"Since the day you appeared in front of me

I've seen almost everything differently

The dawn, light, tears, or even a singin voice, you gave brilliance to all of them

I'll place these irreverssible feelings on my voice and send it to the faraway town where you are

If this was such a song, we'd be connected, no matter where we were."

Naruto terpaku mendengarkan Gaara yang bernyanyi dengan diiringi oleh gitar miliknya. Suara berat namun terkesan lembut itu tanpa sadar membuat Naruto menitikan air mata. Seolah-olah dia terbawa lagu itu dan ikut menghayatinya.

"Kau baik-baik saja?"

"E-eh?!" Naruto terlonjak kaget dan buru-buru menyeka air matanya yang jatuh membasahi pipinya. Entah mengapa lagu itu terdengar sangat menyedihkan baginya.

"S-suara Gaara-senpai bagus sekali! A-aku sampai terbawa suasana. Hahaha..."

Gaara menatap Naruto yang tengah tertawa canggung di depannya. Gadis itu menangis?

"Kau orang kedua yang menangis karena lagu ini."

"Kedua?" Naruto membeo dengan wajah penuh tanya. "Memangnya siapa yang pertama?"

"Ibuku."

"Ahh...itu karena Gaara-senpai begitu menghayati lagunya. Semua orang yang mendengarnya pasti juga akan menagis sepertiku. Apa Gaara-senpai sering menyanyi untuk ibu senpai?"

Gaara menggeleng. Dia menatap gitarnya yang nampak sangat terawat meskipun gitar itu sudah layak untuk disebut sebagai gitar tua. Nampaknya siswa bersurai merah itu selalu membawa gitar itu kemanapun dia pergi.

"Tidak. Dan tidak pernah lagi. Dia sudah meninggal 2 tahun yang lalu dan gitar ini adalah kado ulang tahun terakhir yang kuterima darinya."

Wajah berbinar Naruto tergantikan dengan wajah sedih. Ternyata Gaara mempunyai persamaan nasib dengannya. Dia pikir, Gaara hanyalah sosok pemuda pendiam dan antisosial yang cukup misterius baginya.

"Maafkan aku...aku tidak berniat mengungkap kesedihan Gaara-senpai."

Gaara tersenyum tipis. Suatu moment langka yang membuat Naruto terpukau sesaat.

"Naruto..."

"Umm, nani?"

Gaara terdiam melihat wajah Naruto yang berada tepat di depannya. Entah sejak kapan dia bisa seterbuka ini dengan orang lain selain ibunya. Dan dia tidak tahu sejak kapan dia merasa senyaman ini dengan gadis yang sebenarnya cukup berisik itu. Padahal dia sendiri mendeklarasikan dirinya sebagai instrumen pecinta keheningan yang kerap kali menghindari keramaian. Dan perasaan yang menurutnya aneh itu kini malah membuat jantungnya ingin meledak bagaikan meteor.

.

.

.

.

Geinojin to Kaichou-sama

NARUTO belongs to Masashi Kishimoto

Story by Kuroi Sora18

Main Pair : SasuFem!Naru

Rated : T

Warning!

Fem!Naru/typo menjamur/alur kecepetan/absurd/ update ngaret/ maybe OOC/

Summary : Masa SMPnya telah berakhir! Saat dipuncak karirnya, Namikaze Naruto -artis muda berbakat itu harus vacum?!Menjalani hari-harinya di sekolah elit semacam St. Mangekyo membuatnya merana! Pertemuan gilanya dengan ketua dewan sekolah membuat trio anggota SFC dan seisi sekolah jadi heboh! Ada apakah?

.

.

.

.

author proudly present

GEINOJIN TO KAICHOU-SAMA

Chapter 8

.

.

.

Sasuke berjalan sendiri di tengah kerumunan pengunjung festival. Di tangannya masih ada okonomiyaki yang belum sempat Naruto makan sama sekali. Mengingat kejadian tadi mau tak mau harus Sasuke akui jika itu membuatnya sangat kesal. Bagaimana bisa Naruto mengabaikannya begitu saja hanya dengan melihat sosok Gaara lewat di depan mereka? Sial! Sasuke terus-terusan merancau di dalam hati. Dan sejak kapan keduanya bisa sedekat itu? Setaunya, Gaara adalah tipe orang yang tidak mudah bergaul seperti dirinya. Pada kasus ini, bahkan Gaara-lah paling parah dibanding dirinya. Setidaknya Sasuke masih ada beberapa teman yang dekat dengannya Neji, Shikamaru atau Suigetsu misalnya.

"Yare yare~ ternyata usaha kita membuat Suke dan Naru-chan berduaan jadi gagal!" ujar Mikoto dengan wajah lesu. Itachi yang mengamati Sasuke dari kejauhan hanya bisa menghela napas. Nampaknya ini jadi repot karena terlihat sekali jika Naruto sama sekali tidak menyukai Sasuke. Lalu apa alasan mereka menerima perjodohan itu? Apa karena terpaksa? Ahh...mengingat respon Naruto waktu itu, jelas sekali jika gadis itu sama sekali tidak menyukai perjodohan itu.

"Tachi! Iiitachi!"

"Y-ya, Kaa-sama?" jawab Itachi gugup. Begitu menoleh, ibunya sudah memasang wajah sebal karena ocehannya sama sekali tak didengar oleh anaknya.

"Aku tanya, siapa anak laki-laki berambut merah yang tadi bersama Naru-chan?"

Itachi terdiam. Anak berambut merah itu adalah yang anak yang kemungkinan Naruto sukai.

"Aku tidak tahu, Kaa-sama. Tapi, tato di dahinya itu...bukankah dia Sabaku Gaara?"

Mikoto menoleh dengan wajah kaget.

"Sabaku?! Keluarga yakuza dari Suna itu?"

Itachi tertawa hambar melihat ekspresi kaget ibunya.

"Itu hanya rumor Kaa-sama, belum tentu itu benar. Lagi pula dia terlihat agak pendiam."

"Bagaimana jika rumor itu benar? Aku tidak bisa membayangkan jika sampai terjadi sesuatu yang buruk kepada Naru-chan!"

"Kaa-sama, apa perjodohan itu akan berjalan dengan baik? Sepertinya Naruto tidak menyukai Sasuke."

PLAK!

Itachi terdiam saat bahunya ditepuk dengan keras oleh ibunya sendiri.

"Kau ini, jangan bicara yang macam-macam! Cepat atau lambat, mereka pasti akan saling menyukai. Dan, anak laki-laki berambut merah itu akan mundur dengan sendirinya begitu mereka berdua bertunangan."

Mendengar ucapan ibunya, Itachi hanya menanggapinya dengan helaan napas. Semoga saja apa yang dikatakan ibunya itu akan menjadi kenyataan. Tapi, dirinya penasaran juga hubungan Sasuke, Naruto dan juga remaja yang dia duga sebagai Sabaku Gaara. Sebenarnya apa yang sudah terjadi diantara mereka bertiga?

.

.

.

.

.

Minato duduk termenung di ruang kerjanya. Rin yang berdiri di sampingnya pun turut heran dengan apa yang sedang atasannya pikirkan saat ini.

"Aku tidak tahu apakah yang kulakukan ini benar atau tidak." ujar Minato tiba-tiba.

"Hmm? Maksud Sanchou-sama?"

Minato menoleh kearah Rin dengan wajah murung. Setelah menerima telepon dari calon besannya, wajah atasannya itu tiba-tiba berubah murung. Jika sudah seperti ini, pasti ini berhubungan dengan anaknya-Naruto.

"Aku merasa aku sudah memaksakan kehendakku tanpa memikirkan perasaan Naruto."

"Apakah ini soal perjodohan Naru-chan?"

Minato mengangguk.

"Baru saja ibu Sasuke-kun menelfonku, dan katanya Naruto mengabaikan Sasuke-kun karena salah seorang anak laki-laki yang tiba-tiba lewat di depannya. Apakah itu berarti Naruto menyukai orang lain?"

"S-saya tidak begitu mengerti, tapi akan lebih baik jika Sanchou-sama sendiri yang menanyakannya langsung kepada Naru-chan."

"Kurasa kau benar. Hanya karena ini permintaan terakhir mendiang istriku, aku lupa dengan perasaan Naruto. Aku yakin dia merasa sangat tertekan."

"Jika Naru-chan memang menyukai orang lain bagaimana? Bagaimana anda menyikapinya?"

"Soal itu...aku tidak bisa menjawabnya. Aku hanya ingin ada orang yang mau menjaga Naruto dengan sepenuh hatinya. Kurasa Sasuke-kun adalah orang yang tepat." ujar Minato sembari tersenyum.

Rin menghela nafas lega.

"Yah, saya harap Sasuke-kun bisa menjaga Naru-chan dengan baik. Ahh, aku berharap dia punya kesabaran tinggi untuk menghadapi bocah slebor satu itu."

Minato tertawa renyah melihat managernya yang nampak terbawa emosi mengingat betapa nakalnya Naruto.

"Ahh...ngomong-ngomong aku jadi penasaran dengan anak yang membuat Sasuke-kun diabaikan oleh Naruto."

"Hmm.. anda tidak menanyakan namanya? Kalau tahu nama anak itu, pasti akan mudah mencari tahunya."

"Ah, sayangnya Mikoto-san tidak memberitahuku soal namanya. Mungkin akan kutanyakan soal itu lain kali. Hahaha..." jawab Minato seraya tertawa canggung. Melihat reaksi itu, Rin hanya bisa menghela nafas.

.

.

.

.

Festival St. Mangekyo akhirnya berakhir. Sekitar 30 menit yang lalu siswa-siswi berkumpul di halaman tengah untuk menyalakan api unggun dan bernyanyi bersama-sama. Naruto yang sudah lelah dengan semua kegiatan yang ada pun hanya melihat keramaian itu dari atas atap sekolah sendirian.

"Tadi itu Gaara-senpai kenapa ya?"

Naruto termenung sejenak. Dia memang baru mengenal sosok Gaara, dan di ruang musik tadi itu adalah untuk pertama kalinya melihat seorang Gaara tersenyum lembut. Setelah melihat itu, tak memungkiri jika senyuman Gaara membuat dada Naruto sedikit menghangat. Tanpa sadar Naruto memengang dadanya sambil tersenyum tipis sambil tersipu.

"Ternyata kau ada disini."

"Hiiiiiiiiii!" Naruto terlonjak kaget saat sosok Sasuke tiba-tiba datang yang mengagetkannya. "Kau mengagetkanku, teme!"

Sasuke mengendikan bahunya-acuh.

"Sudah puas bermesraan dengan Si Mata Panda itu?"

Naruto melirik tak senang ketika Sasuke menyebut Gaara dengan sebutan Si Mata Panda.

"Jangan menyebut Gaara-senpai seperti itu! Kau sendiri apa? Si Kepala Lancip?"

TWICH!

Urat emosi nampak menonjol apik di kening Sasuke. Si Kepala Lancip? Ejekan Naruto sungguh mengena dihati Sasuke nampaknya.

"Kau lupa perjanjian kita? Kau itu tunanganku! Tapi kau malah meninggalkan tunanganmu ini sendirian, dan pergi bersama laki-laki lain."

"Oho~ jadi kau cemburu karena aku pergi bersama Gaara-senpai?"

"Aku tidak-" kata-kata Sasuke terpaksa dia telan kembali saat melihat seringai jahil Naruto. Ya, gadis barbar itu pasti sedang mencoba untuk membuatnya malu.

"Dengar, aku bersikap demikian bukan karena aku cemburu!"

"Lalu, apa?"

Sasuke menatap Naruto dengan tatapan tajam. Namun alih-alih takut atau merasa tertekan, gadis bersurai pirang itu malah nampak menatap balik Sasuke dengan tatapan sengitnya.

"Jika kau bersikap seperti itu lagi, akan banyak berita buruk tentang kita. Dan itu akan membuat semuanya jadi sulit. Kau seorang publik figur, harusnya kau lebih menjaga sikapmu."

"Huh, kau sendiri juga seperti itu! Makan berdua dengan gadis yang lain."

Sasuke diam saja. Sialnya dia lupa soal Shion dan membuat Naruto balik menyerang dengan kata-kata menusuknya.

"Dengar ya, kau belum menjadi siapa-siapaku. Jadi, kau tidak berhak mengaturku semaumu. Aku paling benci itu."

Setelah itu Naruto beranjak pergi meninggalkan Sasuke. Namun tanpa Naruto duga sebelumnya, siswa bersurai raven itu tiba-tiba menarik tangannya dan mencium paksa dirinya.

"Mmmhh..."

Naruto mengerang. Tangan mencengkram erat kemeja putih yang Sasuke kenakan. Melihat setitik air mata sudut mata Naruto, hingga Sasuke terpaksa harus mengakhiri ciuman panjang mereka.

PLAK!

Nafas Naruto terangah-engah. Manik birunya menatap nyalang sosok Sasuke di depannya.

"Apa yang kau lakukan, brengsek?!" teriaknya marah. Dadanya kembang kempis karena sesak sekaligus menahan amarah. Dia tidak peduli jika teriakannya terdengar oleh orang lain.

Sementara Sasuke masih terdiam sembari memegangi sudut bibirnya yang berdarah. Sial! Tamparan gadis itu kuat sekali. Tangan yang terlihat kecil itu ternyata bertenaga gorilla.

"Kau berani-beraninya-" Pipi Naruto merona hebat. Ini yang kedua kalinya Sasuke mencuri ciuman darinya.

"Satu hal yang harus kau tahu, Naruto..."

Manik onyx Sasuke menyorot dingin kearah sosok Naruto yang berdiri di depannya.

"Uchiha tidak suka berbagi. Dan kau milikku."

"M-milikmu?!" beo Naruto dengan wajah semerah kepiting rebus. Memangnya dia barang?! "Perjanjian awal kita tidak seperti ini! Aku berhak menjalani kisah cintaku sendiri, Bodoh! Itu yang kau katakan padaku beberapa waktu yang lalu."

Sasuke menyisir surai kelamnya ke belakang. Manik kelamanya nampak berkilat terkena cahaya bulan. Nampak jika egonya membuat Sasuke melupakan hal yang satu itu.

"Lalu apa gunanya kita menyetujui pertunangan itu jika kita sendiri yang membuatnya semakin jelas kalau kita sama sekali tidak saling menyukai?"

"Memang benarkan kita saling tidak menyukai?" cibir Naruto. Bibirnya mencebik mencoba mengejek Sasuke. Sayangnya, Sasuke hanya meresponnya dengan seringai keji miliknya.

"Yah, setidaknya untuk sekarang. Kita tidak akan tahu besok atau kapan kau tiba-tiba jatuh cinta kepadaku."

"Dalam mimpimu, Teme!"

Sasuke memasukan kedua tangannya kedalam saku celananya. Manik onyx miliknya menatap gadis pirang yang berada selangkah di depannya. Sasuke menghela napas singkat.

"Kenapa aku harus menjaga orang sepertimu?"

"Apa?"

"Sudahlah lupakan saja!" ujar Sasuke sembari berlalu pergi.

"H-huh?! O-oi! Urusanmu denganku belum selesai, Teme!"

.

.

.

.

.

Setelah kegiatan festival selesai diselenggarakan, badan Sasuke sungguh pegal luar biasa. Ingin seharian ini dia tidur dan melupakan rutinitas yang harus dia lakukan. Namun pagi itu, tiba-tiba ibunya datang merusak rencananya hari itu yaitu -tidur.

"Suke!"

Mikoto dengan wajah gembira merangsek masuk kedalam kamar Sasuke tanpa permisi. Si pemilik kamar yang sudah bersiap akan menggulung diri di balik selimut itu pun tak anyal berteriak protes.

"Ketuk pintulah sebelum masuk ke kamarku, Kaa-sama!"

"Kenapa kau masih tiduran dikamar? Kau tidak ingat ini hari apa?"

"Ini akhir pekan. Hari Minggu. Memang apa lagi?" jawab Sasuke malas. Menarik selimut dan Sasuke bersiap untuk tumbang kembali di kasurnya yang empuk. Namun Mikoto dengan segera menarik selimut itu lagi dan mengguncang badan Sasuke agar anak itu terbangun.

"Cepat pergi untuk menjemput Naru-chan! Pergilah ke toko baju langgananku untuk memilih baju untuk kalian!"

"Memangnya untuk apa? Aku sedang malas bepergian hari ini. Dan aku yakin gadis itu cukup mampu untuk membeli baju sendiri."

Mikoto berkacak pinggang melihat Sasuke yang masih bergelung selimut.

"Tanggal pertunangan kalian akan dimajukan. Kenapa kau masih bersantai seperti ini?!"

"A-apa?!" ujar Sasuke kaget. Dia sontak terbangun dan berdiri di atas kasur.

"Semakin cepat semakin bagus. Aku tahu soal anak berambut merah yang merebut Naru-chan dari sisimu. Dan jika kalian sudah bertunangan, tidak akan ada lagi pengganggu diantara kalian.Ne?"

Sasuke terbengong. Dimajukan?

.

.

.

.

"Haah?! Dimajukan?"

Sementara itu di kediaman Namikaze, Naruto sedang menatap kesal kearah ayahnya yang tersenyum canggung di meja makan. Tangannya dengan cekatan membereskan alat-alat makan di meja. Takut-takut jika Naruto mengamuk dan melempar salah satu alat makan mahal itu ke arahnya.

"Yah...bukankah semakin cepat semakin bagus?"

"Tidak. Bagus." ujar Naruto dengan nada penuh intimidasi. Ternyata selain bentuk wajah, mendiang istrinya telah mewariskan tempramen buruknya kepada Naruto. "Kenapa Tou-san tidak membicarakannya terlebih dahulu denganku? Aku sudah mencoba menerima perjodohan ini tapi memajukan tanggal pertunangan itu terlalu mengejutkanku!"

"Maa... sebenarnya ini kemauan keluarga Uchiha. Karena kau sudah setuju dijodohkan, kupikir tidak ada salahnya memajukan tanggal pertunangan kalian." ujar Minato sembari tersenyum canggung.

Naruto mengeram kesal. Setelahnya, dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Walaupun aku sudah setuju, tetap saja Tou-san harus membicarakannya lagi denganku. Aku yang akan menjalani perjodohan ini. Aku berhak tahu apa yang akan terjadi kepadaku selanjutnya."

"Maafkan, Tou-san...Sebenarnya ada satu hal yang ingin Tou-san tanyakan kepadamu,Naruto."

"A-apa?"

Minato memandang lurus manik biru Naruto yang menyerupai miliknya.

"Apakah kau mencintai Sasuke?"

DEG. Sejenak Naruto terpaku. Jika dia menjawab yang sejujurnya, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa hubungan persahabatan antara Namikaze dan Uchiha yang terjalin sejak masa SMU itu akan putus begitu saja? Tapi...bagaimana dengan dirinya sendiri? Apa dia akan bahagia?

"Naruto..." Wajah Minato berubah kalut saat melihat anak semata wayangnya nampak terdiam. "Jika kau tidak-"

"Sebelumnya aku sudah memutuskannya kan?" jawab Naruto dengan cengiran diwajahnya. "Awalnya memang aku tidak begitu menyukai si Te- maksudku Sasuke. Ya, Tou-san bisa lihat sendiri jika Sasuke itu agak ketus dan menyebalkan. Tapi setelah beberapa waktu mengenalnya, dia cukup menyenangkan juga."

"Apakah kau yakin?Lalu bagaimana dengan anak berambut merah yang dekat denganmu?"

Naruto menghela nafas. Dia bangkit dari kursi dan beranjak menuju sosok ayahnya dan memeluknya.

" Namanya, Sabaku Gaara-senpai. Dia senpai tahun ketiga di sekolahku. Dia senpai yang baik hati dan sedikit terlihat pendiam. Aku dekat dengannya karena dia sudah beberapa kali menolongku." Naruto tersenyum sekilas dan pelukannya mengerat. "Tou-san adalah satu-satunya yang kumiliki di dunia ini. Jika Kaa-san dan Tou-san bahagia, maka itu juga kebahagiaan untukku. Jadi Tou-san jangan menghawatirkan hal yang tidak perlu, ya?"

"Hiks...hiks...kau membuatku terharu, Naru. Kau sudah dewasa rupanya. Dan aku tidak bisa membayangkan jika sampai kau meninggalkanku sendiri di rumah ini."

"Aah...tentu saja aku tidak akan meninggalkan Tou-san sendiri. Lagi pula masih ada banyak waktu sampai aku menikah nanti."

Tiba-tiba raut sedih Minato berubah menjadi heran. Masih lama?

"Naru, lulus SMU nanti kau akan langsung menikah. Itu yang kami rencanakan untuk perjodohan kalian. Dan itu kurang dari dua tahun lagi."

"EEHHHHHHH?!" seru Naruto kaget. Bahkan tanpa sadar dia nyaris membuat Minato tuli mendadak karena Naruto berteriak tepat di samping telinganya. "Tou-san bercanda?! L-lulus SMU?! Itu terlalu cepat untukku! Bagaimana dengan kuliahku?Karir bernyanyiku bagaimana?! Kenapa Tou-san menyetujuinya?!"

"Naru-bisakah kau tenang?"

"BAGAIMANA AKU BISA TENANG?!"

Untuk beberapa saat Minato merasa telinganya berdenyut sakit. Namun dia hanya bisa menghela nafas melihat Naruto yang kini benar-benar sedang murka kepadanya.

"Kau tentu saja masih bisa melanjutkan study dan karirmu setelah menikah, Naru."

"Tapi menikah setelah lulus SMU itu terlalu cepat! Aku bahkan berimpian untuk keliling dunia begitu aku sukses nanti."

Minato tersenyum lembut. Tentu saja dia tahu impian anak semata wayangnya itu. Impian yang sama dengan mendiang istrinya. Keliling dunia dan menghabiskan masa tuanya di sebuah desa kecil dengan hamparan rumput yang luas -dimanakah itu? Di Jepang tidak ada hamparan rumput!

"Kau bisa melakukannya setelah menikah. Aku yakin Sasuke-kun akan dengan senang hati menemanimu."

Bibir Naruto nampak mengerucut sambil menirukan perkataan ayahnya. Keliling dunia bersama Sasuke? Cih, lebih baik dia jadi manusia purba yang berdiam diri di dalam gua daripada ia melakukannya bersama Sasuke.

Piiiipppp...Piiippppp...

Netra biru Naruto memicing tajam saat bel rumahnya berbunyi cukup nyaring. Orang gila mana yang berani-beraninya bertamu sepagi ini? Tak lama, Ebisu-pelayannya muncul bersama Sasuke yang mengekor di belakangnya dengan pakaian kasual.

"Gzzz...ternyata kau, Teme. Untuk apa pagi-pagi datang kerumah ku?"

"Naruto!" hardik Minato. Pria bersurai pirang itu lekas menghampiri Sasuke yang masih berdiam diri.

"Nah, silahkan duduk Sasuke-kun." ujar Minato setelah dia menggiring Sasuke untuk ke ruang tamu.

"Arigatou,Minato-jisan."

"Ah ya...jadi ada apa Sasuke-kun datang kemari?"

"Aku disuruh Kaa-sama untuk menjemput Naruto untuk pergi ke toko pakaian langganannya."

"Ooh!" Minato menepuk dahinya lumayan keras saat dia tiba-tiba teringat sesuatu setelah Sasuke menjawab pertanyaannya. "Benar juga. Karena tanggalnya dimajukan, kalian harus bersiap dari sekarang kan? Naru, cepat ganti baju sekarang juga!"

"Huuh?!"

"Sudah, cepatlah! Jangan biarkan Sasuke-kun menunggu terlalu lama!" Minato mendorong punggung anaknya untuk segera ke kamar dan mengganti bajunya.

"Maafkan sifat Naruto, ya? Dia memang agak ketus akhir-akhir ini. Apa kalian sedang ada masalah?"

"..."

Sasuke terdiam sejenak. Bohong jika dia menjawab tidak ada masalah. Malah ada banyak masalah antara dia dan juga Naruto. Dimana mungkin saja situasi akan lebih sulit kedepannya mengingat gadis itu sudah tertarik dengan pria lain. Apalagi pria itu adalah Gaara. Masalah Shion juga nampaknya belum terselesaikan. Naruto masih salah paham dengan kedatangan gadis bermarga Tanaka itu ke sekolah pada saat Festival tempo hari.

"Sasuke-kun?"

"Ah. Tidak apa-apa. Minato-jisan tidak perlu khawatir mengenai itu. Kami baru saja mengenal dan tiba-tiba saja dijodohkan, kurasa perbedaan pendapat pasti ada. Tapi Minato-jisan tidak perlu khawatir, aku akan berusaha mengatasinya."

Mendengar itu, Minato sedikit bernafas lega. Tapi dia masih penasaran dengan satu hal-

"Lalu, apa alasanmu menerima perjodohan ini? Ya, kau tahu jika ini adalah permintaan terakhir dari istriku dan disetujui oleh orang tuamu. Tapi kami tidak memaksamu untuk menerimanya. Kau berhak menolaknya dan menemukan kebahagianmu sendiri." ujar Minato sembari tersenyum lembut. "Akhir-akhir ini aku juga berpikir mungkin aku terlalu memaksa Naruto dan melupakan perasaannya. Tapi anak itu terlalu menyayangi ibunya dan melupakan perasaannya sendiri. Karena itu terkadang aku berpikir, mungkin aku terlalu kejam kepadanya."

Sasuke menatap pigura besar di ruang tamu itu. Nampak foto mendiang ibu Naruto terpasang disana dengan gaun cantik. Wanita bersurai merah itu nampak tersenyum ceria kearah kamera.

"Karena aku mempunyai alasan yang sama dengan Naruto. Masalah kami saling menyukai atau tidak, waktu yang akan menjawabnya nanti. Dan kami tidak menyesal mengambil kesepakatan itu."

"Karena kau bilang begitu, apa boleh buat. Aku jadi agak lega karena menitipkan Naruto kepadamu."

"Aku bukan anak kecil yang perlu dititipkan segala, Tou-san!"

Kedua pria itu langsung menoleh kearah Naruto yang sudah berganti pakaian. Naruto bersidekap dengan wajah tertekuk karena kesal.

"Ah, kau sudah siap?"

"Memangnya apa yang sedang kalian bicarakan, huh?" tanya Naruto dengan pandangan menyelidik. Namun Sasuke nampak santai dan menggandeng Naruto dengan tiba-tiba.

"Ini rahasia antar pria, kau tidak perlu tahu, Dobe."

"A-apa kau bilang, Teme! Aku tidak perlu jawaban darimu tahu!"

"Minato-jisan, kami pergi dulu."

"Ahh ya..."

"H-hei, Teme! Jangan gandeng tanganku! Aku bisa jalan sendiri."

"Nanti kau hilang, Dobe!"

"Aku bukan anak kecil, bodoh!"

Minato sweat drop melihat dua anak itu pergi meninggalkannya. Dia baru sadar jika mereka berdua bahkan sudah mempunyai panggilan kesayangan sendiri. Tapi tidakkah kata 'Teme' dan 'Dobe' itu terlalu kasar untuk disebut sebagai panggilan kesayangan?

.

.

.

.

.

Senja tak membuat sosok Gaara segera beranjak dari sebuah halte bus yang terletak tidak jauh dari taman kota yang mulai sepi. Manik jade-nya menatap lurus kearah papan iklan minuman isotonik yang diiklankan oleh Naruto.

'Senpai terlalu pendiam dan penyendiri. Kupikir senpai perlu orang untuk diajak mengobrol. Aku tidak keberatan menjadi orang itu.'

Gaara mendengus geli. Tiba-tiba dia ingat dengan kata-kata Naruto tempo hari. Gadis itu tanpa ragu menawarkan diri untuk menjadi teman mengobrolnya dan lucunya, dia bahkan sampai memberikan alamat e-mailnya kepada Gaara. Dan gadis itu sama sekali tidak peduli dengan rumor buruknya di sekolah.

"Aku baru tahu jika kau bisa tersenyum juga."

Gaara tersentak kaget saat melihat sosok kakak perempuannya -Temari sudah berdiri di depannya bersandar di badan mobil.

"Temari-neesan!" ujarnya dengan ekspresi terkejut.

"Aku pulang." ujarnya sembari tersenyum.

"Kenapa kau tidak-"

"Mengabarimu?" potong Temari. Wanita dengan style rambut berkucir empat itu beranjak dari badan mobil menuju mesin penjual minuman otomatis di samping halte dan membeli dua buah kopi kaleng. "Aku sengaja ingin memberi kejutan. Kupikir aku ingin memberimu kejutan dirumah, tapi saat perjalanan aku malah melihatmu duduk melamun sambil memandangi papan reklame di depan sana sambil tersenyum-senyum sendiri. Dan itu fenomena yang tidak biasa."

Temari melempar satu kopi kaleng itu kepada Gaara dan ditangkap dengan baik oleh si empunya."Kau kenal gadis dipapan reklame itu?" tanyanya kemudian sesaat setelah Gaara menenggak kopi itu.

"Hm. Kami satu sekolah."

Temari memandang papan reklame itu dengan seksama. Namikaze Naruto ya?

"Kau menyukainya?"

UHUK!

Seketika itu juga Gaara nampak terbatuk saat mendengar pertanyaan kakak perempuannya. Sifatnya yang terlalu blak-blakan memang terkadang suka sekali mengagetkannya dengan perkataannya yang tiba-tiba itu.

"Nee-san!"

" Apa pertanyaanku itu sebuah kesalahan? Melihat kau tersenyum sendiri seperti orang gila seperti itu, apa lagi kalau bukan karena cinta,huh?"

"Lupakan masalah itu. Itu tidak seperti yang Temari-neesan pikirkan!"

"Lupakan?! Kau ingin aku melewatkan fenomena luar biasa ini begitu saja?!"

"Nee-san kau terlalu berlebihan!" Gaara mulai jengah. Dia bangkit berdiri dan meninggalkan halte itu begitu saja. Namun Temari bersikeras menyusulnya dengan langkah cepat.

"Ayolah, aku baru pulang dari Amerika dan seperti ini sambutanmu? Setidaknya ceritakan beberapa hal menarik, misalnya gadis di papan reklame itu."

"..."

Gaara diam saja. Berjalan cepat menyusuri trotoar sementara Temari mengikutinya dari belakang. Manik hijaunya menatap punggung tegap adiknya dengan senyum tipis. Sudah hampir 3 tahun dia tidak bertemu dengan adik bungsunya itu. Dan tak terasa adik kecilbya sudah tumbuh menjadi sosok pria yang menawan. Senyum tipis Temari menghilang ketika Gaara tiba-tiba berhenti di depan etalase sebuah toko baju ternama di pinggir jalan.

"Kenapa berhenti? Kau ingin beli baju?"

"..."

Temari yang penasaran karena tak ada respon sediki pun dari Gaara pun melongok kearah toko.

"D-dia?!"

.

.

.

.

TBC