Daiki hanya bisa mendesah sabar, hingga akhirnya ia sadar bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Istrinya. Lagi-lagi berbuat begitu. Mojok di pucuk kamar.

Ini sudah tiga hari.

Tiga hari istrinya berdiam di pojok itu tanpa makan dan tanpa minum. Jika saja tubuhnya tidak otomatis melakukannya, mungkin istrinya itu juga akan enggan bernapas.

Daiki jelas tidak bisa membiarkannya. Karena Daiki amat sayang kepada istrinya. Dan baginya, rasa sayang itu berada di atas rasa cinta.

Ya.

Daiki menyayanginya.

Istrinya, yang amat cantik dengan kulitnya yang coklat dan senyumnya yang merekah, namun kini bagai mayat yang dionggokkan di pojok kamar.

Istrinya, yang hobi makan, lalu akan memelajari resep makanan itu supaya bisa memasaknya sendiri, namun kini, jangankan memasak ... bergerak dari pojok itu saja enggan.

Istrinya, yang memiliki rambut crimson sepunggung yang indah, namun kini tampak kusam dan seolah menuntut untuk dipotong saja.

Istrinya, yang entah bagaimana caranya, bisa terus menangis dan seseggukan selama tiga hari berada di pojok sana.

Istrinya, yang dulu

pernah sekali

mengangkat pisau

dan nyaris menghunjamkannya

padanya.

.

.

.

di leher.