Disclaimer : Naruto bukanlah milikku. Seandainya iya, ia tidak akan kuberikan pada siapapun.

Peringatan : J.J sedang menghantuimu; menebarkan hawa gelisah, marah, muak, merana, dan sengsara setiap kali ceritanya terunggah.

Bab 1

"Gadis pemalu?" Naruto menelengkan kepalanya dan melihat seorang gadis sedang menundukkan kepalanya di sudut ruang kelas lab biologi. "Aku sama sekali tidak tertarik," ujarnya kepada Kiba setelah menggerakkan lagi kepalanya menatap mikroskop yang ada di hadapannya.

Gadis itu mendengar komentar Naruto mengenai dirinya. Naruto memang tidak akan tertarik padaku.

"Kupikir dia cukup seksi, Naruto," Kiba berkomentar lagi. Matanya mencuri-lihat Hinata yang sekarang sudah sibuk dengan preparat bawang putih mengenai pembelahan sel.

Naruto hanya menggumam sambil terus mengamati preparatnya di bawah mikroskop. Sebelah tangannya sibuk menulis dan menggambar. "Anafase," gumamnya setelah sejenak mengamati hasil gambar obyek pekerjaannya. "Sekarang giliranmu, Kiba," perintah Naruto setelah mengganti preparatnya dengan yang lain.

Kiba memutar matanya kesal. Berbicara mengenai kisah romansa pada Naruto adalah hal yang sia-sia. Tidak pernah sekalipun terdengar Naruto melepas predikat penyendirinya selama ini. Hanya ada Kiba, Shikamaru, dan Sasuke saja yang menjadi temannya. Bukan karena Naruto adalah gay, lelaki bermata biru itu hanya menganggap relasi yang dibumbui romansa itu cukup membuang waktu. Pikiran lelaki itu selalu berakhir pada sebuah kesimpulan bahwa berpacaran dengan perempuan pada hakikatnya hanya untuk mendapatkan kontak fisik. Jika memang demikian, Naruto memilih jalan untuk menikmati fisik perempuan tanpa harus melalui tahap pacaran.

Kiba mengamati mikroskop yang disodorkan Naruto. "Profase," kata Kiba.

Naruto mengernyit sejenak lalu cepat-cepat meraih mikroskopnya kembali dan mengamati sekali lagi. "Ini metafase, idiot," kata Naruto kesal.

"Terserah kau."

Bosan dengan Naruto yang terlalu serius dengan pelajaran, Kiba hendak mendatangi Hinata yang sedang bekerja sendirian. Gadis itu memang selalu sendiri. Tidak ada satu orang pun yang berniat menjadi partnernya dalam mengerjakan kegiatan laboratorium—bahkan nyaris semua kegiatan yang melibatkan kelompok. Gadis itu terlalu pendiam untuk ukuran seorang perempuan.

Kiba menengok hasil laporan lab Hinata. Tulisan tangannya rapi. Gambarnya pubagus, sangat realistis. "Kau sudah selesai, Hinata-chan?"

Hinata yang semula sedang mengamati preparat dengan mikroskop langsung mendongak. Gerak refleksnya sangat bagus hingga menyebabkan gadis itu mundur selangkah menjauhi Kiba. Kiba yang melihat gerakan gadis itu sedikit sakit hati. Tetapi lelaki itu maklum akan sikap Hinata. Perempuan kalem itu begitu tertutup.

"Se-sedikit lagi," jawab Hinata terbata. Ini adalah kebiasaan Hinata setiap kali berbicara dengan orang lain. Kemampuannya dalam mengolah verbal begitu buruk. Semua itu terlihat wajar bagi gadis yang sudah tidak lagi memiliki ibu sejak usianya lima tahun.

Ayah Hinata, Hyuuga Hiashi, adalah seorang pengacara kondang yang luar biasa sibuk. Hinata hanya memiliki satu orang saudari kandung yang tabiatnya begitu berbeda dengan Hinata. Hanabi,adik Hinata, mewarisi seluruh gen milik ayahnya yang pintar mengatur strategi dan pandai berbicara. Sedangkan Hinata, gadis itu luar biasa pemalu. Satu bukti bahwa Hinata adalah reinkarnasi ibunya yang juga seperti itu.

"Naruto!" Kiba memanggil lelaki dengan garis pada kedua pipinya itu cukup keras sehingga membuat beberapa siswa menoleh termasuk guru Iruka yang baru menilai hasil laporan kelas lain.

"Ada apa, Kiba?" guru Iruka memberikan pandangan yang terganggu.

"Maaf, Sensei, Hinata sepertinya membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan pengamatannya. Aku sendiri juga kurang mengerti. Karena itu, aku meminta Naruto untuk membantu Hinata," jelas Kiba diiringi senyum tidak bersalahnya.

Naruto yang mendengar namanya dipanggil langsung menekuk wajahnya kesal. Berani sekali Kiba menyuruhnya untuk membantu gadis itu? Hyuuga itu bisa melakukannya sendiri!

Di sisi lain, Hinata nyaris saja memekik karena Kiba memanggil nama Naruto. Degup jantung perempuan itu mulai tidak terkendali. Kondisi seperti ini merupakan hal yang istimewa. Naruto tidak pernah sekalipun mendekati Hinata. Bahkan menyadari keberadaan gadis itu pun Naruto tidak pernah tahu.

Guru Iruka menatap Hinata yang sedari tadi menunduk. Wajah gadis itu tertutup poni rata meski rambut panjang Hinata sudah dikuncir kuda karena rambutnya yang panjangnya lebih dari sebahu—aturan umum dalam kegiatan laboratorium. "Naruto," panggil guru Iruka, "Bantu Hinata."

Naruto memberikan tatapan membunuh pada Kiba yang berjalan santai ke meja kerja semula dengan seringai jahil ke arah Naruto.

Brengsek dia! Naruto hanya mampu membatin dan berjalan dengan enggan ke meja kerja lab Hinata. Hinata dengan sigap mundur sejauh mungkin dari aura mematikan Naruto yang sedang kesal. "Apa yang kurang?" tanya Naruto datar—nyaris membentak, sebetulnya.

Hinata terlonjak mendengar ketidaknyamanan dalam suara Naruto. "Uhm, a-aku ti-tinggal du-dua preparat la-lagi, Naruto-kun."

"Bawa kemari," perintah Naruto. Hinata bergeming ketakutan pada Naruto. Naruto yang melihat Hinata hanya diam saja menjadi semakin kesal. "Kubilang bawa kemari preparatnya!" suara Naruto tetap dalam keadaan wajar. Hanya intonasinya itu sanggup membuat siswi yang berada di sebelah meja kerja lab Hinata langsung bergidik ngeri sekaligus ditimpa tatapan mengerikan dari siswa paling brilian di sekolah menengah atas itu. Lalu bagaimana dengan Hinata, oh, jangan heran! Kedua kaki gadis itu sudah kesulitan untuk mempertahankan posisi berdirinya. Getaran karena rasa takut pada gadis itu sangat kentara.

Hinata menyodorkan kaca preparat yang terdapat irisan bawang merah ke tangan Naruto. Naruto merebutnya tanpa ucapan terimakasih. Ada jeda sejenak dalam keheningan karena Naruto sibuk mengamati preparat itu. Terimakasih pada Kami-sama karena Hinata memiliki waktu untuk menenangkan detak jantungnya yang menggila.

"Telofase," kata Naruto dan mengganti preparat dengan yang lain. "Metafase." Setelah selesai, Naruto langsung bergegas kembali ke meja kerjanya padahal Hinata belum selesai menulis hasil pengamatan Naruto.

"Terimakasih, Naruto-kun," gumam gadis itu pelan. Ia yakin tidak ada satu orang pun yang bisa mendengar ucapan itu.

"Kau tidak ada ekstra, Teme?" tanya Naruto pada Sasuke yang sibuk meletakkan sejumlah buku pelajaran.

Naruto dan Sasuke adalah sahabat sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Kurang dari tiga bulan, mereka akan resmi selesai mengeyam pendidikan SMA. Dua orang itu adalah kebanggan sekolah Konohagakure. Selain cerdas dalam bidang akademik, mereka juga mumpuni dalam berbagai bidang olahraga. Hanya sifat mereka saja yang menjadi sisi negatif. Sasuke adalah seorang yang suka bergonta-ganti pacar. Lalu, Naruto, tidak pernah ada kabar bahwa lelaki itu pernah menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Menurut rumor yang beredar, Naruto dianggap seorang penyuka lelaki. Lelaki itu tidak peduli pada kata orang. Ia malah merasa bersyukur karena dengan rumor itu, ia tidak akan digosipkan dengan perempuan manapun.

Sasuke menggeleng.

Mereka tidak lagi banyak bicara setelah itu. Dua orang itu memang memiliki sifat yang hampir mirip—semenjak mereka duduk di bangku SMA. Ya, Sasuke adalah sosok pendiam dan dingin yang sejati. Tetapi Naruto tidak. Masa kecil lelaki itu tidaklah sekejam apa yang dilakukannya hari ini pada Hinata. Naruto adalah pribadi ceria dan murah senyum hingga menjelang kelulusan sekolah menengah pertama. Semua senyum dan keceriaan itu hilang seiring kematian kedua orang tuanya dalam kecelakaan mobil tunggal. Saat itu mereka dalam perjalanan untuk liburan akhir tahun. Ketika dalam perjalanan, rem mobil yang dikendarai Minato blong dan mobil mereka masuk ke jurang. Hanya Naruto yang selamat dari kecelakaan itu karena terlempar keluar dan tubuhnya tertahan pada ranting pohon sehingga mencegah bocah kecil itu menghantam bebatuan dasar jurang. Nahas, raga kedua orangtuanya hancur dalam ledakan mobil. Naruto kecil melihat semuanya. Detik-detik di mana Kushina—ibunya—mencoba keluar dari mobil namun terlambat. Api segera melalap mobil itu diikuti suara ledakan cukup keras.

Saat ini Naruto hidup sendiri. Beruntungnya lelaki itu adalah Minato merupakan pemilik perusahaan penting di Jepang. Kedudukan Minato sebagai presiden direktur paska kecelakaan itu sementara diisi oleh kepercayaan lelaki yang sama persis seperti Naruto itu oleh kakak perempuannya Tsunade. Narut akan secara resmi menggantikan posisi Tsunade ketika lelaki itu memasuki usia matang setelah meyelesaikan studi kuliahnya.

Setelah meletakkan sejumlah buku pelajaran hari ini dalam lokernya, Naruto melangkah untuk segera pulang. Pelajaran hari ini cukup menguras emosinya. Kiba berkali-kali mengerjainya dengan mendekatkan pria bersurai kuning itu pada sejumlah wanita. Pada blok pertama pelajaran bahasa inggris, lelaki yang selalu berbau anjing itu berpura-pura memanggil Naruto untuk meminta bantuan tentang pekerjaan rumah. Nyatanya, Kiba berencana mendekatkan Naruto pada Ino. Tentu saja Naruto langsung berbalik setelah tahu niat busuk Kiba. Pada blok kedua Kiba belum menyerah. Lelaki itu berpura-pura tersandung saat pelajaran olahraga lari. Naruto dan Sasuke yang panik bergegas meraih lengan Kiba. Niat busuk Kiba tercium saat Sakura datang untuk mengobatinya. Menyisakan Naruto, Kiba, dan Sakura. Sasuke saat itu sudah kembali ke lapangan karena dipanggil oleh guru Gay. Dan yang paling membuat Naruto muak adalah pada blok terakhir kegiatan laboratorium. Kiba nyaris membuatnya hilang kontrol pada Hinata yang pendiam.

Hari ini Naruto berniat menghabiskan sorenya di dalam kamar sembari bermain video game favoritnya : call of duty ditemani semangkuk—tidak, ini jelas tidak cukup—ramen yang super lezat.

"Sampai bertemu besok, Teme," pamit Naruto dan hanya dibalas 'Hn' dari sang empunya rambut raven.

Jarak antara sekolah dan rumah Naruto tidak begitu jauh sehingga lelaki itu rutin berjalan kaki. Kebiasaan mendengarkan musik melalui earphone masih melekat hingga saat ini. Sejumlah penyanyi dari luar negeri melantunkan lagu-lagu jazz yang menjadi genre favorit Uzumaki tersebut. Tanpa ia sadari, ada seorang gadis yang selalu setia mengikuti langkah kaki Naruto tiap kali waktu pulang sekolah. Gadis itu akan memberi jarak cukup jauh agar Naruto tidak pernah menyadari keberadaannya.

Gadis itu sudah cukup senang memandangi punggung yang tegak itu. Punggung yang selalu ia lihat setiap sore hari saat perjalanan pulang. Punggung yang sudah ia kenal sejak nyaris enam tahun lalu. Ia tidak pernah berani melangkah lebih dekat karena Naruto sangat menghindari kaum hawa. Ia takut malah membuat Naruto menjauh darinya dan hal yang paling ia tunggu-tunggu yaitu melihat punggung Naruto itu tidak akan pernah datang. Seperti ini sudah cukup bagiku. Batin gadis itu menguntai kata-kata membahagiakan. Ya, Hinata menyukai cara ini.

Tepat pada sebuah perempatan, Naruto berhenti cukup lama menunggu lampu lalu lintas. Dari kejauhan, Hinata memberanikan diri berjalan lebih dekat. Ia selalu begitu jika melihat Naruto berhenti sejenak. Lagipula akan ada beberapa pejalan kaki yang juga akan menyeberang.

Tinggal beberapa meter lagi.

Sedikit lagi, Hinata.

Dua meter.

Naruto masih sibuk mendengarkan musik dari earphonenya.

Lampu lalu lintas dari merah berubah menjadi hijau untuk pejalan kaki. Naruto melangkah pelan diikuti Hinata yang tepat di belakangnya. Dan Hinata menyadari sesuatu. Ada sebuah mobil sedan berwarna merah yang melaju cukup kencang dari arah kanan mereka—bukan, tepat menuju arah Naruto.

Naruto, lihat kananmu! Hinata mulai menjerit. Mobil itu membunyikan klakson berkali-kali tentu saja Naruto tidak bisa mendengar. Kaki perempuan itu secara refleks maju sebelum sedan tadi menghantam tubuh Naruto. Sebuah tangan mungil mendorong tubuh Naruto yang jauh lebih besar. Tubuh mereka berdua ambruk beberapa meter menuju seberang jalan. Mobil sedan tadi langsung tancap gas tanpa memedulikan bahwa ada dua siswa yang terkapar.

Naruto terkejut setengah mati. Bagian siku tangan kirinya lecet. "Apa yang kau laku—" Kata-kata lelaki itu terhenti setelah melihat orang yang mendorongnya itu terlempar beberapa meter darinya. Tubuh penyelamat itu berambut panjang dan berwarna gelap. Sepertinya ia begitu kesusahan untuk bangun. Mata Naruto semakin terbelalak tatkala melihat ada beberapa cairan berwarna merah kental menuruni dahi penyelematnya yang ternyata ... "Hyuuga."

Bersambung

Catatan penulis :

Saya menggunakan pairing Naruto-Hinata di cerita ini. Terimakasih sudah membaca.