Previously on Baby Hun, Baby Yeol.

Hari empat sama seperti biasanya. Sehun dimandikan, didudukkan dan diberi semangkuk bubur di mejanya. Nafsu makannya semakin turun, namun setidaknya masih ada makanan yang masuk ke perutnya.

Ini nyaris sama seperti hari kemarin, jika saja sosok Luhan tak mendadak muncul hingga menarik perhatian ketiga sosok di ruang makan. Ini adalah kali pertama Luhan keluar kamar, Sehun hendak bersuara namun lidahnya terlanjur kaku saat melihat pucatnya Luhan.

"Yakin mau ke kampus hari ini, Lu?"

"Ya, aku sudah lumayan," Luhan tersenyum berusaha meyakinkan. Ia melahap dua tangkup roti yang disiapkan Baekhyun, lalu segera pamit tanpa sempat melirik Sehun di kursinya. Di pintu, tubuh Luhan berbalik dan suaranya terdengar lagi, "Aku akan pulang sedikit sore,"

Baekhyun mengangkat alis bertanya.

"Kris mengajakku minum kopi," jawaban Luhan lantas mendapat kerlingan jenaka dari Baekhyun. Sahabatnya itu tampak jelas menggodanya, dan Luhan tak membantah sebelum akhirnya menghilang di belokan menuju pintu keluar.

Sama sekali melewatkan Sehun yang baru turun paksa dari meja, dan berlari begitu saja ke kamar Baekhyun. Chanyeol ingin membantu, tapi anak itu benar-benar tak mendapat petunjuk. Jadi ia hanya bisa menatap sendu ketika lagi-lagi melihat aliran tangis di wajah Sehun.

.

.

.

Warning : implicit content at the end of the story

.

.

.

Final Chapter

My head's under water
But I'm breathing fine
You're crazy and I'm out of my mind

'Cause all of me

Loves all of you

"… laf yoo kufs end ooo yoejes… Ooyo pelpek impekesen."

"Te'un nyanyi apa?"

"Gif yo-OOOO tumi~ Agif ma-OOOO tuyu~"

Sejenak, Chanyeol mencampakkan robot ultraman di tangan kanannya. Tatapannya beralih pada Sehun yang berdiri diatas meja kayu—tadinya itu untuk tempat mangkuk bubur mereka—sembari menjejak-jejak tumitnya diatas sana.

"Kez'agif yo-oooo mi—"

"Te'un i jangan blicik!"

"—ENYUGIFMI OOOFYU—"

"BICIK TE'UN! BEKUN GI BOBO!"

Akhirnya Sehun menyerah untuk menyuarakan suasana hatinya yang mendung. Sedikit banyak mulut kecilnya merutuki Chanyeol yang tidak peka bahwa ia sedang merindukan Luhan.

Setelah kurang lebih empat menit ia menjadikan meja kayu sebagai panggung konsernya, Sehun akhirnya mulai turun dari sana. Rutukan terus keluar dari bibirnya sementara Chanyeol tetap memelototinya seakan tindakan Sehun barusan adalah sebuah kriminal besar.

"Jangan bicik ya, kita main ultamen yu?"

Sehun mendengus dan melewati Chanyeol begitu saja. Perasaannya tak kunjung membaik belakangan ini, meskipun Chanyeol sudah seringkali membujuknya dengan pinku-pinku.

Hela napas lelah keluar dari bibir Chanyeol. Anak itu merasa bahwa wajah si bocah kelewat putih itu kian masam dari hari ke hari.

Ini terus terjadi semenjak hari ketika Luhan minum kopi bersama Kris. Chanyeol kala itu hanya bisa menyemangati Sehun dengan berkata bahwa Luhan tidak mungkin kencan dengan pemuda Canada itu. Namun tetap saja, yang keluar dari mulut Sehun adalah bantahan serupa, "Klis ni ganteng, tapi lebih ganteng Hun si, tapi tetep aca nanti Luwan naktil…", sehingga Chanyeol tak punya pilihan lain selain menyerah membujuknya.

Akhirnya pilihan Sehun selalu berakhir pada sofa di ruang tengah, dimana ia bisa bertopang dagu sambil menghadap pintu kamar Luhan. Berharap sosok yang ada di dalam sana menangkap sinyal telepati darinya sehingga keduanya bisa berinteraksi seperti sedia kala.

Chanyeol mengekor sambil menyeret robot jumbonya ke lantai. Anak itu membenarkan celana pendeknya yang melorot sebelum naik melompat hingga bersisian dengan Sehun. Baru ketika ia menyelonjorkan kakinya, mendadak Sehun turun dan menarik satu tangannya dengan tidak manusiawi.

"Kemana—"

"Luwan kual! Mbunyi!"

Yang selanjutnya terdengar adalah suara langkah kaki dari arah kamar Luhan.

Sehun membawa kepalanya menyembul dari kaki sofa, dengan Chanyeol yang ikut-ikutan di belakangnya. Mata tajam Sehun kian menyipit ketika mendengar kata serupa "Ya, aku mau pergi sekarang." dari bibir Luhan yang sedang memegang ponsel. Ia mengernyit marah, tangan kecilnya mengepal dan kini ia tengah berusaha agar tidak merebut ponsel Luhan lalu membanting benda itu.

Siapa lagi kalau bukan Kris yang dihubungi si rusa manis?

Mata Sehun tetap mengikuti gerak gerik Luhan sampai pemuda itu berjalan ke pintu apartemen. Sehun menggeram samar, kuku-kuku tangannya meremas tangan sofa seakan ia seekor anak kucing yang ingin menerkam mangsa. Wajahnya terhitung mengerikan untuk seukuran balita yang masih suka memakai dot susu.

"Te'un tau detektip konan?"

Sehun menoleh acuh sebelum bergumam singkat. Chanyeol dibuat gemas sendiri, sehingga bocah tembam itu menarik Sehun untuk berdiri dan menuju pintu keluar.

"Nyol, kata Bekun kita gabole main kual…"

"Bukan main, kita silidik Luan."

Detik itu Sehun nyaris menitikkan airmata berkat otak Chanyeol yang berubah encer.

.

.

.

.

.

Kalau boleh jujur, Baekhyun tidak merasa tenang akhir-akhir ini.
Entah itu karena ujian kenaikan tingkat yang semakin mendekat. Atau karena ekor ikan cupangnya yang bernama James mendadak berwarna pucat.

Atau karena Chanyeol dan anaknya yang hingga kini masih menjadi misteri.

Baekhyun bukannya tidak melakukan usaha apa-apa. Tapi setiap saat ia memikirkan jalan keluar yang paling masuk logika, ia akan berhenti di titik buntu. Bukannya solusi, malah tekanan yang ia dapat.

Ya, ia tahu Chanyeol terhitung tampan meskipun senyum lelaki itu terkadang lebar keterlaluan. Ia juga tahu kisah-kisah klise mengenai seorang gadis yang putus asa akhirnya menjebak lelaki idamannya agar ia hamil benih si lelaki. Oke, mungkin setelah ini ia akan mengurangi jadwal menonton drama bersama Luhan.

Bukan itu saja. Bahkan Sehun, yang alkisah sudah mengejar Luhan dari zaman sekolah menengah, sekarang pun dengan mudahnya pergi dan meninggalkan seorang anak?

Baekhyun akhirnya mengangkat kepala dari bantal. Sudah sejam yang lalu ia bangun dari tidur siang, namun masalah tak berujung ini mendadak menyerangnya seperti serbuan tombak perang. Belum lagi mimpinya barusan, yang kebanyakan didominasi oleh si sosok Park raksasa. Bukannya mendamaikan, yang ada ia semakin gelisah dan meragukan fakta bahwa dua anak kecil yang ditampungnya kini adalah darah daging Sehun dan Chanyeol.

"Aku harus apa, James?"

Baekhyun mendecak ketus saat mendapat respon kosong dari ikannya. Ia berubah telentang, seakan pasrah dengan masalah yang tak kunjung ia pecahkan.

.

.

.

.

.

"Yan tinggi. Nyol yang tinggi!"

"Bental…"

Sehun meniup poninya gemas setelah merasa upaya menggendong tubuh tinggi Chanyeol sia-sia. Menaiki lift untuk turun tiga lantai adalah pilihan buruk. Namun turun tiga kali tangga bahkan jauh lebih buruk. Bisa-bisa mereka tertidur di tengah jalan saking lelahnya.

Chanyeol mengerang putus asa sembari jinjit setinggi-tingginya. Angkatan Sehun tak terasa apa-apa sedangkan wajahnya kini sudah dibanjiri keringat akibat tombol lift yang tingginya minta ampun.

"Bental lagi."

"Hmp!" tangan kecil Sehun mengangkat paha Chanyeol lebih kuat, tidak tahu jika itu tak berefek apa-apa.

Ting!

Keduanya menoleh bersamaan ke lift satunya. Untuk sementara waktu mereka terdiam di posisi masing-masing, Chanyeol yang jinjit kesusahan dan Sehun yang berusaha mengangkat pantat Chanyeol.

"Sialan sekali albino itu. Awas saja kalau tertangkap basah sedang menindih Lu—"

"ONGIN!"

.

.

.

.

.

Pintu dan sapaan kasir terdengar bersamaan dengan Luhan yang baru saja membuka topi. Mencoba ramah dengan tersenyum pada sang kasir, dirinya kemudian menjenjangkan leher untuk mendapati Kris yang melambai dari sudut ruangan.

Luhan mendekat. Bibirnya otomatis naik saat menangkap satu cangkir beserta piring hidangan diatas meja. Menggumam maaf satu kali, lantas kopi dari cangkir Luhan seruput hingga tandas setengah.

"Mungkin kau harus mengurangi kadar cengengmu. Lihat matamu sekarang."

"Sapaan yang hangat, Kris. Terima kasih."

Kris tertawa hingga menunjukkan gigi-giginya. Ia tak bermaksud mengejek namun mata Luhan yang selalu sembab adalah fakta.

"Untung saja aku tak punya kekasih."

Senyum jengkel yang awalnya terpajang di wajah Luhan meluntur. Laki-laki itu menunduk lesu mengingat masalah yang dua minggu penuh ini meneror tidur malamnya.

"Oh, ya, sampai lupa." Kris menarik tasnya keatas pangkuan terlampau semangat. Luhan yang masih dalam suasana mendung perlahan-lahan mendongakkan kepala untuk menatapnya.

"Ini foto dari fanbase Sehun—"
"Fanbase?"

"— dan sama seperti yang Jongin katakan, foto ini diambil ketika dia dan Chanyeol pergi ke suatu tempat terpencil di perbatasan kota. Para fangirl ini tidak bisa mengikuti terlalu dekat karena khawatir ketahuan."

"Fangirl?"

"Hey, jangan bilang kau tidak tahu betapa populernya kekasih putihmu itu."

Alis Luhan berkerut ketika mendengar kata 'populer'. Dengan secara tidak langsung itu menjadi penguat bukti bahwa Sehun benar-benar selingkuh dengan salah seorang wanita, salah seorang fangirl-nya.

"Tapi yang mengejutkannya adalah," Kris menutup tabletnya dan ganti memasang wajah sok misterius. "—setelah berjam-jam menunggu si dua tiang itu keluar, fangirl ini tak menemukan mereka dimanapun."

Kerutan alis Luhan tak kunjung menghilang. Pertama, untuk istilah fanbase-fangirl yang berhubungan dengan Sehun. Kedua, untuk tingkah tak biasa Kris yang menyerupai gadis sosialita hobi menggosip.

"Tunggu—apa? Bagaimana mungkin mereka hilang? Mungkin fangirl ini hanya menunggu sebentar?"

Kris mengedikkan bahu untuk itu. "Kau bisa bertanya pada Krystal, si fangirl."

.

.

.

.

.

Jika ini sudah menyangkut kekasihnya, Luhan tidak bisa santai. Setelah jawaban terakhir dari Kris, lelaki itu langsung menaiki bus kearah kampus, berharap bisa menemukan gadis bernama Krystal disana. Kris sempat mengumpat dengan sikap Luhan yang tidak tahu terima kasih.

Aku di ruang unit kesenian.

Satu pesan yang masuk setelah sebelumnya Luhan menanyakan keberadaan si gadis. Tanpa peduli arah jalannya yang melawan arus, Luhan jalan tergesa menuju area unit kegiatan mahasiswa dekat gerbang masuk.

Sesampainya disana, bukannya sekumpulan gadis yang ia lihat, melainkan sekelompok band yang sedang latihan. Luhan menggaruk tengkuknya kikuk dan mengira salah masuk ruangan. Sebelum telinganya mendengar desisan sinyal dari arah kanan, "Ssst!"

Luhan menoleh.

"Ssst!"

Ke meja dekat pintu. Tempat dua atau tiga orang (termasuk Krystal) sembunyi-sembunyi sambil mengalungkan kamera dslr.

Oh, sedang paparazzi-ing ternyata.

.

.

.

.

.

"Ada apa?" tanya Krystal tak sabar setelah berhasil mengendap keluar bersama Luhan tanpa ketahuan para personil band.

"Aku melihat foto Sehun dan Chanyeol yang sempat kau ambil," Luhan menjeda sejenak untuk melihat reaksi Krystal. Rupanya gadis itu masih tetap dengan tatapan polosnya. "Kau bilang mereka berdua tidak bisa ditemukan dimanapun?"

Mengedip beberapa kali. Perlu sedikit waktu untuk Krystal mengingat bahwa dirinya pernah membuntuti Sehun ketika lelaki itu menuju ke antah berantah.

"Ah, benar! Mereka tidak keluar dari gang yang sama, padahal jalan menuju rumah tua itu hanya ada satu."

"Berarti ada kemungkinan mereka keluar dari rumah itu?"

"Ya, mungkin. Tapi tidak lewat gang yang sama. Kau tahu, jalannya sangat kecil dan aku tak bisa mengekori mereka lebih jauh."

Luhan mengurut ujung alisnya. Ini memang bukan info yang jelas, namun setidaknya memperkuat bukti bahwa kekasihnya pergi ke suatu tempat dan tidak kembali lagi hingga saat ini.

"Hm, baiklah, terima kasih, Krys."

.

.

.

.

.

Jongin sangat suka anak kecil.

Entah itu anak anjing, anak kucing, atau anak manusia sekalipun. Ia sangat suka bermain dengan sepupunya yang masih berusia enam, sehingga ketika dihadapkan pada dua balita menggemaskan di pintu lift, ia tak bisa menahan diri untuk berkata, "Lucunyaa~ Apa kalian tersesat?" dengan logat yang nyaris membuat Sehun dan Chanyeol muntah. Mereka tidak tahu bahwa si mesum Jongin mempunyai perasaan yang hangat untuk anak kecil.

"Ongin, ongin, ni Hun."

"Ongin mo kemana?"
"Ongin, ongin harlus bantuin Hun ma Nyol—"

"Ini Canol, Pak Canol—"

"Ish Nyol, Hun dulu yang nomong!"

"Canol ma Te'un jadi kecil, ni lihat ni, kecil—"

"NYOL DIEM DULU!"

"Kecil jadi kecil kaya gini. Ongin bantuin ya?"

Mulut Jongin menganga cukup lama. Ada banyak kejutan yang membuatnya kagum; para balita yang saling beradu mulut terdengar menggemaskan, dan kata 'ongin' yang keluar dari mulut mereka terdengar seperti 'Jongin', namanya.

"Ongin, ini Hun," Sehun kembali bersuara setelah Chanyeol diam menyerah. "Ongin waktu tu minta Hun bili minuman gluk-gluk," Chanyeol bahkan tidak paham apa yang dikatakan sahabat keras kepalanya.

Melihat Jongin yang tak kunjung menunjukkan ekspresi paham, Sehun berusaha lebih keras dengan menyertakan gerakan isyarat.

"Ongin," telunjuk kecilnya menunjuk hidung Jongin yang sedang merunduk. "mo beli minum," Sehun berlagak seperti meminum sesuatu. "buat teks," kemudian menggerakkan pinggulnya seperti gerakan orang dewasa. "ma Ungcoo."

Mata Jongin membola bukan karena paham arti perkataan si anak. Melainkan pada salah satu gerakan yang dibuat si anak, menyerupai gerakan maju-mundur, dengan pinggulnya yang sangat kecil.

"Teks! Theeeks!"

Bahkan kini pinggul itu bergerak semakin cepat.

Di samping, Chanyeol sudah melongo tak percaya.

"Suara cadelmu yang seperti mengatakan 'seks' mengingatkanku dengan seseorang." Jongin berkata meski tak yakin si anak mengerti perkataannya.

"Mirip si cadel Sehun."

Sehun yang nyaris putus asa setelah menggerakkan pinggul susah payah akhirnya tersenyum ceria. Ia melompat kecil dan menerjang paha Jongin untuk dipeluk senang.

"Ini Hun, Ongin! Hun!"

.

.

.

.

.

Mata Baekhyun terbuka diatas kecepatan rata-rata.

Ia langsung duduk diatas kasur dan ketika menatap jam, dirinya baru sadar sudah melewatkan jam minum susu untuk kedua balitanya.

Menuruni kasur cepat-cepat, Baekhyun langsung berlari ke ruang tengah untuk mengambil mangkok bubur bayi yang sudah bercecer di karpet. Ia merutuk samar selama membersihkan sisa bubur yang mengotori permadani. Sebenarnya bukan kesal karena bubur yang jatuh kemana-mana, tapi karena mata mengantuknya yang membuatnya tertidur selama empat jam tadi.

Karena terlambat setengah menit saja, Sehun dan Chanyeol akan memukul-mukul pintu kamarnya, kemudian masuk kamar sebelum naik ke ranjang dan melompat-lompat disana seperti katak.

Ah, lalu bagaimana sekarang, yang jadwal minum susunya sudah lewat tiga jam lalu?

Baekhyun mencuci mangkuk setelah sebelumnya berhasil membuat dua botol susu. Selagi menunggu airnya sedikit menghangat karena tadi ia membuatnya terlalu panas, Baekhyun berkeliling di ruangan tengah untuk membereskan kekacauan yang dibuat oleh si dua anak.

Oh, mereka kemana ngomong-ngomong?

Gerakan Baekhyun mendadak beku dan lelaki itu mengedip-ngedip seperti tersadar akan sesuatu. Melirik ke kanan, hanya ada menara lego dan satu robot mainan. Ke kiri, adalah dua pintu kamar milik Luhan dan dirinya sendiri. Tadi, di kamarnya tidak ada siapa-siapa sementara Luhan selalu mengunci kamar sebelum pergi keluar apartemen. Kamar mandi, tidak mungkin, mengingat si anak sangat tidak suka berbasah-basahan dan kedinginan.

Dimana?

Baekhyun berdiri gusar. Meninggalkan permadani yang belum selesai ia bersihkan dengan lap. Ia menunduk untuk melirik kolong sofa yang kosong.

Dimana?

Mulai berubah cemas, Baekhyun berlari cepat ke dapur. Barangkali si anak sedang tidur di kursi makannya.

Tidak ada.

"Dimana mereka?!"

.

.

.

.

.

Berbekal pengetahuannya seputar bahasa anak kecil, Jongin kini menuruti permintaan Sehun dan Chanyeol yang mengajaknya keluar apartemen, menuju ke penjual permen kapas yang berada di dekat pagar taman kota.

"Hun mau atu!"

"Canol juga, Canol yang walna putih…"

Jongin membayar dua permen kapas berbeda warna dengan tatapan mata yang tak beralih dari Sehun maupun Chanyeol. Seperti dugaan sebelumnya, si anak yang lebih putih benar-benar mirip dengan Sehun meskipun sikapnya kini menjadi versi anak balita.

Usai itu, kembali Jongin menggenggam masing-masing satu tangan si anak dan membimbingnya menuju kursi kayu. Beragam pertanyaan sudah memenuhi kepalanya dari mulai; benarkah ini Sehun dan Chanyeol? sampai—jadi bagaimana nasib ramuan tahan seks-ku?

Sehingga selama kedua bocah mengap-mengap menggigit kapas manis itu, Jongin hanya bisa memasang ekspresi wajah sedang berpikir keras.

"Ongin ni nda beli?" tanya Chanyeol sedikit terlambat. Kapasnya sudah tinggal yang menempel pada stik.

Sehun tak nampak begitu peduli sebelum ia bersendawa kecil usai menghabiskan permennya. Sekitar mulutnya berwarna pink dan sedikit gumpalan kapas ikut bertengger pula.

Jiwa bapak-bapak yang muncul membuat Jongin membersihkan mulut Sehun dengan tisu.

"Jadi…" Jongin berhenti sebentar dan dua anak itu menatapnya. "Kalian benar-benar Sehun dan Chanyeol?"

.

.

.

.

.

Baekhyun tidak bisa tenang lagi ketika secara tidak sengaja matanya menangkap celah pintu apartemen yang terbuka.

Matanya membelalak lebar dan mulutnya menganga, tidak percaya sama sekali bahwa apartemen mereka kecolongan dan menculik si dua bocah.

Dengan tangan gemetar, ia mengetik pesan untuk Luhan sebelum memasukkannya ke saku dan kemudian berlari keluar apartemen dengan beralaskan sandal tidur. Masa bodoh dengan kaus luntur dan celana pendek, nyawa dua balitanya tengah berada dalam bahaya.

Cepat pulang! Anak-anak diculik!

.

.

.

.

.

Terhitung dari kalimat pertama yang keluar dari bocah yang menyebut namanya 'Hun', Jongin tak mampu menghilangkan kerutan di wajahnya. Ya, ia memang handal berbahasa anak kecil, bahkan akan menjadi translator bayi yang professional jika saja ada lowongan pekerjaan untuk itu.

Tapi…

Suara cadel Sehun membuat beberapa penjelasan tidak sampai ke otaknya. Jangankan lidah balita, lidah Sehun mahasiswa saja sering membuatnya salah dengar sebelum ia mendekatkan telinga dan berteriak, "Hah?!"

Alhasil, alis kananya semakin naik dan akhirnya tak satu kata pun berhasil diterjemahkan otaknya. Ia sudah meminta si anak untuk menjelaskan secara perlahan namun Sehun yang terlampau semangat malah tidak mengindahkan permintaannya.

"Tini, Canol aja yang celasin…" tawar Chanyeol setelah anak itu peka dengan raut putus harapan di muka Jongin.

Cerita yang beruntun keluar dari anak satunya terdengar lebih jelas. Chanyeol menjelaskan semua detil rangkaian peristiwa mulai dari ia yang ditarik menuju rumah tua penjual ramuan, bangun dari siumannya ketika pendeknya berubah menjadi se-paha orang dewasa beserta hoodie kelinci, sampai pada aksi nekat mereka yang kabur dari apartemen Luhan dan Baekhyun.

Itu masuk akal, bahwa mereka berpapasan karena Jongin pun niatnya memang ingin mendatangi apartemen Luhan. Lebih tepatnya menggebrak—karena Jongin pikir disana merupakan tempat persembunyian Sehun agar tak ditagih hutang.

"Nah, kalian bilang kalian harus buat mereka percaya kalau kalian sudah berubah menjadi… kecil?" Jongin tidak terdengar yakin dengan ucapannya sendiri.

Dua anak itu mengangguk cepat, mata keduanya membola seakan berharap pada Jongin adalah satu-satunya jalan keluar yang mereka punya.

"Itu—bagaimana caranya?"

"Ongin ntal celasin tama Bekun tama Luan bial meleka pelcaya."

Jongin entah harus berekasi seperti apa.

Tapi mereka adalah sohib, dan seolah menjadi perjanjian tak tertulis ketiganya harus saling membantu meskipun menurut pandangan Jongin dirinya adalah pihak yang sering ditindas dan dikorbankan.

"Akan kucoba. Jadi kita harus memulai darimana?"

"Iya, tingginya se-pahaku, segini, yang satu terlalu putih yang satu lagi poninya selalu jatuh menutup mata. Anda melihatnya?"

Ketiganya serempak menoleh kepada satu pemuda dengan rambut kusut dan pakaian tidur yang tengah bertanya pada penjual permen kapas barusan. Tingkahnya cukup heboh untuk menarik perhatian sekitar, terlebih dengan penampilannya yang urakan.

"Oh, maksudmu mereka?"

Baekhyun memutar kepala mengikuti arahan telunjuk si bapak, ke satu kursi kayu di belakang tubuhnya. Kursi dengan tiga orang yang menempati, yang kesemuanya menatap bingung kearahnya.

"Hun! Yeol!"

Jongin berubah gugup ketika banyak mata mengarah padanya seakan ia adalah pedofil yang menculik dua balita. Ia terkekeh sumbang, menggaruk tengkuknya dan menunduk malu.

"Ya Tuhan, bagaimana kalian bisa disini? Mau main ke taman? Seharusnya bilang padaku, aku bisa menemani kalian jalan-jalan."

Baekhyun memeluk kedua leher si anak bersamaan. Ia tidak tahu harus menangis atau bahagia, namun airmatanya jatuh dan itu cukup membuktikan betapa frustasinya ia selama mencari mereka.

Chanyeol adalah yang tersadar lebih dahulu. Ia balas meremas kaus Baekhyun dengan tangan mungilnya. Diam-diam menyesal karena tak memperhitungkan Baekhyun yang cemas begitu kedapatan mereka hilang dari apartemen. Tangis Baekhyun mendarat di bajunya dan Chanyeol menggigit bibir merasa bersalah.

Sehun ikut tersadar dan ia menjatuhkan kepalanya ke bahu Baekhyun. Ia tidak sekalipun berniat mencemaskan Baekhyun, namun mendengar suara bergetar dari lelaki itu membuat ia sadar telah melakukan kesalahan besar.

Baekhyun melepas pelukan dengan wajah yang merah dan basah airmata.

"Kalian tidak apa-apa kan? Ada yang luka?" Kemudian mengecek satu per satu bagian tubuh Sehun dan Chanyeol tanpa sempat menoleh kearah pemuda di sebelah kanan.

"Um, aku yang membawa mereka, Baekhyun." Jongin memutuskan untuk menarik perhatian. Baekhyun menoleh dan lelaki itu jelas terlihat kaget dengan keberadaannya. "Dan… ada yang ingin kubicarakan denganmu."

"Tapi di apartemenmu, ya?" usulnya begitu merasakan masih banyak mata yang menatapnya dengan sorot menyalahkan.

.

.

.

.

.

Berbekal secuil info mengenai letak rumah tua yang disebut-sebut Krystal sebagai tempat misterius, Luhan menaiki bus dan duduk selama sudah sejam lamanya. Sedikit-sedikit kepercayaannya mulai timbul kembali, entah mengapa. Bahwa Sehun tidak benar-benar berselingkuh dan anak yang menumpang di rumahnya bukan darah daging lelaki itu.

Ia menghembus napas dan pelukannya pada tas punggung semakin mengerat.

Bibirnya ia kulum karena sadar bahwa belakangan sikap cemburunya sudah kelewat batas. Ia sudah berniat memutuskan Sehun saat bertemu nanti, meskipun secara teknis Sehun sudah memutuskannya lebih dahulu jika saja anak itu benar-benar keturunannya bersama seorang gadis.

Astaga. Memangnya mereka ini baru berpacaran atau bagaimana?

Sehun sudah sangat lama mengincarnya, bahkan semenjak di bangku menengah ketika mereka menempati tempat les yang sama. Sepanjang SMA, yang tak terduga, Sehun masuk ke sekolah yang sama dengannya dan ada banyak perhatian sederhana yang Sehun berikan padanya.

Meskipun itu sekedar dengan membawakan pensil lebih karena Luhan seringkali melupakan tempat pensilnya di kamar.

Meskipun itu sekedar menanyakan apakah Luhan masih aktif ekskul sepakbola atau tidak.

Luhan tertawa mengingat itu semua.

Tidak seharusya ia percaya dugaan tak berbukti yang belakangan ini menjajah pikirannya. Cinta dan bukti sayang dari kekasihnya seharusnya sudah cukup untuk membuatnya selalu percaya dengan Sehun.

Happy our twelfth monthsaryyy~ Tetap menjadi dirimu sendiri, Luhan sayang. Karena semua itulah yang membuatku jatuh padamu berkali-kali. (Iya, tertawalah akan gombalanku yang murah ini)

Luhan tertawa dan airmatanya menetes dari mata kanan.

Bersiaplah untuk besok pagi dan berpakaianlah dengan manis. Kutunggu ciuman anniversary kita nanti, hehehe.

Ps. Bukan hanya ciuman anniv, ya. Hehehehehehe.

Diterima tanggal 16 April; 00.01 pagi.

Luhan semakin tertawa sehingga ponsel di genggamannya bergetar. Itu semua adalah pesan terakhir yang ia terima dari Sehun. Meskipun belum mencapai sebulan, tapi minggu-minggu ini terasa amat lama untuk Luhan yang menduga bahwa Sehun sudah mengkhianatinya.

Kemudian Luhan memasukkan kembali ponselnya. Napasnya mendesah lega dan untuk kali ini ia benar-benar merasakan keraguannya hilang tak bersisa.

Sehun selalu mencintainya. Sehun tidak pernah meninggalkannya.

Luhan tersenyum sembari memejam mata. Tasnya ia peluk erat seakan itu adalah Sehun yang selalu disisinya. Tak lama, ia jatuh terlelap. Meninggalkan satu getar ponsel yang menandakan pesan baru dari Baekhyun.

.

.

.

.

.

Mengubah posisi duduknya untuk yang ke sekian kali, Jongin menelan ludah menerima tatapan dari tiga orang yang berbeda. Sehun yang tidak sabar, Chanyeol yang berharap, serta Baekhyun yang tak percaya.

Padahal baru ada satu kalimat yang meluncur dari mulutnya. Namun langsung ke inti, bunyinya seperti ini kira-kira, 'aku tahu dimana Chanyeol dan Sehun selama ini'.

Baekhyun mengangguk lagi. Menunggu dengan amat sabar mengenai kelanjutan penjelasan Jongin. Melupakan minum yang seharusnya ia buat untuk menjamu lelaki itu.

"Tapi—aku tidak tahu harus memulai darimana. Dan ini pasti terdengar tidak masuk akal."

Baekhyun mengernyit dan Jongin mendapat serangan pening tiba-tiba.

"Intinya adalah," Jongin menarik napas. Diam-diam melirik ke dispenser karena tenggorokannya amat kering saat ini. "Kedua bocah ini, yang ada di depanmu ini," tarik napas lagi. "Adalah Chanyeol dan Sehun."

Satu menit.

Tidak, mungkin nyaris lima menit Baekhyun menatapnya aneh.

Jongin segera menambahkan sebelum lelaki Byun itu menganggapnya sinting.

"Ingat toko ramuan yang kuceritakan? Mereka benar-benar kesana. Salah satu ramuan asing yang mereka minum secara overdosis, membuat keduanya menyusut hingga ke ukuran mini seperti ini."

Ketika Baekhyun mengalihkan tatapan pada si bocah-bocah, ia semakin tak mengerti karena ekspresi anak-anak itu seakan membenarkan cerita yang keluar dari mulut Jongin.

"Satu-satunya jalan yang harus mereka tempuh adalah membuat kau dan Luhan percaya kalau ini benar-benar mereka." Suara Jongin terdengar tak yakin diakhir kalimat, namun ia mendapati Baekhyun yang mulai menunjukkan raut wajah percaya.

"Kenapa aku dan Luhan?"

"Karena memang begitu peraturannya. Mereka harus membuat orang yang mereka suka percaya. Dan, seperti yang kau tahu, Chanyeol menyukaimu."

Baekhyun mengedip lambat dan semua silabel yang sejak tadi diperdengarkan Jongin mulai berputar di kepalanya. Penjelasan ini sangat searah dengan firasatnya sendiri, meskipun tidak ada satupun yang terdengar waras disini.

Kemudian tatapannya jatuh ke dua mata bulat bocah Chanyeol. Tangan kecil anak itu terangkat, menggenggam telapak tangan Baekhyun tanpa memutuskan tatapan lembutnya.

Baekhyun ingat tatapan itu.

Kalau tidak salah selama Chanyeol memohon agar ia tidak terus-terusan menjauh saat Chanyeol mendekatinya.

Kalau tidak salah selama Chanyeol menatapnya diam-diam dari balik pintu kelas, bawah meja, maupun samping pohon.

"Aku…" wajah si anak semakin maju dan remasan yang Baekhyun dapat dari si anak kecil seakan memberinya kekuatan untuk percaya. "… percaya ini kau, Park Chanyeol."

Chanyeol tersenyum amat lebar sebelum tiga orang lainnya terpaksa menutup telinga dan menunduk karena suara gemuruh yang rasanya berasal dari langit-langit kamar. Sehun sampai berteriak karena kebisingan ini terasa nyaris merusak telinganya.

Setelah sekitar satu menit yang terasa begitu lama, tangan Baekhyun yang semenjak tadi menggapai-gapai ingin meraih tubuh Chanyeol mendadak diremas oleh satu telapak tangan yang besar.

Kebisingan pelan-pelan mereda. Sehun, Jongin, dan Baekhyun mulai mengangkat kepala dan membuka mata.

"Terima kasih, Baekhyun-ah." Baekhyun masih mengerjap-ngerjap sebelum matanya melebar melihat sesosok Park Chanyeol di hadapannya. Posisi yang tadinya ditempati si anak berponi panjang digantikan oleh satu pemuda, Chanyeol dengan senyum tampannya.

Tatapan mereka terputus ketika Chanyeol menarik Bekhyun untuk jatuh ke dadanya. Surai rambut Baekhyun diremas halus, hidungnya tenggelam untuk menghirup aroma Baekhyun yang baru kali ini menguar dari dalam pelukannya.

Baekhyun tersenyum lebar sebelum balas melingkari pinggang Chanyeol. Dirinya tak pernah menyangka bahwa dipeluk oleh Chanyeol akan membuat jantungnya berdebar sekencang ini. Kepalanya mengusak, dan ia balas menghirup tubuh Chanyeol. Baekhyun tertawa ketika baunya berubah dari jantan menjadi wangi bedak tabur bayi.

"Nyol,"

Chanyeol melepas pelukan meskipun Baekhyun masih bersandar di dadanya. Matanya mendapati—Oh, sahabat kecilnya Sehun yang sampai saat ini belum berubah ke wujud semula.

"Tenang saja, nanti akan kubuat Luhan percaya padamu."

"Butan itu…" Sehun menggeleng gemas dan anak itu menatap horror pada tubuh nyaris telanjang milik Chanyeol. Hanya ada satu benda berwarna putih yang letaknya sudah tak karuan dan seperti mau robek. Apakah itu popok?

"Pake bachu dulu!"

.

.

.

.

.

Mata Luhan terangkat naik tepat ketika bus baru saja direm. Kepalanya terantuk maju, dan ketika melirik ke seisi kendaraan ia sadar bahwa ini sudah tempat pemberhentian terakhir. Sekaligus tempat tujuannya.

Sedikit melompat keluar sebelum membenarkan tali tasnya, Luhan menatap ragu pada kondisi jalanan yang sepi seperti tak berpenduduk. Ini memang perbatasan kota sehingga jarak antar bangunan pun terbentang sangat jauh.

Melirik jam tangan, masih pukul empat sore. Ia hanya memiliki waktu setengah jam sebelum kembali ke halte bus dan memutuskan untuk pulang.

Luhan mendesah dan memulai langkahnya. Kepalanya menengok ke kanan-kiri bergantian, berusaha menemukan ciri-ciri gang sempit seperti yang Krystal katakan.

Sekitar sepuluh menit setelahnya, Luhan mempercepat langkah begitu menangkap gang yang dimaksud. Gang selebar setengah meter yang ujungnya bisa ia lihat berbelok ke kanan. Angin bertiup kencang hingga nyaris membawa jaketnya yang digenggam.

Matanya ditutup takut. Ia tidak pernah suka jalanan sepi tak bernyawa seperti disini. Tapi petunjuk terakhirnya berada disini, beberapa meter dari tempatnya berdiri, demi menemukan jawaban kemana Sehun selama ini.

Ia memantapkan diri. Kemudian mulai melewati jalan sempit untuk menuju rumah tua dalam sana.

.

.

.

.

.

Lima menit, Chanyeol pun keluar dari kamar Luhan dengan mengenakan baju —milik Sehun, karena lelaki itu punya persediaan di lemari Luhan— dan pemuda itu disambut oleh tepuk tangan meriah dari si kecil Sehun. Jongin turut tersenyum, diam-diam melepas rindu pada satu sahabat konyolnya itu.

Namun yang nampak pada Baekhyun adalah gerak canggung. Lelaki itu sempat menatap Chanyeol beberapa detik, namun segera dipalingkan begitu Chanyeol memamerkan senyum dan berjalan kearahnya.

Disisi lain, tanpa suara Jongin menggendong tubuh mungil Sehun dan masuk ke dapur. Berniat memberi privasi dan —untuk Jongin— menguras isi kulkas sekaligus.

"Maaf sudah lancang memelukmu tadi." suara Chanyeol terdengar lebih jelas ketika pemuda itu duduk di lantai dekat kaki Baekhyun.

Baekhyun berubah melotot seketika. Situasi ini mengingatkannya dengan adegan pernyataan cinta yang pernah dilakukan Chanyeol saat dirinya tersisa sendirian di kelas. Baekhyun berdeham untuk menyamarkan tingkah gugupnya.

"Byun Baekhyun, aku tahu kalau kamu sudah bosan dengan sikap keras kepalaku yang terus menguntitmu." Chanyeol terus menatap dari arah bawah meskipun mata Baekhyun hanya mengarah sesekali kepadanya. "Aku tidak akan memaksa lagi, mengganggumu lagi, apalagi memotretmu diam-diam."

Mendengar kalimat tak biasa dari si pemuda Park, Baekhyun akhirnya menatap penuh pada wajah Chanyeol. Kata-kata tadi terdengar seperti perpisahan namun senyum yang Chanyeol pajang membuat Baekhyun bingung sendiri.

"Aku akan bilang ini terakhir… aku suka kamu, dan aku tidak akan lagi mengusikmu." Chanyeol tertawa diakhir kalimat namun ekspresi Baekhyun justru mengeras. "Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena sudah merawatku tiga minggu ini dan berhasil mengembalikanku seperti semula."

"Kau kira hanya dengan omong kosong itu aku bisa menerima terima kasihmu?"

Senyum Chanyeol meluntur pelan-pelan.

"Omong kosong, Park. Aku tahu kau akan selalu mengikutiku dan memotretku." nada bicara Baekhyun meninggi dan mukanya mulai berpaling dari Chanyeol.

Pemuda yang masih berlutut membuka mulutnya, ingin menyangkal bahwa dirinya tadi bersungguh-sungguh ingin berhenti mengekori Baekhyun. Ia akan berhenti meskipun rasa sukanya pada Baekhyun mungkin akan menetap lebih lama di hatinya.

"Dengarkan aku, Baekhun. Sungguh aku tidak akan—"

"Kau akan selalu mengikutiku. Kau akan selalu seperti itu."

Baekhyun kembali menghadap kearahnya dan Chanyeol bisa menemukan pipi merah di bawah mata Baekhyun yang terpejam. Mata bulat Chanyeol mengedip-ngedip, lelaki itu membutuhkan waktu cukup lama untuk menghubungkan maksud kalimat Baekhyun beserta ekspresi asing di wajah itu.

"Menurutku," Chanyeol kembali bersuara, "Aku tidak akan selalu mengikutimu kemanapun kau pergi," Baekhyun membuka mata dan tatapannya terlihat kecewa. "Kecuali kita menjadi sepasang kekasih, maka bisa dipastikan aku akan selalu mengikutimu."

Bibir Chanyeol kembali tersenyum dan untuk kali ini Baekhyun tak bisa menahan diri untuk tidak memamerkan senyum manisnya. Mereka tertawa bersamaan sembari tetap memasung tatapan satu sama lain. Dalam hati, Baekhyun mulai menyukai senyum indah Chanyeol yang selama ini sudah sering ia sia-siakan.

"Sebentar, maaf, tapi kaleng susu dimana? Bocah ini tak bisa berhenti merengek dan ia terus menempel seperti koala." tiba-tiba Jongin datang sembari menunjukkan kakinya yang dipeluk erat oleh tubuh kecil Sehun.

.

.

.

.

.

Luhan menghempas pantatnya pada kursi di jajaran kanan bus.

Percakapan singkat dari pemilik toko tua tadi kembali membuat otaknya dipaksa berputar. Luhan kira ia akan menemukan Sehun atau paling tidak lokasi pasti dimana Sehun berada, bukannya tebak-tebakan dan kalimat misterius yang ia tidak tahu artinya.

"Oh, kau Luhan? Pacar Sehun?"

"Ah, benar… Bagaimana bisa Anda—"

"Aku selalu ingat wajahmu semenjak Sehun menunjukkan selembar foto kalian, memintaku untuk meramalkan masa depan kalian berdua. Meskipun hasilnya kosong karena aku bukan seorang cenayang." paman itu tertawa.

Mendengar itu, firasat Luhan semakin menguat dan kaki lelaki itu melangkah lebih dalam menelusuri ruangan penuh rak dengan jajaran ramuan beragam bentuk botol.

"Kalau begitu Anda ingat Sehun pernah datang kesini?"

"Benar." Luhan sudah siap kembali bertanya sebelum suaranya dicela, "Dan kau pasti sedang mencarinya, kan?"

Ia mengangguk. Tatapan matanya berubah takjub.

"Sebenarnya, anak muda… Sehun tak pernah berada jauh darimu dan seringkali hadir di depan matamu."

Luhan tidak mengerti.

"Yang perlu kau lakukan adalah pulang, kembali ke tempat tinggalmu, dan percayakan masalah ini pada pacarmu."

Klu yang ia dapat hanya sebatas pulang, tempat tinggal, dan percaya.

Luhan sudah bertanya lebih lanjut namun jawaban yang ia dapat tak berhasil membuatnya paham. Paman misterius itu terus tertawa sehingga Luhan tak punya pilihan lain selain pulang demi tak ketinggalan bus.

Belum selesai memecahkan teka-teki barusan, Luhan mendadak sadar belum mengabari Baekhyun tentang kepergiannya ini. Dari kampus tadi, yang ada di pikirannya hanya menemukan Sehun sampai-sampai ia lupa untuk mengirim pesan singkat pada teman se-apartemennya itu.

Tidak salah… Ada satu pesan masuk dari nama pengirim Baekhyunie ketika layarnya dinyalakan.

Namun isinya tidak Luhan duga, yaitu berita bahwa dua anak kecil di apartemennya hilang diculik orang. Matanya membola, tangannya langsung mengirimi belasan pesan singkat yang menanyakan informasi lanjut dari pesan tadi.

Dari semuanya, tak satu pun dibalas sehingga Luhan hanya bisa menghabiskan sisa perjalanan dengan meremas ponselnya.

.

.

.

.

.

"Sumpah, bahkan sampai sekarang aku tidak percaya kejadian fantasi macam ini bisa menimpaku dan Sehun."

"Sangat konyol. Lebih konyol lagi ketika melihat wujud dewasamu yang mengenakan popok sempit."

"Memalukan! Jong, jangan pernah membahasnya lagi dan kau, Baek, lupakan tingkah bocahku selama aku menjadi balita."

"Tidak akan, Chan. Kau sangat lucu saat menjadi anak kecil. Aku menyukainya."

Sehun mengerucutkan bibir dan tangannya melepas mainan robot ke permadani. Bermain robot menjadi sangat hambar jika sendirian. Sedangkan Chanyeol yang sudah kembali menjadi dewasa lebih memilih untuk mencampakkannya seorang diri, dan sibuk berbincang dengan dua orang dewasa lainnya.

Dasar tidak solid.

Mata sipit Sehun melirik sinis pada ketiga tersangka keributan. Jongin beserta Chanyeol dan Baekhyun benar-benar melupakan keberadaannya sekarang ini.

Untuk pertama kali, Sehun benci orang dewasa.

Sambil malas-malasan, ia pun tengkurap dengan membantali wajahnya membelakangi sofa. Luhan belum juga datang dan selagi menunggunya, Sehun mulai terlelap sembari mengerutkan alisnya.

Ketika Sehun sudah benar-benar terlelap dan deru napas teratur keluar dari hidungnya, terdengar suara pintu yang dibuka kasar dan suara kaki berlari yang menuju ke ruang tengah.

Mereka yang masih diatas sofa menjeda obrolannya. Suara langkah ribut semakin mendekat dan kemudian diakhiri oleh penampakan Luhan yang berantakan, napas terengah, dan suara frustasi, "Dimana anak-anak? Mereka tidak benar-benar diculik kan?"

.

.

.

.

.

Mata Luhan yang menelanjangi seisi ruangan langsung berhenti ke sosok jangkung Chanyeol. Ia bisa merasakan otaknya yang hang tak bisa mengerti bagaimana bisa Chanyeol mendadak disini sedangkan Sehun tidak. Ada banyak kejadian luar biasa yang menimpanya hari ini, dan kepala Luhan menjadi macet sekarang ini.

"Chanyeol—kenapa?" tanya Luhan terbata sembari mendekat ke sofa. Ia sempat memutar lehernya untuk menemukan Sehun, namun keberadaan kekasihnya tetap tak tertangkap dimanapun.

"Duduklah, dan dengarkan semua ceritaku dari awal."

.

.

.

.

.

Ada banyak hal yang mengerubungi kepala Luhan sekarang ini. Bukan lagi tentang teka-teki sang paman, karena detik ini ia sudah tahu betul jawaban dimana Sehun berada. Chanyeol menjelaskannya sedetil mungkin, tanpa melewatkan satu momen pun, hingga akhirnya Luhan merasa lega karena sadar bahwa Sehun tak pernah menghamili wanita manapun di dunia ini.

Matanya masih menelusuri wajah kecil si anak yang terlelap. Sekitar empat puluh lima menit lamanya Luhan membeku di posisi ini, menelaah pahatan wajah kecil yang menghadap kearahnya. Sudah dirinya duga bahwa anak ini tidak akan terganggu tidurnya selama dipindahkan menuju ranjang. Baby Hun memang selalu tidur nyenyak, membuat mulutnya terbuka membentuk lingkaran kecil.

Luhan mendesah napas.

Jika saja bisa memutar ulang waktu, mungkin ia akan berada di apartemen seharian demi menemani si anak sepanjang hari. Ia sudah cukup merasa bersalah karena sempat membenci bocah manis di depannya.

Satu telunjuknya mengelus pipi tembam Sehun. Membayangkan bagaimana jadinya jika sosok ini berubah menjadi dewasa, seperti yang diilustrasikan Baekhyun ketika Chanyeol bertransformasi.

Luhan kembali menarik tangannya begitu menangkap gelagat Sehun yang terganggu. Anak itu merubah posisi setelah menggeliat satu kali, berubah menjadi telentang hingga kausnya tersingkap keatas.

Luhan tertawa. Ia pasti akan merindukan pemandangan ini.

"Sehun…" panggilnya sembari menopang dagu menatap si anak.

"Sehun, bangunlah."

Si anak semakin terganggu, Luhan bisa mengetahuinya kerutan alis di wajah mungilnya.

Astaga, bahkan aku baru sadar kalau kerutan alisnya saja sama.

"Sehunnie, cepat bangun. Setelah berubah dewasa, kau boleh tidur lagi, oke?"
Si bocah mengerang ketika ia mendapat gelitikan di perutnya yang terbuka. Ia merengut marah sebelum akhirnya mengangkat kelopak matanya naik, menatap ngantuk pada senyum manis Luhan.

"Sehun, aku sudah percaya ini kau. Jadi, kembalilah seperti semula, ya? Aku rindu kau…"

Bagai mantra ajaib, mata yang awalnya sipit menjadi bulat sempurna. Anak itu melotot seraya berubah duduk.

"Luwan na pecaya ma Hun?" muka tak percaya si balita benar-benar terlihat menggemaskan.

Luhan tersenyum semakin lebar sebelum memeluk kepala mungil si anak dan membawanya ke dada. "Ya, sayang. Kau bisa kembali sekarang."

.

.

.

.

.

Tidak ada tanda-tanda suara gemuruh yang memekakkan telinga seperti yang Baekhyun katakan. Tidak ada yang membuatnya harus menutup telinga, bahkan atmosfer terasa damai heningnya.

Luhan tak melepas pelukannya. Ia ingin berada langsung di rengkuhan Sehun begitu lelaki itu berhasil kembali dewasa. Itulah yang membuatnya tak menutup telinga dan nekat menunggu suara keras seperti yang disebut-sebut. Luhan lebih memilih tetap berada di pelukan Sehun.

Sampai dua menit selanjutnya, tak ada kebisingan yang kunjung datang. Luhan sempat khawatir sehingga ia meremas semakin kuat tubuh kecil yang ada di dadanya.

Jantungnya serasa dihantam saat menyadari tubuh kecil di pelukannya menghilang. Ganti menjadi satu orang bertubuh tinggi, berbahu lebar sehingga cukup untuk tempat Luhan menumpukan kepalanya.

"Se—hun?" ia bertanya ragu-ragu. Tidak mau membuka mata dan memilih bertahan menekan wajahnya ke dada orang itu.

Luhan kembali tercekat saat merasakan telapak tangan besar meremas surai rambutnya dari belakang. Ia berdebar-debar, ingin membuka mata namun juga takut semuanya hanya ilusi semata.

"Sudah lama sekali ya, aku tidak mengusak rambutmu seperti ini?"

Akhirnya Luhan menyerah dan menjauh dari rengkuhan Sehun. Mata membelalaknya disambut oleh senyum Sehun yang sudah lama ini tak pernah ditujukan untuknya.

"Sehun…" airmata Luhan mulai mencair dan ia mulai menunduk sembari menangkup wajahnya. Luhan tak pernah mengira rasanya sebahagia ini untuk kembali bertemu kekasihnya.

"Maaf,"

Sehun menangkup kedua sisi wajah Luhan. Ia merunduk untuk menatap muka Luhan yang disembunyikan pemiliknya, kemudian memberikan satu kecupan di masing-masing pelipis.

"Jangan marah padaku, Lu. Chanyeol-lah yang paling tepat disalahkan."

Luhan tertawa di tengah isak tangisnya. Wajahnya yang basah kembali mendongak dan ia disambut oleh senyum jenaka di bibir Sehun.

"Aku tidak marah." ujar Luhan sembari mengusap dua pipinya. Senyum masih betah tinggal di mukanya.

"Hm, hanya mengurung diri di kamar berhari-hari sampai aku tidak diizinkan masuk."

Mendengar sindiran itu, Luhan terkekeh hingga napasnya mendera wajah Sehun. Tatapannya di pasung pada setiap detil fitur wajah kekasihnya yang ia rindukan. Tangannya terayun naik untuk mengusap rahang Sehun, seperti yang sering ia lakukan.

Sehun menerimanya, mengikuti belaian tangan mungil Luhan sembari curi-curi kesempatan mendaratkan kecupan di telapaknya. Luhan menarik tangannya hingga kini ia menyentuh dagu Sehun. Matanya menutup, kepalanya maju perlahan-lahan sebelum menginisiasikan sebuah ciuman yang sudah ditunda selama sekitar dua puluh satu hari.

"Happy anniversary, Sehunnie."

Bibir kembali menyatu meskipun kali ini Sehun adalah pihak yang memulai. Dengan bantuan satu tangan Sehun di punggung Luhan, Luhan mulai telentang perlahan-lahan.

"Sudah kubilang tidak hanya ciuman, kan?"

Luhan tertawa sebelum mengalungkan tangannya dan menggigit rahang Sehun. Yang selanjutnya, ia hanya bisa menengadah pasrah berkat serangan tangan Sehun tepat di dadanya.

"Kukira kau akan kembali dewasa dengan mengenakan popok?" pertanyaan tak bermutu itu keluar di sela desahan Luhan. Karena sebenarnya ia masih bingung dengan kondisi Sehun yang sama sekali tak berbusana. Tidak seperti Chanyeol.

"Hm, mungkin milikku terlalu besar sampai benda itu tak bisa menampungku."

"Terdengar masuk akal…"

.

.

.

.

.

The. End.

.

.

.

Ada alasan kenapa fic ini update extremely ngaret.. Jadi aku kehilangan feel buat nulis Baby Hun Baby Yeol. Karena isi ceritanya yang gak masuk akal dan aku sendiri pun bingung bisa dapet ide begini darimana. Jadi maaf banget baru sempet finish sekarang. Tadinya malah pengen aku discontinued tapi banyak yang minta lanjut :''

Okelah, aku tau ini isinya aneh banget tapi otakku cuma nyampe ke ide ini huhu

.

Terakhir, aku mau nawarin bagian epilog rated M buat HunHannya aja. Setuju kah?

.

Review, sweetie?

(yang panjang juga gakpapa. itung-itung aku nulis ini 6k+ huehuehu)

.

Shend, 4 Desember 2016