Rukia duduk termenung di bangku kesayangannya. Tatapannya menatap kosong pada buku tulis yang penuh dengan rumus matematika itu. Ia tengah mengabaikan guru yang sibuk menjelaskan tentang integral Euler. Gadis itu lebih memilih memikirkan perasaannya sekarang ini. Pernyataan dan pertanyaan dari Inoue membuatnya bingung bukan main. Tadi saat jam sekolah belum dimulai, gadis itu menjadi ragu dengan dirinya.

"Kau menyukainya, Rukia-chan. Itulah yang aku lihat dari tingkahmu."

Memangnya Rukia bertingkah seperti apa? Setahunya ia selalu emosi jika berhadapan dengan Kurosaki Ichigo. Ya walaupun selama hampir satu bulan ini, ia selalu dekat–diseret paksa – dengan pemuda itu.

"Lalu bagaimana menurutmu? Apa kau menyukainya?"

Saat itu Rukia langsung menjawab 'tidak'. Ia menjawabnya tanpa berpikir. Lidahnya seperti sudah tersetting untuk berkata seperti itu. Rukia pikir itu benar. Tapi kenapa ia terus memikirkannya?

Rukia tidak menyukainya. Ia tidak mungkin menyukai Kurosaki Ichigo. Pemuda itu... tidak mungkin mampu mengusir Kaien dari hatinya.

Harusnya begitu.

.

Gadis itu menggerakkan tangannya begitu pelan. Semilir angin di atap gedung serta pandangan ingin tahu dari manik hazel bahkan tak mampu menariknya dari lamunan. Ia juga tak sadar bahwa kini pemuda yang menatapnya itu tengah tersenyum jahil dan memakan potongan sosis dari bekal makan siang gadis itu.

Dan ketika lima potong sosis itu telah lenyap, barulah partner makan siangnya itu menegurnya. "Apa ada? Apa yang kau pikirkan?"

Rukia sedikit tersentak. Ia menegapkan tubuhnya lalu menatap bingung pada pemuda itu. "Ah... tidak ada apa-apa," jawab gadis itu.

"Kau pasti memikirkanku," ujar pemuda itu asal.

Niatnya memang bercanda, tapi ketika melihat tatapan kaget dan semburat merah muncul pada gadisnya membuat pemuda itu menyeringai senang.

"Apa maksudmu? Aku tidak tahu kau senarsis ini, baka Ichigo!" Rukia mengalihkan matanya dari pemuda itu. Ia menyumpitkan nasi dari kotak bekalnya lalu menatapnya heran. Gadis itu bahkan mengabaikan godaan yang tadi membuatnya memerah padam. Ia tengah kebingungan dan... marah.

Ke mana perginya semua sosisku? Batinnya.

Amethystnya menyipit tajam. Pandangannya penuh selidik pada Ichigo. Rukia yakin, jeruk busuk ini yang menjadi tersangka utama pencurian lauk makan siangnya. "Kau mengambil sosisku?!"

Seringai di wajah pemuda itu berubah menjadi senyum manis. Ia menggeleng pelan. "Aku tidak mengambilnya. Aku hanya ingin membantumu berbagi," jawab Ichigo.

Mulut kecil Rukia terbuka beberapa detik lalu tertutup rapat. Bibirnya sedikit mengerucut sebal. Alisnya menukik tajam. Rukia tengah berusaha menahan emosi agar tak melemparkan kotak bekalnya ke wajah sialan itu. Dasar pencuri menyebalkan!

"Baiklah kalau begitu." Rukia memberikan senyum iblis. "Aku juga akan membantumu berbagi." Tangan kecil itu menggerakkan sumpitnya menuju gulungan telur dadar dari kotak bekal kekasihnya itu. Dan saat beberapa inci dari target, sumpit Ichigo berhasil menghentikan sumpit milik Rukia.

"Kalau kau ingin membantuku berbagi, kau boleh mengambil semua brokoli dan wortelku. Hanya brokoli dan wortel."

Rukia menggeleng tidak setuju. "Tidak mau. Makanan yang berasal dari hewan harus dibayar dengan bahan yang sama." Rukia masih berusaha mengambil telur itu namun lagi-lagi Ichigo menghentikannya.

"Telur dadar mengandung banyak kolesterol. Dan sayur lebih sehat untukmu," ucapnya masih berusaha menghalau sumpit nakal milik Rukia.

"Aku alergi sayur!" ucap Rukia asal. Gadis itu tak mau kalah dalam adu sumpit ini.

"Jangan bercanda. Setiap hari kau memakan sayur!"

"Kapan? Aku tidak ingat!"

"Yang benar saja!"

"Pokoknya aku mau telur!"

Gerakan Rukia makin agresif. Gadis itu meletakkan bekalnya lalu dengan bantuan tangan kirinya, ia berhasil mengunci gerakan sumpit Ichigo. Refleks, pemuda itu menjauhkan bekalnya dari arah Rukia. "Tidak ada telur untukmu!"

"Telur!"

"Tidak!"

"Telur!"

"Tidak!"

"Baiklah terserah!" seru Rukia putus asa. Ia menghentikan pertengkaran konyol itu dan dengan sebal melanjutkan makan siangnya. Ia sedikit memutar tubuhnya, menghindari wajah pemuda itu tertangkap penglihatannya. Sudah Rukia putuskan. Dirinya tidak mungkin menyukai pencuri pelit seperti Ichigo. Tidak sama sekali!

Melihat gadisnya menyerah membuat Ichigo menaikan alis heran. Ia menurunkan kembali kotak bekalnya dan mulai mengikuti Rukia memakan bekalnya. Senyumnya terkembang saat melihat Rukia makan dengan terburu-buru. Sepertinya putri kecil ini masih marah padanya.

Dengan sebuah ide jahil, Ichigo menjepit telurnya dengan sumpit lalu menyodorkannya ke arah Rukia. "Baiklah. Kalau kau mau, kau bisa ambil ini."

Mendengar itu, Rukia menghentikan gerakan tangannya. Ia melirik gulungan telur dadar itu lalu beralih pada Ichigo. Matanya menyipit tak percaya. Kurosaki Ichigo tak mungkin sebaik ini. Ada yang aneh.

"Benarkah?" tanyanya.

"Tentu saja." Ichigo mengangguk. Seringai masih terpampang di wajahnya. "Kau boleh memakan semua telur gulungku dengan syarat... kau harus menciumku."

Dan satu kalimat itu berhasil membuat Rukia mencibir kesal. "Tidak, terima kasih." Rukia kembali memakan bekalnya. Mengabaikan Ichigo yang terkekeh puas.

Dalam hati, Rukia berharap Ichigo mati tersedak telur dadar itu.

.

Rukia mendengus kesal. Hari ini Kurosaki Ichigo menyeretnya entah ke mana. Pulang sekolah tadi, Ichigo tiba-tiba meminjam ponselnya dan mengabari Hisana–kakak Rukia– bahwa ia akan pulang telat. Dan ternyata kini mereka berada di sebuah mall tidak jauh dari sekolah mereka.

Kencan? Tentu saja bukan.

Setelah memarkirkan sepeda, Ichigo segera mengaitkan tangan Rukia dengan miliknya lalu membawa gadis itu memasuki deretan toko. Rukia sekarang sudah bukan lagi gadis nerd yang akan selalu berusaha melepaskan tangan preman menyebalkan ini. Rukia sekarang sudah terlalu biasa dan entah kenapa ia lebih cenderung nyaman dengan genggaman itu.

"Apa yang kita lakukan di sini?" tanya Rukia. Ia berusaha menyejajarkan langkah Ichigo yang terlalu lebar untuknya.

"Bantu aku membeli hadiah untuk adikku." Dan kini Kurosaki jingga itu menariknya menuju toko pakaian olah raga.

Rukia mengerjap bingung. Ichigo tidak pernah menceritakan apapun tentang keluarganya. Ia juga tak tahu kalau kekasihnya ini memiliki jiwa seorang kakak yang baik. Bukankah seharusnya seorang preman bertingkah cuek dengan keluarganya?

"Adikmu laki-laki? Kurasa aku tak bisa membantu apapun," ucap Rukia. Matanya mengitari deretan sepatu bola yang sepertinya akan dipilih Ichigo.

Pemuda itu mengambil sepatu bola berwarna merah. Menyejajarkan sepatu sebelah kiri itu di depan wajahnya. "Perempuan. Adik ku kembar. Namanya Karin dan Yuzu. Karin sangat menyukai sepak bola dan sedangkan Yuzu sangat feminim. Aku memintamu untuk mencarikan hadiah untuk Yuzu."

Rukia mengangguk paham. Ternyata Ichigo punya adik kembar. Tanpa sadar gadis itu tersenyum. Sebelumnya Ichigo tidak pernah membicarakan tentang keluarganya. Ini pertama kalinya dan itu membuatnya senang sekaligus iri. Ia tak punya adik dan memiliki adik kembar, sepertinya menyenangkan.

"Aku pilih ini," ucap Ichigo pada pelayan toko. Ia memilih sepatu tadi dan menyerahkannya pada pelayan itu. Rukia tersenyum takjub. Ichigo hanya memerlukan waktu beberapa menit untuk memilih sepatu, berbeda sekali dengan dirinya yang akan menghabiskan beberapa jam untuk memilih sepatu dari toko satu ke toko yang lain. Kaum adam memang beda.

Setelah membayar, Ichigo kini menenteng kotak sepatu yang terbungkus rapi dalam tas kertas. Selanjutnya adalah memilih hadiah untuk Yuzu.

"Menurutmu, apa yang harus ku beli untuk Yuzu?"

Rukia berpikir sejenak. "Apa yang adikmu sukai?"

"Setahuku dia hanya suka memasak."

Rukia kembali berpikir. Untuk seseorang yang gemar memasak, kado apa yang harus diberikan? Tidak mungkin kan memberikan panci atau pun satu set pisau. "Selain itu? apa Yuzu menyukai hal lain? Apa dia mengoleksi sesuatu?"

Kali ini Ichigo lah yang tampak serius memikirkan apa yang adiknya sukai. "Dia mengoleksi film. tapi aku tidak–"

"PENCURI!"

Seruyan seseorang berhasil menghentikan aktivitas orang-orang di sekitarnya. Melihat seorang pria dengan topi dan wajah berlari mendekati mereka, secara refleks Ichigo menarik Rukia ke belakang tubuhnya lalu mengulurkan kaki menghalangi langkah pria itu. Pencuri itu jatuh dan beberapa orang di sekitarnya langsung mengamankan.

"Onii-chan?!" panggil seorang gadis.

Ichigo dan Rukia menoleh ke sumber suara. Seorang gadis yang sibuk mengambil napas, seperti gadis itu habis berlari. "Yuzu? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ichigo.

Ah... jadi ini yang namanya Yuzu. Dia sangat manis. Warna rambut tak seterang milik Ichigo. Sekali lihat pun semua orang tahu bahwa gadis ini sangatlah feminim.

"Aku sedang membeli DVD dan orang itu mencuri dompetku," ucap Yuzu sambil menunjuk pencuri yang kini tengah dipegangi beberapa orang.

"Apa?!" Ichigo yang mendengar itu mulai emosi. Berani sekali orang itu mencuri dompet adiknya? Kurang ajar. Orang itu harus diberi pelajaran.

Pemuda itu menjatuhkan kantung bawaannya lalu beranjak menuju si pencuri. Dan dalam hitungan detik berikutnya, ia sudah melayangkan tinjunya. Sontak saja semua orang berteriak.

"Berani sekali kau menyakiti adikku!"

Melihat kakaknya sedang mengamuk, Yuzu segera memegangi lengan Ichigo. Kakaknya memang sangat menyeramkan kalau ada yang membuatnya emosi. "Onii-chan. Sudah cukup! Aku baik-baik saja."

Pemuda itu mengikuti perkataan adiknya. Ia menghembuskan napas berat lalu beralih menatap Yuzu. "Kau yakin baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lebih lembut.

Yuzu mengangguk. "Aku baik-baik saja. Sungguh!"

Pemuda itu bernapas lega. Adiknya satu ini memang lembut. Untung saja tidak terjadi apa-apa. Kalau saja pencuri itu melukai adiknya, sudah pasti Ichigo akan menghabisi orang itu.

"Hm... ini dompetnya," ujar Rukia sembari menyerahkan dompet itu. Pihak keamanan telah membawa pencuri itu dan mengembalikan dompetnya pada Rukia.

"Ah... terima kasih." Yuzu menerima dompet itu. "Hmm... kau teman onii-chan?"

"Maaf. Aku lupa memperkenalkannya padamu." Ichigo menggaruk lehernya kikuk. "Yuzu, ini Kuchiki Rukia. Rukia, ini Kurosaki Yuzu," jelas Ichigo memperkenalkan.

"Senang bertemu denganmu," tambah Rukia.

Gadis berkacamata itu kehilangan senyumnya ketika tiba-tiba Yuzu memeluknya erat. "Senang bertemu denganmu, Rukia-chan." Ia melepaskan pelukannya. "Aku tidak menyangka onii-chan punya teman perempuan. Atau jangan-jangan kau pacarnya?"

Wajah gadis itu memerah padam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebelumnya ia tak pernah mau mengatakan Ichigo adalah kekasihnya. Lalu apa yang harus ia jawab?

"Berhenti mengganggunya, Yuzu," potong Ichigo. Pemuda itu mengetahui kebimbangan Rukia.

"Onii-chan, aku hanya ingin menyapa pacarmu. Ah, Rukia-chan. Ayo mampir ke rumah. Makan malamlah bersama kami."

"Maaf, tapi mungkin lain kali saja." Dengan canggung, Rukia menolak undangan makan malam itu. gadis berkacamata itu tidak tahu akan berbuat seperti apa jika harus berhadapan dengan keluarga Ichigo. Bagaimana jika mereka menanyakan hal yang tidak-tidak? Bagaimana jika mereka tidak menyukainya?

Tunggu. Bukankah seharusnya Rukia senang jika mereka tidak menyukai dirinya? Dengan begitu ia bisa terbebas dari kutukan bernama Kurosaki Ichigo. Ya memang harusnya seperti itu. Lalu kenapa ia harus takut? Kenapa Rukia harus khawatir?

Entahlah. Rukia juga tidak tahu jawabannya.

.

Ichigo mendengus kesal. Ia kini tengah duduk di kursi, menghadap Rukia dan Yuzu yang duduk berjajaran dan mulai membahas kelinci bodoh yang namanya Ichigo lupa apa itu. pemuda itu sama sekali tidak mengerti jalan pikir Rukia. Tadi, saat Yuzu memintanya berkali-kali untuk makan malam di rumah mereka, gadis itu gigih menolak. Tapi, saat Yuzu bilang ingin menonton DVD yang baru ia beli–yang ternyata bercerita tentang tokoh kelinci– tiba-tiba saja gadis itu langsung mengiakan. Dasar maniak.

Sebenarnya Ichigo senang Rukia dan Yuzu bisa bicara akrab seperti itu. Rukia yang kekanakan sepertinya cocok dengan adiknya. Sayangnya diabaikan bukanlah sesuatu yang Ichigo sukai. Ia memilih bangkit dari kursinya lalu segera naik ke kamarnya. Pemuda itu sempat panik saat Yuzu menanyakan apa yang sedang ia lakukan di mall tadi. Untung saja kata kencan bisa membuat Yuzu percaya sekaligus Rukia mendengus kesal.

Ya, gadis itu masih menolaknya.

Ichigo merebahkan diri di ranjangnya. Tangannya menggapai earphone dari meja lalu memakainya. Ia mulai mencari-cari lagu dari ponselnya lalu memutarnya. Membiarkan musik bernada keras khas hardcore itu mengalun kasar di telinganya.

Pemuda itu kini terdiam. Matanya menatap langit-langit kamar. Pikirannya terbang. Ia tengah membayangkan kekasih mungilnya. Gadis yang sangat ia sukai itu masih belum bisa menerimanya. Ya, Ichigo memang bukan pemuda romantis. Ia cenderung kasar dan lebih suka mengerjai gadisnya. Walaupun begitu, ia sudah berusaha. Ia mengubah penampilannya agar selalu terlihat rapi, berhenti berkelahi–selama di sekolah tentu saja– dan selalu berusaha membantu gadis itu. Sayangnya semua itu belum cukup. Sepertinya Ichigo tidak akan mampu mengusir Kaien dari pikiran Rukia. Dan itu sangatlah menyebalkan.

.

Dapur yang biasanya sepi itu kini terlihat lebih ramai. Yuzu yang biasanya memasak sendiri kini ditemani obrolan menyenangkan dengan Rukia. Gadis SMP itu sangat tak menyangka bawah kakaknya yang sangat anti dengan perempuan itu kini sudah punya pacar. Dan yang membuat menarik adalah tipe gadis yang kakaknya sukai. Ia tak menduga bahwa kakaknya itu menyukai gadis polos berkacamata. Benar-benar mengejutkan.

"Jadi... apa yang tidak disukai Ichigo?" tanya Rukia. Wajahnya terlihat begitu antusias dengan tangan sibuk memindahkan makanan dari wajan ke piring.

Alis Yuzu terangkat heran. "Yang tidak disukai? Harusnya yang kau tanyakan adalah apa yang disukai onii-chan."

Dengan sedikit canggung, gadis itu menggeleng. "Ya... bagaimana ya? Hubunganku dengan kakakmu tidak seperti yang kau pikirkan." Rukia bingung harus memulainya dari mana. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa hubungan mereka hanya ide kejailan dari taruhan Ichigo semata. "Kakakmu itu sangat suka menggangguku. Dia selalu mencuri lauk makan siangku. Dan aku ingin membalas jeruk itu."

Mendengar itu membuat Yuzu tertawa. Kakaknya yang anti sosial itu mencuri bekal? Benar-benar bukan Kurosaki Ichigo. "Benarkah onii-chan melakukan itu? tidak mungkin!"

Rukia mengangguk dengan semangat. "Ayolah. Bantu aku, Yuzu," rengeknya.

Yuzu tertawa. Melihat Rukia yang tampak berharap membuatnya ingin memeluk kekasih kakaknya itu. "Baiklah... mm, onii-chan sangat membenci kucing. Ah bukan, dia alergi bulu kucing. Dia punya fobia dengan badut dan dia tidak suka–"

"Tunggu!" potong Rukia. "Kau bilang Ichigo takut dengan badut?" tanyanya tak percaya.

Yang ditanya pun mengangguk. "katanya badut itu mengerikan. Ia bahkan tidak pernah mau datang taman hiburan. Onii-chan terlalu takut dengan badut."

Dan penjelasan Yuzu baru saja itu membuat Rukia tertawa berbahak-bahak. Pemuda yang selalu sok berkuasa itu ternyata takut dengan badut? Yang benar saja. Ini bisa jadi berita heboh di sekolah. Sayangnya Rukia tak sejahat itu. Rukia memang punya ide licik tapi itu hanya untuk menjadi rahasianya sekarang ini.

.

Kaki mungil itu menapaki beberapa anak tangga dengan ragu. Ini pertama kalinya ia menjelajahi rumah orang lain tanpa ditemani si pemilik rumah. Makan malam sudah selesai dan hanya perlu memanggil Ichigo. Tadi, Yuzu bilang bahwa ia akan langsung mengetahui kamar kakak kesayangannya itu. Dan benar saja, empat pintu yang tersusun berderet berhadapan itu tak mempersulit Rukia dalam menemukan pintu kekasihnya.

Pasti ini kamarnya. Pikirnya saat menemukan pintu berwarna kayu dengan gantungan pintu angka lima belas. Satu untuk ichi dan lima untuk go.

Rukia mengetuk pintu itu dan memanggil nama Ichigo berulang-ulang. Tidak ada tanggapan. Dan itu sedikit membuat Rukia kesal. Apa Ichigo tertidur?

Tangan mungilnya melepaskan kacamatanya lalu menggosok lensa kirinya yang sedikit buram sebelum kembali memakainya lagi. Setelah itu, ia membuka pintu itu dengan memanggil nama kekasihnya.

Matanya mengernyit saat mendapati putra sulung Kurosaki itu tengah tertidur dengan tangan kiri menutupi matanya. Rukia berjalan mendekat dan mendesah berat saat menyadari sepasang earphone bertengger di telinga.

Dasar Ichigo bodoh. Apa ia tidak tahu bahwa tidur dengan menggunakan earphone tidak bagus untuk kesehatan telinga?

Awalnya Rukia berniat untuk segera membangunkan Ichigo, sayangnya sifat usil Rukia tengah kambuh. Ia lebih memilih melihat-lihat ke sekeliling. Meneliti setiap barang yang ada di kamar preman-bodoh-menyebalkan itu.

Rapi dan bersih. Kata-kata itulah yang bisa menggambarkan kamar ini. Rukia juga tidak menyangkanya. Bagaimana bisa seseorang yang selalu berpakaian dan bertingkah urakan itu punya kamar serapi ini? Konyol.

Kamar ini tidaklah sebesar kamarnya. Dindingnya dipenuhi poster penyanyi Rock yang tertempel secara rapi. Ranjang yang tengah Ichigo tempati tidak terlalu besar. Di sampingnya ada sebuah meja dan lemari. Meja itu cukup menarik perhatian Rukia. Gadis itu mendekati meja lalu mulai mengamati benda-benda yang ada di atas meja.

Deretan buku itu mampu mengejutkan Rukia. Awalnya berderet komik-komik lusuh. Setelah itu didominasi buku-buku sekolah yang mampu mengejutkan Rukia. Gadis itu tidak tahu kalau Ichigo terlihat serajin ini. Jangan-jangan Ichigo belajar dengan giat demi taruhan itu.

Gelengan kepala membuktikan bahwa Rukia menolak pemikirannya sendiri. Tidak mungkin. Tidak mungkin Ichigo belajar hanya untuk memenangkan taruhan mereka satu setengah bulan yang lalu. Memangnya untuk apa? Kenapa Ichigo mengusahakan itu.

Tunggu! Bukankah dari awal ini sangat aneh. Kenapa Ichigo menerima ajakannya–yang sebenarnya ditujukan untuk Kaien– untuk kencan di taman bermain walaupun menurut Yuzu, Ichigo sangat membencinya? Kenapa pemuda itu memaksa menjadi kekasihnya hingga mau menerima tantangan menyebalkan itu? Kenapa Ichigo mau menuruti Rukia dan berubah dari dirinya yang super menyebalkan–sekarang pun masih cukup menyebalkan– menjadi pemuda yang lebih menaati aturan? Kenapa pemuda itu mau membantunya menyelesaikan hukuman padahal pemuda itu selalu kabur jika diberi hukuman?

Dan kenapa Ichigo selalu menciumnya dengan lembut?

Tidak mungkin Ichigo menyukainya. Tapi ini terlalu membingungkan. Ichigo memang brengsek tapi Rukia tahu pemuda itu bukanlah orang yang suka bermain perempuan seperti Grimmjow. Bahkan bisa dibilang Ichigo sangat malas jika harus menanggapi fans girlnya yang memang menyebalkan itu. Lalu kenapa? Apa Ichigo hanya ingin menghilangkan kebosanan dengan menjahili dirinya? Tidak mungkin. Karena walaupun Ichigo selalu menjahilinya, pemuda itu cenderung tunduk dan terlihat seperti bodyguard dan supir untuknya. Dan Rukia yakin tidak ada orang yang mau melakukan hal seperti itu secara gratis.

Dan memikirkan itu semua membuat Rukia merasa tidak nyaman sama sekali.

"Apa kau tidak diajari untuk mengetuk pintu sebelum masuk ke kamar seseorang?"

Suara bariton itu berhasil menarik perhatian Rukia. Violetnya berpaling dan menemukan Kurosaki Ichigo sudah duduk dan tengah melepas earphonenya. Rukia menyilangkan tangan di depan dada lalu memulai cibirannya.

"Aku sudah mengetuk tapi kau tidak menjawabnya," sanggah Rukia.

Ichigo beringsut duduk di pinggir ranjangnya. Matanya terlihat memerah dan sipit. Sepertinya pemuda itu masih mengantuk. Sayangnya seringai tipis di wajahnya sedikit menampik pernyataan tersebut.

"Dan kau memilih untuk masuk tanpa diizinkan?! Kau tahu? Sendirian memasuki kamar seorang laki-laki itu bukan sesuatu yang bijak. Terutama oleh gadis pendek seperti mu."

Pendek? Okay, sekarang Rukia ingin segera menjambak seluruh rambut jingga itu hingga botak. Sayangnya apa yang diucapkan Ichigo memang benar dan itu membuat dirinya kesal.

Rukia memalingkan kepala, sebal. Ia mengabaikan Ichigo yang kini berdiri dan melangkah mendekatinya dengan kekehan kecil yang cukup mengganggu telinga.

"Jadi, apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Ichigo begitu berdiri tepat di hadapan Rukia. Gadis itu kini menyandarkan pinggulnya ke meja belajar dan menatap sinis ke Ichigo.

"Makan malam sudah siap. Yuzu memintaku memanggilmu."

"Dan bukannya membangunkanku, kau lebih memilih berwisata di kamarku, begitu?!"

Rukia menyipitkan mata menatapnya. Ia membetulkan letak kacamatanya dengan tangan kiri lalu kembali menyilangkan tangan di depan dada. "Ya, dan aku tak menyangka Kurosaki Ichigo memiliki kamar serapi ini."

"Hm.. Yuzu yang selalu membersihkannya."

Sudah kuduga.

"Jadi, Yuzu juga yang membaca buku-buku itu?" tanyanya dengan menunjuk deretan buku sekolah di belakang tubuhnya dengan jempol tangan kanannya.

Senyum tipis muncul di wajah pemuda itu. "Aku yang membacanya. Kenapa? Terpesona denganku?"

Rukia memutar bola matanya. Kurosaki Ichigo memang sangat narsis. "Ah... jadi begitu. Kau belajar sampai buku-buku itu lusuh dan berhasil mengalahkanku dan Ishida." Rukia menggeleng tak percaya. "Memangnya bisa begitu, ya?"

Kebingungan menghinggapi gadis itu saat tiba-tiba Ichigo tertawa. Alisnya mulai berkerut bahkan mampu menyaingi kerutan permanen milik sang kekasih. Masih dengan tawanya, Ichigo mencoba menjawab pertanyaan–pernyataan– gadisnya.

"Aku membaca buku-buku itu semalaman–" pemuda itu menyeringai. "–dan mencatatnya sebagai contekan."

"Curang! Kau tidak boleh melakukan itu!" ujar Rukia tidak suka.

"Aku tidak peduli."

"Tidak. Kau curang dan seharusnya aku tidak menjadi kekasihmu!" ucap Rukia spontan. Kedua orang itu terkaget begitu juga Rukia. Gadis itu tak menyadari kalimat yang ia sendiri ucapkan.

Rahang pemuda itu mengetat. Alisnya makin berkerut dan ia melangkah makin mendekati gadisnya. "Kau tidak pernah mengatakan kalau aku tidak boleh curang."

Melihat Ichigo seperti ini entah kenapa terasa menyeramkan. Ia ingin menghindar tapi di belakangnya adalah meja. Mau tak mau ia harus berhadapan dengan pemuda di depannya.

"Tapi tetap saja kau curang," ucap Rukia. Nadanya tercicit lirih.

Dengan gerakan cepat, Ichigo menarik pergelangan tangan mungil itu. Pemuda itu membenci hal ini. Ia tidak suka saat Rukia mengatakan hal itu. Seolah dirinya sangat tidak diharapkan dan itu menyakiti harga dirinya.

"Lalu apakah kau menyesali semuanya?"

Tidak. Rukia tidak pernah menyesalinya. Sayangnya gadis itu tidak bisa mengatakannya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Jika dirinya memang tidak menyesalinya bukankah itu berarti dirinya telah menerima Ichigo. Bukankah itu berarti Kaien-senpai telah terganti. Bukankah itu berarti dirinya menyukai itu.

Dan lagi-lagi Rukia meragu.

"Jawab Rukia," tuntut Ichigo. Wajah mereka hanya terpaut beberapa senti dan itu membuat Rukia berdebar bukan main.

"Aku tidak tahu." Rukia menundukkan kepala. "Aku tidak tahu," ucapnya lirih.

Rukia merasa asing dengan dirinya. Ia tidak tahu dengan perasaan sendiri dan Rukia benci menjadi seperti ini. Rasanya seperti bodoh terutama saat di depan Kurosaki. Benar-benar menjengkelkan.

Mata lemonnya melebar sempurna saat tiba-tiba Ichigo melepaskan tangannya dan beralih menarik pinggulnya. Tangannya yang lain menarik dagu Rukia lalu mencium bibir tipis itu. Awalnya tubuh Rukia menegang, namun lumatan di bibirnya membuatnya terbuai. Ia membalas perlakuan Ichigo padanya. Melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Ichigo padanya. Tangannya menarik kemeja depan pemuda itu mendekat ke arahnya. Matanya terpejam, menikmati kelembutan bibir kekasihnya.

Mereka saling melumat. Terus menerus bahkan saling berbagi nafas. Ichigo mulai berani. Ia mulai memainkan lidahnya dan semakin menarik pinggul Rukia. Gadis itu juga tidak menolak. Ia menerimanya, beradu lidah dan mengecap masing-masing rasa di antara mereka. Dan ketika paru-paru mulai sakit karena sesak dan memohon untuk diberikan udara, akhirnya mereka mengakhirinya.

Ciuman itu terhenti tapi wajah mereka tidak menjauh. Ujung hidung mereka masih bersentuhan dan keduanya terengah bersamaan. Keduanya saling menatap dan tak ada yang mau menghentikannya.

Rukia berkedip. Untuk pertama kalinya mereka berciuman tanpa diawali peringatan apapun dan demi tuhan, Rukia membalasnya. Biasanya Ichigo menciumnya saat jika Rukia kelepasan memanggilnya Kurosaki tapi kali ini? Rukia tak tahu menahu. Yang jelas sekarang jantungnya tidak mampu memompa darah dengan baik. Ya ampun, Rukia tidak pernah berciuman sepanas ini sebelumnya.

Ibu, maafkan aku!

"Kenapa kau melakukan itu?" tanya Rukia masih mencoba mengatur napasnya.

"Kau tidak menolakku. Kau menikmatinya."

Wajah Rukia yang memerah semakin merona. "Itu... bukan itu yang kutanyakan."

Pemuda itu terkekeh pelan. Ia mengecup singkat bibir mungil di depannya lalu menegapkan tubuh, menjauh dari gadisnya dan itu kembali membuat Rukia memerah. "Kau tidak perlu tahu."

Sangat menyebalkan. Pemuda itu tidak menjawabnya. Dan Rukia tidak suka dibuat penasaran. Dan yang lebih membuatnya kesal adalah perasaan asing yang menyelimutinya. Jantungnya berdetak kencang dan itu membuatnya nyaman dan tak nyaman sekaligus.

"Katakan padaku! Aku ingin tahu dan aku harus tahu," ucap Rukia.

Seringai di wajah pemuda itu menghilang. Tatapannya menjadi serius dan itu kembali membuat Rukia heran.

"Apa kau akan percaya?" tanya Ichigo.

"Apa maksudmu?"

"Kalau kubilang aku menyukaimu, apa kau akan percaya?"

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Otak Rukia mencoba mencerna tiap kata yang Ichigo lontarkan.

Lima detik...

Ichigo menyukainya? Ichigo menyukainya? Kalimat tersebut tak henti-hentinya berputar di pikirannya. Ichigo menyukainya? Yang benar saja. Itu tidak mungkin. Ichigo tidak mungkin menyukainya. Bahkan dalam mimpi pun hal itu tidak mungkin terjadi.

Lalu bagaimana dengan yang barusan Ichigo katakan? Ataukah telinganya yang salah dengar? Tidak. Rukia yakin pendengarannya masih bagus. Dan lagi-lagi ia meragu. Tatapan yang Ichigo berikan berbeda dari biasanya. Tidak ada seringai ataupun senyum remeh. Yang ada hanya sorot mata yang serius. Pemuda itu tidak bercanda. Tapi bagaimana bisa?

"Kau menyukaiku? Bagaimana bisa?"

Keseriusan Ichigo mengendur. Ia tampak bingung dan mulai menggosok tengkuknya. "Ya... itu... aku juga tidak tahu."

Lagi-lagi alis Rukia bertautan bingung. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Sebagian besar dirinya percaya bahwa Ichigo berkata jujur, tapi ada sebagian kecil lainnya yang menolak itu semua. Entah mengapa Rukia merasa takut. Jujur, Rukia mengakui bahwa ia sedikit nyaman bersama Ichigo –hanya merasa nyaman, bukan suka– dan itu membuatnya bimbang.

"Kau pasti bercanda, kan?" tanya Rukia. Gadis itu masih meragukan dirinya dan itu membuat Ichigo tidak suka.

Meskipun dirinya sudah tahu akan seperti ini, tapi bodohnya Ichigo tetap menanyakannya pada Rukia. Jelas-jelas gadis itu menyukai sepupunya. Apa yang sebenarnya Ichigo harapkan? Terlalu konyol kalau sampai dirinya mengharap Rukia akan tiba-tiba membalas perasaannya dan memeluknya erat. Itu tidak mungkin.

Lalu sekarang apa? Egonya telah runtuh dan Ichigo sangat tidak suka itu.

Langkah pemuda itu bergerak mundur. Ia telah melakukan hal bodoh dan sayangnya tak ada niatan apapun untuk menghentikan hubungan konyol mereka.

Dan lagi-lagi... sepertinya dirinya telah salah. Rukia tidak... menolaknya. Sepertinya. Karena sekarang tangan mungil itu menarik ujung kemeja depannya dengan wajah kaget sama seperti dirinya.

"Kenapa kau menatapku begitu?!" raut wajah Rukia kini berubah menjadi waspada. "Kau pasti bohong. Jangan-jangan kau membuat taruhan dengan orang lain dan–"

Ichigo mengetuk jidat Rukia, sedikit keras. Menghentikan ucapan Rukia dan membuat gadis pendek itu mengerang.

"Ittai... apa yang kau lakukan?!" tanyanya sembari menggosok pelan jidatnya yang baru saja menjadi korban tangan Ichigo.

Bibir Ichigo tertarik, menyeringai. Dalam hati ia tersenyum. Ia tahu Rukia tidak mempercayainya dan Ichigo sadar bahwa gadis itu memang takut untuk mempercayainya. Dan lagi-lagi itu semua karena hubungan mereka dari dulu memang lah tidak bagus. Setidaknya ia menemukan rasa ingin tahu dari gadis itu. sepertinya, Rukia juga mencoba untuk mempercayainya.

Pemuda itu membungkuk, menyejajarkan wajahnya dengan gadisnya. Ia menyingkirkan tangan Rukia dari keningnya lalu mengecupnya singkat. Membuat gadis itu memerah malu dan terdiam seribu kata. Ini pertama kalinya Ichigo mengecup keningnya, dan itu membuatnya malu.

Pemuda itu masih menatap Rukia. Masih dengan seringai menyebalkannya dan–

"Oh... Ichigoooooo!"

Teriak seseorang pria paruh baya yang langsung masuk kamar dengan riang itu berhasil menarik perhatian kedua insan itu. Matanya berbinar terang saat menemukan keberadaan Rukia. Tangannya terbuka lebar, siap untuk memberikan pelukan mautnya hingga...

DUAGH!

...tendangan dari Ichigo tepat di wajah pria itu berhasil menghentikannya.

"Apa yang akan kau lakukan, oyaji?" tanyanya dengan nada sebal.

"Kenapa kau memukulku di depan calon menantuku, Ichigo? Kau tega sekali~" rajuk ayahnya.

Rukia berkedip. Tubuhnya sedikit menegang karena malu. Orang itu ayah Ichigo. Dan apa yang barusan ia katakan? Menantu? Demi rambut merahnya Renji, Rukia lebih memilih tuli dari pada mendengar itu saat dirinya tengah berada di kamar Ichigo. Rasanya seperti tertangkap basah mencuri di toko permen lalu pemilik toko itu malah memberikan lebih banyak permen padanya. Memalukan sekali.

"Diam kau! Yang ada kau membuat Rukia takut."

"Aku hanya terlalu senang akhirnya kau sudah menjadi pria dewasa. Oh Masaki... Ichigo kita telah tubuh menjadi seorang pria. Sebentar lagi kita akan punya cu–"

DUAGH!

Ichigo kembali menendang ayahnya. "Diam, baka oyaji!"

"Sudahlah, Ichi-nii," ujar seorang gadis kecil bertopi yang entah sejak kapan berdiri di kusen pintu. "Bukan salahnya kalau oyaji bertindak seperti itu. Aku saja senang kau membawa seorang gadis ke rumah. Itu berarti dugaan kalau kau gay telah terpatahkan."

"Karin, kau pikir aku gay?"

Dan pertanyaan itu berhasil membuat Rukia tersenyum. Sepertinya keluarga Kurosaki memang selalu seperti ini.

.

.

To be Continue

Ya ampun, sudah berapa lama Arya ndak muncul? Maaf, karena kesibukan yang super padet dengan agenda kampus dan kerja jadi ndak bisa update cepet seperti yang direncanakan. Terkhusus buat Kuromizukou-san yang mau repot-repot ngePM, terima kasih dan maaf sekali karena ini baru bisa up. Terima kasih juga buat semua yang mau sabar baca fic gaje ini.

Maaf juga jika banyak Typo bertebaran karena Arya ndak sempet buat baca ulang ataupun untuk mengedit cerita. Sekali lagi Arya minta maaf. Dan untuk chapter depan adalah chapter terakhir. Endingnya akan kubuat sedikit mengambil dari cerita di komik, dan lagi-lagi Arya minta maaf karena kemungkinan upnya lama lagi.

Sekali lagi terima kasih dan sampai jumpa di last chap ^^,.