Change : After the Arrival of My Brother
Gempa mengintip sedikit dari sudut tembok. Ada tiga—ah empat sosok disana. Salah satunya sedang dikeroyok olehketiga orang emas itu perlahan melebar, pandangan nya mulai jelas melihat wajah orang-orang itu.
"Ge-Gempa itu kan?"
Gempa meneguk ludah "K-Kak Api?!"
Chapter 13
"Sepertinya Kak Tanah bakal pulang telat lagi."
Angin merengut. Memikirkan betapa membosankan jikalau seharian ia hanya bersama Kak Petir. Tak ada yang bisa diajak bercanda, malah mereka bertengkar terus. Meski sesekali berdamai, seperti sekarang ini. Berjalan bersampingan dengan tangan yang masing-masing memegang sebuah kantung plastik berisi beberapa bahan pokok makanan.
Hari ini mereka mendapat giliran untuk berbelanja makan malam oleh Ibu Panti- tentu dengan daftar list yang telah dibuat dan diberikan pada mereka. Keduanya tidak mengeluh, mereka sudah terbiasa seperti ini. Saling berbagi tugas di Panti adalah kegiatan sehari-hari. Ya... sejak kecil mereka hidup di Panti bersama kakak tertua- Tanah. Orang kedua sudah meninggal saat mereka kecil, jadi keduanya tak tahu penyebab orang tua mereka meninggal. Hanya Kak Tanah saja yang tahu. Namun enggan untuk memberi tahu mereka.
Bunyi kaki menggema ke seluruh sudut gang, suasana agak sepi dan begitu lenggang. Beberapa burung berterbangan menghiasi langit yang kini berwarna oranye- kemerahan. Semua makhluk hidup seolah pergi untuk kembali ke tempat asal.
PRANG
Seperti kaca yang pecah, bunyi tersebut begitu bising meski sekejap. Petir dan Angin yang baru saja mengambil belokan ke kiri terhenti di tengah jalan.
Tap. Tap. Tap.
Suara tapak kaki mendekat.
Satu. Dua. Tiga.
Angin memilih untuk mundur dan berlindung dibalik punggung kakaknya yang lebih tua satu tahun darinya. Sementara Petir masuk dalam mode siaga. Tubuh mereka bergetar, tak kala melihat tiga sosok tinggi kini berdiri didepan mereka.
"Ternyata cuma dua ekor tikus kecil, Ejojo. Mau kita apakan mereka?"
Lelaki yang bernama Ejojo tersebut kini berjongkok tepat dihadapan Angin serta Petir. Mata coklat-kemerahan itu sangatlah menusuk nan tajam. Belum lagi, seringaian telah tercetak di wajah.
"Serahkan uang kalian padaku, adik-adik manis~"
Tangan kanan Angin refleks memegang lengan Petir, begitu kuat seperti memberi tahu bahwa saat ini ia ketakutan. Petir sendiri merasakan ketakutan yang sama, tetapi sebagai kakak ia mencoba untuk tidak terlihat seperti itu.
"Tidak mau."
Dengan tegas Petir berbicara. Tentu ia tidak ingin memberikan begitu saja uang yang ada disaku celana nya- kembalian dari berbelanja tadi. Sebab uang itu hasil jerih payah anak Panti- termasuk kakak nya.
"Wah, rupanya anak ini berani juga padamu Bos."
Dengan menggunakan jari telunjuk, Adudu mengangkat wajah Petir sedikit agar melihatnya. Tatapan yang tajam serta wajah yang begitu angkuh, mengingatkan Ejojo pada sosok yang sangat ia benci.
BUGHHH
"KAK PETIRRR!"
Angin segera menghampiri kakaknya yang terlempar beberapa mili akibat pukulan Ejojo. Tangan kanan itu terus memegangi perut, untuk anak berusia 9 tahun seperti Petir pasti akan sangat merasa kesakitan.
"Oh namamu Petir, heh. Makna yang hampir mirip dengan seseorang yang ku benci." Ujar Ejojo dengan dingin.
Angin semakin mempererat pelukan pada Petir yang tak berdaya. Secuil air mata keluar dari sudut mata, perlahan membendung di kelopak mata dan menutupi keindahan iris kecoklatan tersebut. Ingin berteriak, tetapi ia tahu itu semua akan sia-sia. Akan tetapi, ia tidak mau...
"TOLOOONGGGG!" Teriaknya sekeras mungkin.
... kakaknya mati.
"Hahahaha, berteriak sekeras pun tidak akan ada yang bisa menolongmu dan kakakmu disini, kau tahu." Tawa Ejojo disusuli dengan tawa Adudu dan Probe.
Tes. Tes. Tes.
Air mata dengan seenaknya turun, ia tak bisa menampungnya kembali. Ia tidak bisa melawan tetapi ingin dirinya serta Petir selama. Memang naif, tetapi apa yang bisa dilakukan anak kecil sepertinya?
"Seandainya saja ada Kak Tanah disini..."
"Kalian. Cepat bereskan kedua bocah ini!"
"Ta-tapi Bos Ejojo... mereka cuma anak-anak." Sela Probe.
Ejojo menarik kerah seragam Probe "Memangnya aku peduli, hm?!"
Probe dan Adudu tak berani lagi untuk membantah. Perintah Ejojo itu mutlak, jika melawan... mereka lah yang akan kena imbas.
DEG
Angin ingin sekali pergi dari tempat itu. Berlari secepat mungkin bersama kakaknya. Namun ia tak bisa, mengangkat tubuh kakaknya untuk berdiri saja ia tidak mampu. Jika hanya ia sendiri yang pergi, meninggalkan Petir untuk mencari bantuan... meski akhirnya mendapat pertolongan, tetapi tetap saja akan ada kemungkinan terburuk yang akan diperoleh Petir kembali.
"K-Kak Petir hiks..."
"Jangan takut, ada kakak disini." Ujar Petir dengan senyum tipis.
Mereka menatap dua orang yang semakin mendekati mereka. Perlahan, semakin dekat dan-
BUAGHH
BRUUK
Kedua orang itu seketika tumbang.
"Tidak ku sangka sekarang kau lebih berani memukul anak kecil, huh. Dasar pecundang."
.
.
.
"Kak Gem-"
Ia mengerjapkan mata. Hampir saja Angin mengira sosok yang berdiri didepan nya itu adalah Gempa- teman dari Kak Tanah. Iris jingga itu yang menyadarkan nya, sebab ia tahu warna mata Gempa itu kuning ke-emasan.
Ditatapnya punggung berlapiskan jaket tanpa lengan berwarna oranye. Serupa dengan warna topi kakak itu. Ia tidak bisa melihat ekspresi kakak tersebut, karena ia berada dibelakang nya.
"Kau- adiknya Halilintar!" Geram Ejojo.
Api tersenyum meremehkan, hingga membuat kebencian Ejojo kian membuncah.
"Gara-gara diaaa! Karena kalian, KAMI DROP OUT DARI SEKOLAH!"
Api membuka mata yang sempat terpejam "Ku rasa itu karena salahmu sendiri, kebodohan ... serta kepayahanmu hahaha."
Tangan itu terkepal erat.
Menampilkan pintasan urat-urat dengan jelas disana.
"Kau pikir bisa menang disini, heh." Sindir Ejojo dengan seringaian iblis.
"Tentu saja, aku-"
Dengan cepat Api menghindar dari serangan Probe serta Adudu yang dilakukan beruntun.
Satu lawan dua.
Tak dapat Api pungkiri dia terdesak meski masih dapat menghalau serangan kedua-nya.
Hap.
Tangan kanan nya berhasil menangkap kaki kiri Adudu yang berniat menendang punggung nya.
Kraak.
Segera ia memelintir kaki tersebut, lalu memanfaatkan kesempatan untuk membanting tubuh Adudu.
Meski tubuh nya sedikit kecil, namun otot-otot nya cukup kuat. Mungkin karena ia sering berolahraga, berlatih sepak bola dan kadang... berkelahi.
Iris jingga itu kemudian menatap nyalang Probe yang berada disisi kanan nya. Butiran keringat terus keluar dari dahi Probe, terlebih saat Api mendekati-
BUAGH
- dan ia pun tersungkur.
"Apa kau lupa dengan keberadaanku disini, heh?"
Api menengok perlahan ke belakang dengan tubuh yang bergetar menahan sakit akibat terhantam sebuah kayu besar yang dipegang Ejojo. Tatapan penuh amarah seolah menyulut jiwa iblis Ejojo keluar.
Tanpa diberi ampun, Ejojo kembali memukul Api dengan kayu yang ia pegang. Lalu ditambah lagi dengan Adudu serta Probe yang membantu. Mereka tertawa. Tanpa memperdulikan bercak merah yang telah tercetak di aspal tersebut.
Petir berusaha menolong Api, namun ia berakhir terpelanting kembali.
Sakit.
Tapi ini bukanlah sakit yang sesungguhnya.
"Tidak bisa menghabisi kakaknya, adiknya pun tak masalah."
Mata jingga itu perlahan meredup, bahkan suara Ejojo tak dihiraukannya.
"Apa aku... akan mati seperti ini?"
Meski pandangan nya mulai kabur, ia masih bisa sedikit melihat dua bocah lelaki yang tak jauh dari hadapan nya.
"Syukurlah, Kak Petir tidak apa-apa. Aku tidak mau Kak Petir mati hiks ... karena aku menyayangi Kak Petir."
Untuk sesaat Api sedikit bernostalgia.
Apa itu arti dari menyayangi?
Rasanya ia sudah melupakan perasaan tersebut. Hingga yang tersisa hanya rasa sakit yang mendalam. Luka dihati pun makin melebar.
Kematian.
Sesuatu yang mengerikan, tapi... kadang seolah ingin merasakan nya. Ketika tak ada yang berarti lagi, saat semua kebahagianmu telah lenyap. Hanya dirimu sendiri, kesepian didalam ruangan yang gelap. Kematian bukanlah hal buruk, hingga itulah yang dipikirkan olehmu dibanding harus memilih hidup tanpa arti. Tetapi-
"Akhhh!"
Darah kembali muncrat dari mulut Api. Semua rasa sakit sudah tak dirasakan nya lagi. Sekujur tubuh kaku.
Apa mungkin ini akhirnya?
BUAGH!
Samar-samar ia mendengar suara berjatuhan dan jeritan.
"Angin! Petir! Kalian baik-baik saja?!"
Penglihatan nya semakin meredup, ia tak bisa mendengar serta melihat kondisi saat ini lagi. Semua... gelap.
"Aku menyayangimu, Kak Api."
"Halilintar, bagaimana keadaan-"
Taufan meletakkan satu jari telunjuk di bibir yang memasang segaris senyum tipis.
"Tenanglah Ibu, dia sudah melewati masa kritis nya. Tidak akan terjadi hal buruk lagi, ku jamin." Ucap Taufan dengan nada ceria.
Ibu Hana bernapas lega, ia mengambil ponsel di tas dan keluar dari ruangan itu sejenak.
Selang infus yang berada di tangan tersebut terus mengalirkan cairan. Dada yang naik turun, napas yang cukup beraturan.
Tok. Tik. Tok.
Jarum jam terus memainkan ritme nya tanpa henti. Mereka bertiga masih duduk disana, tanpa bosan meski sudah lima jam berlalu.
DEG
Jari itu bergerak. Ketiga-nya sontak tertegun.
Tubuh yang sejak tadi diam tak berdaya diatas ranjang, kini bergerak perlahan bersama dengan kesadaran nya. Mencoba mendudukkan posisi nya dengan hati-hati, sebab sekujur tubuh masih sangat terasa sakit nya. Ketika punggung nya sudah menempel pada dinding. Ia pun membuka mata.
Selimut putih yang melapisi dirinya adalah hal yang pertama ia lihat.
"Jadi... aku masih hidup..."
Kepalanya tertunduk seketika. Kedua tangan itu mengepal erat serta gig-gigi yang mulai gemertak. Ia memukul kedua lutut dengan penuh emosi.
"Harusnya... HARUSNYA KU MATI SAJA!"
PLAAK.
Pipi kanan Api mulai memanas. Taufan tertunduk dengan bibir yang tertarik segaris. Air memilih untuk menoleh kearah lain. Halilintar hanya diam, dengan tangan yang masih menggantung di udara. Sementara Api mulai memegangi pipinya dan beralih menatap Halilintar yang baru saja menampar.
"Jika kau berkata seperti itu lagi, aku akan melakukan hal yang lebih dari ini."
"Memang... kau siapa ku?"
Halilintar tertegun. Tatapan dingin penuh kebencian serta amarah itu... ini bukanlah Api yang ia tahu. Ini bukan adiknya.
"KAU SIAPA?! JAWAB AKU, JANGAN DIAM SAJA!" Teriak Api sekeras mungkin. Emosi kian meluap.
Ketiga orang yang berdiri disana tetap diam mematung dengan kepala tertunduk. Kedua tangan Api semakin mengepal kuat. Tubuhnya gemetar.
"Hari itu... setelah pemakaman nya usai, seorang anak kecil menangis sendirian. Hujan pun datang, ia berlari tanpa arah sambil terus menangis. Mencari-cari sosok Ibu yang telah tiada. Terjatuh menahan sakit, sendirian. Ketiga saudaranya sibuk mengurusi kesedihan mereka masing-masing..."
"... keesokkan harinya, ia mencoba untuk tersenyum. Ceria seperti biasa. Menghibur kakak-kakak serta adiknya. Waktu membuatnya sadar, semua hal yang ia lakukan sia-sia. Keceriaan palsu yang ia buat berakhir percuma. Hingga ia memilih berhenti, ketika ia sadar... sudah tak ada lagi tempatnya berbagi. Ia telah kehilangan semuanya. Demi menatap hari esok ia selalu membunuh rasa kesepian dan menyimpan rasa kesedihannya sendiri. Tak ada yang bisa dipercaya lagi..."
"A-Api..."
"KEMANA?! KEMANA KALIAN WAKTU ITU HAH! KALIAN SEMUA-"
Perlahan... tangis itu pecah.
Air mata tak kuasa lagi ia bendung. Terus mengalir, membiarkan semua meluap sebagaimana mestinya. Tetesan air mata dengan seribu perasaan yang tertuang didalamnya. Isak tangis yang begitu memilukan. Sementara Taufan dan Air menangis dalam diam.
Sakit sekali.
Cairan bening pun mengalir membasahi kedua pipi Halilintar. Ia terus memeluk Api begitu erat. Meminta maaf dalam diam serta memberitahu akan rasa penyesalan yang begitu dalam.
"Maaf..."
Angin malam masuk melewati jendela yang terbuka. Tirai jendela sedikit tersingkap, memperlihatkan beberapa bintang telah memancarkan cahaya. Malam ini bintang-bintang itu kembali bertemu dengan Sang Bulan. Saling memberi cahaya, memberikan kehangatan sekaligus kedamaian dalam sebuah keindahan. Sebuah ikatan yang rapuh pun perlahan terobati kembali.
"Apa ini berarti, tugasku sudah selesai~"
Gempa dan Tanah sekarang berada di sebuah atap- gedung sekolah yang berada diseberang rumah sakit tersebut. Ia melempar teropong yang sempat itu sembarang, namun dengan tanggap Gempa menangkapnya.
"Apa maksudmu dengan tatapan itu?"
Gempa menarik sebelah headshet yang sempat terpasang di telinga kanan nya. Tanah merengut mendapati ekspresi datar tersebut.
"Setidaknya berikan aku uang tambahan atas keberhasilan ini~" Rengeknya.
Gempa berkedut kesal. "Dengar ya... aku sudah mengeluarkan uang banyak untuk perbaikan rumah Panti pasca kebakaraan waktu itu. Kau tahu... itu tabunganku selama hampir dua tahun."
"Sedikit saja- untuk aku dan anak-anak panti lainnya-"
Satu telunjuk menyentuh kening Tanah membuat Tanah diam seketika.
"Kau akan mendapatkan nya besok. Tapi bukan dariku dan aku hanya perantara supaya kau bisa mendapatkan nya." Ujar Gempa dengan senyum jahil.
Tanah mendengus geli, kalau sudah begini-
"Maa... aku menginap dulu di Panti hari ini. Malas meladeni kakak-kakakku yang akan memberi banyak pertanyaan kenapa aku membolos sekolah hari ini."
- ia pasti tidak akan diberi kesempatan bertanya dan akan mengalihkannya dengan pembicaraan lain. Tapi... tak masalah.
"Pfftt- siapa suruh kau takut sama-"
"Diam cerewet!"
Muka Gempa memerah. Ekspresi malu serta kesal terlihat jelas disana. Ia memilih untuk mengambil langkah lebih dulu, Tanah mengikuti dari belakang... berusaha menahan tawa.
"HAHAHAHA... Siapa sangka Tuan Muda yang satu ini takut membelah katak~"
Satu per satu anak tangga mereka turuni. Terus begitu sampai tiba di lantai dasar. Sepanjang koridor tersebut begitu gelap karena tak ada satupun lampu yang dinyalakan.
"Berisik!" Bentak Gempa yang malah semakin membuat Tanah tertawa.
"Nanti nilai Biologimu jelek loh~"
"Cih, setahuku semester satu ini aku yang akan meraih peringkat pertama."
Tanah kembali mendengus. " Heh, sombong sekali~"
"Terima kasih. Dan lebih baik kita cepat keluar dari gedung ini, sebelum Pak Satpam yang sempat kita buat tidur terbangun."
Senyuman tersungging di bibir keduanya. Cahaya bulan begitu gemerlap, sementara kerlap-kerlip bintang semakin menambah estetika di langit. Membuat malam ini begitu menyenangkan.
.
.
See you next Chapter!