Part Of Soul

.

.

.

Genre :

Romance, Drama, Hurt/Comfort, Angst(?), Friendship, Family.

Warn :

Messing EYD, typo(s), cerita gaje, OOC, slash/yaoi/BL (Boys Love) and many imperfections that's you can find from my story.

Rated :

T - M(?)

Cast :

Lu Han as Wu Luhan

Oh Sehun as Oh Sehun

Wu Yifan as Wu Yifan/Kris

Pair :

HunHan

ChanBaek

KaiSoo

Kris Tao

And other.

...

..

.

Song Joongki, ia berjalan malas menelusuri koridor yang nampak sepi dan dingin. Sedikit merutuk kesal terhadap kelakuan beberapa temannya. Sial!. Umpat Joongki pelan, kakinya menendang cangkang kola yang tergeletak menyedihkan menumpahkan sedikit kekesalannya pada lempengan alumunium yang tak berdosa itu. Tungkai panjangnya terus melangkah, ia berjalan dengan menggerutu pelan.

Langkahnya terhenti sejenak, ia melihat sesosok yang entahlah ia tak yakin pernah melihatnya sesosok yang menurutnya manis, dengan jersey bola kebesaran dan rambut yang diikat seperti entahlah mungkin pohon kelapa, dan menggemaskan.

Sosok itu sedang berjongkok dan terisak samar, kedua tangan mungilnya memukul-mukul pelan pada dadanya. Joongki sebenarnya tak mau berurusan dengan orang lain, apalagi sosok asing yang tengah menangis, ia cukup kesal karena dikelabui teman-temannya dan ia tak ingin memperburuk keadaan emosinya. Joongki nyaris saja melangkah menjauh sebelum mata bulat sayu milik sosok kecil itu menatapnya menenggelamkan ia dalam buaian hangat dari sepasang deer eyes yang kini merah dipenuhi jejak air mata.

Ia sedikit terkejut dan panik saat melihat sosok itu tampak melemas kehilangan kesadarannya.

"Hei, kau tidak apa-apakan adik kecil. Hei... sadarlah... Ck, astaga..." Joongki menghampiri Luhan dan menepuk-nepuk pipi pelan, tapi tetap sama; ia masih memejamkan matanya. Tak ada pilihan lagi, Joongki segera mengangkat Luhan membawanya menuju ruang kesehatan. Ia membaringkan Luhan di bangsal kecil yang ada di sana.

Joongki terdiam, duduk menyandar pada kursi sambil menatap lekat pada sosok di hadapannya. Indah. Benar-benar indah tanpa celah. Joongki menopang dagu miliknya, memandang penuh atensi pada sosok indah di hadapannya.

"Cantik." Gumam Joongki. "Aku menyukainya." Lanjutnya sambil tersenyum senang.

.

.

.

.

Luhan mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya yang menyorot memenuhi retinanya. Ini di mana, batinnya. Dan saat pandangannya terfokus ia dapat menemukan satu wajah yang tak Luhan kenal, menatap lekat kearahnya dengan senyum bodoh yang bertengger manis di wajah tampannya.

Mengerikan...

Luhan membatin takut. Kesadarannya belum terkumpul penuh, lemas masih menggelayuti tubuhnya, pusing masih menghinggapi kepalanya dan ia disuguhkan dengan keadaan seperti ini, Oh.. Luhan merasa sekujur tubuhnya mendingin, merinding dengan bulu kuduk yang berdiri tegang.

"Manis," sapa Joongki, dan Luhan pun merenggut tak suka. "rupanya kau sudah sadar, sebenarnya aku khawatir sudah hampir satu jam kau belum sadarkan diri juga. Tapi tak apa, kau sudah sadar."

"Nah, adik kecil... sekarang bagaimana keadaan mu? Apa perlu ku antar pulang? Dan, ah ya! Siapa namamu? Adik kecil menggemaskan seperti mu tak seharusnya ada di sini. Apa kau tersesat?"

Luhan kini sudah memberenggut kesal, dengan mata memincing tak suka ia menjawab seadanya. "Nama ku Luhan, keadaan ku tak terlalu buruk, dan bisakah kau berhenti memanggilku adik kecil, aku sedang tidak tersesat saat ini, kau tak perlu mengantar ku pulang; karena aku baik-baik saja. Dan sebelumnya terima kasih karena menolong ku. Maaf jika aku merepotkan mu."

"Tak apa.." Joongki tersenyum tipis. "Aku senang menolong anak manis seperti mu. Tak perlu sungkan, karena aku termasuk seorang namja yang baik hati."

"Nah, adik manis. Perkenalkan aku Song Joongki, mahasiswa tingkat akhir yang terkenal akan kegagahan dan ketampanannya. Jadi jika kau butuh bantuan dariku jangan sungkan, aku akan membantu mu. Sekarang apa yang kau butuhkan? Apa kau ingin makan? Atau ingin ku antar pulang?"

"Tak perlu." Tolak Luhan halus. "Aku di sini saja,"

"Eem... dan satu lagi."

"Apa?" Tanya Joongki.

"Jangan memanggilku manis, seakan-akan aku gadis perawan."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kyungsoo berjalan cepat sambil menarik tangan Sehun. Dengan satu hentakan keras ia mendorong Sehun pada kelas kosong yang tak terpakai.

Plak

"Apa maksud semua ini Oh Sehun?!" Kyungsoo menampar Sehun keras dan berteriak kencang. Ia menjerit menumpahkan semuanya, rasa kesalnya, sakit hatinya juga rasa kecewanya.

"Jangan jadikan aku pelampiasan mu! Jangan jadikan aku pelarianmu! Kau sialan Sehun-ah! Kau kau brengsek! Kau pria paling brengsek yang aku kenal!"

"Kenapa kau tega. KENAPA KAU TEGA OH SEHUN?!"

"kenapa kau tega hiks, mempermainkan perasaanku... hiks.." Kyungsoo terduduk lemas dan terisak pilu, ia sungguh kesal dan sakit hati. Memang benar ia menyukai Sehun, memang benar ia mencintai Sehun, tapi mengapa Sehun menjadikannya pelampiasan, menjadikan dirinya sebagai pancingan.

Sehun menunduk, ia menangkup kedua pipi Kyungsoo. "Kyung..." Sehun berbisik lirih. "Maaf... Aku tak bermaksud untuk menyakitimu. Ku mohon Kyung..."

"Kau bohong! Kau pikir berapa lama aku mengenal mu, hah?! Aku tau, aku tau apa yang kau inginkan."

"KAU HANYA MENJADIKANKU TAMENG MU SIALAN!" Jerit Kyungsoo parau. "Tak cukupkah aku bertahan menyimpan rasa cinta ku padamu? Tak cukupkah aku bertahan saat kau sama sekali tak pernah melihat ku? Tak cukupkah aku bertahan saat kau lebih memilih sahabatku dibandingkan aku? Tak cukupkah aku bertahan saat kau menjadikan ku penggantinya?! Kenapa kau harus menambahnya Oh Sehun! JANGAN MANFAATKAN AKU! Jangan libatkan perasaanku... hiks.. Kau jahat, jahat.. hiks..hiks.."

"Kyung... Aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Aku tak tau bagaimana aku bersikap padanya. Aku tau aku bersalah. Tapi aku benar-benar tak tau, Kyung..."

"Aku sadar aku salah, aku sadar aku menyakiti Luhan. Aku memang ingin meraih tangannya, aku memang ingin memeluknya, meminta maaf padanya, tapi aku tak bisa. Aku benci saat ia tak mau menatapku, aku benci saat ia tak menjauhi ku tapi.. tapi aku.. Aku. Aku, tak bisa."

"Aku sudah kehilangan wajahku untuk bertemu dengannya. Aku menginginkanya, tapi.. tapi aku tak bisa."

"Tapi setidaknya jangan manfaatkan aku, Oh Sehun! Kau dan ego sialan mu yang memperburuk semuanya!"

"Jika kau memang tak memilihku, setidaknya jangan manfaatkan aku. Jika kau memang lebih memilih Luhan, kejarlah dia jangan libatkan aku, akui kesalahan mu, pangkas ego mu dan raih kembali hatinya."

"Jangan sakiti dia lagi Oh Sehun, jangan manfaatkan aku lagi.

..

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hujan. Saat ini hujan turun deras, menghentikan langkahnya membuat Luhan hanya mematung berdiam diri seperti orang bodoh memandang rintikan air yang turun menghujam tanah. Luhan menolehkan pandangannya melihat satu sosok yang kini berdiri tepat di samping Luhan dengan senyum lebarnya dan sikap menyebalkannya.

"Halo Luhan..." sapanya sambil mengangkat satu tangan. "Kita berjumpa lagi." Serunya tenang dengan senyum menyebalkan tersungging di wajahnya. "Aku rasa kita memang berjodoh, untuk itulah mengapa tuhan kembali mempertemukan kita."

Luhan memutar bola matanya malas. "Kembali bertemu bukan berarti kita berada dalam suatu posisi yang kau sebut 'berjodoh', ini hanya suatu kebetulan dan anda terlalu berlebihan Joongki-ssi."

Joongki hanya tersenyum semakin lebar mendengarkan penuturan datar yang Luhan lontarkan. "Jangan kaku seperti itu wahai Luhan yang manis." Joongki merangkul bahu Luhan hangat, "kau lihat," tunjuk Joongki pada hujan, "hujan itu basah, dingin, menenangkan, menyenangkan juga indah, tapi itu pun jika kau mampu melihatnya dan merasakannya."

"Namun kau tau, apa yang paling istimewa dari hujan?" Tanya Joongki tenang sambil menatap Luhan dalam. Luhan hanya diam dan menggeleng malas.

"Hujan akan selalu ingin kembali turun, meski ia tau rasanya jatuh berkali-kali." Lanjut Joongki dengan senyum yang terpatri di wajah tampannya.

Luhan terdiam. Benarkah? Dalam hati ia bertanya. "Bodoh." Sahut Luhan datar. Joongki mengerjap, ia menatap Luhan penuh tanya. "Hanya orang bodoh yang akan jatuh berkali-kali." Joongki mengangkat bahunya ringan.

Mereka kembali terdiam membiarkan keheningan yang menguasai mereka. "Luhan, bagaimana jika kita pulang bersama." Ajak Joongki, pria itu melirik Luhan lewat bahunya melihat Luhan yang hanya diam menatap hujan datar.

Luhan menggeleng. "Terimakasih sebelumnya, tapi maaf aku tak bisa. Seseorang akan menjemputku, dan aku takan mungkin meninggalkannya." Tepat disaat Luhan menyelesaikan ucapannya seseorang datang berlari dan berdiri berteduh tepat disampingnya. Luhan merenggang, tubuhnya kaku saat tau siapa sosok yang kini berada disampingnya.

"Whooaa, benarkah?!" Tanya Joongki penuh antusias. "Apa dia pacarmu? Apa dia spesial bagimu? Ahh, apa aku terlambat?" Luhan menahan nafasnya, ia merasakan aura di sekitarnya semakin memberat dan udara terasa berkali-kali lipat lebih dingin. Ia melirik Joongki sejenak lalu dengan tubuh kaku menggeser perlahan mendekati Joongki mencoba memperlebar jarak dengan sosok yang kini berdiri dengan aura gelap yang pekat.

"Ya." Jawab Luhan pelan. "Dia sangat berarti bagiku." Luhan menarik nafas sejenak dan menghembuskannya pelan. "Dan ya, kau terlambat." Lanjutnya dengan suara bergetar. Luhan kembali bergeser mendekati Joongki, lengannya mengepal erat.

"Joongki-ssi,"

"Ya."

"Apa kau membawa payung?"

"Bisakah aku meminjamnya."

Joongki berkedip pada Luhan. "Ah sayang sekali aku tidak membawanya."

Luhan tak menjawab. Ia hanya semakin mengepalkan tangannya erat. Kepalanya menunduk dalam. "Hei jangan sedih seperti itu." Joongki merangkul bahu Luhan hangat. "Kita bisa menerobos hujan, lagipula itu adalah hal yang meyenangkan. Bagaimana kau tertarik?"

Luhan menggeleng kecil. "Tidak bisa, dia bisa memarahi ku lagi jika tau aku berlari di tengah hujan lebat sepeti ini." Ya Luhan bisa bayangkan gegenya yang menyebalkan memarahinya dan menceramahi Luhan dengan wejangan panjang lebar, lagipula ia tak mau merepotkan gegenya.

Sehun yang berada diantara mereka hanya terdiam. Ia menghela nafas kasar lalu melangkah mensejajarkan tubuhnya dengan mereka. Sialan! Makinya dalam hati. Ia tidak suka saat Luhannya mengabaikan dirinya, ia tidak suka jika Luhannya pura-pura tak mengenal dirinya. Ia tak suka saat Luhan bergerak menjauhinya dan berdekatan dengan pria lain. Sehun mengepalkan lengannya kuat-kuat. Buncahan emosi terasa mendesak meledak di kepalanya, tapi dengan tenang ia berusaha meredamnya.

Hujan mulai mereda, awan hitam perlahan mulai menyisih pergi dan yang tertinggal hanya rintikan kecil hujan. "Nah sudah reda. Kita bisa pergi bersama." Joongki mengulurkan tangannya pada Luhan yang hanya dibalas gelengan kecil dari pria itu.

"Tidak, Joongki-ssi. Lagipula sebentar lagi dia datang. Aku akan menunggunya."

"Apa perlu ku temani?"

"Tak perlu. Kau bisa pulang tanpaku. Terimakasih sebelumnya mau menemaniku."

"Tak masalah. Apapun untuk namja manis sepertimu."

"Terserah." Sahut Luhan malas.

"Baiklah aku pergi dulu, sampai jumpa lagi adik manis." Joongki melangkah pergi meninggalkan Luhan berdua dengan Sehun yang kini menatapnya tajam.

"Oh, manis sekali." Puji Sehun. Sehun lalu melangkah mendekat pada Luhan. "Jalang." Dan berdesis pelan tepat di telinga Luhan kemudian melangkah pergi meninggalkan Luhan dengan langkah lebar miliknya. Sehun mengumpat kesal. Ia mengerang frustasi tak tau apa yang harus dilakukannya. Di satu sisi ia memang menginginkan Luhan kembali, ia ingin merengkuh tubuh mungil itu dan mengatakan semua perasaannya semua penyesalannya tapi di sisi lain ego miliknya terlalu besar untuk mengucapkan kata sakral itu. Pun ia tak suka melihat namja itu mengabaikannya pura-pura tak mengenal dirinya dan berdekatan dengan namja lain tak menganggap Sehun ada , hatinya dongkol dan panas. Satu sembilu tajam terasa mengiris hatinya saat wajah mungil itu berpaling dan tubuh itu menggeser pelan memperlebar jarak.

Sialan!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Gege." Panggil Luhan pelan, ia melihat Kris berlari-lari kecil kearahnya.

"Apa Gege lama? Maaf membuatmu menunggu."

Luhan menggeleng pelan. "Tak apa, lagipula hujan baru saja reda."

"Ayo pulang, kau pucat Lu. Gege tak mau kau sakit lagi."

"Tak apa, aku kuat. Aku manly ingat? Dan Gege, boleh aku meminta sesuatu darimu?"

"Tentu, kau ingin apa hm?" Tanya Kris pelan sambil mengusap rambut lembut Luhan.

"Gendong aku." Ucapnya manja.

"Eh? Oh... astaga.." Kris tertawa pelan. "Jadi, Luhannie yang manly ini mengapa jadi manja seperti ini hm? Wah, bayi rusa Gege rupanya telah kembali." Lanjutnya disambung degan tawa hangat miliknya.

"Ish Gege! Aku hanya minta digendong, dan kenapa kau cerewet sekali?" Tanya Luhan sengit.

"Baiklah... baiklah... Gege akan mengendong mu. Rusa tampan tak boleh merajuk ingat?" Jawab Kris hangat sambil mengacak surai itu gemas. "Nah, naiklah. Sebelum Gege berubah pikiran."

Luhan naik pada punggung Kris dan melingakarkan kedua tangannya pada leher namja jangkung yang ia panggil Gege itu erat. Sejenak matanya terpejam, ia bersandar pada punggung lebar milik kakaknya. Sisa-sisa hujan yang tertempa cahaya sore begitu menyejukkan dan Luhan kembali terjatuh dalam ketenangan yang menghangatkan.

"Ge.."

"Hm."

"Gege, apa aku menyebalkan?"

"Emm... kau akan bersikap manis jika ada maunya, Lu. Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu, hm?"

"Tidak." Luhan menggeleng pelan. "Apa Gege membenciku?" Lanjutnya lagi.

"Tidak. Tentu tidak. Aku benar-benar menyayangi rusa manja ini. Ya, meskipun terkadang kau menyebalkan dan keras kepala tapi Gege tetap menyayangi rusa manly ini."

"Gege, apa ada yang salah denganku? Apa aku memuakkan? Apa aku merepotkan?" Tanya Luhan lagi.

"Tidak Luhan. Kau adalah seseorang yang berharga, bagiku, bagi Umma. Kau tak ternilai, kau adalah segalanya bagi kami, aku tidak bisa bayangkan jika saat itu kau pergi meninggalkan kami. Jadi jangan berpikiran seperti itu, arraseo?"

"Tapi kenapa mereka membenciku, ge?" Tanyanya pelan nyaris berbisik.

"Appa, teman-temanku, sahabatku juga... dia." Luhan berucap lirih, matanya menyorot sendu. "Mereka semua membenciku." Bisiknya parau.

"Lupakan mereka. Kau adalah Luhan, tak perduli seperti apa mereka membencimu kau masih punya aku, Umma, Imo, dan Grandma yang menyayangimu. Tetaplah jadi bayi rusa kami, arraseo? Kami menyayangimu. Jangan pernah berpikir seperti itu lagi, atau aku adukan pada Umma."

Luhan tersenyum senang. "Aku menyayangimu, Ge!" Serunya keras dengan mata berkaca-kaca sambil bergerak heboh dan memeluk Kris lebih erat.

"Ge..." panggil Luhan lagi.

"Hm, ada apa?"

"Aku malu." Ucapnya setengah merajuk sambil membenamkan kepalanya pada leher Kris saat beberapa mahasiswa yang mereka lewati menatapnya lekat-lekat.

Kris tertawa dengan derai hangat di dalamnya. "Aigoo rusaku manis sekali." Goda Kris sambil terkekeh pelan.

"Gege!" Jerit Luhan. "Jangan menggodaku!" Ucapnya tak terima.

"Gege cepatlah, aku sudah tak tahan lagi! Punggungku seperti terbakar laser oleh tatapan mereka!"

"Ne...ne.. ne, Rusa manja ini banyak maunya sekali eoh?"

"Yak! Cepatlah ge! Aku malu!" Bentak Luhan yang dibalas gelak tawa oleh Kris.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Luhan sedang bermalas-malasan, seharian ini ia hanya berguling-guling tak jelas di ranjang besarnya. Hari ini jadwalnya memang kosong, jadi yang ia lakukan hanya tidur.

Luhan mendongak, tangan terulur menggapai meja nakas saat mendengar ponsel miliknya bergetar. Luhan dengan malas mengangkat panggilannya dan menyahut dengan gumamam samar.

"Aku tak bisa mengerti bahasa aneh mu, bayi rusa."

"Eh?" Luhan mengernyit heran, satu alisnya terangkat. Luhan lalu melihat layar ponsel miliknya.

"Ah! Imo!" Teriak Luhan senang, melihat nama siapa yang tertera di layar sana. "Maafkan aku! Aku pikir siapa hehehe."

"Hah... kau ini." Sosok di seberang itu menghela nafas. "Luhan, Imo dengar kau ada di Seoul. Kenapa tidak kabari Imo?" Lanjutnya menuntut.

Luhan nyengir, Luhan lupa untuk mengabari Imo cerewetnya. "Imo maafkan aku~~ aku lupa Imo. Jangan marah padaku nde?" Rajuk Luhan pada Imonya.

"Tidak mau! Imo tetap tidak terima. Kau ini baru enam bulan kemarin Imo menjengukmu, dan sudah melupakan Imo? Yang benar saja!"

"Ayolah Imo~~ maafkan aku nde."

"Imo..."

"Tetap tidak mau."

"Imo.."

"Tidak."

"Imo~~"

"Tetap tidak."

"Nde, baiklah baiklah! Aku akan berkunjung kerumah Imo! Imo jangan menghakimiku seperti ini. Imo jangan marah, Imo membuat Lulu sedih!" Luhan berteriak kesal dengan bibir yang mengerucut sebal dan mata yang menukik tajam.

"Hahaha, kali ini Imo yang menang, baby. Kau harus berjanji arraseo? Atau Imo tak mau berhubungan dengan Lulu yang manis lagi!"

"Ne, aku janji! Imo, berhentilah mengancamku atau aku tidak mau datang!"

"Imo tak mau tau, besok kau harus datang. Sampai jumpa lagi Luhannie manis, Imo menyayangimu~~" Sosok itu menutup sambungan telponnya, meninggalkan Luhan dengan raut sebal dan kesal miliknya.

..

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Kyungsoo berjalan pelan, matanya mengedar memperhatikan sekelilingnya; sebuah gang sempit daerah pinggiran, dari sini dapat Kyungsoo lihat bayangan tinggi gedung-gedung yang berjejer menjulang.

Disini Begitu gelap dan lembab, jalan yang ia tapaki masih basah sisa hujan semalam, dengan bangunan-bangunan kotor dan reot yang memenuhi hampir setiap sudut gang. Terasa begitu sesak; oh jelas ia kini berada disebuah komplek kumuh dengan orang-orang aneh yang di dalamnya.

Tunggu! Teriak Kyungsoo pada sosok pria bermata sipit berpipi chubby yang tak sengaja ia lihat baru saja keluar dari flat kecilnya. Tunggu sebentar. Kau, bukankah kau teman sekamar Luhan? Tanyanya lagi.

Oh, aku Do Kyungsoo. Salam Kyungsoo cepat saat ia melihat sosok di hadapannya mengernyit heran melihat kearahnya. aku teman Luhan.

Oh, maaf ada apa memanggilku? balas sosok itu.

Sebenarnya ada sesuatu hal yang ingin aku tanyakan. Dan ini mengenai Luhan, aku pikir karena kau teman sekamarnya dulu kau mungkin mengetahuinya.

"Sebelumnya, perkenalkan aku Xiumin. Kau benar aku memang teman sekamar Luhan. Sosok itu melangkah mendekat menghampiri Kyungsoo. Tapi itu dulu. Lanjutnya. Sebelum ia Pergi menghilang entah kemana. Dan sejak saat itu aku tak pernah melihatnya lagi.

"Benarkah? Tapi dalam satu minggu ini aku pernah melihat Luhan. Aku pikir karena dulu ia tinggal disini ia akan kembali kesini. Kyungsoo menunduk sejenak lalu kembali menatap sosok Xiumin. Tapi apa kau tau apa yang terjadi pada Luhan sebelum ia pergi dari sini?

Aku tidak tau, yang aku tau malam itu setelah aku pulang kerja aku tidak melihat Luhan; padahal saat itu dia sedang sakit dan sedang beristirahat. Aku menunggu dia pulang tapi dia tak datang-datang, aku mencarinya tapi dia tak ada bahkan semua barang-barang miliknya masih tertinggal di kamarnya. Hingga suatu hari aku mendapat pesan dari Luhan bahwa ia kini sedang berada di kampung halamannya, aku mencoba menghubungi dirinya tapi ia tak bisa dihubungi kembali.

Begitukah? Apa kau mengetahui sesuatu yang lain, apa Luhan pernah bercerita sesuatu padamu?

Ah, maaf jika aku banyak bertanya, aku hanya tidak tau harus menghubungi siapa lagi. Ucap Kyungsoo sambil menunduk.

Hahaha tak apa, aku tidak keberatan. Xiumin tertawa hangat, ia melangkah dan merangkul Kyungsoo. Tak perlu kaku seperti itu, santailah. Ah bagaimana jika kita berbincang didalam saja.

Kyungsoo menggeleng kecil. "Tak perlu aku hanya akan merepotkanmu. "Ia menatap Xiumin dan tersenyum hangat. "Disini saja, tak apa. Lagipula aku hanya sebentar."

"Emm... baiklah, tak apa. Tadi kau bertanya apa Luhan pernah bercerita padaku, ya?" Kyungsoo mengangguk. "Ah, tunggu dulu! Apa kau teman Luhan yang selalu menunggunya saat ia bekerja dulu?"

"Ya." Jawab Kyungsoo sedikit ragu. "Aku temannya yang itu."

"Ohh, lama tak melihatmu!" Ujarnya senang. "Ya, meskipun aku tidak tau banyak tentangmu, aku hanya tau dari Luhan." Ia tertawa manis dengan pipi bulat yang mengembang dan kedua mata yang menyipit lucu. "Dulu Luhan sering bercerita padaku, tentang kau; satu-satunya sahabat di sekolah Luhan yang mau berteman dengannya juga tentang seseorang yang Luhan sukai."

"Apa Luhan pernah bercerita lagi?"

"Emm, sepertinya tidak ada." Xiumin memejamkan matanya sambil berusaha mengingat. "Ah, pernah! Waktu itu sedang tengah malam, dan aku melihat Luhan menangis."

Kyungsoo tertegun, apakah dia yang membuat Luhan menangis saat itu. "Kenapa dia menangis?" Tanya Kyungsoo, namja mungil itu meremas pegangan tas ransel miliknya. "Apa karena seseorang yang disukainya, atau karena kejadian di sekolah?"

"Sepertinya tidak keduanya, Luhan bilang ia sedih karena merindukan keluarganya. Disini ia merasa sendiri dan sebatang kara, ayahnya bahkan tak mau menatap kearahnya. Beberapa hari setelah kejadian itu Luhan sakit dan ia menghilang."

Kyungsoo terdiam, ia menatap Xiumin yang kini mengenakan kemeja hitam panjang dan celana jins berwarna navy. Wajahnya memang manis dengan kesan oriental yang begitu khas; pipi bulat, mata sipit, hidung bangir, bibir tipis dan perawakan yang kecil berisi.

"Apa kau tau dimana kampung halamannya, atau dimana tempat ia tinggal?"

Xiumin menggeleng, "aku tak tau, tapi tak lama ini aku bertemu Luhan. Kami memang sempat berbincang sebentar namun tak lama ia kembali pergi."

"Ada lagi?" Tanya Kyungsoo.

"Sepertinya tidak. Hanya itu."

..

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hari ini hari minggu, sesuai janji dengan Imo cerewetnya Luhan akan berkunjung hari ini. Kini ia berdiri di hadapan cermin seukuran tubuhnya. Ia mengenakan sweater tebal berwarna marun yang menenggelamkan tubuhnya, kakinya mengenakan celana berbahan denim berwarna putih dengan sepatu kets berwarna pastel.

"Adik Gege sudah tampan, mau pergi kemana?" Kris muncul dari pintu dan merangkul Luhan.

"Gege~~. Gege tau, Imo kemarin mengancamku karena aku tak mengabari dia bahwa aku ada di Seoul. Ish, menyebalkan sekali."

"Hahaha, adik Gege jangan merajuk seperti itu. Itulah nasibmu mempunyai Imo secerewet dia." Kris terkekeh pelan, tangannya terulur mengusap kepala Luhan gemas. Sebenarnya Imo yang dibicarakan, adalah sahabat Ummanya dulu. Ia juga baru saling mengenal dua tahun yang lalu, saat Luhan sakit dan keadaaannya memeburuk. Imonya begitu menyayangi Luhan dan menganggap Luhan seperti anaknya sendiri, tak banyak yang Kris tau tentang Imonya yang satu itu tapi yang terpenting mereka; Imo dan suaminya peduli pada Luhan.

"Memang kau tau dimana letak rumahnya? Gege antar ya?"

"Tak perlu." Luhan menjawab singkat sembari sibuk menyingkirkan lengan Kris. "Aku tau, Imo mengirimkan alamatnya untukku. Jadi Gege tak perlu secerewet itu."

"Tetap saja. Kau, Gege antar." Ucap Kris mutlak. "Memang kau tau arahnya? Gege ingatkan ya, kau itu buta arah dan selalu tersesat. Apa kau ingin Gege digantung Umma karena membiarkan rusa keras kepalanya berkeliaran?"

"Ish, aku tidak seperti itu! Gege berlebihan!" Luhan medumel kesal, ia meraih tas ransel miliknya sambil melangkah keluar. "Aku akan berangkat, tak perlu Gege antar." Ia berjalan cepat menuruni tangga, berjalan cepat menuju pintu apartemen mereka. "Aku berani sendiri, Gege ingat aku pernah hidup dan tumbuh di Seoul, aku sudah terbiasa dan aku cukup tau. Jadi, Gege jangan berlebihan, atau aku tendang kaki Gege."

"Aku pergi dulu. Jangan mengikutiku atau aku marah, aku akan kembali sebelum malam. Jadi Gege sampai jumpa, aku menyayangimu." Luhan mengecup pipi Kris singkat dan dengan cepat berlari keluar sambil menenteng tas gendong miliknya.

.

.

.

.

.

Luhan berdiri di sebuah pintu rumah megah yang tinggi menjulang; dan yang menyebalkannya berkebalikan dengan tubuh pendek ekhm maksudnya mungil, miliknya. Ia berdiri dengan mata menyipit senang, sesekali ia menengok kearah kaca dan bergumam pelan mengagumi betapa tampan dirinya. Luhan kembali memencet bel, sudah hampir dua menit ia berdiri dan belum ada tanda-tanda siapapun; padahal saat ia berjalan masuk melewati gerbang, ahjussi penjaga gerbang mengatakan jika Chullie Imo ada di dalam. Luhan kembali memencet bel, lalu melangkah pelan berdiri di depan kaca jendela dan bersiul takjub.

"Tampan seperti biasanya." Ucapnya bangga. "Nah Luhan, mari buat Imo mu bertekuk lutut pada keponakan gagahnya."

Luhan kembali melihat kearah pintu. Tak ada siapapun, ia berdecak kesal apa ia harus menerobos masuk dan berteriak-teriak memanggil Imonya, sepertinya tidak Luhan masih mengerti soal manner. Luhan mendumel sebal, dalam hati ia menghitung aba-aba satu dua, satu dua dan siap mengambil ancang-ancang menekan bel dengan penuh semangat dan tempo yang cepat. Namun sayang saat akan melakukannya pintu tiba-tiba terbuka lebar menampilkan sosok pemuda berwajah datar yang menatapnya dingin.

"Oh.." Luhan berucap kikuk, dengan cepat ia kembali pada posisi semula. Luhan menunduk menyembunyikan wajahnya saat sosok dihadapannya memandangnya tajam penuh intimidasi. "Sepertinya aku salah rumah, maafkan aku. Aku pergi."

"Jangan melangkah kemanapun." Ucap Sehun mutlak. Sebenarnya Sehun cukup terkejut melihat sosok yang berada dihadapannya, tadinya ia kesal dan siap memerahi siapapun yang memencet bel rumah miliknya tidak sabar. Namun apa yang dia lihat. Oh, sungguh. "Apa maksudmu menggangguku di hari minggu yang tenang ini? Bukankah kau akan berkencan dengan lelaki Song itu, tapi mengapa kau berada di hadapan mukaku saat ini?"

"Tak tahu malu." Cibirnya.

Luhan menunduk, ia mengepalkan tangannya kuat, tidak tidak lagi. Cukup. Cukup, ia tak mau kalah lagi oleh perasaannya. Menghela nafas pelan lalu menatap Sehun dengan tenang. "Tak ada niatan sama sekali bagiku untuk mengganggu hari anda tuan Oh Sehun yang terhormat," Luhan berdesis pelan. "Aku hanya berada di tempat yang salah di waktu yang salah. Jangan menatapku rendah seperti aku budak hewanmu, jika kau menilaiku rendah seperti itu lalu bagaimana dengan mu yang masih bergantung pada mahluk rendah ini."

"Kau.." desis Sehun keras.

"Maaf mengganggu dan menodai hari indah anda, Oh Sehun. Ah dan bukankah kau juga memiliki acara kencan dengan sahabatku, aku tidak akan menggangu lebih. Aku pergi." Ucap Luhan datar, saat ia berbalik dan siap melangkah menjauh suara lengkingan tajam menghentikan dirinya.

"Yak! Mau pergi kemana kau anak nakal!" Sosok wanita paruh baya itu berucap dari dalam rumah sana. "Berhenti disitu! Sudah membuat Imo menunggu dan kau pergi begitu saja, dasar rusa China!" Heechul sosok yang berteriak, heboh kini berdiri di depan pintu diantara Sehun dan Luhan.

"Dan Oh Sehun, mengapa kau mengusirnya pergi? Kau ini ingin Umma apakan hn?" Tanyanya mengancam.

Heechul kembali menatap Luhan dan memekik heboh. "Luhan! Astaga!" Heechul memeluk Luhan erat, begitu erat. "Imo begitu merindukanmu. Kau semakin hari semakin manis saja, kau memang sweet cotton candy-ku." Ujarnya senang.

"Nah Luhan, masuklah. Sebenarnya Imo agak ragu kau bisa sampai di sini tanpa tersesat, dan ingin mengirim supir untukmu tapi kau malah menolaknya mentah-mentah. Ah! Dan Luhan kenalkan ini putra Imo, ia memang menyebalkan dan kelebihannya hanya terletak pada parasnya. Dan namanya Oh Sehun."

Sehun mendengus pelan, dalam hati ia mengumpat kesal mengapa Luhan selalu datang disaat yang tidak tepat, disaat ia belum siap dan yakin dengan hatinya.

"Apakah sebelumnya kalian saling mengenal?" Tanya Heechul.

"Tidak." Jawab Luhan cepat. "Kami mungkin pernah tinggal di kota yang sama untuk beberapa tahun. Tapi tidak, aku tidak mengenalnya. Terlalu banyak orang yang datang dan pergi, aku jadi tidak memiliki kesempatan untuk mengingatnya lebih."

"Oh, baiklah." Heechul mengangguk paham. "Aku mengerti." Heechul merangkul bahu Luhan dan mengelus-ngelus kepala Luhan lembut.

"Nah, ayo masuklah."

.

.

.

"Luhan"

"Ne Imo." Luhan menjawab pelan, kini mereka semua sedang berada di meja pantry dengan Luhan yang duduk memperhatikan Imonya memasak dan Sehun yang duduk terdiam menjauh dari keduanya; Sehun dipaksa oleh Ummanya untuk tidak pergi dan tetap menemani Luhan.

"Bagaimana keadaan ibumu?"

"Umma, baik Imo. Ia sedang menangani proyeknya di Jeju."

"Lalu, bagaimana dengan keadaanmu?"

"Aku sama baiknya Imo, aku terlampau baik bahkan untuk menendang tungkai seseorang. Dan Imo, aku kini kembali bergabung dengan tim sepak bola. Ya, meskipun hanya duduk di bangku cadangan."

"Tak apa Chagiya, jangan terlalu lelah. Dan emm, bagaimana dengan dia. Apa kau sudah bertemu dengannya."

"Dia?" Luhan menaikan alisnya. "Dia yang mana Imo?"

"Appa mu tentu saja, Lu."

"Belum Imo." Luhan menunduk. "Aku belum bertemu dengannya. Belum, mungkin takan pernah." Ucapnya getir. "Appa membenciku, ia takan mungkin mau bertemu dengan ku." Lirih Luhan serak.

"Hei jangan sedih seperti itu." Heechul berjalan menghampiri Luhan dan memeluk Luhan. "Aku akan menendang bokong si brengsek itu, jika aku kembali bertemu dengannya. Bagaimana bisa ia kejam padamu, ia tak mempedulikan mu. Yifan bahkan sudah tak sudi lagi berurusan dengannya."

"Tapi Imo, dia Appa ku."

"Kau bisa menganggap Hangeng Appa mu juga, dia sangat menyayangimu. Dan Lulu juga bisa anggap Imo sebagai Umma kedua." Heechul mengusap helai rambut Luhan, ia tersenyum melihat rambut lembut itu sudah mulai memanjang, menyisirnya pelan lalu mengecup kening Luhan. "Jangan sedih, ada Chullie Umma disini." Bisiknya sambil tersenyum hangat.

"Oh astaga! Aku lupa!" Teriak Heechul tiba-tiba.

"Ada apa?"

"Aku lupa, jika aku harus pergi hari ini." Heechul berseru panik. "Maafkan Umma, Umma tapi Umma harus pergi."

"Sekarang?" Tanya Luhan ragu.

"Ya, aku akan pergi. Luhan tetaplah disini, tunggu Umma hingga Umma pulang."

"Dan kau Oh Sehun." Teriaknya pada Sehun sembari tangan sibuk membereskan pekerjaannya. "Jangan kemana-mana. Temani Luhan, Umma akan kembali sebelum jam makan malam tiba."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hening.

Hanya hening yang tercipta diantara keduanya. Luhan masih duduk dengan bahu tegang di sofa tengah selepas Heechul pergi. Sehun pun sama hanya berdiri terdiam menatap datar sosok yang berada di hadapannya. Sehun sampai sekarang belum mengerti, mengapa ibunya terlihat begitu dekat dengan Luhan?

"Konyol." Sehun berucap datar. "Sebenarnya apa maksudmu Luhan?"

Sehun melangkah menghampiri Luhan, berdiri menjulang di hadapan namja mungil itu. Ia lalu berjongkok mensejajarkan tubuhnya. Tangannya bergerak menyentuh ragu paras indah Luhan. Dadanya bergemuruh keras melihat bola mata jernih yang begitu bening polos dan indah.

Sehun memejamkan matanya sejenak. Dulu. Dulu dialah yang paling sering membuat mata indah itu memerah dengan derai kesakitan. Membuatnya nanar dengan penuh luka, membuatnya nanar dengan rasa kecewa. Dulu ialah yang paling sering membalik lengkungan indah senyuman manis itu, membuatnya terluka dan membantingnya keras dengan kejam; itu yang selalu Sehun lakukan padanya. Ia menginginkan Luhan, ia kehilangan sosok mungil itu dan ia merindukan sentuhan halusnya senyuman manisnya juga limpahan kasihnya. Tapi, apakah Sehun pantas?

Ia menatap dalam, wajahnya ia sejajarkan dengan Luhan. Tangannya mengusap halus pipi tembam yang dihiasi rona memerah.

"Apa aku menyakiti mu?" Bisiknya parau, wajahnya semakin mendekat hingga kening dan hidung mereka saling bertubrukkan.

"Ya." Jawab Luhan serak, dengan suara bergetar.

"Apa aku terlambat?"

"Ya." Luhan menjawab dengan suara yang nyaris menghilang, ia berusaha sekuat mungkin menahan isakan yang nyaris lolos dari bibirnya.

"Dulu. Dulu sekali, aku ingin kau melihatku menganggapku ada dan mengakui keberadaanku." Luhan lalu terdiam, matanya memanas. Ia bernapas dalam-dalam, mencoba mengendalikan diri. "Aku ingin kau ada untukku aku ingin kau ada di sisiku aku ingin bangga karena kau telah memilihku."

Luhan memejamkan matanya, keningnya beradu dengan kening Sehun. Samar-samar ia mulai terisak. "Tapi kau tak pernah mau melihatku. Tak pernah sudi menganggapku. Tak pernah ada untukku. Kau selalu menikamku, mengangkat ku tinggi-tinggi lalu menjatuhkannya tanpa perasaan. Kau yang memilihku, tapi kau juga yang menyingkirkanku. Kau bahkan lebih peduli pada dia dibandingkan aku, kau bahkan pergi bersamanya meninggalkan aku."

Luhan menangis, ia benar-benar tak tau lagi apa yang harus ia lakukan. Dadanya sesak dan hatinya kembali terluka.

"Apa yang harus aku lakukan?" Bisik Sehun lirih tepat ditelinga Luhan. Luhan membuka matanya, menatap Sehun dalam dengan kedua netra jernih basahnya.

"Pergi." Lirih Luhan. "Pergi, jangan menggangguku. Pergi jangan datang padaku."

"Tapi kau yang datang kembali. Jangan egois."

"Jika seperti itu biarkan aku egois. Kau juga egois, jadi kita impas." Tangan Luhan memegang lembut tangan Sehun yang berada di wajahnya. "Biarkan aku egois. Biarkan kita sama-sama egois. Mari kita buat semua menjadi mudah, aku kau dan Kyungsoo anggaplah kita tak pernah bertemu, anggaplah kita tak saling mengenal. Jangan menyapaku, jangan memanggilku lagi. Karena kita tak mengenal satu sama lain."

"Kau egois."

"Ya." Jawab Luhan tercekat. "Begitu juga kau."

"Setelah ini, biarkan aku pergi bebas tanpa ikatan. Biarkan aku hidup dengan tenang, dengan semestinya tanpa bayang-bayang kalian."

"Aku pergi." Ucapnya pelan berbisik. "Aku mencintaimu." Dan dengan bergetar Luhan mengecup bibir Sehun pelan. Mengecupnya lembut sebelum akhirnya mendorong pria itu menjauh. "Selamat tinggal." Lirihnya lalu beranjak pergi mengambil tas ranselnya dan menangis terisak.

Ia berlari dengan air mata yang mengalir deras, ia berlari dengan iskan yang lolos sempurna dari bibirnya, ia berlari menangis membiarkan Sehun berdiri mematung seperti orang bodoh melihat kepergiannya.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

Halo... hai hai hai..

I'm back...

Maafkan saya.. yang menelantarkan ni ff nyampe berjamur berdebu dan kapalan. Tapi sumpah nih oseh sama Luhan hubungannya rumit sekali, nah ekeh yang jomblo sejati tau apa soal beginian... bener deh, tiap bikin ff suka mentok d bagian percintaannya... saya kalo soal asmara itu nilainya big nol, jadi w seperti ini... dikit dikit wb dikit dikit mentok apalagi ini intrik permasalahannya soal cinta dan perasaan beuh tusuk aja ekeh.. ekeh iklas..

Dan yang kemarin kenapa Sehun kaya gitu soalnya Sehun kesel kenapa Luhan gak mau melihat kearahnya dan pura-pura tak mengenal Sehun...

Dan ini cerita apa?! Suwer receh sekali... kalo bikin ff suka g pede, ngeliat ff olang2 pada top cer, nah milik saya... huhuhu menyedihkan. Saya mau minta masukannya dong dari reader-nim semua sebagai penulis (ya meskipun receh) saya harus bagaimana? Saya masih belajar, dan belum mateng bikin kaya ginian... saya masih hijau...

Dan kayanya, next chap bakalan ada sindir-sindiran panas-panasan dan kompor-komporan dan yang paling penting bakalan ada cinta jajaran genjang 0:)... Oh ya dan mengenai pasangan lulu itu mendingan mana menurut reader-nim Joongki apa Jongin..? minta pendapatnya ya...

Dan saya turut berduka cita, atas berpulangnya kak Leon aka Death Sugar.. gak nyangka bisa secepet itu :(, maafkan aku eoni yang masih punya hutang ff padamu, makasih juga eoni udah membuat cerita manis yang membekas.. semoga semua amalan mu di terima disisiNya dan semoga engkau tenang dialam sana..

Selamat jalan eoni, karya mu akan slalu ku kenang... we love you...

.

.

.

Makasih mungkin hanya itu, maaf kalo A/n nya kepanjangan...

See you next chap..