Love Letter

.

.

.

Remake dari Lisa Kleypas 'Love in the afternoon', novel berseri tentang perjalanan cinta anak-anak Hathaway

_Semua hanya pinjaman, nama tokoh dan cerita. Latar belakang victoria era.

.

.

Huntao gs...gk suka gk usah baca! Thanks, lets read!

.

.

Chapter 19 (End)

.

.

.

Insting pertama Zitao membuat ia menempatkan diri diantara suaminya dan orang asing itu, tapi Sehun mendorongnya kebelakang. Terengah takut dan syok, ia melihat dari balik pundak Sehun.

Pria asing itu mengenakan baju sipil yang menggantung ditubuh yang nyaris seperti kerangka. Dia tinggi dan sosoknya besar, tampak seolah-olah sudah berbulan-bulan tidak tidur atau makan dengan baik. Lapisan acak rambut gelapnya sangat butuh digunting. Pria itu memandang mereka dengan tatapan liar menakutkan milik orang gila. Meskipun begitu, tidak sulit melihat bahwa dulu pria itu tampan. Sekarang ia tidak lebih dari sisa rongsokan selamat. Seorang pria muda, berwajah tua dan bermata menakutkan.

"Kembali dari kubur," kata Mino parau. "Kau tidak mengira aku akan berhasil, ya kan?"

"Mino..." saat Sehun bicara, Zitao merasakan tremor halus, nyaris tak terdeteksi, diseluruh tubuh pria itu. "Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi padamu."

"Memang," revolver terguncang digenggaman Mino. "Kau terlalu sibuk menyelamatkan Hyungseung."

"Mino, turunkan benda terkutuk itu. Aku...meninggalkanmu disana membuatku sedih sekali."

"Tapi kau melakukannya. Dan aku hidup dineraka sejak itu. Aku membusuk dan kelaparan, sementara kau menjadi pahlawan besar negara. Bajingan—" ia mengarahkan pistol ke dada Sehun. Zitao terkesiap dan meringkuk dipunggung suaminya.

"Aku harus menyelamatkan Hyungseung terlebih dulu," ujar Sehun tenang, denyut nadinya berpacu. "Aku tidak punya pilihan."

"Bohong. Kau menginginkan keagungan karena menyelamatkan perwira tinggi."

"Kukira kau sudah tidak mungkin selamat. Dan jika Hyungseung ditangkap, mereka akan mengorek segala macam informasi intelijen yang merusak dari dia."

"Kalau begitu kau seharusnya menembak dia, dan membawaku keluar dari sana."

"Kau sudah gila," bentak Sehun. Mungkin bukan hal paling bijaksana untuk dikatakan kepada orang yang berada dalam situasi seperti Mino, tapi Zitao sama sekali tidak bisa menyalahkan Sehun. "Membunuh serdadu tak berdaya dengan darah dingin? Mustahil dengan alasan apapun. Bahkan terhadap Hyungseung. Jika kau ingin menembakku karena itu, lakukan, biar setan membawamu. Tapi jika kau sakiti sehelai saja rambut dikepala istriku, akan kuseret kau ke neraka bersamaku. Hal yang sama berlaku untuk Janggu—dia terluka saat melindungi dirimu."

"Janggu tidak disana."

"Kutinggalkan dia bersamamu. Saat aku kembali untukmu, dia berdarah karena tikaman bayonet, dan salah satu telinganya hampir putus. Kau sudah tidak ada."

Mino berkedip dan menatap Sehun dengan kilas kepastian. Tatapannya beralih ke Janggu. Pria itu mengejutkan Zitao dengan berjongkok dan memberi isyarat ke anjing itu. "Sini, nak."

Janggu tidak bergerak.

"Dia tahu apa itu senjata." Zitao mendengar Sehun berkata tajam. "Dia tidak akan mendatangimu kecuali kau menyingkirkan senjata itu."

Mino ragu. Perlahan diletakkannya revolver itu ke tanah. "Sini," katanya kepada si anjing, yang merengek bingung.

"Pergilah, nak." Kata Sehun dengan nada rendah.

Janggu mendekati Mino hati-hati, ekornya dikibaskan. Mino mengusap kepala acak-acakan itu dan menggaruk leher si anjing. Bernapas terengah, Zitao menjilat tangan pria itu.

Bersandar dipunggung Sehun, Zitao merasakan ketegangan pria itu berkurang.

"Janggu ada disana," kata Mino dengan suara berbeda. "Aku ingat dia menjilati wajahku."

"Menurutmu apa aku akan meninggalkan dia bersamamu, jika tidak bermaksud kembali?" desak Sehun."

"Bukan masalah. Jika situasinya dibalik, aku pasti akan menembak Hyungseung, dan menyelamatkanmu."

"Tidak, kau tidak akan begitu."

"Pasti," Mino berkeras, gemetar. "Aku tidak seperti kau, dasar orang bodoh keparat." Ia duduk sepenuhnya ditanah, dan mengubur wajah dibulu acak-acakan janggu. Suaranya teredam saat berkata, "Setidaknya kau seharusnya menghabisi aku sebelum membiarkan mereka menangkapku."

"Tapi aku tidak melakukannya. Dan kau selamat."

"Harg yang harus dibayar untuk itu tidak sepadan. Kau tidak tahu apa yang kulalui. Aku tidak mungkin hidup dengan itu." Mino melepaskan Janggu, tatapan tersiksanya tertuju pada revolver disampingnya.

Sebelum Mino bisa meraih senjata itu, Zitao berkata, "Ambil, Janggu." Seketika Janggu mencengap revolver itu dan membawanya ke Zitao. "Anak baik." Hati-hati diambilnya senjata itu dan ditepuknya kepala Janggu.

Memeluk lutut, Mino mengubur wajah disana, postur menyerah yang sangat dikenal Zitao. Pria itu menggumamkan beberapa kata yang tidak bisa dimengerti.

Sehun pergi berlutut disana, merangkulkan lengan kuat dipunggung pria itu. "Dengarkan aku. Kau tidak sendirian. Kau bersama teman. Keparat kau, Mino-ya...ikutlah ke rumah bersama kami. Ceritakan padaku apa yang kau alami. Aku akan mendengarkan. Setelah itu kita akan mencari jalan agar kau bisa hidup dengan itu. Aku tidak bisa membantumu waktu itu. Tapi biarkan aku membantumu sekarang."

.

.

.

Mereka membawa Mino ke rumah, disana pria itu pingsan karena lelah, lapar dan saraf yang tegang. Sebelum Sehun mengatakan pada Lee ahn apa yang perlu di lakukan, wanita itu telah memahami situasi dan menggerakkan para pelayan. Ini rumah yang sangat terbiasa dengan penyakit dan kebutuhan orang yang invalid. Persiapan mandi dilakukan, kamar tidur disiapkan, dan senampan makanan hambar dan bernutrisi dibawa ke atas. Setelah Mino dirawat, Lee ahn membuat pria itu terlelap dengan minuman tonik ginseng.

Menghampiri sisi ranjang Mino, Sehun menunduk menatap sosok temannya yang hampir tak bisa dikenali. Penderitaan telah mengubahnya, didalam dan diluar. Tapi pria itu akan pulih. Sehun akan memastikan itu.

Diiringi harapan itu, juga rasa memiliki tujuan, Sehun menyadari perasaan diampuni yang baru dan rapuh. Mino tidak meninggal. Dengan semua dosa dihati nuraninya, paling tidak dosa yang itu telah diangkat dari dirinya.

Mino mendongak memandangnya setengah sadar, sorot mata gelapnya yang dulu hidup kini redup dan suram.

"Kau akan tinggal bersama kami sampai sembuh," kata Sehun. "Kau tidak akan berusaha kabur, ya kan?"

"Tak ada tempat lain untuk pergi," gumam Mino, lalu tidur.

Sehun meninggalkan kamar, menutup pintu hati-hati, dan berjalan perlahan menuju sayap lain rumah.

Medusa si landak keluyuran sampai ke lorong. Landak betina itu berhenti saat Sehun mendekat. Senyum samar menyentuh bibir Sehun. Ia membungkuk mengangkat landak itu dengan cara seperti yang diajarkan Zitao, menyelipkan tangan dibawah Medusa. Duri landak itu turun secara alami saat Sehun membalik badannya agar bisa memandangnya. Rileks dan ingin tahu, landak itu memandang Sehun dengan senyum landaknya yang permanen.

"Medusa," ujar Sehun lembut, "aku tidak akan menyarankan kau memanjat kandangmu pada malam hari. Salah satu dari pelayan bisa saja menemukanmu, lalu apa? Kau bisa saja mendapati dirimu dibawa ke ruang cuci piring dan dipakai menggosok teko." Membawa landak itu ke ruang tamu privat lantai atas, Sehun menurunkan landak itu ke kandangnya.

Meneruskan ke kamar Zitao, ia merenungkan bagaimana istrinya menganggap Mino yang malang sebagai makhluk terluka yang lain. Wanita itu tak menunjukkan keraguan menyambut pria itu dirumah mereka. Orang sudah pasti mengira Zitao akan begitu.

Ia masuk kamar tanpa suara, dilihatnya istrinya di meja rias, hati-hati menghaluskan cakar ditapak Lucky yang masih tersisa. Kucing itu memandang Zitao dengan ekspresi bosan, ekor berkibas malas. "...kau harus menjauh dari bantal sofa," Zitao menceramahi, "atau Lee ahn akan memenggal kepala kita berdua."

Tatapan Sehun berkelana disosok panjang elegan wanita itu, siluet Zitao terungkap dalam pedar lampu yang bersinar menembus gaun tidur muslinnya.

Menyadari kehadiran Sehun, Zitao berdiri dan menghampirinya dengan keanggunan alami yang tak disadari. "Apa kepalamu sakit?" tanya wanita itu khawatir, mengulurkan tangan menyentuh plester kecil dipelipis Sehun. Ditengah kesibukan membawa Mino ke rumah mereka, tidak ada kesempatan untuk percakapan pribadi.

Sehun membungkuk mengusapkan ciuman lembut dibibir Zitao. "Tidak. Dengan kepala sekeras ini, peluru hanya memantul."

Zitao membiarkan tangannya berlama-lama disisi wajah Sehun. "Apa yang terjadi saat kau berbicara dengan kolonel Hyungseung? Apa dia juga mencoba menembakmu?"

"Hanya teman yang melakukan itu padaku."

Zitao tersenyum simpul, lalu berubah serius.

"Letnan Mino tidak gila, kau tahu. Dia akan sehat kembali, dengan waktu dan istirahat."

"Kuharap begitu."

Sorot mata Zitao mencari-cari dimata Sehun. "Kau menyalahkan diri sendiri, ya kan?"

Sehun mengangguk. "Aku mengambil keputusan terbaik yang bisa kulakukan waktu itu. Tapi mengetahui hal itu tetap tidak membuat konsekuensinya menjadi lebih mudah ditanggung."

Zitao bergeming sesaat, tampak mempertimbangkan sesuatu. Menarik diri dari Sehun, ia pergi ke meja rias. "Aku punya sesuatu untukmu." Sibuk ia mencari-cari dilaci kecil didepan meja, dan mengeluarkan lipatan kertas. "Sepucuk surat."

Sehun menatap hangat dan bingung. "Darimu?"

Zitao menggeleng. "Dari Kyuhyun oppa." Dibawanya surat itu ke Sehun. "Dia menulisnya sebelum meninggal. Seohyun enggan memberikannya padamu. Tapi kurasa sudah waktunya kau membacanya."

Sehun tidak bergerak mengambilnya, hanya mengulurkan tangan dan merengkuh Zitao. Menggenggam erat rambut Zitao yang terurai, Sehun menggosokkan rambut itu ke pipi. "Bacakan untukku."

Bersama-sama mereka pergi ke ranjang dan duduk dikasur. Sehun tak mengalihkan pandangan dari profil Zitao saat wanita itu membuka lipatan surat dan mulai membaca.

Dear Sehun,

Sepertinya aku punya lebih sedikit waktu daripada yang kuharapkan. Kuakui aku terkejut mendapati betapa pendeknya hidup ini. Saat mundur memandangnya, kulihat aku menghabiskan terlalu banyak waktu mendalami hal yang salah, dan tidak cukup memberi waktu untuk hal yang penting. Tapi aku juga melihat diriku diberkati jauh melebihi pria lain. Aku tidak perlu memintamu menjaga Seohyun dan Eomma. Aku tahu kau akan melakukannya sejauh tahap yang mereka izinkan.

Jika membaca ini, artinya kau sudah kembali dari perang dan menghadapi tanggung jawab yang tidak siap kau terima. Biar kutawarkan sedikit penghiburan. Aku sudah mengamatimu sepanjang hidupku...sifat alamimu yang tak bisa diam, ketidak puasan pada apapun. Kau meletakkan orang yang kau cintai dipodium, dan tak terelakkan dikecewakan oleh mereka. Dan kau melakukan hal yang sama pada diri sendiri. Adikku tersayang, kau sendiri musuh terbesarmu. Jika kau bisa belajar mengharapkan kesempurnaan yang mustahil, dari dirimu dan di diri orang lain, kau bisa menemukan kebahagian yang selalu lolos dari genggamanmu.

Maafkan aku karena tidak bisa bertahan hidup...dan maafkan dirimu karena selamat.

Ini kehidupan yang ditakdirkan untukmu. Tak satu haripun semestinya disia-siakan.

Kyuhyun

Sehun diam lama, dadanya sesak. Isi surat itu terdengar seperti kakaknya...nada sayang yang sedikit berceramah. "Aku sangat merindukannya," bisiknya. "Dia mengenalku dengan baik."

"Dia mengenalmu seperti adanya kau dulu," kata Zitao. "Tapi kurasa kau sudah berubah. Sekarang kau tidak mengharapkan kesempurnaan. Bagaimana lagi caramu menjelaskan ketertarikan padaku?"

Lembut Sehun menangkup wajah Zitao dengan tangan. "Kaulah gagasanku tentang kesempurnaan, Oh Zitao."

Zitao mencondongkan tubuh ke depan hingga hidung mereka bersentuhan. "Apa kau sudah memaafkan diri sendiri?" tanya wanita itu lembut. "Karena selamat"

"Aku sedang berusaha." Kedekatan tubuh Zitao yang hangat dan berpakaian minim terlalu kuat untuk ditolak. Sehun menyelipkan tangan ke tengkuk wanita itu, dan mencium lehernya. Remang kecil merebak dikulit wanita itu. Sehun melucuti pakaian Zitao perlahan, berjuang menampung kebutuhan yang mengancam meluap diluar kendali. Ia menjaga setiap gerakan tetap lembut, ringan, sementara tubuhnya nyeri oleh hasrat kuat untuk menguasai wanita itu. Tangannya menyapu Zitao, memetakan kontur fisik dari apa yang telah diekspresikan kata-kata. Bercinta, menciptakannya, membiarkan sensasi mengaliri mereka berdua. Emosi berubah menjadi gerakan. Gerakan menjadi kenikmatan.

Ia membiarkan lidahnya mengekplorasi mulut Zitao bersamaan dengan saat ia menyatukan tubuh, tangannya menggenggam tumpahan sutra gelap rambut wanita itu. Zitao berusaha bergerak, tapi Sehun menahannya tetap diam, memberi lebih banyak kenikmatan padanya, dan lebih banyak lagi, hingga setiap napasnya berupa erangan, dan wanita itu gemetar tanpa henti.

Zitao tumit ke seprei, jarinya menggali punggung Sehun. Sehun mereguk kerut kecil kesakitan, mencintai ekspresi terkesima dan tersesat diwajah wanita itu. Ritme tubuh Zitao terkumpul menjadi satu kesatuan, rona tipis menyebar diseluruh kulitnya yang halus. Tapi Sehun belum menginginkan ini berakhir, meskipun dirinya sendiri lapar. Dengan usaha yang menyiksa, ia memaksa diri tetap diam di dalam.

Zitao memekik, pinggul terangkat mendesak bobot Sehun. "Sehun, please—"

"Sstt..." Sehun menekannya turun, mencium lehernya, bekerja perlahan di dadanya. Ditariknya puncak dada ke dalam mulut, dibelainya dengan gigi dan lidah, meninggalkan sisa panas yang basah. Suara lapar lirih terdengar dari leher Zitao, dan otot dalam tubuhnya mencengkeram dengan irama tanpa daya. Sehun mulai mengikuti pola halus itu, menekan maju, membiarkan Zitao mencengkeramnya seiring setiap tarikan. "Pandang aku," bisik Sehun, dan bulu mata Zitao terangkat, mengungkapkan kedalaman jiwanya.

Menangkupkan sebelah tangan dibawah kepala Zitao, Sehun menyatukan bibir dengan bibir wanita itu, sementara tubuhnya masuk lebih dalam daripada sebelumnya. Zitao menerimanya, melilitkan lengan dan kaki disekeliling tubuhnya, memeluknya dengan sekujur tubuh. Sehun membiarkan ritme menjadi kian kasar, kian cepat, cara bercintanya berubah liar dan tak terkendali saat ia menaiki ritme tubuh Zitao yang cepat, tanpa henti. Melengkungkan tubuh keatas, wanita itu gemetar keras, mencengkeramnya kencang, gelombang basah yang menarik pelampiasan yang mengoyak.

Selama beberapa saat keduanya terlalu terkesima untuk bergerak. Larut dalam perasaan terbuka, rileks, Sehun membiarkan tangannya berkelana ditubuh Zitao, bukan dengan hasrat seksual, tapi dengan kekaguman. Zitao meregangkan tubuh dan bergerak memerangkap kaki Sehun dibawah paha langsing, tangannya melintang lepas didada Sehun. Memanjat naik lebih tinggi diatas pria itu, Zitao mengusapkan mulut dan hidung ringan ke dada Sehun. Sehun terbaring diam dibawah naungan hangat tubuh Zitao, membiarkan wanita itu bermain dan menjelajah sesukanya.

Saat akhirnya meninggalkan ranjang, keduanya limbung. Sehun memaksa memandikan Zitao, mengeringkan, bahkan menyisir rambut wanita itu. Zitao membawa jubah Sehun dan duduk disebelah bak saat pria itu mandi. Sesekali ia mencondongkan tubuh mencuri ciuman. Mereka saling menciptakan ungkapan cinta untuk yang lain. Keintiman kecil perkawinan yang tak berarti sekaligus berarti segalanya. Mereka mengumpulkannya, sama seperti mengumpulkan kata dan kenangan, semua mengandung gema istimewa bagi keduanya.

Zitao mematikan semua lampu kecuali yang ada di nakas. "waktunya tidur," gumamnya.

Sehun berdiri diambang pintu memandang istrinya menyelinap ke balik selimut, rambut wanita itu terjuntai dalan jalinan longgar diatas salah satu pundak. Wanita itu menatapnya dengan sorot mata yang sekarang terasa familier...sabar menyemangati. Sorot mata Zitao.

Seumur hidup bersama wanita seperti itu rasanya jauh dari cukup.

Menarik napas dalam, Sehun mengambil keputusan.

"Aku mau sisi yang kiri," ujarnya, dan mematikan lampu terakhir.

Ia tidur bersama istrinya, merengkuh wanita itu dalam pelukan.

Dan bersama-sama mereka tidur sampai pagi.

.

.

.

END

.

.

.

Hei hei maafkan daku readernim harusnya libur panjang cepet update tapi malah lama baru update. Semua orang dirumah jadi rebutan main komputer...maklum komputernya cuma satu :\ udah ending nih thank you buat semua readernim yang udah review/ foll/fav dan para silent reader makasih semua. Maaf kalo banyak typo dan semua kesalahan lainnya. Berhubung novel yang berseri gabungan ini belum nemu jadi gk bisa buatin remake untuk couple lainnya. Tapi aku kemaren punya karangan Lisa yang laen, kalo aku ada mood lagi aku akan buat remake lagi tapi gk janji sih. Mau nerusin ff abal-abalku yang kubuat sendiri dulu, ya ampyun ternyata ada yang mau baca kirain bakal kebuang..ealah curhat..pokoknya makasih semua alopeyu :*

_Jodoh Chanyeol: iya gk mati kok hunie :3

_Aiko Vallery: udah selese chingu thank u ya ^^

_Lvenge: iya typo -_- ngantuk cui...thank you ya

_AulChan12: iya deh aku maafin thanks y...hunie gk mati kok tapi emang ketembak tapi nyrempet doang hehe eh mantul mungkin :v

_Ko Chen Teung: beneran kok tapi Sehun ampuh kan gk mati :v

_dumb-baby-lion: aku suka semua kok jangan khawatir kamu ambil yeol aku masih ada 11 member lainnya kkkk :v maruk

_arvita. Kim: iyeh jangan egois ya chingu...ini happy ending ^^...itu yang ngalir darah dari nyamuk yang digeplek thehunie :v

_Adamas Azalea: ouuuh let's not fall in love kirain apa chingu ya mangap deh :v top banget mereka bikin lagu termehek-mehek buttt suka bangetttt XD cie bang Riri kok ultah tambah tua tu muka #plaks digaplok bang Ri... peace ya bang :* poppo

_YURhachan: uhm mungkin kirain Sehun juga Zitao yang Mino incar tapi kan Mino belom kenalan ma Zitao ya jd gk kenal mungkin :3

_Ammy Gummy: kesrempet kok tenang ajah :p sekarang bahagia ya gk bakal ada tbc lagi.

_nindyarista: hidup kok sehun idup XD

_jeon Hyeun: iya ini end thank you repiunya.

_Dande liona: tenang happy ending chingu

_Zitaooneheart: ou udah kerja juga aduh udah lama gk tau bebeb Tao dah nyabet penghargaan peluk cium buat bebeb :*

_Lily levia: udah gk da jarak diantar kita kok...happy ending makasih ya repiunya ^^

_taona39: iyeee.

_pranawuland: gk kok..dia cuman stress.

Oke udah kelar makasih semua atas reviewnya aku tanpa kalian mah apa tuh #bow

Next epilognya jangan lupa dibaca...bye bye

.

.

.

.

EPILOG

.

.

.

Beberapa bulan kemudian...

Sehun menunggu bersama Brigade Rifle di lapangan seluas tujuh ratus meter kali seribu dua ratus, lapangan di Seoul yang akan menjadi saksi upacara pemberian medali keberanian untuk Sehun dalam menjaga perbatasan agar tak direbut musuh saat perang kemarin dan medali kemanusiaan untuk kepeduliannya menyelamatkan Hyungseung di tengah hujan peluru. Dan disaksikan juga sembilan ribu pria dari beragam kesatuan.

Sehun melirik tempat terpisah dimana tujuh ribu pemegang tiket duduk. Zitao dan seluruh anggota keluarga Huang yang lain juga ada disana, juga kakek Sehun, Seohyun, dan beberapa sepupu. Setelah penganugerahan yang rumit dan tak diinginkan ini selesai, Sehun dan seluruh keluarga beserta ipar-iparnya akan kembali ke Kim's Hotel. Akan ada makan malam privat berisi perayaan dan hiburan. Semua keluarga Huang berkumpul dihotel milik Jongin.

Tamu lain yang akan menghadiri makan malam keluarga di Kim's Hotel—Song Mino, telah mengundurkan diri secara resmi dari angkatan darat dan bersiap mengambil jabatan yang memang sudah keluarganya siapkan. Dibutuhkan berbulan-bulan bagi Mino untuk pulih dari pengalaman perangnya, dan prosesnya masih jauh dari selesai. Meskipun begitu, menetap lama di rumah Sehun memberi banyak kebaikan baginya. Sedikit demi sedikit, Mino menata kembali psikisnya dalam proses yang menyakitkan tapi perlu. Dengan dukungan teman-teman yang memahami, pria itu perlahan kembali menjadi dirinya sendiri.

Sekarang, semakin lama Mino semakin mirip berandal yang memesona dan pandai bicara seperti dulu. Kini sering kali Mino akan mengunjungi rumah Sehun diGyeonggi, Sehun tidak jadi pindah tapi hanya bepergian sementara waktu saja untuk mengecek keadaan estatnya di Jeju. Kebetulan dalam salah satu kunjungan itu, Mino bertemu Seohyun, yang sedang menginap selama dua minggu di rumah keluarga Oh.

Reaksi Seohyun terhadap mantan serdadu yang tinggi berambut gelap itu sangat membingungkan. Sehun tidak mengerti mengapa kakak iparnya yang biasanya ceria dan ramah bertingkah begitu pemalu dan kikuk kapanpun Mino ada didekatnya.

"Itu karena Mino macan," jelas Zitao saat mereka hanya berdua, "dan Seohyun angsa. Macan selalu membuat angsa gugup. Seohyun mendapati Mino sangat menarik, tapi merasa dia bukan pria yang semestinya ia jadikan teman."

Dipihak Mino, pria itu sepertinya sangat terpesona oleh Seohyun, tapi setiap kali melakukan penjajakan dengan hati-hati, wanita itu mundur.

Lalu dengan kecepatan mengejutkan, keduanya tiba-tiba seperti menjadi kawan akrab. Mereka berkuda dan berjalan-jalan bersama, juga sering berkorespodensi saat berpisah. Saat keduanya berada di Seoul, Mino dan Seohyun kerap terlihat bersama.

Heran oleh perubahan hubungan mereka yang dulu canggung, Sehun bertanya pada Mino apa penyebabnya.

"Kukatakan padanya aku impoten akibat luka perang," kata Mino. "Entah kenapa itu yang membuatnya tak segan saat kudekati."

Terkejut, Sehun memaksa diri bertanya hati-hati, "Kau begitu?"

"Astaga, tidak," sahut Mino tersinggung. "Aku hanya mengatakan itu karena dia gugup didekatku. Dan itu berhasil."

Sehun menatapnya dengan pandangan mencemooh. "Apa nantinya kau akan mengatakan yang sebenarnya pada Seohyun?"

Senyum licik bermain disudut bibir Mino. "Aku mungkin akan membiarkan dia menyembuhkannya tidak lama lagi," akunya. Melihat ekspresi Sehun, pria itu segera menambahkan bahwa niatnya sepenuhnya terhormat. Mino berencana melamar Seohyun bukannya menjadikannya kekasih saja. Dan menurut Sehun, kakaknya akan setuju.

Terompet dimainkan dan lagu kebangsaan dikumandangkan saat inspeksi militer dimulai, seluruh kesatuan menurunkan bendera dan mengulurkan senjata.

Lalu tibalah saat pembagian medali dilakukan. Para penerima medali, semua berjumlah 62 orang, dipanggil ke panggung. Seperti banyak pria lain, Sehun mengenakan baju sipil, karena telah meninggalkan pangkatnya seusai perang. Tak seperti yang lain, Sehun memgang tali. Yang terikat ke seekor anjing. Untuk alasan yang belum dijelaskan, ia diperintahkan untuk membawa Janggu ke acara pemberian medali. Para anggota Rifle yang lain membisikkan dukungan saat Janggu berjalan patuh disamping Sehun.

"Begitu baru anak baik!"

"Kau tampak cerdas, teman!"

Sehun bersyukur dengan sikap tanpa basa basi yang digunakan Kepala Negara dalam melakukan upacara itu. Sehun mendapatkan medali perunggu berpita merah yang disematkan didadanya, lalu dia dipandu pergi. Tapi sebelumnya Sehun dibingungkan oleh sorak sorai para penonton, meluas dan membesar hingga memekakkan telinga. Tidak benar baginya menerima lebih banyak seruan daripada serdadu yang lain—mereka pantas mendapatkan pengakuan sama banyaknya atas keberanian dan kekesatriaan mereka. Meskipun begitu, para anggota militer juga bersorak, sepenuhnya menghormati Sehun. Janggu mendongak gelisah memandangnya, tetap berada dekat disampingnya. "Tenang, nak," gumam Sehun.

"Kapten Oh," ujar sang Kepala Negara. "Antusiasme kami menandakan penghormatan pada anda."

Sehun menyahut hati-hati, "Kehormatan itu miliki semua serdadu yang telah bertempur melayani Negara—juga milik keluarga yang menunggu mereka kembali."

"Baik dan rendah hati sekali, Kapten." Perhatian sang Kepala Negara beralih ke Janggu, yang duduk dan memiringkan kepala, memperhatikannya dengan rasa ingin tahu. "Siapa nama teman anda ini?"

"Namanya Janggu, Sir."

Sang Kepala Negara sedikit melirik ke kiri, ke pengawalnya.

"Kami diberitahu dia ikut perang bersama anda diperbatasan."

"Benar, Sir. Dia melakukan banyak tugas sulit dan berbahaya untuk menjaga para serdadu tetap aman. Penghargaan ini sebagian miliknya—dia membantu mengambil kembali seorang perwira yang terluka dibawah tembakan musuh."

Jenderal yang bertugas menyerahkan medali kepada Sang Kepala negara mendekat dan memberikan benda misterius padanya. Itu tampak seperti...kalung anjing?

"Majulah Janggu."perintah sang Kepala Negara.

Janggu patuh seketika.

"Kalung ini telah diukir dengan keistimewaan resimen dan kehormatan pertempuran. Kami telah menambahkan gesper perak untuk menyatakan penghargaan atas keberanian dan pengabdian yang telah kau tunjukan dalam melayani kami."

Janggu sabar menunggu hingga kalung itu terpasang, lalu menjilat pergelangan tangan sang Kepala Negara. "Tidak sopan." Tegurnya berbisik dan menepuk kepala Janggu. Ia pun tersenyum singkat, diam-diam, kepada Sehun saat mereka pergi untuk memberi kesempatan pada penerima medali berikutnya.

.

.

.

"Janggu adalah pahlawan negara," kata Zitao di kemudian hari di Kim's Hotel, tertawa sambil duduk dilantai kamar hotel mereka dan mencermati kalung baru itu. "Kuharap kau tidak besar kepala dan bertingkah sombong."

"Ditengah keluargamu, dia tidak akan begitu." Ujar Sehun, melepas jasnya. Ia merendahkan tubuh ke sofa, menikmati sejuknya ruangan. Janggu pergi minum ke mangkuk airnya, suara air menepuk-nepuk berisik.

Zitao mendekati Sehun, merentangkan tubuh diatas pria itu, dan menopangkan lengan didada Sehun. "Aku bangga sekali padamu hari ini," ujarnya tersenyum pada Sehun. "Dan mungkin sedikit puas diri karena dari semua wanita yang terpesona dan mendesah karena dirimu, akulah yang pulang bersamamu."

Melengkungkan sebelah alis, Sehun bertanya. "Hanya sedikit puas diri?"

"Oh, baiklh. Puas diri luar biasa." Ia mulai bermain-main dengan rambut Sehun. "Sekarang setelah urusan medali ini selesai, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu."

Memejam, Sehun menikmati sensasi jari Zitao mengusap kulit kepalanya. "Apa itu?"

"Apa pendapatmu jika menambah anggota baru dalam keluarga?"

Ini bukan pertanyaan yang tidak biasa. Sejak menikah dengan Sehun, Zitao mulai menambah jumlah hewan peliharaannya, dan secara konstan disibukkan oleh acara amal dan kegiatan yang berhubungan dengan hewan. Ia juga menyusun laporan untuk masyarakat sejarah alami yang baru didirikan di Seoul. Karena suatu alasan, sama sekali tidak sulit meyakinkan kelompok entomologis, ornitologis, dan pecinta alam lain yang sudah tua agar mengikutsertakan seorang wanita muda cantik ditengah mereka. Terutama setelah tampak jelas Zitao bisa berbicara berjam-jam mengenai pola migrasi, siklus tanaman dan masalah lain yang berkaitan dengan kebiasaan dan perilaku hewan. Bahkan ada pembicaraan mengenai bergabungnya Zitao dengan dewan untuk membentuk museum sejarah alami yang baru, sebagai pemberi perspektif wanita pada berbagai aspek proyek itu.

Tetap memejam, Sehun tersenyum nyaman. "Berbulu atau bersisik?" tanyanya merespons pertanyaan Zitao tadi.

"Bukan satupun dari itu."

"Astaga. Sesuatu yang eksotis. Baiklah, makhluk ini berasal dari mana? Apa kita harus pergi ke Australia untuk mengambilnya? Islandia? Brasil?"

Tawa bergetar mengguncang Zitao. "Makhluk itu sudah ada disini, sebenarnya. Tapi kau tidak akan bisa melihatnya selama, katakanlah...delapan bulan lagi."

Mata Sehun terbuka. Zitao tersenyum memandangnya, tampak malu, bersemangat dan lebih dari sedikit senang pada diri sendiri.

"Zi," Sehun berbalik perlahan hingga wanita itu berada dibawahnya. Tangannya naik menimang sisi wajah istrinya. "Kau yakin?"

Zitao mengangguk.

Dikuasai perasaan, Sehun menutup mulut Zitao dengan mulutnya, menciumnya ganas. "Cintaku...kekasihku yang berharga..."

"Apa kau sangat menginginkannya?" tanya Zitao di sela ciuman, sudah mengetahui jawabannya.

Sehun menunduk memandangnya melalui lapisan tipis kebahagiaan yang membuat segalanya tampak kabur dan cerah. "Lebih dari yang kuimpikan. Dan pastinya lebih dari yang pantas kudapatkan."

Lengan Zitao menyelinap mengitari leher Sehun. "Akan kutunjukkan padamu apa yang pantas kau dapatkan," katanya pada Sehun dan menarik ke kepalanya lagi.

.

.

.

Sekian dan terima kasih ^^ happy new year every one.