Unforgiven Hero


Remake from "Unforgiven Hero" By Santhy Agatha

Cast : Jongin, Sehun, and others

Rate M

Warning for typos and lots of sexual content

Happy Reading


Chapter One


"Kau sangat menyedihkan," Kim Jinri menoleh ke laki-laki di sebelahnya, yang kebetulan kakaknya. "Bukan urusanmu."

Jinri mendengus lalu menyesap minuman kalengnya dan meletakkannya di dashbor mobil. "Sampai kapan kau mau begini terus? sampai dia menjadi kakek-kakek dan tetap tidak menyadari keberadaanmu?"

"Sttt." Jongin– Kim Jongin– bahkan tidak menoleh ke wajah adiknya yang duduk di sebelahnya, tatapannya lurus ke depan, ke pintu keluar sebuah gerbang kampus. Tak lama sosok yang dicarinya itu keluar, dengan senyum manis yang sudah dihafalnya, sedang bercanda bersama teman-temannya.

"Dia tersenyum." gumam Jongin lega.

"Tentu saja dia tersenyum, dia berhasil lulus dengan predikat cumlaude," tukas Jinri dengan gusar, "Dan itu karena siapa coba?"

"Aku tidak mau membahasnya..."

"Karena kau! Semua karena perjuanganmu." Jinri tidak mempedulikan peringatan kakaknya dan terus melanjutkan. "Dan sekarang kau bahkan tidak bisa memberikan selamat kepadanya, malah mengintip dari jauh seperti ini. Benar-benar menyedihkan!"

Jongin terus menatap sosok itu sampai menjauh, menghilang di dalam angkutan umum yang dikendarainya. "Dia bahkan masih naik angkutan umum, aku harus mengusahakan kendaraan untuknya. Supaya dia tidak perlu capek berpanas-panasan naik angkutan umum lagi."

Perkataan itu semakin membuat Jinri gusar karena kakaknya itu tidak memperhatikan kata-katanya. "Kau menyedihkan, sampai kapan kau akan menghukum diri sendiri seperti ini?"

Sepi. Tampaknya Jongin mengganggap pertanyaan Jinri itu tidak perlu dijawab. Dua kakak beradik itu terdiam di dalam mobil mewah yang sengaja di parkir agak jauh dari kampus, agar tidak mencolok. Jongin sibuk dengan pikirannya sendiri, pikirannya melayang ke masa sepuluh tahun lalu, saat usianya masih 18 tahun. Kaya, tampan, punya kuasa, dan tidak tahu tentang rasa tanggung jawab..

10 tahun yang lalu...

"Ini mobil hadiah ulang tahunku, baru ada dua di negara ini." gumam Jongin bangga pada teman-temannya waktu itu. Semua temannya mengagumi mobil sport warna merah yang diparkir Jongin di lapangan itu.

"Gila Jong, mobil ini enak sekali dibawa ngebut!" seru salah satu temannya.

"Tentu saja, namanya juga mobil sport."

"C'mon Let's try." seru salah seorang temannya yang lain.

Jongin tertawa bangga dengan kesombongan masa mudanya waktu itu. Malam itu mereka mabuk-mabukan dan berpesta pora. Dan malam itu pula Jongin belajar bahwa kesenangan sesaat kadangkala bisa merenggut nyawa orang yang tidak bersalah.

Mobil yang dia kendarai dalam keadaan mabuk, menabrak sebuah taksi yang berjalan pelan di jalur berlawanan. Pengemudi taksi itu, lelaki tua yang tidak tahu apa-apa, tewas seketika.

Tentu saja semua permasalahan dapat dibereskan dengan cepat. Ayah Jongin adalah pengusaha yang sangat berpengaruh karena harta dan kekuasaannya yang melimpah. Tidak ada yang mempermasalahkan kenapa Jongin mengendarai kendaraannya dalam kondisi mabuk berat, uang jaminan sudah disiapkan. Jongin sendiri waktu itu lebih mencemaskan keadaannya daripada memikirkan supir taksi tua yang tewas itu. Toh supir taksi itu lebih beruntung langsung tewas, tidak merasakan sakit seperti dirinya.

Limpanya terbentur keras, bengkak, sehingga memerlukan perawatan dan pengobatan khusus, dan rasa sakitnya sungguh tidak terkira. Bahkan Jongin sempat menyalahkan supir taksi yang menurutnya kurang ajar. Kenapa bisa ada di jalan yang berlawanan dengan dirinya sehingga membuatnya tertabrak.

Semua permasalahan dibereskan dengan cepat oleh ayahnya. Jongin langsung di kirim ke Amerika untuk menjalani pengobatan. Sampai 6 bulan kemudian setelah kecelakaan itu, dia pulang ke Korea.

Ibunya, seorang wanita Spanyol yang sudah tinggal di negara ini sejak menikah dengan Ayah Jongin, mengingatkannya,

"Kau tidak pernah ingin tahu tentang mereka?" tanya ibunya waktu itu.

Jongin yang saat itu merasa bosan karena masih harus beristirahat di rumah dan tidak bisa keluar rumah menatap ibunya dengan marah, "Buat apa bu? Bukankah ayah sudah memberikan tunjangan yang sepadan untuk mereka? Malah mungkin lebih banyak dari yang bisa dihasilkan supir taksi itu ketika dia hidup." Kesombongan membuat suaranya terdengar keras.

Sang ibu menggelengkan kepalanya, "Supir taksi itu memiliki isteri yang berduka dan seorang anak yang masih membutuhkan biaya sekolah. Apakah kau tidak menyesal atas kehilangan yang dialami anak kecil itu, Jongin?"

Jongin merasa terganggu mendengar ucapan ibunya, "Sebenarnya apa yang ibu inginkan dariku?"

"Ibu hanya ingin merasa sedikit lega, ibu ingin kau pergi kesana dan meminta maaf langsung. Bahkan selama ini hanya pegawai ayahmu saja yang datang kesana dan mengurus semuanya." Jongin mencibir, "Mereka itu keluarga miskin, kalau aku datang kesana dan menunjukkan penyesalan, mungkin mereka akan meminta tambahan tunjangan lagi."

"Kalau begitu beri saja. Kau sudah mengambil nyawa seorang ayah Jongin. Berapapun harta yang kau berikan, itu tak akan tergantikan."

Dan datanglah Jongin keesokan harinya, dengan diantarkan sopir dalam mobil mewah. Tentu saja tak lupa membawa buket bunga di tangannya.

Ternyata mobil tidak bisa masuk ke kompleks itu, Jongin masih harus berjalan melewati gang sempit dan rumah-rumah tak terurus dengan bau yang mengganggu indra penciumannya. Dengan jijik dipandanginya lumpur di sepatu mahalnya, dia akan membuang sepatu ini, putusnya jengkel.

Rumah itu sederhana, terletak di ujung gang, tetapi tampak paling bersih di antara semua rumah yang berdesak-desakan di sana. Kelihatannya seseorang berusaha meletakkan pot-pot mungil berisi bunga mawar untuk menutupi pagar jelek yang menyedihkan di depan rumah itu. Ketika Jongin mengucapkan permisi di depan pintu, seorang lelaki remaja, mungkin usianya beberapa tahun di bawahnya muncul di ruang tamu dan menatapnya curiga.

Laki-laki itu cantik, itu yang Jongin pikirkan pertama kali melihatnya. Cantik, dengan tatapan mata yang cerdas, dan meskipun hanya berpakaian sederhana, tetap saja tidak bisa menahan keterpesonaan Jongin.

"Siapa?" tanya lelaki itu hati-hati.

Jongin memasang senyumnya yang paling mempesona, selama ini banyak gadis maupun lelaki yang mengejarnya. Dia tidak pernah meragukan pesonanya.

"Saya...saya datang kemari untuk minta maaf atas kecelakaan itu, maaf saya baru bisa kemari. Saya baru pulang dari Amerika setelah menjalani perawatan medis karena luka setelah kecelakaan itu."

Hanya kalimat itu yang bisa ia keluarkan. Karena setelah kalimat itu, Jongin bahkan tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi.

Yang bisa diingatnya adalah jeritan histeris penuh kemarahan sang lelaki, tetangga-tetangga yang berdatangan untuk memisahkan mereka karena sang lelaki tiba-tiba menyerangnya dengan tamparan bertubi-tubi. Bunga-bunga berserakan dihancurkan, dan ancaman penuh kebencian keluar dari laki-laki kecil itu.

"Jangan pernah kau menampakkan wajahmu di muka kami! Kau manusia hina yang bersembunyi di balik kekuasaan ayahmu, manusia pengecut, tidak bertanggung jawab! Kau pikir nyawa manusia bisa diganti semudah itu dengan uang?! Kami memang miskin, tapi kami punya harga diri! Jadi sebelum kau bisa menunjukkan kalau kau punya harga diri, jangan berani-berani menunjukkan mukamu di depan kami!"

Hari itu, Jongin diberitahu oleh seorang tetangga, ibu lelaki itu yang jatuh sakit karena tak kuat menahan kepedihan, meninggal semalam dalam kondisi sakit parah, menyusul ayahnya. Hari itu, Jongin menyadari, bahwa perbuatannya telah menghancurkan hidup sebuah keluarga.

To Be Continue