Warning: Fanfic ini mengambil tema Boys Love atau Shonen-ai, MPREG, pair utamanya si cahaya dan bayangan, ini drama banget karena genrenya juga drama, future AU, OC bertebaran, maybe OOC, trying to realistic settings, explicit content (no sex scene but… another?)

.


"Kita tak pernah tahu tentang rahasia didalam rahim ibu, tak pernah tahu kemana jalan setapak akan menggiring, tak pernah tahu elok langit esok hari. Dunia ini dipenuhi ketidaktahuan, sebuah misteri. Selalu tersimpan rapat dari generasi ke generasi. Segolong orang tahu, namun ribuan yang tidak. Tersimpan di suatu tempat, dikunci rapat-rapat. Dunia ini penuh rahasia."


Musim dingin mulai menapaki puncaknya. Di beberapa kota, salju sudah turun dengan lebat, membuat dunia putih baru yang akan berakhir sebulan ke depan. Namun, meskipun salju belum sudi menyentuh kota Tokyo, suhu udara sudah semakin menusuk. Kebanyakan orang pasti akan enggan pergi ke luar rumah dan memilih bermalas-malasan di dalam kotatsu. Ya, setidaknya sama saja dengan yang diinginkan si pemilik iris crimson hari ini.

"Taiga-kun, maaf menunggu."

Kagami menoleh ke samping, menyambut kedatangan orang yang ditunggunya. Sorot mata setajam harimaunya melembut tatkala melihat sekelebat warna langit cerah di musim panas datang menghampiri. "Tidak masalah. Ah, kau sudah selesai?" ujarnya.

"Ya, untung hari ini selesai lebih cepat." Kuroko segera memakai topi rajutan dan penutup telinga yang dibawakan Kagami untuknya. Pipi dan puncak hidungnya memerah diatas wajah putihnya. Darah mengisi setiap ruang disana, menghangatkan senyumannya di tengah udara dingin.

Si jangkung menatap pasangannya sejenak sebelum menggandeng tangannya, dan menyadari sesuatu. "Apa-apaan ini? Kenapa tak pakai sarung tanganmu?" omelnya saat menyadari tangan Kuroko yang telanjang di suhu seperti ini.

Si pendek menghela nafas panjang. "Maaf, aku lupa karena tadi terburu-buru―" pemilik netra aquamarine itu terdiam sejenak, "―apa tidak apa-apa?" Menyadari mereka tengah berjalan ditengah keramaian, membuat Kuroko sedikit merasa tak nyaman. Walaupun kini penyimpangan seksual seperti mereka bukan hal asing lagi di Jepang, tapi masih cukup tabu bagi kebanyakan orang. Terkadang ia mendengar percakapan ibu-ibu muridnya yang membicarakan kaumnya saat mereka sedang begosip.

Kagami mendengus. "Biarkan saja, orang-orang juga tak akan ada yang sadar kau ini laki-laki," ucap si kepala merah penuh percaya diri.

Kuroko terdiam sejenak, mencerna perkataan Kagami barusan. Suaminya itu memang benar, bukan soal tak akan ada yang sadar kalau dia laki-laki, tapi soal 'biarkan saja'. Itu juga mengingatkannya akan sesuatu yang membuatnya melupakan harga dirinya sebagai gentleman. "Aku ingin hamil," ucapnya singkat, tegas, padat dan tepat sasaran.

Si surai cherry tersentak. Iya, dia tahu ini bukan pertama kalinya kalimat itu meluncur mulus dari mulut orang disampingnya. Tapi ingatlah, dia itu Kuroko Tetsuya! Atau sekarang sudah menjadi Kagami Tetsuya, tapi dia tetaplah dirinya. Hasrat yang sama seperti saat ingin mengalahkan Kiseki no Sedai. Pria kecil itu akan membicarakan topik yang sama berulang-ulang sampai mereka mencapainya. Oke, untuk saat itu, meskipun hampir tidak mungkin tapi mereka berhasil mencapai tujuan. Tapi kali ini, meskipun mereka tahu 'jalannya', untuk sekarang sangat tidak mungkin.

Kagami membetulkan topinya. Pemilik surai merah kehitaman itu menghela nafas berat sebelum membalas 'istri'nya. "Kau tahu? Kita harus bersabar beberapa tahun lagi jika ingi―"

"Aku akan cari cara lain," Kuroko memotong secepat salju pertama turun di puncak hidung Kagami dan membuat bagian itu basah.

Kagami menautkan alisnya, heran. "Bagaimana caranya?"

"Soal yang Tou-san katakan… untuk saat ini memang tidak mungkin…" Kuroko menghela nafas berat "… tapi aku ingin segera memberikannya cucu. Aku mash tak tahu caranya, tapi aku akan mencarinya."

Pemilik manik crimson itu tak bisa untuk tak tersenyum lembut mendengar perkataan orang yang sangat dicintainya. Diusapnya pelan kepala bertopi kelabu di sampingnya. Terasa hangat. Walau ditengah dinginnya udara.

.


HOW?

Kuroko no Basket fanfiction by kepitingbesi

Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi

Main Pair: Kagami Taiga x Kuroko Tetsuya

Rate: PG-16 or older

Genre: Family, Drama, Sci-fi

Don't like? Don't read! ENJOY…!


.

Chapter 2: Secret

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, namun aku masih sulit memejamkan mata. Berkali-kali kulirik tempat kosong di sampingku. Membayangkan ada sosoknya disana, berusaha menyamankan diri agar bisa tidur. Tapi sia-sia saja. Taiga-kun masih harus mempersiapkan banyak hal menjelang wisudanya, ditambah pekerjaan di kantornya yang tak kunjung usai. Aku berani taruhan dia tak akan ada di rumah sebelum jam tiga pagi.

Sementara perasaan sedih dan was-was tak bisa hilang dari dadaku. Maka, aku terduduk saja di tempat tidur. Kegelapan kamar tanpa sedikitpun cahaya yang menerobos masuk dari jendela. Sangat bagus untuk menyembunyikan wajah kalutku sekarang.

Aku memutuskan beranjak dari tempat tidur, membuka pintu kamar. Kakiku membawaku melangkah melintasi satu kamar kosong, ruang TV, kamar mandi lalu sampai di dapur. Aku membuat kopi. Bukan kopi putih dengan banyak creamer vanilla seperti biasanya, tapi kopi pekat kental dan sehitam aspal. Untuk saat ini mungkin itu yang kubutuhkan.

Aku kembali ke kamar dan menyalakan komputer. Kopi yang kubuat kuletakkan di pinggir meja. Helaan nafas panjang keluar dari mulutku. Lagi-lagi aku mengingatnya. Saat dimana aku mendapat telpon dari Kaa-san dan mendengar kabar bahwa Tou-san kembali terserang stroke. Namun, berbeda dari saat itu. Kali ini bukanlah stroke ringan yang menyerangnya. Ia sudah akan terbaring koma selama tiga hari dalam satu jam kedepan.

Kekalutanku bertambah. Rasanya seperti dinginnya udara diluar sana berhasil menembus dadaku.

Suara-suara deru kendaraan di kota Tokyo yang tak pernah tidur mengiringi tanganku membuka sebuah e-mail masuk. Surat kepastian―kalau boleh kubilang begitu―kedelapan sejak pertama kali aku bercakap dengan salah seorang admin di suatu website.

Tou-san pernah bercerita denganku dan Taiga-kun tentang sebuah proyek yang pernah ia dengar di Amerika. Glass Tube Baby namanya. Sebelum menjelaskan tentang itu, Tou-san berucap berkali-kali kalau dunia sudah gila, dan saat ceritanya selesai, aku memang setuju dengannya kalau dunia ini gila.

Awalnya Glass Tube Baby dikembangkan para ilmuwan untuk membantu para 'pasangan normal' yang tak bisa memiliki anak (entah karena istrinya harus mengangkat rahim karena penyakit ganas, kemandulan permanen atau apapun itu) untuk bisa memiliki pewaris darah mereka. Namun, seiring berjalannya waktu dan diresmikannya pernikahan sejenis di Amerika. Suatu hari, seorang jurnalis di koran berucap. "Ini bisa jadi alternative untuk para pasangan sesama jenis yang meginginkan keturunan." Lalu, bagaikan virus, menyebar cepat ke seluruh negeri.

Proyek itu tetaplah proyek. Dalam berusaha membantu 'pasangan normal' memiliki keturunan, Tou-san bilang hanya 1:100 percobaan yang berhasil. Karena bayi-bayi itu tidak dikandung didalam rahim, melainkan tumbuh didalam tabung-tabung kaca―seperti namanya―kebanyakan bayi akan meninggal saat umur mereka diatas 6 bulan karena terlalu aktif bergerak. Itu juga sama saja untuk pasangan sejenis. Tapi kenapa mereka bisa membuat bayi juga? Itu yang tetap jadi pertanyaanku.

Saat selesai dengan ceritanya, Tou-san memberi tahu kami alamat website organisasi ilmuwan yang mengembangkan proyek itu. Walau kemungkinan berhasilnya jauh lebih sedikit, kami akan berusaha memakai segala cara.

Jadi, malam itu aku dan Taiga-kun mengunjungi website-nya. Semuanya berbahasa Inggris. Taiga-kun menerjemahkan artikel apapun yang kubuka disana. Kumulai dari artikel tentang penelitian mereka yang lain dulu. Lalu, sampai di artikel tentang Glass Tube Baby Project mereka: definisi, alasan, tujuan, tak ada prosedur (mungkin sengaja dirahasiakan) dan terakhir, sebuah artikel berita yang isinya: Proyek ini divakumkan karena terlalu banyak kegagalan, para aktivis anak menilai kalau itu termasuk perlakuan tidak bernorma pada bayi. Dan pemerintah Amerika pun memaksa para ilmuwan menghentikan proyek ini untuk sementara waktu. Disitu, aku dan Taiga-kun tahu bahwa satu-satunya kesempatan kami telah hilang bagai ditelan ombak.

Tetapi, di suatu hari lain, aku membuka website itu lagi―bersamaan dengan google translate, pastinya―ternyata ada forum juga disana. Aku langsung membuat akun dan mengirim pesan kepada salah satu admin. Sebenarnya hanya iseng bertanya-tanya soal proyek mereka yang divakumkan itu.

Namun, aku tersentak kaget saat dia bilang kalau sebenarnya proyek rahasia mereka di Negara lain tidak dihentikan. Saat aku bertanya di Negara mana itu dan apa aku bisa mencobanya, butuh waktu dua hari sampai ia membalas "Kalau begitu, kirimkan alamat surelmu."

Di e-mail pertama yang ia kirim, isinya adalah pertanyaan-pertanyaan. Seperti biodata: umur, pekerjaan, gender, dan lain-lain. Lalu, pertanyaan seperti seberapa yakinkah aku, seberapa siap. Bagiku itu agak sulit dijawab karena terlalu pribadi. Sampai akhirnya, e-mail kedelapan―yang isinya sama dengan e-mail pertama, kedua dan seterusnya―yang kubuka saat ini.

Sejak e-mail nya yang keempat sudah kuputuskan untuk menyerah dan takkan pernah membalasnya, sebenarnya. Biarlah kami akan menunggu sampai proyek itu dikerjakan kembali. Tetapi setiap mengingat ayah dari Taiga-kun, keputusanku itu selalu hampir kulanggar sendiri. Dan disaat seperti inilah puncaknya.

Jari-jariku menari mengetikkan balasan untuk e-mail berisi sama yang kedelapan. Dan tanpa kuduga, e-mail dariku langsung dibalas dengan ajakan untuk ketemuan, tempatnya aku yang putuskan. Si pengirim e-mail tahu aku bukan di Amerika, maka ia bilang kalau aku akan bertemu dengan 'orang-orangnya' di Jepang.


Seseorang berkata bahwa sejarah dunia ini hampir semuanya bukan realita, melainkan fiksi belaka. Karangan orang. Sang fakta disembunyikan di belahan bumi tak terjamah. Lalu orang lain pecinta takhayul juga berkata kalau makhluk seperti centaurus atau mermaid itu benar-benar ada. Tersembunyi di suatu tempat. Dirahasiakan dari dunia…


"Tetsu-kun, terima kasih atas kunjungannya!"

Wanita berambut merah muda itu memberiku senyum terbaiknya saat kakiku beranjak meninggalkan toko. Momoi-san bekerja part time di sebuah toko pakaian semenjak mulai kuliah, tidak seperti Taiga-kun yang langsung direkrut perusahaan tempat ayahnya bekerja. Di usia delapan belas tahun waktu itu, pria itu benar-benar membuatku kagum dengan kedewasaannya. Ia dengan tegas berkata, meskipun sambil kuliah ia akan menerima tawaran itu, karena sudah memiliki seseorang untuk dinafkahi. Ayahnya tentu saja bersikeras memberinya uang kuliah dan biaya hidup kami setiap bulan. Kami tak bisa menolak, karena ayah Taiga-kun lebih keras kepala dari anaknya. Dan ia tetap begitu meskipun aku sendiri sudah mulai bekerja menjadi guru TK sejak tiga tahun lalu.

Aku sengaja mampir ke toko pakaian dulu sebelum bertemu orang yang dijanjikan. Membelikan Taiga-kun beberapa setelan baru untuk acara wisudanya besok lusa. Dan kabar yang kudengar pagi ini, Tou-san sudah sadar dari komanya. Membuatku mood-ku begitu baik hari ini.

Saat berjalan melewati stasiun Shibuya, aku bertemu dengan Takao-kun lalu mengobrol sedikit. Aku baru tahu kalau ternyata ia pintar, dirinya bercerita bahwa nilai kuliahnya tertinggi sejurusan keperawatan. Sementara Midorima-kun―yang kuliah di tempat yang sama dengan Takao-kun―lulus dengan nilai tertinggi kedua di jurusan kedokteran. Semua senpai di Shuutoku juga sudah mapan dengan pekerjaan mereka.

Lalu, sampailah aku di depan sebuah café bergaya cowboy favorit Taiga-kun. Di musim dingin seperti ini, café dengan banyak hiasan kayunya bukan terlihat hebat, malah kelihatan menyedihkan. Kayunya yang selalu basah seakan-akan berkata ada kebocoran pipa didalam, alih-alih basahan itu hanyalah salju yang mencair. Dan papan nama café yang juga terbuat dari kayu hampir tak terbaca lagi, tertutup salju tebal.

Saat masuk, aku langsung dihampiri pelayan yang menanyai namaku. Rupanya aku sudah ditunggu.

"Jadi, dengan ini Anda sudah setuju untuk menja―" wanita berambut sebahu itu menghentikan kata-katanya, kebingungan. Namanya Reika-san, orang yang diutus untuk bertemu denganku. Dirinya sudah bilang sebelumnya padaku kalau ia tak pandai bicara, makanya aku maklum saat melihatnya berpikir keras ketika ingin menyampaikan sesuatu.

"Iya, aku juga sudah membicarakannya dengan pasanganku," ucapku kalem.

"Se-serius?!" entah kenapa ia terkaget.

"Tentu saja…?" ucapku ragu, merasa aneh dengan sikapnya.

"Kalau begitu baguslah," ia mengehela nafas lega. Lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalam tasnya. "Mohon Anda tanda tangan disini," ujarnya sambil menunjuk sebuah tempat kosong di sudut kertas.

Aku menorehkan tinta pena yang diberikannya. Dan tiba-tiba, jantungku berdegup keras. Merasa sangat was-was. Ada perasaan aneh yang muncul saat melihat senyuman lega wanita cantik itu. Dan memuncak saat ia memasukan kertas tadi kembali ke dalam tasnya. Rasanya tanganku hampir bergerak sendiri untuk menghentikannya.

Entah percakapan kami yang terlalu lancar singkat, atau memang pelayanan café ini yang menurun di musim dingin dan menyajikan dengan sangat lamban. Minuman untukku―yang sudah dipesankan wanita ini―akhirnya datang.

"Terima kasih," ucapku sebelum meminumnya. Secangkir lemon tea hangat dengan sangat sedikit gula.

Namun, selang satu dua menit, tiba-tiba tenggorokanku terasa panas sekali. Perutku seperti dikoyak dari dalam, rasanya sangat mual. Dari sudut mataku, aku melihat wanita di depanku ini panik bukan main. Tapi ia hanya mengguncang-guncang tubuhku, sama sekali tak meminta bantuan orang-orang di sekitar. Selang dua menit selanjutnya, giliran kepalaku yang terasa sangat pusing. Tak tertahankan. Sampai ketika satu menit terlewat, aku tak ingat apa yang terjadi selanjutnya.

.


"Kuroko! Kuroko! Kau dimana? Kau dimana… Tetsuya?!"

Semilir angin lembut yang hangat dan kicauan burung menyambutku ketika membuka mata. Aku terbangun di sebuah ruangan bercat putih dan langit-langit cokelat muda. Tempat ini dilengkapi nakar dan tiang kecil yang kuduga sebagai tiang infuse, kupikir ruangan ini mirip kamar rumah sakit.

Tiba-tiba, aku teringat mimpiku barusan, sebelum aku terbangun. Entah mengapa aku malah memimpikan Taiga-kun yang tengah kebingungan di antara kerumunan orang-orang lalu lalang di stasiun. Ah, aku ingat. Hal itu memang pernah terjadi. Dulu, sebelum kami menikah. Ketika ia pulang mendadak dari Amerika―batal kuliah disana―dan aku sudah berangkat ke Hokkaido untuk menemui ibu dan nenekku. Rupanya Taiga-kun mencariku sampai teman-temanku ditanyai semua.

Aku terkekeh geli ketika mengingatnya, bersamaan dengan perasaan hangat saat mengingat wajah pria itu. Walau sebenarnya, agak menyedihkan juga melihatnya kebingungan mencariku di stasiun.

Terlalu lama melamun sambil memandangi langit-langit, aku tersadar kalau aku harus segera pulang. Saat turun dari ranjang dan melihat keluar jendela, aku terhentak kaget. Dimana ini?

Seingatku, saat ini sedang musim dingin. Meskipun waktu untuk bunga sakura mekar di Jepang berbeda-beda, tidak mungkin sudah ada daerah yang mencapai musim panas sekarang. Atau malah aku yang tertidur sangat lama?

Pemandangan yang kulihat diluar adalah pepohonan rindang dengan sayup-sayup sinar matahari menembus dedaunannya. Entah ada berapa juta burung yang hidup diantara pohon-pohon itu, tapi suara merdu mereka terdengar banyak sekali. Dan sesekali aku juga melihat monyet bergelantungan dari satu dahan ke dahan yang lain. Bunga-bunga rumput liar berwarna kuning dan putih menghiasi tanahnya. Ini seperti di tempat tropis.

CKLEK

Suara pintu terbuka. Aku langsung menyibak korden yang membatasi setengah ruangan ini. Ternyata terdapat ruangan berisi sofa, televisi dan meja makan―seperti ruang tamu―dibalik korden ini. Aku keluar dari pembatas berupa korden itu dan melihat ke pintu.

"Kagami Tetsuya?"

Seorang wanita berseragam setelan serba putih dengan buku ukuran B5 tebal di tangan kirinya dan pena di tangan kanan. Ia bertanya dengan ragu-ragu.

"Iya?" akupun menjawabnya dengan ragu-ragu.

"It's your medical check up time. Please prepare yourself," ia segera masuk dan berjalan menghampiriku. Ia memakai bahasa Inggris meskipun berwajah Asia.

"Y-Yes?" aku berucap bingung. Hendak bertanya ada apa dan dimana ini, kenapa aku bisa disini. Tapi wanita itu segera menggiringku ikut dengannya. Ia berbicara menggunakan bahasa yang tidak terlalu kukuasai. Seandainya Taiga-kun ada disini, pasti ia akan sangat membantu.

Aku masih sangat linglung berada di tempat ini. Kurang lebih, tempat ini mungkin mirip rumah sakit. Tapi ada di tengah hutan hijau. Bagian yang mirip rumah sakit sebenarnya hanya sedikit. Sisa bangunan luas lainnya aku tak tahu apa itu. Yang kutahu saat ini, seharian aku digiring kesana kemari, menjalani berbagai tes kesehatan yang sebagian sudah pernah kulakukan waktu masih SMP. Cek darah, mulai dari golongan darah, tekanan, gula. Lalu mata, kulit, foto x-ray untuk meihat penyakit dalam. Aku belum pernah mengalami cek kesehatan sedetail ini seumur-umur.

Sampai malam pun tiba, dan aku dikembalikan ke kamarku bangun tadi. Wanita seperti suster yang sejak tadi menemaniku ternyata bernama Nila. Sebenarnya ia bisa berbahasa Jepang meskipun bukan orang Jepang. Jadi, percakapan kami selalu memakai bahasaku.

"Kalau begitu, sampai disini untuk hari ini. Pemberitahuannya belum keluar, tapi kuharap bisa jadi pendamping Anda disini," Nila-san tersenyum ramah.

"Tunggu, Nila-san, kau belum menjawab pertanyaanku. Ini dimana? Dan sampai kapan aku disini? Aku harus menemui suamiku," ujarku panik ketika melihatnya hendak pergi.

Wanita itu menautkan alisnya. "Maaf, saya tidak tahu. Tapi semuanya ada di dokumen yang Anda tanda tangani," ia berhenti sejenak, membenarkan letak kacamata ravennya. "Untuk sekarang, saya benar-benar harus pergi. Dan sebaiknya Anda tidur sebelum pukul sembilan malam." Setelah mengatakannya, ia menaruh sebuah bungkusan diatas meja ruang tamu. Lalu membuka pintu dan menghilang dari pandanganku.

Aku terdiam membatu. Dokumen? Tanda tangan? Seperti puzzle yang terpasang. Apa jangan-jangan aku melakukan sebuah kesalahan tanpa kusadari? Dan kemana barang-barangku? Aku tak bisa menemukan handphone-ku dimanapun. Keresahan kembali memenuhiku. Sampai tiba-tiba, aku mendengar suara ribut-ribut diluar kamar.

"LEPASKAN AKU!"

Seorang pemuda berwajah oriental dan berambut kelabu berteriak-teriak dengan bahasa Jepang yang sangat kasar. Tiga orang pria dengan setelan serba putih seperti Nila-san memeganginya, berusaha menghentikan gerakannya.

"KUBILANG LEPASKAN AKU, KEPARAT!"

Kamarnya tepat di sebelah kamarku. Teriakannya memenuhi lorong sepanjang dua puluh meter itu, mengundang lebih banyak orang keluar dari kamar mereka.

Tiga orang pria tadi bicara padanya sambil setengah membentak, namun bentakannya jauh lebih menggelegar. "HAH!? APA!? KALIAN MAU BICARA SEBANYAK APAPUN, AKU TAK AKAN MENGERTI!"

Sampai seseorang berjas serba putih layaknya dokter datang ke hadapannya dan bicara dengannya. Aku tak bisa mendengar perkataannya, terlalu pelan, lembut.

"AKU TAK PEDULI! AKU TAK INGIN JADI KELINCI PERCOBAAN KALIAN LAGI!"

Dan selang sedetik, pemuda itu langsung jatuh tersungkur. Rupanya salah seorang dari pria yang memeganginya telah menyuntikan bius padanya.

Keadaan kembali tenang saat pemuda berambut kelabu itu dibawa masuk ke kamarnya. Semua pasang mata yang menontonnya juga kembali masuk ke kamar mereka. Kecuali aku yang masih membatu.

Perkataan orang tadi sungguh membuatku kaget. Ia kelihatan sudah ada disini lebih dulu. Berbulan-bulan, mungkin? Namun, perkataannya yang membuatku terguncang… apa maksudnya kelinci percobaan?

Aku mengatur nafas untuk menenangkan diri. Seketika kurasakan kecemasan membanjiriku. Bagaikan masakan yang meluap-luap meluber dari pancinya. Terangnya lampu lorong tak membantu. Jantungku seperti ingin berhenti bekerja. Tenggorokanku tercekat. Aku bingung harus apa. Saat ini, adalah pertama kalinya aku merasa sangat-sangat menyesal, entah karena apa. Sampai malam ini, aku masih tak tahu salahku dimana. Tapi instingku bilang, ini salahku sendiri.

Rasanya ingin menangis. "Taiga…kun…" panggilku lirih, tidak pada siapapun di lorong sepi ini.

.

.

To be continue


.

a/n:

halo minasan!

akhirnya selesai jugaaa

sci-fi nya udah mulai disinggung, dan kalau kalian cermat, ratingnya sudah saya naikkan juga

sebenarnya saya dilema, takut-takut yang saya tulis nanti terlalu eksplisit atau istilah-istilahnya kurang bisa dimengerti

oh iya, tema dan judul chapter ini terinspirasi dari guru sejarah saya yang bilang kalau didunia ini tersimpan sangat banyak rahasia, bahkan sejarah itu sendiri

ngomong-ngomong, terima kasih buat semua yang sudah mau mampir dan membaca fic abal ini!

Jika ada kritik, saran, komentar untuk saya yang lagi dilema buat chapter-chapter kedepan, silahkan tulis di kolom review..

Oh iya, terima kasih juga untuk yang sudah read, review dan follow di chapter 1! *peluk satu-satu* jangan bosan bosan ya!

-playlist: Astrid-Mendua, IA-Sepasang Mata Bola, IA-Selendang Sutra, Chopin Ballade No.1 in G minor

9 pages, Saturday, September 5, 2015 at 8.16 PM