Karena waktu selalu mempermainkan mereka yang menghentikan langkahnya. Memutar kembali perasaan-perasaan benci yang menguar hingga tubuh hancur akibat desakannya. Rona-rona pucat menghantui di kepingan hati yang tersisa, memberikan pertanyaan yang sesungguhnya tak ingin dijawab. Bermain-main dengan benak yang sudah lelah menjalani hidup.

Menghantui, tidak ada lagi kata yang lebih tepat untuk digunakan selain menghantui. Membayang dalam benak dan sanubari, mengusik ketenangan yang perlahan menipis hingga akhirnya lenyap tanpa sisa … hingga pada akhirnya hantu-hantu itu menjadi sosok yang nyata. Hidup dalam jantung hati masing-masing manusia yang mengabdi padanya.

Sosok yang kita kenal dengan nama …

… perasaan tak berdaya.

.

…*…

.

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto.

Saya tidak mendapatkan keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiksi ini.

Warning: Stright, AU, drack-fict, death chara, OOC, miss typo(s), Slight BL, etc.

Dipersembahkan untuk Ambar Lopita Allagan yang sudah menebakku dengan tepat. Dengan prompt 'SasuSaku, sepasang kekasih yang terjebak dalam kasus pembunuhan.'

Selamat membaca ^^

.

…*…

.

Kemarin, aku punguti remah-remah hati

di antara puing-puing emosi yang kian meraja

mengoyak dan mencabik, mencuri tiap tetes air mata yang jatuh

Hei, kau …

Ya, kau.

Kau yang mencintai dengan sepenuh hati

dan kau juga yang hatinya patah akibat cinta yang kau abdi

Urungkan lah niatmu itu, berdiamlah dalam rumah dan matikan tiap indera yang ada pada tubuhmu

Sebelum kau menyesal.

Sebelum kau turut berduka.

Esok, kau yang akan punguti remah-remah hati itu.

.

…*…

.

Sasuke membenci aroma obat yang tajam pekat di hidungnya. Mengingatkannya akan mimpi buruk yang menjadi bagian dari kenangan masa kanak-kanaknya.

Di mana dia duduk sendirian di atas dipan keras, menatap hampa angin yang meniup helai-helai cokelat daun yang mengering. Dan tangannya—tangannya yang mungil dan tak berdaya—terbalut perban. Perban itu sanggup menutupi kulit yang terkoyak hingga menampilkan daging dan tulang, namun tidak cukup untuk membuat Sasuke melupakan rasa perihnya.

Namun aroma obat itu tidak seberapa buruknya jika dibandingkan dengan jeritan dan rintihan pilu orang-orang yang duduk di balik kamar-kamar kecil dengan pintu sempit berjeruji. Mata-mata liar dan kosong memandanginya, mengikuti langkahnya, seolah ingin memburunya. Gumaman-gumaman lirih, berupa makian atau kata-kata tanpa makna, diucapkan. Menjadi pengiring kaki-kaki yang berjalan pelan menyusuri koridor remang-remang.

Rumah sakit jiwa. Ini bukan kali pertama Sasuke mengunjunginya. Puluhan bahkan ratusan kali dia datang ke tempat dengan julukan sama selama empat tahun terakhir. Tentu saja, istrinya akan berada di sampingnya—karena wanita itulah yang menjadi pasien. Namun tempat ini … benar-benar berbeda dengan yang pernah didatanginya.

Rumah sakit jiwa tempat Sakura menjalani terapinya adalah tempat dengan tembok putih bersih dan dokter serta perawat yang tampak ahli, terus tersenyum menenangkan. Para pasien depresi ditempatkan dalam kamar pribadi yang tertutup dengan fasilitas unggulan. Bukan tempat kumuh dengan orang-orang kotor berbau pesing yang mengerang dan menjerit seolah malaikat maut datang ke hadapan mereka saat itu juga. Naruto membual jika tempat ini terlihat sebelas dua belas dengan tempat anak buahnya mabuk tiap malamnya.

Bukan untuk pertama kalinya, Sasuke ingin menertawakan betapa uang sanggup membeli apapun di dunia ini.

Dan di tempat menjijikkan seperti itulah … Uchiha Itachi menghabiskan bertahun-tahun hidupnya.

Kamar-kamar berjeruji dengan bau kotoran manusia berubah menjadi pintu-pintu berkarat yang berderit jika dibuka. Wajah-wajah lelah dan lesu adalah orang-orang yang keluar dari tempat itu. Tidak ada satu pun yang memandang Sasuke dan Naruto. Tidak ada satu pula yang bertanya apa tujuan mereka datang ke tempat itu. Setiap dari mereka yang terlihat, hanya menunjukkan wajah tak peduli yang menyedihkan.

Papan nama paling ujung menunjukkan nama Umino Iruka.

Sasuke dan Naruto saling pandang sejenak sebelum Naruto mendorong pintu itu hingga terbuka—sama sekali tidak mengetuknya terlebih dahulu.

Orang pertama yang mereka lihat di sana adalah pria dengan wajah tertutup masker. Rambut putihnya berkibar pelan terkena hembusan angin dari jendela yang terbuka. Duduk di kursi kayu reyot di balik meja yang tak kalah reyotnya. Menyangga dagu dengan malas. Di hadapannya—di atas meja—tubuh seorang pria dengan bekas luka melintang di atas hidungnya dibaringkan. Posisinya mengingatkan Sasuke akan pose Putri Salju yang biasa ada di buku cerita, dengan kedua tangan bertumbu di atas perut.

Naruto terkekeh pelan. "Dasar kakek-kakek homo cabul. Apa yang kau lakukan pada narasumber kita, heh?"

"Sedikit minuman dan obat tidur. Sebenarnya tidak perlu dilakukan. Cukup satu gelas bir, dia pasti terkapar dibuatnya. Sayangnya Iruka adalah orang yang terlalu kaku, dia tidak mau minum di jam kerjanya, meski semua bawahannya melakukannya." Kakashi berdiri dari kursinya. "Kita pergi dari sini. Bukan seleraku bicara di tempat sampah."

"Hei, tempat pertemuan yang kau usulkan kemarin pun sama sampahnya tahu!" Naruto protes. Melirik pada dokter yang sudah tidak lagi terlihat muda, yang tengah dipaksa tertidur di atas mejanya oleh obat penenang entah apa. "Dan bagaimana cara kita membawanya?"

"Kugendong dia."

"Apa?! Itu akan terlalu banyak menarik perhatian!"

"Percaya atau tidak, aku sudah sering melakukannya—apalagi dia lebih sering menolak dibandingkan menurut." Kakashi tertawa pelan saat mengangkat si dokter dan meletakkannya di atas pundaknya. Membuat dua pria yang lebih muda bertanya dari mana asal keawetmudaan otot-otot sang informan. "Sepertinya orang gila-orang gila di sini sering membawa kabur dokter dan para perawatnya. Tidak pernah ada yang peduli jika aku melakukannya."

"Dan aku tidak akan terkejut jika ternyata kau adalah salah satu penghuni tempat ini," Sasuke mendecih kesal. Menendang gelas yang terguling ke dekat kakinya sebagai bentuk pelampiasan. "Ke mana kita pergi sekarang?"

.

…*…

.

Umino Iruka sebenarnya tidak lagi terkejut jika dia terbangun dalam kondisi kepala pusing dan ingatan yang terpotong di ruang kerjanya. Sudah sering. Terlalu sering hingga rasanya dia malas menghitungnya kembali. Biasanya, dia akan berada di sebuah apartemen kotor—atau hotel dengan dekorasi kelewat berlebihan—dengan Kakashi Hatake ada di sampingnya, menghisap entah rokok atau ganja tanpa melepaskan pandangan darinya.

Tapi kali ini berbeda. Tidak sepenuhnya. Dia memang berada di apartemen kotor, salah dari sekian banyak apartemen yang dimiliki Kakashi—'rumah' kesukaan pria itu, meski keadaannya begitu menyedihkan. Dan dia memang menemukan Kakashi duduk di sampingnya sembari menghisap rokok. Namun pandangan mata pria itu tidak tertuju padanya. Dan Kakashi juga bukan satu-satunya orang yang ada di tempat ini. Satu pria dengan rambut pirang dan senyum lebar, dan satu lagi pria berambut gelap yang tatapan mata dinginnya terasa Iruka kenali ada di ruangan itu pula.

Satu jam sejak kesadarannya kembali. Tidak satu pun di antara tiga pria itu yang bicara, tidak pula Iruka. Dia hanya diam dan mengamati. Kakashi masih tampak santai, namun dia sama sekali tidak melepaskan maskernya—tanda jika dengan kedua orang itu sekalipun, identitasnya masih tetap dirahasiakan. Si pirang tampak antusias dengan sekelilingnya, mengamati dan bergumam-gumam, sesekali terkekeh saat mendapati ujung sampul majalah porno menyembul dari bawah ranjang atau botol sake yang menggelinding dari dalam lemari. Sementara dia yang berambut hitam, pria itu duduk bergeming di bangkunya. Sama sekali tidak melepas sepatu, tampak enggan melangkahkan kakinya di ruangan itu.

"Apa mereka orang yang kau sebutkan sebelumnya?" Iruka bertanya, memecah keheningan. Tidak memerlukan jawaban Kakashi. Sekali lagi dia menghela napas panjang. "Tidak bisakah kau menggunakan cara yang biasa saja untuk membawaku? Menculikku tidak selalu menjadi pilihan terbaik."

"Kau pasti akan menyuruh kami menunggu hingga jam kerjamu selesai." Kakashi menggerakkan biji matanya pada laki-laki berambut gelap yang duduk di sudut. Baru saja membinasakan seekor kecoak dengan ujung sepatunya. "Dan sepertinya ada di antara kami yang tidak akan sabar melakukannya—dan kali ini bukan aku, tentunya."

Umino Iruka menghela napas panjang sekali lagi. Tidak peduli jika orang berkata menghela napas dapat menghilangkan satu kebahagiaan dari hidupnya. Kebahagiaannya sudah banyak menghilang selama beberapa dasawarsa terakhir. Seribu satu terima kasih dia berikan pada Kakashi yang selalu menempel padanya. Menghentikan aliran kebahagiaan yang datang padanya—bukan dalam artian dia membencinya. Tersenyum kecil pada pria dengan wajah dingin. "Melihat wajahmu, aku rasa aku sudah bertemu dengan seorang Uchiha lagi. Sasuke Uchiha, benar?"

"Kau pasti adalah yang mengurus orang itu," Sasuke menyahut singkat. "Dan juga melepaskannya."

Iruka mengangguk membenarkan. "Memang benar. Aku adalah psikiater yang bertugas untuk mengamati perkembangan mental Uchiha Itachi. Tapi bukan aku yang melepaskannya, aku tidak memiliki wewenang untuk itu—seharusnya dia juga masih belum dikeluarkan dari ruangannya."

"Apa yang sebenarnya mau kau katakan?"

"Ini akan makan waktu lama untuk menceritakannya."

"Karena itulah aku ada di sini."

Iruka mengangguk kecil, mengalah. "Administrasi rumah sakit jiwa. Sudah bukan rahasia lagi jika rumah sakit dengan fasilitas buruk—seperti tempatku bekerja—secara rutin selalu membuang pasien-pasiennya jika dianggap terlalu memenuhi tempat. Tentu saja, aku sama sekali tidak mendukungnya, tapi ada beberapa orang yang berkeras untuk tetap melakukannya." Iruka menarik napas panjang sekali, membiarkan aroma sake memenuhi hidungnya—sama sekali tidak membantu menenangkan hati, seperti yang diperkirakannya. "Wajarnya, kami cukup selektif dalam memilih pasien mana untuk dilepaskan. Yang kira-kita tidak mengganggu masyarakat umum, atau yang tidak akan berusia panjang. Dan kami juga memiliki beberapa tempat pembuangan yang kami kira aman—cukup jauh untuk dapat ditemukan oleh keluarga mereka masing-masing.

"Itachi sendiri … dia adalah pasien khusus yang mendapatkan perintah pengurungan seumur hidup oleh negara. Tentu saja, aku sudah mendengar alasan mengapa surat pengurungan itu sampai turun. Pembunuhan berantai, pembantain terhadap keluarga sendiri, Itachi dianggap sebagai seseorang dengan kelainan jiwa akut yang membahayakan." Iruka memandang dua orang di hadapannya, tak bereaksi mendengar ceritanya. Tangannya mencengkram sprei kasur tempatnya duduk erat-erat. "Jujur saja, selama bertahun-tahun aku mengenalnya, aku sama sekali tidak merasakan keganjilan padanya. Dia … dia seseorang yang tampak begitu normal. Maksudku … dia berinteraksi dengan baik, bahkan untuk standar umum, dia termasuk orang yang cerdas. Dia mengambil koran yang ditinggalkan penjaga di depan selnya dan membacanya, sesekali bahkan meminjam bukuku. Dia terlihat begitu … normal."

Iruka mencoba menebak perubahan ekspresi apa yang ada di wajah Sasuke. Namun, bahkan dia yang menghabiskan seumur hidup untuk menerka emosi manusia, sama sekali tak menemukan jawaban di wajah dingin itu. "Namun, tentu saja, seperti apapun seorang pengidap psikopat terlihat normal, dia tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk bebas." Iruka kembali mengambil jeda panjang. Tampak ragu dengan kata-kata yang harus dirangkainya untuk kalimat berikutnya. "Di malam di mana Itachi dibebaskan, aku tidak dalam masa kerjaku. Tapi … aku juga sudah berulang kali memastikan, di dalam daftar pembuangan yang diserahkan padaku, sama sekali tidak ada nama Uchiha Itachi. Kalaupun ada, sudah seharusnya dia dibuang jauh ke pulau terpencil di ujung Jepang—sangat sulit untuk kembali ke tempat ini jika kau sudah ada di sana. Maka dari itu …"

Sasuke memandang Iruka sejenak. "Jadi kau mau mengatakan jika bukan orang itu yang membunuh putriku? Kata-katamu sangat terbalik dengan apa yang Kakashi katakan."

"Tidak seperti itu." Iruka menggeleng pelan. "Melihat dari caranya, aku yang sudah membaca berulang kali data Itachi tentu dapat dengan lugas mengatakan jika itu memang caranya. Perkiraan yang begitu matang, ketepatan waktu, teknik dan bekas yang nihil—semua sangat sesuai dengan yang pernah Itachi lakukan puluhan tahun lalu—pada keluargamu."

"Kalau begitu apa poin yang sebenarnya ingin kau katakan tentang orang itu."

Iruka menunduk tidak menjawab. Kakashi yang duduk di sampingnya merangkulkan tangannya pada sang psikiater, mencoba memberi dukungan mental agar pria itu bicara. Iruka menarik napas beberapa kali. Menarik napas—menurut buku yang pernah dibacanya—adalah salah satu cara paling efektif untuk menenangkan pikiran. Dia membuka mulutnya. "Aku benar-benar malu mengatakan hal semacam ini. Rasanya seperti membuka borok yang sudah lama aku sembunyikan."

Dua pasang mata memandang Iruka dengan tatapan mendesak.

"Sepertinya … seseorang telah melepaskan Itachi." Iruka menggigit bibir bawahnya. "Dan orang itu mungkin adalah … salah satu dari pekerja di rumah sakit jiwaku."

Keheningan adalah sebuah situasi yang tak lagi aneh bagi mereka. Kediaman adalah sebuah harta berharga, masing-masing dari mereka tentulah pernah mendengarnya. Untuk waktu yang sangat lama, tidak ada satu pun dari mereka yang bicara. Hingga akhirnya Sasuke bangkit dari kursinya.

"Sasuke?!" Naruto memanggil. Ikut bangkit berdiri.

Sasuke mencuri pandang pada Iruka yang masih menunduk dalam-dalam. "Kau ragu saat mengatakannya. Karena jika aku mengatakannya, maka rumah sakit tempatmu bekerja pasti akan mendapatkan masalah bukan?"

"Membuang mereka adalah sebuah kesalahan yang besar, dan lengah hingga menyebabkan seorang psikopat adalah kesalahan yang jauh lebih besar—aku tahu itu." Iruka masih menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Namun masih banyak orang yang bergantung pada kami—mengharapkan kewarasan kembali datang pada mereka."

Sasuke hanya memandangi sejenak. "Aku tidak akan mengusutnya."

Iruka membulatkan matanya mendengar kata-kata itu. "Maaf?"

"Aku menyelidiki kematian putriku karena keinginanku sendiri—bukan karena kepolisian. Sudah cukup bagiku jika mendapatkan informasi." Sasuke mendengus, mengambil mantelnya dan mengenakannya dengan cepat. Naruto mengikuti di belakangnya. "Lagipula, mungkin orang-orang sepertimu lah yang masih dibutuhkan di dunia ini."

Iruka terdiam. Mencoba merenungi kata-kata Sasuke. Menghela napas keras-keras saat Sasuke membuka pintu, membuat pria itu menghentikan langkahnya. "Uchiha Sasuke, apa kau selalu memanggil Itachi dengan sebutan 'orang itu'?"

Langkah kaki terhenti. "Bagiku, orang itu adalah orang itu."

Dan kemudian dua pria pergi.

.

…*…

.

Karena kita adalah bayangan dari senja

maka biarkanlah malam datang pada kami

membiaskan mimpi di antara kegelapan

kemustahilan

ketakutan

mimpi

harapan

Sentuhan yang lenyap dibawa kabut kehilangan

Menyambut bagian dari masa lalu yang dikubur dalam.

.

…TBC…

.

A/N:

Terima kasih sudah membaca chapter ini ^^

Aku merasa chapter ini banyak sekali kekurangannya. Aku benar-benar lelah akhir-akhir ini, tapi aku sudah janji untuk rutin update tiap hari Jumat bukan?

Maaf karena belum bisa menuliskan kisah yang maksimal. Aku harap aku bisa membawakannya dengan lebih baik mulai minggu depan ^^

Ita: Terima kasih ya ^^ Aku senang kalau bisa membawakan cerita yang bisa dinikmati sampai hati. Iya, akan kulanjutkan kok. Semangat!
sachaan05: Yup ^^
kuro shiina: Kenapa menduga Sakura, kalau boleh tahu sih …

Mohon kritik dan sarannya ya ^^