Hei kepada anak-anak yang jarang bahkan tidak mendapat pelukan kasih sayang, apa kalian pernah berkirim surat kepada Tuhan? Misal isinya tentang keluhan kalian sebagai manusia yang kenapa dilahirkan ke dunia? Atau mungkin tentang hasrat kebencian pada orangtua yang selalu mementingkan dunia fana dari kalian?

Selama kalian berada dalam jalan lurus, suatu saat Tuhan akan mendengarkan keluhanmu. Bersabarlah sedikit lagi. Tunggu sampai Dia membalas suratmu, oke?


oczelt presents

BoBoiBoy © Animonsta Studios

.

Kepada: Paman Baik

.

.

.

Warn! Teen!Boboiboy Elemental, Fang, Yaya, Ying, and Gopal. Semi romance. Typo. [BoldItalic] for message. Italic for electronic voice. AU. No power.


Please Enjoy~!


Seorang laki-laki dengan paras menawan duduk pada tepi jendela. Satu kaki ia tekuk lalu menyanggahkannya pada bibir ambang. Sepasang netranya menatap baik-baik secarik kertas putih yang terbait tulisan-tulisan dengan tinta basah.

Jaket kuning-hitam ia biarkan terbias angin dari luar jendela. Iris kuning emasnya tengah sibuk membaca isi dari apa yang dituang penulis sang surat.

"Tragis."

Ucap pemuda itu dengan satu kata, namun menggambarkan seluruh isi dari makna sang surat. Ia menghela napas sejenak. Topi terbalik yang terpasang pada kepalanya ia goyang-goyang untuk menyempurnakan posisinya.

"Klient lagi?"

Satu laki-laki lain dengan paras sama keluar dari pintu dapur. Dari kedua tangannya sudah sedia baki dengan teko juga cangkir-cangkir bukan level biasa.

"Taruh tehnya di atas meja, Halilintar."

Pemuda bernama Halilintar itu langsung saja menaruh baki tersebut pada meja, sesuai suruhan.

"Ada seorang anak yang tidak menangis saat salah satu orangtua dia meninggal."

"Hatinya dingin sekali, ya Gempa?"

Laki-laki beriris emas yang bernama Gempa itu tertawa. "Dia hanya tidak tahu mana sedihnya, sampai ia benar-benar merasa kehilangan."

Kedua kaki Gempa turun dari bibir jendela. Ia luruskan sembari bangkit, lalu melangkah menuju dimana teko teh masih mengepul-ngepulkan asap hangatnya. Sesampainya, Gempa menuangkan isi dari isi teko menuju satu cangkit kosong yang tersedia.

"Air mana?"

"Masih jam tidurnya."

"Bangunkan dia. Siapa yang mengawasiku nanti kalau orangnya masih kebo?"

Halilintar mendengus sebal. "Langsung mau berangkat? Tidakkah kau menyuruhku untuk jadi supirmu sekali saja?"

Mereka bertiga tinggal dalam satu atap, karena memiliki wajah yang sama dan sama-sama masih perjaka. Peran Halilintar dalam rumah kayu sederhana mereka adalah penjaga dalam. Air mengawasi bagian luar—seperti berbelanja dan menjadi supir. Sedang Gempa sendiri—yang merupakan kakak kembar tertua—dikandidat sebagai pencari nafkah.

Pekerjaan Gempa mungkin simpel. Yah meski begitu, rancangan taktik dia untuk memenuhi keinginan klient tidak pernah diragukan. Jenius. Peka. Lagi ramah. Beda dengan Halilintar yang punya kekurangan sebagai personal yang galakan, dan Air yang memiliki kebiasaan mementingkan dunianya sendiri.

"Ganti peran? Kau tahu jalan daerah Sabah sini?" tanya Gempa.

"Aku tahulah. Aku juga penduduk sini." Halilintar menarik satu cangkir yang tersisa lalu menyeduh air teh yang masih ada. Cangkir ia dekatkan pada bibir tipisnya, menghirupnya sedikit demi sedikit guna menyaring suhu dalam kandungan sang teh.

"Belum pernah kepikiran, dan kurasa kalau kau bertugas di bagian luar aku bisa lebih tepat waktu untuk bekerja," Gempa ikut menyeruput tehnya. "Ahh~ tehnya hangat sekali!"

Halilintar memilih bungkam. Ia menyesapi pelan-pelan minumannya yang mulai mendingin. Gempa menyudahi acara minum teh pagi itu dengan meletakkan kembali cangkirnya, yang hanya tersisa satu tetes kecil yang tidak sanggup lagi lidahnya jangkau.

"Tapi kalau Air bagian rumah, aku ragu saat aku pulang rumah tampak berantakan. Saat menjadi supir saja, dia kadang tertidur dengan menempelkan dahinya di stir mobil."

"Dia anak yang bertanggug jawab. Jadi, tenang saja."

"Kukira kau tidak akan percaya dengan Air."

"Aku hanya tidak percaya dengan orang yang baru kukenal."

"Jawaban yang sudah ditebak," balas Gempa. "Nah, aku mandi dulu. Buat saja pesan pada memo di depan pintu kulkas. Karena kebiasaan dia yang pertama saat bangun tidur itu mencari cemilan."

Halilintar membalas dengan mengangguk. Pemuda dengan mengenakan topi terbalik tersebut beranjak pergi dan masuk ke suatu kamar. Laki-laki beriris merah itu menghela napas setelah menyudahi minum teh. Sepasang netranya menangkap secarik kertas—yang mungkin sengaja dijatuhkan Gempa.

Ia berjalan menuju dimana surat tersebut tergeletak. Dipungutnya surat itu lalu membacanya sejenak. Tulisan dengan tinta hitam yang dibuat serapi dan selurus mungkin. Kelihatannya, klient kali ini berusia bukan sekolah dasar.


Kepada Paman Baik,

Aku Farah, punya masalah dimana aku menangis ketika seseorang mengungkit kematian bapakku. Padahal saat bapakku mati, aku tidak pernah menangis. Tapi tiga hari masuk sekolah, aku ditanya temanku dan aku menangis.

Bagaimana solusinya ya, paman? Apa aku harus menghindari pertanyaan itu semuanya?

Terima kasih untuk jawabannya!


Halilintar melipat kertas tersebut menjadi kecil. Sungingan senyum kecil terbentuk dari kedua sudut bibirnya.

"Redaksi memang pikirannya sedikit aneh, apalagi buat Gempa."

=oOo=

"Halo adik kecil~!"

Ada seorang anak perempuan yang duduk pada teras tengah melamun. Mendengar seruan ramah pemuda bertopi terbalik, anak itu bangkit dari tempat duduknya. Mencoba untuk hormat kepada tamu yang berkunjung di rumah, kemungkinan besar.

"Cari mama ya? Mama tadi belanja," kata anak itu dengan senyuman. "Paman bisa tunggu sampai mama kembali."

Dari pandangan anak perempuan itu sendiri, Gempa yang ia lihat tampak seperti umur remaja. Untuk apa mencari ibu dia sendiri yang berumur sudah berkisar 30-an? Mencoba berpikir optimis. Mungkin laki-laki disana adalah anak teman ibunya. Tapi tidak salahkah memanggil ia paman?

Lihatlah pakaian yang dikenakan laki-laki depannya. Hanya dengan kaos merah bersama jaket kuning-hitam. Bertopi terbalik. Ini sepertinya anak olahragawan yang suka kebebasan, seperti pemain sepeda atau pelari. Mungkin saja.

"Oh gitu... namamu Farah 'kan?"

Perempuan berambut sebahu itu tertegun sejenak, "Eh iya... kenapa paman tahu?"

"Perlu ya paman cerita?"

Perempuan bernama Farah itu menyahut, "Ya sudah kalau paman gak mau cerita."

"Dan biasanya, ibumu berapa jam untuk sampai kesini dari sana?"

"Kalau mall kemungkinan lama. Biasanya mama itu belanja beragam."

"Kebiasaan perempuan kalau shopping."

"Oh ya, paman duduk saja dulu," Farah menunjuk satu lain kursi yang kosong. Mempersilakan Gempa untuk duduk secara isyarat.

"Panggil aku Gempa."

"G—gempa?!"

Farah tidak salah dengar pastinya. Dia bilang namanya Gempa. Tunggu, itu bukannya kosakata yang cocok untuk menggambarkan keadaan bumi berguncang dengan pergeseran lempeng juga kehancuran untuk apapun yang ada di atasnya? Meski tanah amblas dan longsor juga bertindak sama seperti gempa—menghancurkan.

Lagi-lagi anak itu berpikir hal aneh.

"Aku tidak bercanda. Namaku memang Gempa," sahut Gempa, seakan tahu apa yang ada dalam pikiran gadis tersebut.

"Jadi.. gitu..."

"Kau tidak perlu menghidangkan minuman atau apa."

"Eh saya buatnya cepat kok! Tunggu ya paman—"

Anak itu mau saja langsung berlari memasuki rumah. Membuka pintu rumah, lalu membuat air dalam ceret dan menyalakan kompor. Beruntung jika Ibunya selalu menyediakan stok biskuit untuk menjamu para tamu.

Gempa membiarkan anak itu untuk masuk. Tangan kanannya ia angkat, menjamah-jamah area telinga di bagian serupa.

"Anaknya sopan. Tapi punya harga diri tinggi. Kurasa aku paham alasan dia menangis saat ayahnya tiada mengapa."

[Cepat kembali atau dia bakal menyediakan teh buatmu. Ibunya sebentar lagi akan kesini.]

"Secepat itu?!"

[Memang butuh berapa lama seorang ibu-ibu yang membeli bahan makan, pada suatu mall yang hanya 5 km jaraknya?]

"Tunggu disana ya, Halilintar."

Gempa langsung bertindak cepat. Lompatinya pagar yang menjadi pembatas teras rumah, lalu derap kakinya yang panjang membuat ia begitu laju berlari. Setapak demi setapak jalan beraspal ia langkahi.

Sampai sebuah mobil terparkir pada pinggir jalan ia temui. Bernuansa hitam dengan plat nomor yang masih baru. Gempa berlari ke arahnya. Pintu belakang mobil tergeser ke belakang secara otomatis. Pemuda bertopi terbalik bernuansa coklat tersebut pun memasuki mobil disana tanpa ragu.

"Fuh, aku masih awal mengobrolnya," keluh Gempa yang langsung menempelkan pantatnya pada tempat duduk disana. Pintu mobil secara otomati bergeser ke depan lalu menutup.

"Kurang beruntung," balas supir disana.

"Hahaha... lebih baik kita langsung pulang saja. Oke?"

Pemuda bertopi depan mengangguk. Sebagai orang yang duduk paling depan juga berada di kursi pengemudi, ia menyalakan starter mobil kemudian mengendarai mobil tersebut menjauh dari rumah yang di datangi Gempa. Sejenak ada suara tawa kecil menemani.

"Haha, pertama kalinya aku dibonceng kau. Rasanya kau sama saja lambat dengan Air," terang Gempa.

"Kalau kita mau kelihatan mencolok, ya lebih baik memang ngebut."

Balasan Halilintar begitu simpel, namun menusuk. Gempa yang mendengar penuturan si pria beriris merah terdiam. Lebih baik tidak membalas argumennya terlebih dahulu.

=oOo=

"Assalamu'alaikum."

Gempa dan Halilintar serempak mengucapkan salam, saat akan menuju ambang pintu luar sebuah rumah simpel. Rumah itu berbahan kayu ulin dengan ukuran kurang lebih 20 kali 30 meter. Rumahnya memiliki tingkat dua di atasnya dengan ukuran kurang dari lantai dasar. Disana ada satu pohon besar yang bertengger pada pagar kayu bercat putih utama rumah itu.

"Wa'alaikum salam." Laki-laki dengan paras sama seperti Gempa dan Halilintar membukakan sang pintu. Menyambut kedua orang yang ingin memasuki rumah, dengan senyum tamah. "Makan siang hanya bisa kubuat nasi goreng. Kalian minta di memo nasi lemak, sedangkan di kulkas tidak ada bumbunya."

"Aku bukan memasukkan bumbu daging di kulkas, tapi di lemari piring," balas Halilintar. "Aku lupa bilang kalau aku simpan di kulkas bumbunya bakal padat... tadi pagi memang kutaruh di kulkas sih."

"Makan apapun tidak masalah."

Mungkin sudah tidak bisa menahan lapar, Gempa langsung berjalan menuju dapur. Ia sudah terlalu lama mendengar Air dan Halilintar saling sahut-menyahut. Lebih baik waktu luangnya ia manfaatkan dengan buru-buru mengisi perut yang kosong.

Atau mungkin Gempa tidak mau melihat perkelahian kecil. Laki-laki yang paling malas mendengar keributan, apalagi tentang hal sepele.

"Besok tugas kalian dari awal saja lagi. Halilintar mengurus rumah, Air membantuku."

Halilintar melepas topi depannya, menyisir helaiannya yang lembab oleh keringat. "Iya iya."

"Lagian juga urusan paling paham dunia luar memang aku. Kau lebih baik di dapur saja."

Sedangkan laki-laki beriris biru laut itu mengibas rambut hitam pendeknya sejenak. Ia melirik Halilintar yang kini pada posisi dari belakang punggungnya setelah berbalik. Memeletkan lidahnya kecil.

"Heh, kau dipilih bagian luar karena memang tidak bisa mengurus dapur! Asal kau tahu itu!" Halilintar langsung menanggapinya temperamen.

"Ahh~ Aku malas. Lagian kalau aku tidak membela pun, sebenarnya sudah kelihatan siapa yang salah."

"Kau yang salah."

"Serah deh."

Dan Gempa yang sudah menarik satu piring nasi goreng itu, menepuk jidatnya pelan. Ah harusnya dia tidak ikut usulan Halilintar untuk mengantarnya tadi.

=oOo=

Jam sepuluh malam. Seluruh penjuru rumah gelap. Lampu-lampu dimatikan demi mengurangi radiasi yang ada dari cahaya mereka daam penjuru rumah itu. Tidak baik katanya untuk kesehatan kulit. Walau sekalian untuk menghemat listrik, katanya.

Yah kecuali satu kamar yang sengaja pintu depannya dibiarkan menganga. Disana hanya ditemani sedikit cahaya lilin. Suara ketukan dan gesekan kecil ikut meriahkan ruangan tersebut. Hembusan angin ikut meramaikan dengan mengetuk jendela kaca kamar tersebut.

Seorang laki-laki berambut pendek mengusap kepalanya. Gatal? Tidak. Ia hanya sedikit memijit kepalanya agar kepalanya sedikit nyaman.

Satu tangannya terus mengenggam pena. Menggores tinta dari dalamnya membentuk suatu tulisan kata demi kata—dan tak lama menjadi beberapa kalimat. Menjadi satu paragraf. Terus menerus ia menulis. Namun ia kadang berhenti untuk setidaknya kembali mengurut kepalanya.

"Gempa, kau masih belum tidur?"

Teguran di luar tidak membuat sang penulis berhenti. Ada orang lain memasuki kamar pemilik itu. Ia berjalan pelan, mendekat pada meja yang digunakan Gempa sebagai tempat menulis.

"Tidak baik hanya menggunakan cahaya lilin. Kenapa tidak menggunakan lampu saja?" tanya pemuda dengan iris biru laut itu. Tidak henti-hentinya ia mencoba membuat topik pembicaraan diantara mereka.

Gempa hanya membalas lain, "Air, kau belum tidur? Tumben sekali."

"Rasa kantukku kurang. Aku juga merasa, tidak baik tiduran melulu. Aku juga khawatir masa depanku."

"Astaga kau terlalu jujur," Gempa menghentikan aksi menulisnya. Tadinya ia yang dalam posisi duduk menghadap meja, ia putar 90 derajat menuju arah Air berada. "Kau juga mau kerja?"

"Untuk apa sih kerja? Itu hanya membuat kita banyak uang terus jadi koruptor."

"Pikiranmu pesimis melulu."

Air berdeham mengiyakan. Ia juga tidak tahu, akan menyahut apa lagi untuk pernyataan seorang notulis.

"Aku juga tadi mau menyalakan lampu, tapi kasihan Halilintar. Dia butuh istirahat nyaman," akhirnya Gempa menjawab pertanyaan Air tanpa perlu diingat.

"Dia selalu bangun pagi. Aku salut."

"Mau bangun pagi juga? Kenapa tidak beli jam weker? Mau aku belikan?"

"Lebih baik belajar patuh secara alami," elak Air.

"Paling karena tidak mau benar-benar niat bangun pagi."

Sunggingan senyum tidak rela terlukis dari wajah pemuda beriris biru itu.

Kali ini Air memilih untuk menghabiskan berkunjung dengan melihat sudut-sudut kamar Gempa. Ada majalah dinding yang diletakkan di atas meja menulis. Ranjang dengan sprei polos—tidak sepertinya yang bergambar aneka gambaran imut kategori yang ada di dunia air. Rapi, namun tidak sepenuhnya. Buku-buku yang banyak dari rak buku membuat kesan berantakan. Kau akan takjub dengan banyaknya jenis buku yang ada dalam satu rak kecil itu.

Dan yang membuat perhatian Air teralihkan, adalah sebuah foto lengkap dengan bingkai berukuran 10R. Menampakkan wajah Gempa, Halilintar, dan dia sendiri serta dua pemuda lain dengan paras sama. Saling tersenyum.

"Aku kangen Api..."

"Aku juga. Taufan dan Api."

Gempa memilih memperbaiki posisinya seperti semula kemudian mulai lagi untuk menulis. Entah Air merasa Gempa tidak terlalu niat untuk membicarakan mereka. Tapi Air sudah terlanjur membuka obrolan topik tentang mereka.

"Menurutmu, kapan mereka akan berkunjung kesini?"

"Aku masih belum tahu yang pasti."

Sejak tragedi 'itu', kedua saudara berparas sama dengan mereka itu memilih minggat tanpa diketahui ketiga belah pihak—Gempa, Air, dan Halilintar. Entah kemana tujuannya. Mereka tidak memberi kabar sejak 5 tahun terakhir.

Yang paling merasakan berat hati adalah Air, yang notabene orang yang memiliki jiwa melankolis tinggi. Memang ia tidak berbicara sepatah kata pun. Namun saat ia sudah di kamar, ia akan menangis seraya memeluk album kenangan kelima saudara itu berfoto bersama.

"Aku ke kamar dulu. Semoga pekerjaanmu bisa berjalan baik."

Kini Air merasa jam tidurnya mulai berdentang. Ia memilih meninggalkan Gempa untuk masuk dalam kamarnya sendiri. Menutup daun pintu pemilik kamar pelan sebelum benar-benar beranjak ke kamarnya.

Sedang Gempa, ia memandang kertas yang tadi ditulisnya sejenak. Setelahnya ia menyempatkan diri untuk menoleh album yang menjadi fondasi Air mengungkit kedua saudaranya yang lain.

"Yah, kalau aku jadi kamu, Air... aku tidak mau lagi mengingat dua saudara brengsek kita itu. Tapi sudahlah, kau memang punya jiwa untuk peduli dengan orang lain."

Gempa menutup penanya, ia taruh alat menulis itu kembali pada tempat alat tulis berada. Kertas yang ia ukir pun disimpannya pada laci kerja.

"Informasi sementara mereka hanya akan jadi rahasia untukku. Aku tidak bisa membuat Halilintar dan Air jadi lebih membenci mereka."

Sebagai kakak pertama yang terlebih dahulu lahir, ia bertanggung jawab untuk menjaga saudaranya sendiri. Baik lahir maupun batin. Itu janji yang sudah ia ukir dari prinsip hidupnya. Tidak dapat ditoleransi.

To be Continued

A/N: Entah jadi fantasy atau hanya AU normal... tapi senang aja bayangin Gempa jadi kakak pertama yang punya tanggung jawab tinggi.

Saran dan kritik sangat diterima!