UNCONDITIONALLY

EXO Fanfiction

Warning: BL

Pairing: HunKai, Sehun X Kai (Kim Jongin)

Cast: Lay, Suho, Kris, Xiumin, Chen, others

Rating: T-M

Halo ini sekuel BLACK chapter tiga belas selamat membaca dan maaf atas segala kesalahan Happy reading all.

PREVIOUS

"Bagaimana kau bisa menemukan aku?" dilihatnya Sehun mengendikan kedua bahunya singkat.

"Aku akan selalu menemukanmu Oh Jongin."

"Kim." Peringat Jongin.

"Baiklah." Sehun menyerah diiringi kekehan pelan. Ia berjalan mendekati Jongin hingga keduanya berhadapan sekarang. "Hei apa ini?!" Sehun memekik pelan sambil menyentuh ujung hidung Jongin yang memerah. "Kau menangis?"

"Tidak." Jongin membalas singkat. "Ayo pulang sekarang, benar-benar dingin." Ajak Jongin sambil menarik tangan kiri Sehun seenaknya.

"Apa kau lupa? Aku hurus duduk di belakang kursi kemudi supaya mobil bergerak dan kita berdua bisa pulang." Canda Sehun.

"Ya." Jongin membalas singkat sebelum melangkah memasuki mobil milik suaminya itu.

TIGA BELAS

"Bagaimana menurutmu?"

"Apa ini tidak terlalu berlebihan Sehun?" bukannya menjawab, Jongin justru melempar pertanyaan lain. "Rumahmu masih sangat layak untuk ditinggali kenapa membeli rumah lain?" Jongin mengedarkan pandangannya meneliti setiap sudut rumah yang entah kapan Sehun beli tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Rumah dengan gaya modern, dengan ruangan-ruangan luas, jendela-jendela tinggi, furniture yang didominasi dengan kayu, taman belakang luas, dan kolam renang.

"Aku ingin memiliki rumah yang lebih besar karena aku tak lagi sendiri." Menjelang malam cahaya kemerahan matahari memasuki rumah melewati jendela-jendela besar, menciptakan pemandangan yang sungguh mengesankan.

"Kita hanya tinggal bertiga dan kurasa Ibu tidak akan mengizinkan kita untuk pergi secepat mungkin."

"Aku hanya menyiapkan diri jika anggota keluarga kita bertambah nantinya." Sehun bisa melihat bagaimana raut wajah Jongin mengeras. Sehun tersenyum lembut. "Aku tidak keberatan dengan opsi adopsi, Jongin."

"Ya." Jongin hanya menjawab sambil lalu kemudian berjalan mendekati kusen jendela. Meletakkan tangannya pada permukaan kaca jendela yang terasa hangat ia sentuh. Jongin merasakan kedua tangan Sehun perlahan melingkari pinggangnya, mendarat pada perut datarnya, dan dagu lancip Sehun berada pada bahu kanannya.

"Kau ingin melihat seluruh ruangannya Jongin?"

Jongin menelan ludah kasar, ia tak ingin mengecewakan Sehun. Ia yakin Sehun memilih rumah ini dengan teliti dan antusias. "Ya." Jawaban Jongin dihadiahi senyuman lebar dari Sehun dengan cepat ia genggam telapak kanan Jongin.

Tidak butuh waktu lama untuk memeriksa setiap sudut rumah karena Jongin tak pernah ingin meneliti lebih jauh, ia hanya berdiri diambang pintu kala mengamati keenam kamar yang ada di dalam rumah. Ia masih merasa rumah yang baru saja Sehun beli terlalu besar. "Kita bisa memelihara anjing, kucing, atau jenis hewan apapun yang kau sukai Jongin." Ucap Sehun seolah bisa membaca apa yang berkecamuk dalam pikiran Jongin.

"Ide yang bagus, tapi entahlah untuk anjing." Jongin tidak ingin merasa sakit lagi jika ditinggal pergi oleh anjing kesayangannya.

"Kau bisa memelihara hewan apapun yang kau inginkan, asal tidak berbahaya."

"Aku tidak akan memelihara Singa." Canda Jongin. "Kurasa kita harus pulang sekarang, Ibu terus menerorku." Jongin menunjukkan layar ponselnya kepada Sehun.

"Kau tidak ingin menjawab panggilan dari Ibu?"

"Aku tidak ingin diinterogasi."

Sehun terkekeh pelan. "Ayo, kita pulang sekarang. Bagaimana menurutmu rumah yang aku pilih?"

"Tidak buruk."

"Hanya itu?!" protes Sehun, Jongin hanya mengendikkan bahu. "Aku berharap kau mengatakan lebih banyak hal lagi." Kalimat Sehun sarat akan kekecewaan.

"Semuanya indah Sehun, hanya saja aku masih merasa rumah ini terlalu besar, terlalu sepi, dan terlalu berlebihan." Jongin membalas tatapan kecewa Sehun dengan tatapan sendu.

Sehun menjilat bibir bawahnya yang terasa kering, menatap kedua mata bulat Jongin lekat-lekat. "Apa masalah anak itu masih membebanimu?"

"Tentu saja."

"Meski aku mengatakan jika aku tidak peduli dengan masalah itu, apa kau masih merasa terbebani?" Jongin tak menjawab. "Kau tahu sebelum aku bertemu denganmu, aku bahkan tak memiliki niatan untuk menikah dan terikat."

"Apa kau tidak pernah memikirkan tentang anak? Tentang keturunan?"

"Tidak." Sehun berucap tegas. Ia berjalan mendekati Jongin memeluknya erat tanpa permisi. "Jangan memikirkan apapun Jongin, aku mohon, aku hanya ingin kau bahagia itu saja." Sehun tersenyum kala merasakan anggukan lemah Jongin. "Kita pulang sekarang sebelum Ibu memutuskan untuk menerormu dengan cara yang lebih mengerikan." Jongin hanya tertawa pelan mendengar kalimat konyol Sehun. Sehun memeluk pinggang Jongin dengan tangan kirinya, keduanya berjalan pelan menikmati setiap detik kebersamaan.

.

.

.

Berulang kali Sehun menelan ludahnya dengan susah payah rasanya sekarang lebih sulit dibandingkan berbicara dengan klien penting untuk menyepakati kontrak kerjasama bernilai jutaan dolar. "Ayolah Sehun, hanya kalimat sederhana!" suara di dalam pikirannya berteriak lantang namun apa daya lidahnya terasa kelu. Sehun membasahi bibir bawahnya entah untuk yang keberapa kali hari ini.

"Apa masakan Ibu tidak enak?" pertanyaan Taerin cukup mengejutkan Sehun.

"Masakan Ibu enak sekali." Suara Jongin memberi jawaban sementara Sehun masih tenggelam dalam bayang-bayang kemungkinan terburuk yang diciptakan oleh pikirannya.

"Benarkah?"

"Iya Taerin, kemampuan memasakmu tidak ada duanya." Ucap Daehan.

"Terimakasih, tetapi kenapa Sehun tidak bersemangat?"

"Ah aku….," Sehun ingin beralasan namun sayang sekali otaknya tidak bisa berpikir cepat untuk mencari alasan yang masuk akal. "Hanya sedang memikirkan sesuatu." Ucapnya.

"Hilangkan semua bebanmu Sayang, sekarang waktunya makan malam bersama." Taerin tersenyum lembut diakhir kalimat dan senyum itu justru membuat Sehun merasa semakin takut.

"Kurasa kami akan tinggal berpisah dari kalian."

Jongin menoleh cepat menatap sisi kanan wajah suaminya, tersentak dengan kalimat itu rasanya ia ingin menginjak telapak kaki kanan Sehun di bawah meja makan keras-keras. "Kurasa kami akan tinggal berpisah dengan kalian." Sehun mengulangi kalimatnya, entahlah ia hanya merasa perlu untuk melakukan hal itu.

Keheningan yang berat tercipta, Jongin mengikuti arah tatapan Sehun mengamati tangkai anggur merah yang dipenuhi butiran-butiran anggur gemuk menggantung keluar dari mangkuk buah porselen. Kesunyianpun menggantung gemuk serpua butiran anggur itu. "Jika itu yang kalian inginkan, Ibu rasa tidak apa-apa."

"Apa?!" kalimat Jongin terdengar tak percaya sedangkan Sehun merasa kedua lututnya lemas akibat serangan kelegaan yang luar biasa. Ia bersyukur dalam posisi duduk sekarang jka tidak maka Sehun yakin tubuhnya pasti jatuh berlutut di atas lantai detik itu juga, saat Taerin mengatakan persetujuannya.

"Tentu Jongin, kenapa kau terkejut seperti itu?" timpal sang kepala keluarga Kim kemudian diakhiri dengan suara kekehan pelan. Sehun dan Jongin saling bertukar pandang, Jongin masih menampakkan kebingungannya begitupun Sehun. Jongin meluruskan pandangannya ada sesuatu yang akan ia tegaskan karena ibunya belum tahu satu hal lagi yang penting.

"Kami akan membawa Youne."

"Ah." Taerin mendesah pelan. "Tidak masalah, Youne putri kalian sudah sewajarnya dia ikut dengan kalian." Taerin tersenyum sangat cantik malam itu. Dan makan malampun dilanjutkan setelah Sehun dan Jongin mengucapkan terima kasih mereka.

"Aku tidak menyangka semua akan berlangsung dengan sangat baik." Sehun tersenyum lebar diakhir kalimat. Jongin hanya menanggapi dengan senyuman lembut ia masih menggendong Youne sambil memegang botol susu, bayi itu terlihat mengantuk namun tak juga memejamkan kedua kelopak mata mungilnya.

"Aku sudah menunjukkan gambar rumah yang akan kita tinggali kepada Ayah dan Ibu, juga alamat lengkapnya. Ah ya Jongin kau akan selalu berada di rumah kan?"

"Hmmm." Jongin menggumam pelan, jujur ia mulai sedikit lelah mencoba menidurkan Youne.

"Kalau begitu Ayah dan Ibu bisa bebas berkunjung ke rumah."

"Hmmm." Lagi-lagi Jongin menggumam.

Kening Sehun berkerut ia pandangi dengan seksama Jongin serta ekspresi wajahnya. "Kau lelah?"

"Lumayan, dia tidak segera tidur." Sehun tersenyum tipis sambil menggerakkan kedua kakinya mendekati Jongin yang sedang duduk di pinggir tempat tidur. Ia ulurkan kedua tangannya ke hadapan Jongin. "Kau yakin?"

"Aku ayahnya." Kalimat Sehun membuat Jongin tersenyum lebar. Perlahan iapun berdiri dengan hati-hati memindahkan tubuh Youne ke dalam dekapan Sehun. "Cuci wajahmu dan tidurlah."

"Aku sudah melakukannya." Ucap Jongin.

"Kalau begitu tidurlah." Sehun mencondongkan tubuhnya dan mengecup singkat kening Jongin. "Tidurlah." Ulang Sehun. Jongin mengangguk pelan ia lantas naik ke tempat tidur dan menyelimuti tubuhnya hingga dadanya.

"Terimakasih Sehun."

"Tentu." Sehun membalas dengan pelan karena Youne terlihat mulai memejamkan kedua matanya.

Sehun menunggu sampai Youne benar-benar terlelap, ia tidak menghitung berapa lama dirinya berdiri di tengah ruangan dengan menggendong Youne. Seharusnya itu melelahkan mengingat dirinya kerap kali mengeluh tentang pekerjaan yang tak kunjung selesai, atau setiap menit yang berharga harus terbuang saat berhadapan dengan klien yang bertele-tele tak langsung pada pokok permasalahan. Ya, seharusnya Sehun marah atau kesal saat Youne tak juga tertidur sama seperti dirinya memarahi karyawan yang tidak becus. Namun, semua itu tidak terjadi, Youne tentu saja berbeda dengan beban pekerjaan, Youne juga berbeda dengan para karyawannya.

"Aku tidak tahu jika makhluk mungil sepertimu bisa membuatku bertekuk lutut," gumamnya seorang diri. Sehun tersenyum lembut, langkah kakinya terdengar cukup jelas kala menghampiri boks bayi karena keadaan benar-benar sunyi. Perlahan ia memindahkan Youne dari gendongannya ke dalam boks bayi. "Selamat tidur, Youne.

.

.

.

Sehun dan Jongin tidak membawa apa-apa ke rumah baru mereka. Apapun yang akan mereka dan Youne butuhkan sudah ada di rumah baru mereka selain itu jika membawa semua barang dari kediaman keluarga Kim terkesan jika mereka tidak akan kembali lagi. Dan Jongin benci dengan perasaan itu, untuk itulah Sehun memutuskan jika mereka pindah tanpa membawa barang apapun kecuali sedikit perlengkapan Youne seperti botol susu. Karena entah bagaimana bayi itu mengetahui mana botol susu lamanya dan mana botol susu barunya, dia selalu menolak minum dari botol baru.

"Rumah kami hanya setengah jam dari sini Ibu, Ibu dan Ayah bisa bebas berkunjung kapan saja aku selalu ada di rumah." Jongin melempar tatapan tidak teganya, sesungguhnya ia masih belum terlalu yakin meninggalkan ayah dan ibunya, hanya mereka berdua tinggal di rumah yang pasti akan terasa sangat sepi.

"Tentu Sayang." Taerin tersenyum lembut.

"Aku juga akan sering mengunjungi kalian." Taerin dan Daehan mengangguk. Jongin tersenyum tipis kemudian memeluk ibunya erat membuat Taerin tertawa.

"Jongin rumah baru kalian tidak sampai setengah jam dari sini kenapa kau membuatnya seolah kau pergi sangat jauh, atau berbeda Negara, hmmmm?" Jongin terkekeh pelan masih memeluk ibunya.

"Itu yang aku rasakan. Rasanya kita benar-benar berpisah sangat jauh." Taerin hanya tertawa kemudian memukul punggung Jongin dengan pelan.

"Ayo, kau tidak mau memberikan pelukan pada ayahmu?"

"Ah maaf Ayah!" Jongin memekik dengan nada main-main semua orang tertawa. Hal itu sedikit menghibur dan membuatnya merasa cukup lega. Jonginpun memberikan pelukan eratnya kepada sang ayah. Berikutnya ia mengambil alih Youne dari gendongan Sehun agar suaminya itu bisa berpamitan dan memberikan pelukan kepada kedua orangtuanya.

Sehun membukakan pintu penumpang untuk Jongin, perlahan Jongin naik dan duduk. Ia mendekap Youne dengan erat namun tetap lembut. Sehun menutup pintu penumpang pelan, ia berlari memutari mobil menuju kursi kemudi. "Sampai jumpa." Ucap Sehun dengan senyum lebar dan tangan kanan yang melambai pelan pada Tuan dan Nyonya Kim.

"Jaga diri kalian baik-baik dan sehat selalu!" Taerin berteriak cukup kencang. Membuat Sehun dan Jongin tersenyum lebar di dalam mobil. Taerin dan Daehan berdiri di dekat pagar besi rumah mereka, menunggu hingga mobil yang membawa tiga anggota keluarga mereka tak terlihat lagi.

"Haahhh….," hembusan napas Taerin terdengar jelas.

"Jadi?"

"Apanya yang jadi?" Taerin menoleh menatap suaminya.

"Hanya tinggal kita berdua sekarang." Daehan tersenyum lembut kepada istrinya. Taerin mengangguk pelan. "Rasanya pasti akan sangat sunyi, tapi setiap anak-anak pasti akan pergi dari rumah mereka bukan? Mencari jalan hidup mereka masing-masing."

"Ya, kau benar. Dan orangtua akan selalu menunggu dengan setia kepulangan mereka, menyambut mereka dengan hangat, menjadi sandaran mereka saat lelah."

Taerin tertawa pelan sementara Daehan menggerakkan tangan kanannya dengan lembut untuk menggenggam telapak tangan kiri perempuan yang berhasil mengambil hatinya. Bahkan setelah tiga puluh tahun kebersamaan mereka, ia merasa perempuan yang berdiri di sampinganya ini tak berubah, sama sekali tak berubah, sangat cantik dan masih sanggup membuat jantungnya berdetak dengan liar. "Kau punya ide melakukan sesuatu denganku? Hanya berdua?"

"Hmmmm…..," Taerin menggumam pelan mencoba berpikir. "Ada beberapa resep masakan yang ingin aku coba, kau harus menjadi orang pertama yang mencicipinya, lalu bagaimana jika kita memperbaiki taman belakang rumah? Aku ingin menanam pohon buah Plum."

"Ide bagus Ratu-ku." Taerin tertawa pelan kemudian memukul pundak Daehan cukup keras.

"Hentikan itu Daehan! Kau membuatku malu!"

"Kenapa? Kau memang Ratu-ku."

Taerin menarik tangannya dari genggaman sang suami. "Daehan kita punya cucu. Rayuanmu sudah tidak mempan bagiku."

"Baiklah Nenek Cantik." Mendengar kalimat menggoda dari suaminya itu membuat Taerin semakin cepat melangkahkan kedua kakinya menuju rumah.

"Tutup pagar besinya Daehan!" pekiknya keras dan Daehan hanya tertawa pelan sambil melakukan perintah sang istri tercinta.

.

.

.

"Berapa lama kau melakukan semua ini Sehun?"

"Tidak lama."

"Jangan berbohong."

"Aku tidak berbohong."

Jongin memilih untuk diam melawan Sehun yang sedang keras kepala tentu saja tidak ada gunanya. Seluruh ruangan di dalam rumah sudah penuh dengan perabotan yang kemarin belum dilihat Jongin dan dia tidak tahu kapan suaminya melakukan semua ini. Sehun tidak ingin membuka mulut. "Sebaiknya kita tidurkan Youne di boks bayinya sekarang." Jongin mengangguk pelan. Sehun melingkarkan tangan kanannya pada pinggang Jongin. Keduanya melangkah dengan hati-hati melewati ruang keluarga menuju kamar tidur Youne.

Kamar bayi untuk Youne didominasi dengan warna putih dan baby blue. Boks bayi dengan kayu pilihan berwarna putih, kelambu tipis dengan warna senada dengan hiasan taburan bintang-bintang berwarna kuning mengkilat. Selimut biru bermotif awan putih, boneka beruang dan boneka domba diletakkan di tempat yang sesuai. Lemari kecil, meja nakas, cabinet atas, tiga potret hiasan dinding, dan tempat mengganti popok dan pakaian bayi, semuanya sempurna. "Ini indah sekali, Sehun." Jongin berucap tulus Sehun hanya tertawa pelan sambil mengeratkan tangannya pada pinggang Jongin.

Perlahan Jongin memindahkan tubuh mungil Youne dari gendongannya ke dalam boks bayi, ia amati sebentar wajah Youne yang nampak lelap memastikan jika bayinya tidak akan terbangun. Sehun menggenggam telapak kanan Jongin dengan lembut menuntunnya untuk menghampiri pintu bercat putih di sisi kanan tubuh mereka. Sehun mendorong pintu itu, saat pintu terbuka Jongin bisa melihat kamar yang luas dengan ranjang besar. "Tempat tidur utama?"

"Ya. Saat malam pintu penghubung ini kita biarkan terbuka jadi kita tetap bisa mengawasi Youne, bagaimana menurutmu?" Jongin tak menjawab. "Jika kau keberatan Youne tidur sendirian aku bisa memindahkan boks bayinya ke sini."

"Kurasa tidak ada salahnya dicoba."

"Aku lega mendengarnya, kau bisa beristirahat atau berkeliling untuk melihat-lihat setiap sudut rumah ini dengan lebih detail."

"Kau sendiri?"

"Menyiapkan makanan, kau sudah lapar?" Jongin menggeleng pelan. "Baiklah, kalau begitu aku akan menyiapkan makan malam."

"Aku bisa membantumu."

"Baiklah, ayo." Jongin tersenyum kemudian melangkah panjang-panjang menghampiri Sehun.

"Sehun!" protes Jongin saat Sehun justru memeluknya dengan erat padahal Sehun tadi bilang ingin menyiapkan makan malam, kenapa berpelukan? Jongin tidak mengerti dengan tindakan Sehun. "Sehun…," kali ini Jongin memanggil dengan suara lembut.

"Mari kita mulai semuanya dengan bahagia, di rumah ini, Oh Jongin."

"Kim."

Sehun memutar bola matanya karena gemas dengan sikap Jongin. "Baiklah Kim Jongin mari memulai semuanya dengan penuh kebahagiaan. Kita mulai kebahagiaan kita di sini." Jongin hanya tertawa pelan kemudian mempererat pelukannya kepada Sehun.

"Ya." Jongin membalas singkat.

END

Maaf jika endingnya kurang memuaskan ini yang terbaik dari saya yang bisa saya berikan kepada pembaca sekalian. Terimakasih sudah mengikuti cerita BLACK hingga sekuel, terimakasih atas saran, kritik, pujian, cacian, semuanya terimakasih banyak sampai jumpa di cerita yang lain. Terima kasih review kalian jongkalee, NishiMala, ucinaze, laxyvords, cute, kaila, Mara997, Grey378, ohkim9488, OhKimRae94, xxxkjido, Yessi94esy, diannurmayasari15, ulfah cuittybeams, selirnyataoris, utsukushii02, rofi mvpshawol, vivikim406, colly224, geash, tobanga garry, Flowerinyou, novisaputri09, firstkai.