Kenalan
.
.
.
The Last Chapter
.
.
.
Current music : DBSK - Bolero
.
.
.
'Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menghadapi apa yang diberikan oleh yang maha kuasa di dunia ini'
.
.
Rriiinnnngg...
'Hoam...hallloiuuww...?"
Sapaan yang seharusnya dibalas dengan kalimat yang sama akhirnya tidak terbalas. Yang ada hanyalah sebuah suara kecil tertahan yang dapat dipastikan. berupa suara seseorang menahan tawa. Ketika menyadari apa yang sedang dia lakukan saat itu,sosok itu segera bangun dari tempat tidur dan mengecek ID call yang muncul di layar ponselnya.
Walah...
Ternyata si Sai yang sedang menelepon dan sekarang sibuk menahan tawa akibat membayangkan tingkah si rambut duren di seberang sana.
"Walah... Kirain siapa malah kamu lagi! Ngapain ngeganggu tidurnya orang yang lagi menikmati hidup? HAH!"
Jujur,Sai harus menjauhkan ponsel yang dekat dengan telinganya pada posisi aman demi keselamatan indra penglihatannya.
"Aku sudah di depan rumah..."ucap Sai. Naruto segera melompat dari ranjang dengan pakaian yang setengah terbuka beserta sebuah topi tidur plus celana selutut kotak-kotak. Dengan cepat dirinya 'melayang' menuju ke depan rumahnya.
Dengan celinguk kanan dan celinguk kiri plus ponsel yang masih menempel di telinga kanan,Naruto tidak bisa menemukan penampakan seorang Sai di depan rumahnya. Dengan gerakan cepat,dia segera keluar halaman rumah dan celingak-celinguk di depan pagar.
Beberapa anak kecil terlihat melewati rumahnya dan seketika itu juga berlari ketakutan ketika melihat penampakan yang meyembul dari rumah kediaman Uzumaki.
Naruto yang melihatnya tidak terlalu memikirkannya.
"WOY! Sai...! Kau itu dimana sih?! Aku udah di depan pager rumah nih!"
Dan hanya gelak tawa yang menjadi jawaban di seberang sana. Mata Naruto menyipit kesal.
"OI!"
"Aku bilang aku di depan rumah... di depan rumahku..."
Jujur,Naruto ingin sekali terjun payung tanpa pengaman dari lantai apartemen tingkat 17.
.
.
.
"Oke... sekarang kau mau kemana lagi nih! Kakiku rasanya sudah mau copot nih!" keluh Naruto sambil memijit-mijit pergelangan kaki kirinya ketika mereka berdua memutuskan untuk jalan-jalan di acara 'car free day' sejak pagi tadi. Namun Naruto merutuki dirinya ketika pandangan Sai menuju ke arah mall di seberang jalan.
Duh!
Jangan...
Jangan...
Meleng...
Melenglah ke arah lain.. Sai... meleng...
"Hey,kesana yuk! Aku sudah lama ingin main game disana!"
Tuh kan...
Kejadian...
Namun Naruto tidak bisa menolak. Entah kenapa dirinya hanya bisa mematuhi apa kata sang 'juragan'. Dengan langkah bak zombie,Naruto mengikuti Sai yang sudah lebih dahulu menyeberang.
Setelah puas bermain game,menonton trailer film box office yang ditayangkan di tempat penjualan kaset serta memesan tiket untuk menonton film horror terbaru, sekarang Sai sedang sibuk muter-muter di toko buku untuk mencari novel kesukaannya.
"Halah Sai! Novel apaan sih yang kau cari? Terjemahan apa lokal?" ucap Naruto sambil memilah-milah di bagian stan yang memajang komik alias manga. Sai hanya menaikkan sebelah bahunya.
"Ya... nanti juga tahu..." ucap Sai. Naruto hanya bisa membuat matanya menjadi segaris. Agar tidak bosan,dia segera berjalan dan iseng-iseng membuka-buka sebuah buku yang memang dipajang untuk 'preview'. Disisi lain Sai malah sibuk mengambilkan sebuah buku belajar mewarnai untuk seorang anak kecil yang menatapnya dengan berbinar-binar.
Kalau diperhatikan secara seksama,Sai tidak kalah charming dengan yang namanya Sasuke. Kali ini Naruto tidak bisa menahan senyumnya ketika ada beberapa gadis kecil yang meminta bantuan Sai beberapa buku.
Dan Naruto menyadari kalau anak-anak itu adalah rombongan anak TK. Pantesan...
"Makasih ya,suteki no Oniisan!" ucap salah satu gadis kecil dengan muka bercahaya. Ya ampun...
"Eh?"
"Kkkkkk...muftt...hehehe..."
Jujur,Naruto hanya bisa menahan tawa yang gagal total melihat banyak orang yang menatapnya dengan aura aneh. Namun yang di pandangi malah tidak merasa. Siapa yang tidak menahan tawa ketika melihat Sai yang polos nan jomblo ting-ting(?) bertemu dengan anak kecil centil. Ekspresi Sai benar-benar tidak bisa dikabarkan dengan kata-kata.
"Oniichan!"
"Hm?"
"Itu... ambilkan... onegai..."
"Oh... yang ini? Nih..."
Cup!
"Kyaaa..."
Dan kali ini Naruto sudah berjongkok demi tawa yang meledak-ledak. Sungguh,ekspresi Sai ketika pipinya dikecup oleh salah satu gadis mungil yang baru saja melarikan diri merupakan sebuah hiburan terbaik sepanjang masa. Naruto bahkan hampir kehabisan nafas jika tidak diimbangi dengan latihan intensifnya dalam klub basket sekolah.
Dan Sai yang menjadi objek hiburannya hanya menaikkan sebelah alisnya fan kembali sibuk dengan browsing-nya. Naruto pun menarik nafas dalam dan kembali sibuk membaca-baca buku secara random. Namun tatapannya segera berubah ketika menemukan surai bonde terang yang terlihat di sudut matanya. Dan ketika diperhatikan,pemilik surai blonde itu adalah...
"Woy!Ngapain kok kamu disini? Dan dari tadi... kau..."
"Oh,kamu ya,Naruto? Tumben kok mampir kesini segala..."
"Halah... jangan mengalihkan perhatian... Kau dari tadi memperhatikan siapa? Hm?" ucap Naruto dengan sok tidak tahu. Padahal dia tahu kalau si bonde seksi ini sibuk memperhatikan sahabatnya.
"Emang urusan elu?" ucap gadis manis itu. Naruto segera memasang ekspresi terkejut bercampur rasa agak sakit hati. Namun senyum penuh aura mencurigakan pun muncul.
"Oh ya udah... Woy... Sai... udah apa belum browsingnya? Aku mau pulang nih!" ucap Naruto dengan penuh modus. Dan modusnya berhasil dengan sempurna ketika si surai blonde ekor kuda membelalakkan matanya. Dan yang dipanggil hanya melambai-lambai dengan gesture bahwa dia masih ingin di toko buku itu.
"Ka-kau?"
"Hehehe... jadi... ada hubungan apa nih antara kau dengan Sai? Kok kelihatannya seru gitu yach?" ucap Naruto sambil memasang pose berpikir.
Pletakkk!
.
.
.
.
"Namanya... Ini Yamanaka... ingat ga?"
"Mmmm... ya. Aku ingat. Kamu kan gadis kecil yang pernah menanam bunga tulip di sebelahku."
"He?!"
"Naruto,mukamu..."
"Oh iya... hehehehe.. akh enggak nyadar kalo kau masih ingat temen TK mu..."
Gadis bernama Ini hanya bisa terpaku ketika dirinya menyada di kalau Sai masih mengingatnya. Perasaan senang begitu membuncah.
"Syukur dah kalau kau masih ingat. Oh ya,aku pulang dulu ya... dada..."
Dan Naruto hanya bisa melongo ketika melihat Sai yang membalas dengan senyum. Kok bisa-bisanya Sai dapet kenalan cewek yang terkenal dengan kepopuperannya di SMA sebelah. Namun disisi lain dia teringat dengan perkataan Sai waktu itu. Namun pada akhirnya masih ada sosok lain yang masih mengingatnya.
"Kau kenal?"tanya Naruto sambil melihat ke arah Sai yang tersenyum padanya. Sai hanya mengangguk.
"Ne,Naruto..."
"Si Teme masih aman terkendali kok. Tenang saja..."
"Yokatta... Makasih ya,Rambut duren..."
"Tenang aja... heh!Apa kau bilang tadi?!"
"Rambut duren..."
Naruto hanya bisa mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Beberapa orang bergerak agak menjauh sedangkan Sai malah sibuk nonton trailer film-film terbaru yang sedang tayang di layar lcd dekat toko kaset. Hingga akhirnya pandangannya menuju ke arah bioskop.
"Ayo nonton film..."
"Film apa?"
"The conjuring yang ada hantu valak nya itu lho!"
Jujur,Naruto hanya bisa melongo.
.
.
.
.
"Makasih ya,Rambut duren..."
"Ya... ya..."
"Aku beneran berterimakasih nih!"
"Oke...oke..."
Grep!
"Uwogh!"
Naruto hanya bisa berjingkat ketika tubuhnya mendapatkan pelukan super dari Sai. Oke,dia pernah mendapatkannya dulu namun tetap saja dia tidak terbiasa. Untung saja kejadian kali ini memiliki tkp di tempat yang agak sepi. Ketika dirinya berniat untuk melepaskan diri,Sai tiba-tiba saja melepaskan diri lebih dahulu.
"Udah!" ucap Sai dengan watados. "Sekarang pulanglah. Aku sudah puas."
WTF!
Merasa tidak terima,Naruto mengejar Sai dan mendapati si pucat itu sedang sibuk dengan buku kecilnya. Karena penasaran,dia segera mencuri pandang dan menemukan beberapa check list yang sedang di coret-coret oleh Sai.
'Menghabiskan waktu seharian bersama teman-check.
"Walah Sai... kok kaya mau pisahan aja... kok makek checklist segala!" momen Naruto sambil memukul lengan Sai dengan maksud bermain-main. Namun Sai hanya tersenyum sambil kembali sibuk dengan catatannya.
Hanya satu kalimat yang belum dicoret oleh Sai.
'Main-main bersama Sasuke'
"Kau itu pesimis,ya?" ucap Naruto dengan maksud menasehati. Sai hanya menaikkan bahunya sekilas.
"Emang enggak boleh?"
"Semua orang selalu menginginkan umur panjang."
"Aku juga mau. Tapi kalau umur panjang dengan menyusahkan yang lain, aku tidak mau."
Naruto tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa merangkul leher Sai.
.
.
.
"Sai tadi mengajakku jalan-jalan. Dan kau tahu,Sas?! Dia punya kenalan cewek yang lumayan HOT banget lho!"
Naruto yakin dibalik wajah stoic yang sedang sibuk dengan majalah lama di rumahnya itu ingin dirinha untuk terus menceritakan pengalamannya bersama Sai waktu itu.
"Terus dia minta nonton film horror lagi! Bbbrrr... serem banget dah!"
Dan pemikiran mengenai checklist Sai segera menghampiri ingatannya.
"Ne... Teme... apa kau enggak mau pulang?Sai kesepian... Meskipun dia tidak pernah bilang,aku tahu kalau dia kesepian di rumah."
'Sampai-sampai kepikiran bikin check list segala...'
Namun Naruto tidak pernah mengucapkan apa yang berada di dalam pikirannya. Di tidak pernah tega mengucapkannya. Namun terselip sedikit prasangka buruk yang terus menghantui dirinya.
"Ne...Teme... kau yakin tidak mau pulang?"
.
.
.
Tok tok tok
Sasuke merasa keki sendiri ketika harus mengetuk pintu rumahnya sendiri. Semoga saja tidak ada siapapun di dalam rumah. Namun kejadian waktu itu mmembuatnya berharap kalau siapapun ada di dalam rumah.
Kalau dipikir-pikir...
Ada sebuah hal yang janggal...
Mengenai kenapa tidak ada panggilan masuk maupun pesan dari rumah dengan maksud untuk mencarinya...
Apakah...
'Apakah kalian tidak pernah memperhatikanku? Aku sudah berkorban... Apakah semuanya masih kurang?'
'Bukan seperti itu maksud-'
'Lalu seperti apa? Aku tahu kalau kita memang menyayanginya. Namun bukankah semuanya ada batasnya?'
Kenangan pilu terus berputar dan membuatnya memicing (dalam hati) di balik topeng wajah datarnya. Apakah anggota keluarganya sebegitu marahnya sampai-sampai...
Namin dirinya juga tidak bisa menyangkal sikapnya yang egois. Dia juga butuh 'masa depan'. Dia ingin sekali menikmati hidupnya.
Kali ini,
Sasuke mengaku kalau dirinya memang kejam. Namun permasalahan yang sedang terjadi memang cukup membingungkan bagi pihak luar karena bobot yang mereka miliki sama besar.
Dan Sasuke mengaku kalau dirinya tidak memiliki hati yang cukup besar untuk merelakan dirinya menjadi yang mengalah...
Andaikan saja dia tahu kalau pihak lain juga memikirkannya...
Bahkan pihak ini tidak lagi memikirkan bebannya karena yang ada di dalam pikirannya (hingga saat ini) hanyalah Sasuke.
.
.
.
'Okaasan tahu kok. Okaasan tahu kalau Sai-kun udah berjuang.'
Itachi hanya bisa menahan napas ketika sang ibu lebih memilih untuk melepaskan Sai. Terkadang dia ingin sekali untuk menghentikan ucapan sang ibu yang dulunya sangat berkebalikan dengan saat itu.
Iya...
Saat itu...
Andaikan saja dia masih mau bertahan hingga saat ini...
Saat Sasuke kembali. Karena dirinya yakin kalau Sai adalah orang yang tepat untuk membicarakan hal ini. Bukan dirinya yang hanya bertindak sebagai orang ke-3 dalam urusan dua anak ini.
"Dia cuma ingin kamu pulang. Namun disisi lain,dia tidak ingin kau menderita karena dirinya."
"Bukankah hal tersebut begitu egois? Tidakkah dia berpikir mengenai orang-orang yang ditinggalkannya?"
"Kalau aku tidak berada disana,aku bisa bilang begitu. Namun disini aku hanya ingin menyampaikan mengenai hal-hal yang perlu kau ketahui. Iya, aku juga ingin dia disini."
Sebuah suara menengahi.
"Kurasa kita tidak bisa memaksanya..."
Suara tersebut bersumber pada seseorang yang benar-benar tidak disangka. Namun Itachi hanya bisa tersenyum dan berterimakasih pada seseorang yang telah menjadi sahabat bagi kedua adiknya ini.
"Kurasa meskipun kita bisa memahaminya, kita tidak bisa memahami sepenuhnya dan tahu bagaimana otaknya bekerja. Kita tidak bisa paham sepenuhnya kecuali kalau kita berada di posisinya. Itupun masih belum cukup," ujar Naruto menenengahi.
Itachi merasa begitu senang ketika tahu kalau Sai benar-benar mendapatkan sesuatu yang berharga seperti Naruto. Setidaknya…
Yah…
Setidaknya….
"Aku tahu apa yang ada di dalam pikiranmu, Sas. Namun bukankah sebaiknya kita juga menghargai pilihannya. Meskipun piihannya membuatku ingin mengulek-ulek kepalanya. Terkadang, kita tidak bisa memaksakan sesuatu… apalagi ketika 'sesuatu' itu menyebabkan penderitaan…"
"Jadi kau sudah tahu?"
Naruto menoleh dan menemukan tatapan dengan emosi yang bercampur aduk. Dengan sekali helaan napas, Naruto hanya menggeleng.
"Aku hanya bisa merasakan kalau… yah… kunjungan terakhirku memberikanku ide buruk sampai-sampai aku harus bisa menguburnya. Namun kurasa itulah yang terbaik. Meskipun terasa begitu kejam, tidak maukah kau melepasnya? Aku tahu kalau kau juga mengalami penderitaan. Namun…"
Sasuke hanya menatap ke arah lain dan tanpa sengaja berpapasan dengan sebuah foto yang menampilkan kenangan berupa piknik di sebuah pantai yang sepi karena tempatnya masih tersembunyi.
Waktu itu…
Yah, waktu itu Sasuke hanya bisa pesimis karena dia pernah mengikuti karyawisata di pantai yang lebih indah. Namun dia….
Semuanya terlihat begitu baru . seolah-olah semuanya terlihat begitu ajaib di matanya. Bahkan pasir pun terlihat begitu…
Sebuah pemikiran mampir di kepalanya. Kenapa?
Kenapa dia begitu senang dengan hal sesederhana itu?
Kenapa dia begitu….
Kenapa dia sudah puas hanya dengan hal yang begitu sederhana di mata orang lain?
Apakah dia tidak memiliki perasaan iri, ataupun meminta lebih?
"Kurasa dia sudah merasa cukup, Sas. Semuanya terlihat begitu memuaskan baginya. Lagipula, dia pernah bilang, kalau hal yang paling sederhana pun bagi kita dapat menjadi hal yang begitu menakjubkan bagi orang lain. Ya ampun, aku tidak tahu kalau dia memberikan petunjuk kalau itu adalah dirinya," ucap Naruto sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
.
.
.
'Pasien mengalami kesulitan bernapas.'
'…'
'Kami akan memasangkan selang melewati hidungnya menuju ke paru-paru.'
'Tidak bisakah melewati mulut?'
'Kami tidak ingin resiko infeksi akibat kontaminasi jamur.'
.
.
'Sai-kun lelah?'
'…'
'Okaa-san tahu kok, gomen ne…'
'…'
'Okaa-san tahu kok. Sai-kun sudah berjuang. Okaasan tahu kalau selama ini perjuanganmu kau anggap sia-sia. Tapi, siapa sangka, kalau perjuangan yang kaupandang sederhana itu mampu membuat Okaasan senang? Okaasan jujur kok.'
'…'
'Saa… Okaasan sudah rela. Okaasan tidak merasa sedih karena Okaasan tahu kalau Sai-kun sudah berjuang hingga sampai saat ini. Jujur saja, Okaasan masih ingin melihatmu seperti dulu. Tapi… yah… begitulah…'
'…'
'Dok, kami sudah sepakat.'
'Apakah anda yakin, Nyonya Uchiha?'
'Ne, kalian berdua sudah siap kan?'
'Selama Sai tidak tersiksa lagi, aku setuju. Meskipun keadaan rumah tidak akan seperti dulu lagi'
'Sai pernah titip pesan…'
'Iya, aku tahu kok, Okaasan. Titip pesan untuk tidak mengulek-ulek Sasuke nantinya. Geez…. Anak itu…'
Kedua anak-ibu keluarga Uchiha tidak menyadari kalau kepala keluarga Uchiha mendekati ranjang yang dipenuhi oleh selang-selang yang terlihat begitu dingin dan tidak berperasaan terhadap penghuninya. Sebuah tangan menyentuh pipi sosok yang 'terdiam' akibat koma selama 3 hari itu.
'Aku tahu alasan kau masih disini. Kurasa semuanya sudah cukup. Kau boleh 'kembali'.'
Tiga orang bermarga Uchiha itu segera mundur ketika dokter melepaskan satu persatu peralatan yang terlihat begitu menyakitkan dari tubuh sang pasien. Hingga yang tersisa hanya sebuah elektrokardiograf yang digunakan untuk mengetahui apakah sang pasien masih berada di ruangan itu atau tidak.
Itachi segera menghampiri dan menekan pipi kanan sang pasien. Sebuah senyum terukir.
'Sayonara…'
.
.
.
Beep
Beep
Beep
.
.
.
Beeeeeepppppp!
.
.
.
Owari
.
.
Untuk yang pertama dan yang paling membekas di kepala Kasumi, Kasumi mohon maaf atas waktu yang cukup lama dalam meng-update fanfic ini. Yang kedua, Kasumi ucapin terima kasih bagi para reader yang mengikuti fanfic ini hingga ke chapter yang terakhir ini.
Say thanks to for reviewer, follower and of course the silent readers who keep their patience for this fanfic.
See you in another fanfic….