BoBoiBoy © Animonsta Studios

Warn! Teen!Boboiboy Elemental, Fang, Yaya, Ying, and Gopal. Semi romance. Typo. [BoldItalic] for message. [Italic] for electronic voice. AU. No power.


Gempa ingat, ia memilih bekerja karena dibesarkan pada keluarga mandiri. Mereka penyayang, tentu saja. Ayahnya wirausaha yang cukup cekatan sehingga banyak pelanggannya. Sementara ibunya adalah guru SD saat Gempa masih dalam panti asuhan.

"Gempa, mau bantu Ayah?"

Gempa selalu menjawab mengangguk. Mereka melakukannya bersama. Ketika Gempa berbuat salah, dengan sabar sang Ayah membantu lalu mengarahkan anak angkatnya itu agarmelakukan hal yang baik.

Memang, lebih enak punya sesuatu yang dihasilkan oleh kemampuan sendiri. Mengemis itu tidak enak. Selain ada pihak pencemburu, juga rasanya… tidak adil siapa yang bekerja dan siapa juga yang malah menghabiskan uang. Itulah yanng dipelajari Gempa pada keluarganya.

Semua akan terpelajari asalkan pernah dilakukan.

"Apa kau rindu keluargamu, Gempa?"

Suatu hari sang bunda bertanya. Gempa yang saat itu bersantai, menunduk sopan.

"Tidak juga. Saya tahu, mereka punya hidup masing-masing yang baik. Akan ada saatnya kami bertemu."

"Itu anak Ibu. Selalu optimis."

"Haha.. ibu bisa aja…," Gempa menggaruk belakang kepalanya.

"Sebenarnya aku tidak tahu apakah Gempa akan tinggal bersama siapa andai kami tidak tahu kabarmu dan keluargamu. Kamu sendirian di panti lama sekali semenjak adikmu si Air diambil bukan?"

"Darimana Ibu tahu?"

"Mereka teman baik Ibu, para pengasuhmu," jawab sang bunda. "Taufan, lalu Halilintar, Api, terakhir Air. Mereka dikabarkan hanya berselisih satu minggu paling lama sebelum satunya lagi diambil. Tapi begitu kamu terakhir, mau sebulan baru diambil. Itupun oleh Ibu sendiri."

Gempa mengapit bibir. Satu sisi ia malu dikasihani, dan entah kenapa rasanya sedih saja membayangkan ia benar-benar menjadi pihak terakhir yang dijadikan anak angkat dari saudaranya yang lain.

"Sebenarnya Ibu tidak mau punya anak. Semenjak anak semata wayang Ibu meninggal, Ibu memilih hidup sendiri bersama suami. Mementingkan pekerjaan saja. Tapi kata pengasuh, mereka memang sengaja menutupi keberadaanmu oleh orang luar. Mereka tidak percaya dengan orang luar yang mau mengambilmu sebagai anak angkat."

"… kenapa?"

"Kau tidak tahu kabar saudaramu? Tapi jangan banyak berpikir akan hal ini. Ibu tidak mau anak Ibu stress."

Kedua iris emas itu menatap ragu Ibu angkat. Tatapan sang bunda sendu.

"Kasus saudaramu sama semua, didata masuk dalam keluarga yang cukup bermasalah. Ibu dengar, Taufan dijadikan pengganti Ayah angkat dengan pengajaran ekstra ketat. Halilintar menjalankan usaha yang diserah sepenuhnya dari orangtua angkat. Api menjalankan cita-cita mendiang Ayah angkat dan pernah dipaksa bersikap seperti suami Ibu angkatnya. Sementara Air, dia dipaksa belajar supaya mendapat gelar piala banyak dengan tujuan jadi bahan pamer."

"… engh.. lalu?"

Sang bunda belum sanggup melihat reaksi Gempa, "Karena takut kau sama dengan mereka, pengasuh menutupimu. Mereka yang mau mengambilmu pandai menutupi latar belakang di formulir. Aku tidak tega saja. Saat aku tahu kabarnya, aku langsung memintamu menjadi anakku."

Gempa tertawa. Tertawa lirih. Ia mencoba membawa dirinya santai.

"A—aku gak tau, kalau keluargaku… maaf, aku benar-benar tidak tahu keluargaku berpecah seperti ini malah mendapat hal lebih buruk dari diasingkan anak-anak panti…" Gempa mengatur nada suaranya. "Dulu aku memang mau mengumpulkan saudaraku. Tapi… aku kira mereka senang menjauh dariku. Mereka membenciku."

"… tidak ada yang namanya 'bekas keluarga'. Seberapa kalian benci, kalian tidak bisa terpisah."

Gempa merasakan kepalanya diusap begitu nyaman. Untuk umur 17 tahun, mendapat perlakuan seperti ini memang sedikit memalukan. Tapi setidaknya, tindakan ini cukup membuatnya nyaman.

"Gempa, apa yang ingin kau lakukan? Kau sulung. Kau tahu apa yang terbaik."

"… aku mau mengumpulkan keluargaku. Aku mau buat rumah supaya kami semua bisa berkumpul. Aku pengen kerja mandiri. Setelah semester ini berakhir, kami lulus sekolah. Aku akan mencari pekerjaan."

"Ibu tahu kau mau mandiri," sang bunda tersenyum. "Ibu sengaja mengabarkan ini, karena Ibu rasa umur Ibu tidak panjang lagi bersama Ayah. Oh soal pekerjaan, apa kau suka menjadi jurnalis? Atau redaksi majalah? Teman Ibu—mantan sih, nawarin—"

"Ohok uhhuk—"

"Gempa!" Ibu angkat Gempa menyenggol saking malu. "Mau gak? Dia nawarin kerjaan jadi bagian redaksi. Khusus buatmu, dia sudah mau membuatkan rumah dan satu mobil. Tapi ingat, jangan pakai mobil sebelum buat surat izin mengemudi!"

"Siap deh bu! Tapi… memang Ibu mau kemana sampai bilang umur tidak panjang?"

"Hmm, liburan? Ya begitu. Ibu sudah tua juga. Sekali-kali menunaikan haji tidak mengapa bukan?"

"Ohh, aku doakan semoga lancar hajinya. Lagian kalau Ibu meninggal saat melaksanakan ibadah, setidaknya dijamin masuk surga."

"Aminnn. Gempa memang anak pintar!"

Tidak ada yang namanya bekas keluarga. Saat itu Gempa benar-benar yakin, keluarganya akan menerima pemikirannya apa adanya.

Tapi namanya manusia, kadang ada saja yang ia lupakan dari janjinya pada diri sendiri…

=oOo=

"Gempa, ini tidak seperti yang ka lihat! Aku… aku… aku—"

"Jadi ini yang membuatmu selama ini selalu menyita surat penggemar dariku, untukmu sendiri?" Fang memperbaiki kacamata angkuh. Senonohnya ia memotong ucapan Ying. "Diam, Ying. Biar aku yang bicara pada Gempa."

"Oh ya, hehe. Ternyata kau sebal sekali saat aku bicara keras tentang pekerjaanku itu?"

Gempa terkekeh. Fang semakin dibuat memanas.

"Polisi akan datang sebentar lagi bersama Yaya. Haha! Tunggu kalau sampai Yaya melihat ini. Dia akan sangat kecewa denganmu dan mungkin kau akan mendapat pengakuan putus."

"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Yaya, tahu tidak?"

Fang membantah, "Hahh! Aku melihat kau bersamanya saat pulang kerja! Ketawa-ketawa! Ke rumahmu bareng!"

Ini tidak ada kaitannya dengan saat Gempa tertangkap basah, diwaktu sekarang. Biasanya topik bercabang mempunyai alasan karena itulah yang membuat seseorang memperpanas masalah.

"…kau suka Yaya?"

Semburat merah pada wajah Fang membuat Ying kehilangan napas. Ying sendiri loh, yang menanyakannya. Bukan Gempa. Walau tadinya Gempa juga mau bertanya hal sama.

"…kukira—"

"Terima kasih, Ying. Kalau bukan kau, mungkin aku tidak bisa memergoki Gempa."

"Kukira kau sudah berhenti menyukainya! Aku percaya dengan bualan manismu, uhh…"

'Aku sebenarnya tahu kalau Fang belum bisa berhenti menyukai Yaya, tapi kukira kalau Yaya bersama Halilintar dia akan menyerah—buruknya aku…'

Ying masih menunggu Fang membuka mulut. Tapi mengapa sedari tadi laki-laki ras sama dengannya itu terus membungkam?

"Hiattt!"

"Kyaa!"

Tiba-tiba Fang menendang perempuan yang bersamanya itu menjauh darinya dengan memutar samping. Ying yang merasakan tubuhnya oleng memberi reaksi berteriak takut.

"Beraninya menyakiti wanita!"

Dua suara.

Dua suara menggema bahasa sama disana.

Wajah Fang dihajar oleh kepalan tangan kekar. Kerasnya sampai kacamata pemilik terlepas dan tubuh bersangkutan oleng. Sementara Ying tidak merasakan dentuman dari tubuhnya. Justru ia merasa suatu hal memeluknya lembut hingga tubuhnya tidak ada kemungkinan jatuh.

Air memeluk Ying, sementara Gempa menghajar pipi Fang. Salahkan Fang yang tidak berkonsentrasi pada apa yang ada di depan sampai mereka punya kesempatan bergerak.

"Air? K—kau menyelamatkanku? Setelah yang kulakukan…"

"… kau penulis, kau punya alasan. Aku tahu pilihan panutanku adalah baik…"

Sudah lama Ying tidak perrnah dipuji saat melaksanakan tugas. Ia selalu dianggap melakukan hal tersebut karena wajar. Wajar dan wajar. Entah sebagai anak polisi, atau mungkin saja karena seorang penulis.

Air memang mengungkit ia penulis, tapi Ying tidak pernah mendengar pujian setulus itu. Jika saja situasinya tidak rumit, ia ingin menitikkan airmata sekarang.

"Wah Gempa, kau keren sekali!"

Pujian berkedok sindirian. Yang punya citra khas penuturan seperti itu dalam keluarga Gempa hanya dimiliki satu orang.

"…Taufan?"

Wajah Gempa tampak senang.

=oOo=

Permasalahan jatuh semenjak ia melakukan kesalahan yang menyakiti saudara kedua. Anak yang ia kenal dengan pribadi santai dan ceria, memang sangat menyeramkan ketika ia menjadi pendendam. Itu yang dinilai Gempa.

Entah kenapa Gempa mulai paham akan pola pikir Taufan. Berterima kasih pada naungan pekerjaan tetapnya sekarang, juga pengalaman di dalamnya. Banyak sekali hal-hal yang baru Gempa pelajari tentang perilaku manusia.

Untaian kata-kata dari beberapa sumber membentuk pola pemikiran rumit saudara keduanya. Sayang, Gempa terlambat menyadarinya saat Taufan dan Api sudah minggat dari rumah.

Namun lihatlah di satu sisi. Gempa menjadi semakin bersemangat untuk tahu pribadi orang. Takut-takut ada yang seperti Taufan. Waspada saja.

"Grafik disini menunjukkan bahwa produk kita merosot kian lama," mulai wacana pada suatu rapat. "Kita harus membuat tema baru agar majalah anak-anak ini terus bertahan."

"Bagaimana dengan memberi merchadise setiap berlangganan?" usul salah satu anggota.

"Kurasa perusahaan kita akan tambah bangkrut, maaf kalau tidak sopan."

"… pemberian bonus?"

"Kita sudah lakukan ini namun mereka malah meminta hal lebih. Hahh harga majalah saja tidak seberapa tapi hadiahnya kayak mau beli majalah 10 eksemplar."

Gempa mengacungkan tangan, "Usul saya, bagaimana kalau diadakan rublik untuk memahami perasaan orang? Setiap anak-anak pasti punya problema hidup, bukan?"

Sang direktur menegang dari kursinya. Semua dibuat terkejut oleh reaksi atasan.

"Boleh sekali!" seru atasan. "Aku dulu, jujur aku semasa kecil juga punya masalah. Dan aku bisa sesukses sekarang karena aku punya cerita sendiri dengan majalah. Makanya aku tidak mau perusahaan ini bangkrut—"

"Pak, waktu," tegur asisten. Direktur terbatuk sebentar.

"Baiklah, kita boleh coba. Jadi mau berjudul apa rubliknya?"

Gempa tersenyum puas. Ia lega pendapatnya diterima.

"Bagaimana dengan, Kepada: Paman Baik?"

=oOo=

"Hai, kakak sulung," Taufan mengembang senyum. "Tenang saja. Yang tahu cuma Fang. Kita bisa membekuk anak ini."

Halilintar dan Api mendapat sinyal dari Taufan. Mereka mengangguk kemudian meringkus Fang cepat.

"Uhh apa yang kalian lakukan?!" Fang menggertakkan giginya. "Percuma menahanku! Polisi pasti akan datang kesini!"

"Heh, bebek berbulu landak, bisa diam?" ucap Taufan dengan nada tinggi. "Kudengar kau benci Gempa, ya? Hahaha, tolol! Tolol sekali!"

'Kan, kak Taufan memang sudah berubah,' batin Api.

"Kau membencinya karena alasan cinta, ya? Itu tidak baik, kawan~ Itu hanya mengundangmu dalam petaka," kini nada Taufan terdengar serius. "Kau bukan hanya menyakiti pihak yang kau benci. Bisa juga orang sekitarmu. Kau menyakiti gadis yang bersama Air tanpa sadar. Mungkin kau akan menyakiti orang yang kau sukai. Bosmu. Bahkan orangtuamu. Malang sekali."

"…"

Halilintar paham kemana arah pembicaraan Taufan. Dan Halilintar juga paham, Fang mulai merenung.

"… kau benar. Bodohnya, aku…," desis Fang. "Maaf, Ying. Gempa, maaf…"

Taufan menoleh pada Gempa yang menatapnya bengong. Tangannya menggapai kedua telapak tangan sang sulung. Tubuhnya mendekat pelan, lalu merendah kecil. Kepalanya ditundukkan agar batang hidung mencium jemari Gempa.

"Nghh… a—aku punya hak untuk bisa bersama keluargaku, bukan?"

"…"

"Untuk sekarang kita berkumpul bersama. Hehe, aku senang sekali. Halilintar pasti kesepian selama aku tidak ada," dada Taufan terasa sesak. Mentalnya goyah. Ia ingin menangis sekarang.

"Taufan, aku tahu kau memang sedang melindungi keluarga. Aku juga keterlaluan langsung bertindak paham pola pikir Api saat itu. Bahkan aku tidak seberani kau untuk minta maaf pada…Api…"

"Selagi aku diberi kesempatan bernapas di depan keluargaku, aku juga harus memanfaatkannya. Hahaha…"

"… Kau mau pergi lagi?"

"… mungkin saja, kakak…"

Suara Taufan memang nyaman terdengar. Tangannya ditarik, dan kini tubuhnya dirasa menempel pada bidang oranglain. Saat Gempa mendongak, Taufan sudah menyenderkan wajahnya pada pundak sang Paman Baik.

"Tanggungan aku dan Api. Tapi aku akan mencoba memiinta polisi hanya menahanku," Taufan melepas pelukannya. "Pergilah, kak. Aku akan menyamar menjadi kakak disini."

"Kau tahu, Taufan? Aku baru tahu tentang kau. Pemikiranmu itu rumit. Kau memang malaikat yang hanya sedang memakai kostum iblis. Kau terlihat jahat dari luar, tapi jika ada yang melihat hati dalammu… pakaian iblismu benar-benar luntur. Hahaha! Aku yang tolol langsung mengusirmu."

Gempa menempelkan kedua tangannya pada masing-masing sisi pipi Taufan dengan gemas. Tetesan air mata membekas pada pipinya.

"Kau hanya takut Api kembali dibodohi sepertimu olehku. Kau selalu menjaga masa depan orang. Kau memperhatikan ke depan kami. Beda denganku yang melihat ke masa kini."

"… makasih, untuk mengerti aku—"

Buakh!

Taufan tergeletak pada tanah. Baru saja Gempa memukul bahu Taufan begitu… keras?!

"Eh maaf, Taufan!" Gempa merendahkan badannya. "Halilintar! Api! Bantu aku!"

Air sadar jalan pikiran Gempa begitu cepat. Ia ingin berteriak pada kedua saudaranya yang patuh langsung itu, namun Gempa melakukannya cepat.

Halilintar dan Api ikut terbaring tidak sadar di sebelah Taufan. Gempa menatap sebentar ketiga saudaranya itu, lalu melirik Air kecil.

"… Untuk keselamatan kalian. Caraku kelewatan seenaknya, ya?" Gempa terkekeh.

"Kakak!" Air melepaskan Ying dalam rangkulannya. "Kenapa kakak harus lakukan i—ah?! Ying! Kenapa kau tahan aku?!"

"… permintaan klient itu absolut. Maaf, Air."

"H—hah?!" Air berusaha memberontak. Gempa semakin lama semakin mendekat. Tangannya sudah bermain ingin sekali menyentuh pundak sang adik bungsu.

"Fang, Ying, setelah ini bantu aku sembunyikan mereka… kalau boleh ya?"

Bukh!

=oOo=

"Hai, Halilintar! Sarapan!"

"Api, jangan makan dulu! Kita makan bareng dong!"

"Hari ini kita beruntung sekali dibelikan makan dengan istri Air sama Halilintar. Khe, aku jadi iri."

"Kak Taufan…"

Saudara kembar itu mengadakan acara kumpul-kumpul makan di ruang dapur untuk memperingati hari Idul Fitri. Ditemani Ying dan Yaya yang juga bersama mereka, ya hanya dua perempuan dari empat cowok.

Ying memakai hijab. Semenjak resmi jadian dengan Air, ia pun masuk islam dengan mengucap syahadat lantang. Sementara Yaya, hubungannya dengan Halilintar semakin lengket meski itu tidak terlihat pada dua saudara lainnya yang masih single. Takut-takut mereka iri.

"Kalian kumpul bareng! Dempet-dempet ya! Satu, sua, ti…."

Ying memotret semua anggota yang ada dalam rumah sana termasuk Yaya. Mereka semua memberi senyum yang luar biasa bahagia.

"Eh nanti yang cucui piring siapa?"

Taufan dan Api saling menatap, lalu mereka cepat berhambur pada ruang tamu. "Kami main game dulu ya, bye~"

"Ahh! Mentang-mentang sulung!" cerewet Halilintar. "Sudahlah, aku saja cucian. Air, bantu aku angkat semua cucian piring ya."

"Siap, kak."

"Maaf ya, kami harus pergi dulu," permisi Ying dengan Yaya. Air menganggukkan kepalanya bersama Halilintar.

"Hati-hati, Yaya."

"Ying, jangan ngebut di jalan."

Kedua istri itu tertawa canggung. Mereka langsung keluar rumah lalu menaiki mobil yang sudah terparkir pada teras rumah. Ying menyalakan starter mobil ketika keduanya sudah masuk.

"Gempa pasti akan senang melihat foto mereka."

"… benarkah?" Yaya menunduk sedih. "Tapi kau benar. Ini obat pelipur laranya di penjara."

"Sedih ya, dia menyuruh kita menganggap dia tidak ada lalu keluarganya ia buat amnesia semua…"

"Fang sangat membantu sekali saat bersaksi. Jadi keempat keluarganya tidak tahu mereka punya kakak sulung lagi."

Sementara dari dalam sel yang lumayan pengap dan gelap, seorang pemuda bersin di tempat.

"Hatchi! Uhh, ini pasti Yaya dan Ying ngomongin aku."

Kepalanya bersandar pada dinding penjara. Ia memakai peci beserta baju koko kuning.

Apakah yang baik itu berasal?

Kebaikan itu berasal dari niat baik dalam hati. Yang membuat kita bergerak diatas kertermalasan dan kekecewaan. Yang membuat orang lain bisa bahagia normal, tidak terbagi kesedihan dari asal dirimu. Mementingkan kebutuhan oranglain yang lebih butuh dari diri sendiri.

'Hai saudaraku yang lain, apa kabar kalian disana? Disini, aku minta maaf karena tidak becus mengurus kalian…'

Bukannya begitu, Paman Baik?

=Finn=

A/N: Niat sekali yang jawab untuk chapter 15 kemarin. Sebenarnya aku gak berharap itu bakal dijawab, tapi melihat jawaban niat kalian entah kenapa aku jadi serasa awkward xD

Terima kasih kepada: Willy0610; blackcorrals; Annisa Arliyani Wijayanti; Rampaging Snow;Hitotsuyami Runa; NaYu Namikaze Uzumaki; IceCandy03; Famelshuimizu chan; Florine27; ; Fanlady; IrenaDSari; Rizki5665; White Snakeroot; cameliafroztie2701; I'm a Fujoshi – Chan; Guest; lily; Silver Celestia; lumutness; dhiaz rusyda n; AisuChanAlya; sandal unyu; Dinda; ; Vallor Anemity; Chikita466; h; DMTS; MiyuValinaRaggs; Akabane Nia; Alika043; miaw san; pockykiss; lilpink29; Mademoiselle Z; Woohjun sii Namja Cantik; AvanonChie; dan vy! (seketika perut mulas habis ngetik saking banyaknya nama ribet /digetok yang punya nama)

Sebenarnya niat sampai 17 karena saya suka angka ganjil. Tapi ah, saya banyak hutang ff jadi gak boleh terlalu gantung ff ini juga ;; *lihat list ff*

Btw terima kasih pada pelanggan yang selalu menunggu story saya :'D maaf baru muncul karena saya habis sibukan musim ujian. Sebenarnya masih cuma karena ada hari libur, lumayan senggang.