Hinata melihat laut setelah sebelumnya ia membentak-bentak Hinata. Dan sekarang dengan tiba-tiba ia muncul di area dekat rumahnya, dan menyuruhnya menaiki motor itu lagi? Hinata merasa curiga. Sepertinya ada motif tersembunyi, nih... Tapi jika dipikir-pikir, ia tida terlihat berbahaya. Apa Matsuri hanya membohonginya? Menakut-nakutinya? Secara Sasuke itu kan idola sekolah. Mungkin Matsuri takut Hinata akan kena bully jika dekat-dekat dengan pangeran KHS itu. Atau Matsuri saja yang tidak rela idolanya dekat dengan gadis lain? Ah, tapi Matsuri kan menyukai Omoi. Entahlah, Hinata pusing memikirkannya...

"Cepatlah, kita hampir terlambat!"

*Ini masih pagi sekali Sasuke-kyuuun...

"A-aah, iya!" Cepat-cepat Hinata menyelesaikan ketikannya dan mengirim pesan tersebut. Memasukkan kembali benda flipnya ke dalam tas dan mulai menaiki motor gede Sasuke. Seperti biasa pemuda itu menyodorkannya sebuah helm yang kebesaran.

Motor melaju dengan kecepatan diatas 90 km/jam. Kecepatan yang menurut Sasuke cukup lambat untuk tidak membuat takut gadis yang diboncengnya. Walau kenyataannya Hinata malah berpegang erat pada perut Sasuke. Memejamkan mata tanpa berani membukanya. Sasuke membiarkannya saja. Ia tidak peduli. Toh, gadis itu sepertinya tidak tertarik padanya. Cukup membuat Sasuke nyaman sih, jadi Sasuke cuek saja ketika mendapat pelukan erat di perut sixpacknya.

Bagaimana pun Sasuke harus mendapatkan gadis itu. Bukan, ia bukan ingin menjadikan Hinata kekasihnya atau apa. Tapi karena syarat dari Akatsuki tempo lalu yang cukup memberatkan Sasuke, membuat pemuda Uchiha itu memutar otak mencari gadis yang tepat untuk ia jadikan jembatan masuk dalam organisasi jalanan tersebut. Ia tidak mau memilih sembarang gadis. Sangat menjijikkan ketika Sasuke ingat perlakuan apa saja yang ia dapatkan jika berada di antara para gadis-gadis. Dan yang terpikir olehnya saat ini hanyalah Hyuuga Hinata. Gadis pemalu yang bersikap biasa padanya. Gadis yang tidak overacting terhadapnya. Dan gadis yang baru ia tahu namanya sehari yang lalu.

Hyuuga Hinata. Sasuke harap gadis itu mau menjadi batu loncatannya untuk bisa masuk ke Akatsuki. Dan membuat Itachi semakin resah, kesusahan karenanya.

TBC

Hwuuahh...!

Chappy 7 telah terlewati. Uma update ff yang masih aman-aman dulu minna-san, hehe...

Kalau ada yang bingung atau mengganjal di hati minna sekalian, tulis aja di kolom review di bawah ini yack... Uma usahain balas semua review minna mulai saat ini, te-he! XD

Yosh, see you in the next chap...^^