Disclaimer : Saya tidak memiliki hak apapun terhadap Naruto. Seandainya iya, maka dia tidak akan kuberikan pada siapapun.

Peringatan : J.J sedang menghantuimu; menebarkan hawa marah, gelisah, merana, muak, dan sengsara setiap kali cerita J.J terunggah.

"Aku tidak akan menggugurkannya!" Helaian rambut indigo yang kusut milik gadis itu bergoyang pelan. Wajahnya yang gembil basah karena airmata. Kini, ia harus berhadapan dengan sang ayah yang sedang murka.

Sebaliknya, sang ayah menatap galak putrinya yang baru saja mencoreng nama baik seorang pengusaha kondang di Jepang. Kehamilan sang putri tanpa diketahui siapa ayah si jabang bayi, membuat sosok Hiashi bingung bukan kepalang. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa putri satu-satunya itu membuat hatinya gamang?

"Kutanya sekali lagi, Hinata, siapa lelaki berengsek itu?" suara pelan namun mengerikan dari Hiashi membuat Hinata takut setengah mati. Tidak pernah ayahnya sedemikian murka sampai menyayat hati.

"A-aku ti-tidak tahu, Ayah," cicit gadis itu pelan. Dirinya ingin mengecil lalu hilang ditelan bumi.

"Bagaimana mungkin, hah?!" bentak Hiashi yang membuat Hinata semakin mengerut.

Ada isak tangis lepas dari gadis itu lalu berkata, "a-aku diperkosa."

Hiashi terbelalak. Kabar itu membuat hatinya hancur secara telak. Gadis yang ia jaga selama delapanbelas tahun begitu saja rusak. Apakah Kami-sama sedang memberikan cobaan yang sulit ia elak?

"Siapa si brengsek itu yang tega memerkosamu, Hinata?" tuntut Hiashi.

Hinata tergugu. Jujur, si gadis bahkan tak tahu nama si pemerkosa itu. Kejadian paling membuat hidupnya tak pernah luput dari rasa malu. Satu-satunya bukti bahwa kejadian pemerkosaan itu nyata adalah janin yang sedang bergelung dalam rahimnya; menunggu.

Memori itu terpaksa ia putar kembali. Meski susah payah ia tak ingin mengingat kejadian keji. Satu hal dari kejadian itu : lelaki itu memiliki warna mata sehitam malam yang seolah meratap pilu dan rambut berantakan senada dengan irisnya. Begitu kelam.

Hiashi gundah. Nama baik dan nasib perusahaannya terancam goyah. Para pesaingnya pasti akan merasa ini adalah kabar yang luar biasa hebat. Keresahan semakin memdera. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan. Hinata bersedia menggugurkan kandungannya atau menikah dengan orang yang dipilih Hiashi; suka atau tidak.

Hiashi beranjak dari sofa tempat tidur Hinata. Frustrasi membuatnya nyaris hilang kendali. Hampir saja Hinata kena pukul jika saja Hiashi tak ingat kalau ada satu nyawa lagi yang sedang mendekam dalam rahim putrinya.

Mata pria itu mengedar ke meja belajar milik putrinya. Buku-buku mengenai seni tertumpuk rapi di dalam rak. Hati si tua itu semakin perih. Ia mengabulkan harapan Hinata untuk menjadi seorang seniman—mengabaikan keinginan sang ayah yang mengharapkan putrinya melanjutkan perusahaan yang sedang sukses. Tapi kini hanya tersisa kekecewaan mendalam. Lelaki itu dikhianati oleh darah dagingnya sendiri.

"Ampuni aku, Ayah." Hinata kembali terisak.

BAB 1

Dua orang lelaki berkemeja hitam berdiri diam ketika pelayat satu persatu meninggalkan area pemakaman elit Oak Hill di daerah Washington DC . Mata kedua lelaki itu sarat misteri yang tak mampu terpecahkan. Keduanya hanya membisu ketika para pelayat menyentuh bahu mereka sambil menggumamkan ucapan belasungkawa. Hanya sekali dua kali saja anggukan muncul dari mereka.

Makam indah dengan batuan marmer berwarna hitam legam yang masih baru dan mahal itu dinaungi sebuah bangunan berkanopi megah. Belum lagi ukiran nama yang ada di makam itu terbuat dari emas mengkilap asli 24 karat. Tidak hanya ada satu makam baru di situ, melainkan dua sekaligus. Sebuah kemegahan yang tidak tanggung-tanggung untuk sebuah makam—tempat bagi mereka yang tak lagi bernyawa. Ukiran pada 8 pilar besar penopang penting pada bangunan itu rumit sehingga menambah kesan bahwa pemilik makam itu adalah orang yang berada.

Keluarga Uchiha memang orang berada. Mereka adalah orang keturunan Jepang-Amerika yang berhasil menjadi pebisnis di dunia. Perusahaan mereka merajai berbagai bidang industri; IT, pangan, persenjataan, kosmetik, bahkan kesehatan. Kecerdikan dan kelicikan Uchiha diimbangi dengan sikap misterius namun penuh kesombongan, melengkapi daftar lengkap sosok kelam tapi dipuja banyak orang.

Hari ini, bahkan di hari kematian pemilik Uchiha Corporation itu, kedua putranya mewarisi kesan dingin seorang Fugaku. Itachi, si sulung bersurai panjang sekali-kali tersenyum pada pelayat demi menghormati relasi bisnis yang sudah terbentuk. Sedangkan si bungsu, yang baru saja tiba dari Jepang kemarin malam, memandang tanpa ekspresi pada kedua makam itu. Ya, dua makam sekaligus. Kedua orang tua mereka terbunuh secara nahas tiga hari yang lalu oleh kelompok pesaing perusahaan Uchiha.

"Tersenyumlah sedikit, Sasuke," gumam Itachi dari sudut bibirnya.

Sasuke tidak membalas ucapan kakaknya dan memilih diam. Ada titik penyesalan pada diri lelaki bungsu itu untuk menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya harus meninggal dalam keadaan mengenaskan. Luka tembak tepat di kepala? Demi Tuhan, ia akan membalas dalang di balik pembunuhan ini.

Ketika upacara pemakaman selesai dan semua orang sudah kembali pada kesibukan masing-masing, kedua pewaris Uchiha itu sedang menatap satu sama lain dalam keheningan di ruang keluarga. Ruang itu sepi meski selalu begitu. Hanya saja, rasa dingin yang tidak mengenakkan menjalar tiap sisi mansion bergaya victoria itu tatkala pemiliknya semakin berkurang.

"Kau akan tetap melanjutkan studimu di Tokyo?" tanya Itachi sembari menyesap teh hijau yang masih mengepulkan asap. Sebagai seorang kakak, Itachi telah dilimpahi tugas yang begitu besar; meneruskan perusahaan raksasa Uchiha, tentu saja.

Sasuke bergeming. Matanya menatap bacaan bisnis yang menjadi favoritnya kala bosan. Ia merasa bahwa pembicaraan yang jarang terjadi bersama kakaknya ini hanyalah basa-basi.

"Sasuke," nada suara Itachi menajam. Menjadi ciri khas bahwa seorang Uchiha tidak sudi diabaikan. Meski Itachi lebih lunak dan ramah dibanding Sasuke, bagaimanapun Itachi memiliki darah Uchiha. Ada kesan arogan dan tidak ingin dibantah dari dirinya meski lelaki itu mampu mengontrol diri dengan baik.

Sasuke terpancing. Tentu saja, ia tidak ingin terlibat pertengkaran kecil-kecilan apalagi saat itu belum genap satu hari orang tua mereka dimakamkan. "Tidak," jawabnya pendek.

"Apa kau akan melanjutkannya di sini?" Itachi kembali bersuara.

"Ya."

Itachi mengembuskan napas yang terasa berat. Relasinya dengan sang adik tidak begitu baik. Ya, ia tahu alasannya. Pilihan hidup dan hasrat lelaki itu tidak menunjang kebutuhan seorang keluarga Uchiha. Menjadi seorang pebisnis handal, Itachi dituntut untuk mampu menjadi penerus. Namun, hasrat terpendam dalam hatinya tidak membawa lelaki berambut panjang itu pada pilihan bisnis sebagai karir. Ia ingin mendalami seni lukis yang sejak kecil digemari. Menuangkan segala rasa dalam gambar adalah jalan Itachi untuk mendamaikan dirinya dengan sang ayah yang terus menentang keinginannya menjadi seorang seniman. Dan karena sisi keras kepala seorang Uchiha Itachi ingin menjadi seorang seniman, Sasuke mengorbankan diri—secara paksa—untuk menjadi tumbal penerus perusahaan Uchiha.

"Aku akan membantu perpindahanmu dari Universitas Tokyo ke Washington University. Universitas itu sangat bagus di sini dan cukup dekat dari rumah kita," saran Itachi yang hanya dibalas dengusan keras dari sang adik.

"Aku sudah mengurus semuanya," kata Sasuke datar. Ia bangkit berdiri hendak menuju ke kamarnya. "Kau ... lanjutkan saja mimpimu menjadi seniman. Dan biarkan aku yang bekerja."

Itachi memperhatikan adiknya yang menaiki tangga tanpa kembali menoleh. Ada rasa penyesalan dalam diri Itachi. Ia ingin menolong adiknya dari semua beban yang tidak terduga ini. Mimpi adiknya meneruskan kuliah di Tokyo kandas. Jujur saja, Itachi tidak paham mengapa adiknya begitu ingin meneruskan kuliah di Tokyo ketika ayah memutuskan Sasuke harus melanjutkan studinya pada jurusan bisnis. Saat itu Sasuke mengajukan syarat bahwa Tokyo menjadi pilihan finalnya. Itachi hanya bisa menduga bahwa Sasuke ingin pergi jauh saat semua orang, bahkan termasuk Itachi, memaksa anak lelaki berusia 18 tahun memilih program jurusan yang tidak dikehendaki. Sejak awal, adiknya telah mendapat takdir yang ditentukan bukan dari pilihan hati melainkan paksaan. Dan Itachi adalah salah seorang yang menjadi penyebab Sasuke berubah menjadi lebih dingin dan mengerikan.

Tokyo, waktu yang bersamaan.

"Apa lelaki ini yang menghamilimu?" Hiashi kembali meletupkan amarah saat sebuah potret lelaki jatuh dari balik figura foto Hinata dan Hanabi saat berlibur di Hokaido. Pria dalam potret itu tersenyum ceria sambil menampilkan deretan gigi. Ada beberapa berkas garis yang mencuat di sepanjang pipinya.

Hinata terkejut dan segera merebut foto yang sedang dipegang ayahnya namun gagal.

"Jawab aku, Hinata, atau aku akan menjebloskan dia ke penjara bagaimanapun caranya," ancam Hiashi yang sudah tersulut emosi sejak awal.

"Bukan, ayah," cicit Hinata pelan. "Ia tidak memperkosaku."

"Jangan coba-coba melindungi siapapun! Kau sudah mencoreng nama baik Hyuuga!"

"Aku jujur, ayah. Dia bukan pelakunya." Hinata menundukkan kepala dalam-dalam. Kontak mata dengan ayahnya hanya akan menambah luka batin.

Garis dua pada tes cek kehamilan sudah membuktikan ketakutan Hinata selama ini. Kejadian satu bulan lalu sungguh membuatnya frustrasi. Ia tidak menyangka bahwa akan berakhir seperti ini.

"Hinata," suara Hiashi kini melembut. Namun itu malah membuat Hinata semakin takut karena rasa bersalah. Ayahnya adalah sosok yang baik. Beliau tidak memaksanya untuk meneruskan sekolah sesuai dengan usaha yang dijalankan keluarga. Hyuuga Corporation yang bergerak di bidang IT adalah perusahaan ternama di Jepang. Hiashi tidak memaksa Hinata untuk menggeluti dunia IT maupun bisnis. Sang ayah mengizinkannya untuk mengambil apapun yang menjadi mimpi gadis itu dan sekarang, ia ternoda karena lelaki brengsek yang sekarang entah di mana.

"Maafkan aku, Ayah," Hinata kembali menggumam. Tetesan airmata tak kunjung berhenti dari pelupuk mata gadis itu. Rasa bersalahnya jauh lebih menguasai benaknya.

Hiashi berjalan mendekati putrinya yang meringkuk di sudut tempat tidur. Dibawanya tubuh rapuh Hinata itu dalam pelukan. Ia tahu bahwa luka yang diakibatkan keteledoran Hinata bagi lelaki tua itu sulit untuk sembuh namun rasa cinta pada putrinya mengalahkan semuanya. Ia tidak ingin putrinya hidup dalam caci maki sebagai seorang istri yang mengandung tanpa suami. Hiashi harus berbuat sesuatu. Dari potret yang sedang ia pegang, terlintas sebuah pemikiran yang mungkin akan membantu sang putri. Bukankah jika seorang perempuan menyimpan potret lelaki itu artinya si gadis menyukainya? Hiashi akan mencari tahu siapa nama lelaki itu bahkan kalau bisa, Hiashi ingin Hinata menikah dengannya.

"Sakura!" Naruto berlari menuju gadis yang sedang kesusahan membawa setumpuk berkas materi ujian skripsinya. Napas Naruto masih terengah-engah ketika langkahnya sejajar dengan gadis manis itu.

"Jangan ganggu aku!" sergah Sakura. "Aku sedang sibuk mengejar gelar sarjana hukumku!"

Bukannya mendapat sapaan, Naruto malah mendapat teriakan mengancam. Namun, bukan Naruto namanya jika lelaki berparas ganteng itu menyerah dengan mudah. Ketika melihat beberapa berkas bawaan Sakura berjatuhan, dengan sigap Naruto meraih berkas itu dan membantu Sakura membawakannya.

"Kau akan selalu membutuhkan bantuanku, Sakura!" ucap Naruto girang.

Sakura hanya memutar bola matanya kesal. Naruto memang temannya sejak kecil. Orang tua mereka adalah kawan baik. Rumah mereka bahkan bersebelahan. Hanya saja, Sakura sering dibuat jengkel karena ulah Naruto yang kelewat protektif pada dirinya. Belum lagi sifat bodoh lelaki berambut kuning itu, jelas-jelas Naruto harus malu jika lumba-lumba yang ada di sea world jauh lebih cerdas darinya.

Ketika mereka hendak menuju ruang sidang Sakura, sepintas gadis itu terhenyak. Indera penciumannya membau aftershave milik seseorang yang begitu ia kenal; bebauan antara citrus dan mint. Bebauan yang mampu membuat konsentrasinya pada sidang buyar. Sial! Batinnya mulai mengutuk. Ini bukan waktu yang tepat bagi gadis itu untuk terbuai rasa semu bernama daya pikat. Pemilik wangi ini adalah sosok yang Sakura doakan setiap hari kelak menjadi pendamping hidupnya. Dan perempuan itu berharap sidang kali ini akan menuntaskan segala hambatan untuk terbebas dari belenggu kuliah! Setelah semua urusan pelajaran ini selesai, Sakura akan mengikuti kemanapun pemilik aroma ini pergi.

"Sakura," panggil Naruto yang terheran melihat raga Sakura membeku seketika. "Kau baik-baik saja? Memang rasa gugup itu ada menjelang ujian tapi tenanglah, aku akan menemanimu hingga usai. Hari ini aku bolos kuliah untukmu." Tangan kekar Naruto menyentuh bahu Sakura sebagai bentuk dorongan dan semangat. Tapi Sakura malah menepisnya. Naruto begitu maklum pada sikap gadis kesayangannya itu. Masa-masa menjelang sidang akhir skripsi membuat siapa saja berubah menjadi singa betina yang baru melahirkan—galak luar biasa.

"Bisakah kau berhenti bersikap seperti ini?" Sakura berkata pelan sambil mengusap keningnya. Pikirannya menjadi kacau hanya karena bau khas milik seseorang yang ia kasihi. Efek mengerikan ini malah muncul di waktu yang tidak tepat. Sakura membatin sedih.

Naruto tersenyum. Meski Sakura menolaknya berkali-kali, lelaki itu tetap saja setia menanti perempuan itu. Dalam hati ia berjanji akan melindungi si mata hijau cerah itu selamanya. Ia akan menghajar siapa saja yang tega menyakiti hati perempuan kesayangannya itu.

"Kau perlu membunuhku tujuh kali tujuh puluh tujuh kali untuk membuatku tidak bersikap seperti ini padamu," ujar Naruto sambil menunjukkan senyum lebar dan menampilkan sederetan gigi putih. Matanya nyaris tenggelam karena kedua tulang pipinya yang menonjol.

Sakura memandang Naruto dengan perasaan sebal. Lelaki yang sedang sibuk membawa berkas skripsinya itu memang tidak akan pernah menyerah. Berulang kali gadis itu berkata bahwa ia tidak mencintai keturunan Uzumaki itu tapi sifat bibi Kushina yang keras kepala sepertinya menjadi bukti bahwa orang yang memiliki surai kuning itu adalah putra kandungnya. Naruto menjadi orang yang tidak mudah menyerah.

"Kau bisa menungguku di sini saja kalau begitu," Sakura menyerah. Ia mengambil berkas dari tangan Naruto dan berjalan menuju ruang sidang tak jauh dari lokasi Naruto menunggu.

"Semoga berhasil, Sakura!" Naruto berkata setengah berteriak pada Sakura yang hendak masuk ke ruang.

Sakura tidak menoleh sedikitpun pada orang yang meneriakinya. Dalam hati ia hanya berharap Sasukelah yang memberinya semangat.

Naruto mengambil tempat duduk di lantai yang menghadap taman kampus Tokyo University. Posisi duduknya membelakangi selasar. Kedua kakinya menggantung ketika ia duduk di tepi lantai dari bangunan yang cukup tinggi. Ia bersenandung pelan sambil sesekali membuka ponsel pintarnya yang terhitung ketinggalan zaman. Menurutnya, ponsel tidaklah harus mewah. Asal masih bisa kaugunakan ponsel itu untuk menelepon; mengirim pesan; dan berselancar di dunia semu internet, itu sudah cukup.

"Na-naruto-kun," panggil seseorang dari balik bahunya.

Naruto tidak merasa sulit untuk mengidentifikasi suara yang sedang memanggil namanya. Hanya satu orang yang selalu berbicara dalam keadaan terbata itu padanya. Gadis manis sekaligus temannya sejak sekolah menengah atas dan kini masuk dalam satu universitas. Hinata Hyuuga.

Naruto menolehkan kepala dan sedikit terkejut bahwa Hinata bersama sosok lelaki setengah baya yang memandang ke arah Naruto penuh tatapan intimidasi.

"Se-selamat pagi, Naruto," sapa Hinata. Suaranya serak karena efek menangis kemarin dan juga keberadaan ayahnya yang kini menatap lelaki bermata biru langit itu.

"Selamat pagi, Uzumaki-san," sapa Hiashi dengan suara tenang namun penuh selidik. Matanya secara sepintas memeriksa fisik Naruto. Naruto yang sadar akan kehadiran Hiashi langsung berdiri dan memberi hormat dengan membungkukkan badan.

"Se-selamat pagi, Hyuuga-sama," kata lelaki Uzumaki itu.

"Uzumaki-san, bisakah kita bicara berdua saja?" pinta Hiashi yang mengejutkan tidak hanya bagi Naruto tapi juga Hinata.

"Ayah, bukankah harus ada aku yang—" Hiashi segera menyela anak gadisnya.

"Kita bisa mengobrolkan hal yang penting selagi Hinata mengikuti perkuliahannya. Ini sesuatu yang penting. Kuharap kau ada waktu," kata Hiashi. Ada kesan paksaan dalam setiap intonasinya.

Naruto meneguk salivanya. Apa yang akan ayah Hinata bicarakan?

...

Di sebuah restoran kelas VIP, Hiashi duduk sambil menyesap kopi hitam pekatnya dan melirik sekilas sosok lelaki yang kini juga duduk. Hanya saja, pria yang ada di hadapannya terlihat begitu canggung dan ada rasa tidak nyaman dalam mata birunya itu tatkala bertemu dengan iris ametis Hiashi.

"Aku mengundangmu untuk melakukan sesuatu yang penting," Hiashi memulai. Ia sengaja menyimpan kejutan itu terakhir agar Naruto memperhatikannya sejak awal.

Naruto memandang dengan gugup wajah Hiashi. "Dan apakah hal penting itu, Hiashi-sama?" tatapan intens pemilik perusahaan IT terkenal di Jepang tentu membuat detak jantung Naruto tidak keruan.

"Aku ingin kau menikahi Hinata," Hiashi berkata pelan namun tegas dan berhasil membuat rahang Naruto seakan membentur lantai karena terkejut.

Ini keinginan gila!

Bersambung

Catatan penulis :

Saya menggunakan pair Sasuke-Hinata dalam cerita ini. Terimakasih telah membaca.