standard disclaimer applied


Haru Haru (Day By Day)

.

Chapter 13 pt. 1 : Come Back Home

.

Lu Han mendudukan dirinya pada sebuah bangku yang ada di tempat itu, kedua mata yang terlihat begitu kelam dan gelap perlahan tertutupi oleh kelopak matanya. Ia memilih berdiam diri sejenak disana sembari menikmati dinginnya angin semilir yang menyapanya, seakan-akan angin itu tengah menemani kesedihan hati yang hampir membuatnya membeku. Burung-burung yang berkicau riang disekitarnya membuatnya tersenyum miring, rasanya para burung itu tengah mengejek akan kesendiriannya di tempat menyedihkan ini—tempat dimana banyak terjadi kesedihan mendalam.

Entah sudah yang keberapa kali Lu Han menginjakkan kakinya pada tempat-tempat seperti ini, semua tempat seperti ini yang ada di seluruh Korea Selatan sudah ia kunjungi tapi dirinya tetap tidak menemukan apapun yang setidaknya bisa membuat kegundahan dihatinya menghilang. Mungkin, kegundahan itu tidak akan pernah hilang hingga akhirnya benar-benar membuatnya kehilangan kewarasannya. Tiba-tiba Lu Han terkekeh pelan, rasanya sudah lama saat terakhir kali ia memikirkan—atau melakukan—sesuatu yang berhubungan dengan kewarasaannya.

Merasakan bahwa dirinya tidak sendirian lagi di tempat tersebut, Lu Han pun membuka kedua matanya dan menoleh. Benar saja, terlihat sepasang laki-laki dan perempuan berada tak jauh dari tempatnya tengah berdiri dihadapan sebuah batu nisan. Si perempuan terlihat menahan tangisannya dengan menutup wajahnya sedangkan si laki-laki mencoba menenangkannya dengan menepuk pelan bahunya. Lu Han menatap mereka datar lalu menatap batu nisan dihadapan mereka, ia baru menyadari bahwa Korea punya banyak sekali bentuk pemakaman.

Ada yang bentuk makamnya dibuat seperti bukit-bukit kecil, diatas makamnya ditumbuhi atau dikubur dibawah pohon—atau abu yang dimasukan kedalam pohon yang dilubangi tiangnya, diberi batu nisan seperti kebanyakan pemakaman di negara-negara lain, abu orang meninggal yang disimpan pada suatu tempat didalam lemari kaca yang harus dibayar setiap tahunnya atau abu itu hanya dibuang ke lautan, dan mungkin masih ada jenis makam lainnya yang belum Lu Han lihat. Semua jenis pemakaman itu tergantung dari seberapa banyak uang miliki, semakin banyak uang maka semakin bagus jenis pemakamannya.

Membicarakan pemakaman hanya akan membuat suasanan menjadi suram.

Padahal hari ini sungguh hari yang indah, tidak ada awan mendung yang akan mendatangkan badai dan cahaya matahari pun tidak terasa begitu terik serta kering melainkan terasa hangat. Udara sejuk juga telah menjadi pelengkap yang memastikan bahwa hari ini memang hari yang indah untuk sebuah hari dimana pergantian musim mulai berganti. Musim dingin menjadi musim semi. Lu Han menghela nafas—entah mengapa, rasanya baru kemarin dirinya mengalami kesedihan mendalam saat pergantian musim gugur ke musim semi, tapi sekarang musim sudah kembali berganti.

Musim sudah berganti, itu berarti waktu terus berputar maju kedepan tapi kenapa Lu Han merasa kehidupannya tidak maju kedepan sejak saat itu?

Merasa bahwa ia berada di pemakaman ini sudah cukup lama, Lu Han bangkit dari duduknya dan mulai melangkah pergi dari sana tanpa menengok kebelakang. Lagi pula untuk apa dirinya menengok kebelakang, Lu Han sudah sering melakukan hal itu selama ini disetiap pemakaman yang dikunjunginya hanya untuk berharap akan menemukan sesuatu tapi mungkin itu hanya angan belaka karena hingga saat terakhir kalinya ia menoleh kebelakang—saat berada salah satu pemakaman yang ada di Guri—dirinya tetap tidak menemukan apa.

Angin kembali berhembus, mengantarkan kepergian Lu Han dari pemakaman itu.

Saat kedua kaki Lu Han sudah tidak berada dikawasan pemakaman itu, terlihat seseorang yang juga berpakaian serba hitam dengan sebuah syal putih bergaris hitam dilehernya memasuki pemakaman dengan setangkai bunga krisan putih ditangannya. Langkah seseorang itu terhenti pada salah satu makam disana, ia menghela nafas pelan lalu meletakkan bunga yang dibawanya tepat didepan batu nisan makam itu sambil mengumankan kata terima kasih.

.

.

.

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali Lu Han bertemu dengan kedua orang tuanya, tepatnya hampir sekitar dua bulan lebih mereka tidak bertemu. Lu Han sejak tadi hanya diam dan menikmati secangkir teh yang disajikan pelayan restoran yang menjadi tempat mereka berkumpul sekaligus makan malam dalam keheningan dan suasana yang canggung, tentu saja. Jika saja boleh, mungkin Lu Han sudah akan langsung meneriaki babanya sejak pertama mereka bertemu di restoran ini, menyalahkan kepala keluarga Lu itu atas semua hal yang sudah terjadi padanya karena andai saja babanya tidak menyuruhnya pergi hari itu maka akan ada kemungkinan semua ini tidak akan terjadi dan dirinya tidak akan menjadi manusia dengan kewarasan yang berpertanyakan.

"Bagaimana kabarmu, Han?" tanya mama tenang setelah selesai dengan makan malamnya, berbeda dengan Lu Han yang tidak menyentuh makan malamnya sama sekali.

Lu Han ingin tertawa karena mendengar pertanyaan yang dikeluar dari mulut mamanya, pertanyaan yang tentu saja sudah jelas jawabannya. "Baik," dustanya.

"Kami dengar dari Sekertaris Hwang, kamu banyak sekali bolos dari perkerjaanmu, Han. Benarkah itu?" Mama kembali bertanya.

"Ya," jawab Lu Han singkat. "Bagaimana kabar mama dan baba?" tanyanya basa-basi.

"Han, kamu tidak bisa menelantarkan perusahaan seperti itu," kata baba yang jelas-jelas mengabaikan pertanyaan Lu Han.

"Kamu harus bersikap professional, Han," sambung mama yang menatap Lu Han dengan tatapan tegasnya.

Senyuman miring terukir diwajah Lu Han, jadi pertemuan keluarga ini didasari karena kekhawatiran atas perusahaan mereka dan bukannya dirinya? Lu Han tidak mengerti, kenapa keluarganya sendiri bersikap seperti ini padanya disaat-saat dirinya memerlukan sebuah sandaran dan pegangan untuk bertahan? Ia hampir kehilangan nyawa dan akalnya tapi sejak hari itu tidak pernah dirinya dikhawatirkan, bahkan kedua orang tuanya pun tidak pernah berkunjung ataupun menelpon saat dirinya masuk rumah sakit. Apakah hukuman ini memang akan terus berlanjut tanpa akhir?

Tersiksa, Lu Han benar-benar sudah cukup tersiksa. Selama berbulan-bulan yang dia inginkan hanyalah bertemu dengan Minseok, melihat keadaan laki-laki manis itu. Tapi bahkan sekarang Lu Han sendiri masih tidak bisa menyimpulkan apakah laki-laki manis yang juga 'istri'nya itu masih berada di dunia ini atau sudah pergi ke dunia lainnya?

"Maaf. Aku berbohong. Kabarku sama sekali tidak baik, aku sedang sakit." Lu Han mengatakannya sambil menunjukkan senyuman miringnya yang melebar, terlihat begitu menyedihkan.

"Lu Han…,"

"Kamu tidak bisa lari, Han. Perusahaan di sini adalah tanggung jawabmu." Baba mengatakannya dengan tegas dan jelas, Lu Han pun dengan cepat mengerti tapi ia terlalu lelah.

"Lari? Aku bahkan sangat yakin bahwa diriku sangat sakit hingga tidak bisa berlari," sahut Lu Han dan menghabiskan seluruh teh yang tersisa pada cangkirnya.

Mama menghela napas lalu menatap Lu Han tajam, "Cukup, Han. Tidak bisakah arah pembicaraanmu searah? Kita sedang membicarakan tentang perusahaan disini. Jika kamu terus seperti ini bukan tidak mungkin kemungkinan terburuk akan terjadi karena sikap tidak professionalmu."

"Itu benar, Han. Ada baiknya besok kamu harus benar-benar datang ke kantor dan mulai berkerja kembali, tidak ada penolakan."

"Aku selesai." Lu Han berdiri menatap kedua orang tuanya bergantian dan tersenyum—senyuman paksa nan kaku. "Aku kemari tidak ingin membicarakan tentang perusahaan ataupun makan malam. Aku kesini dengan harapan mama dan baba akan memberitahuku satu hal yang membuatku sudah sakit dengan menyedihkan seperti ini."

Kedua orang tua Lu Han memberikan tatapan tidak percaya dengan sikap anak mereka yang bisa dianggap kurang sopan.

"Tapi sepertinya kalian sama seperti yang lainnya, tidak akan memberitahu meski hanya sebuah petunjuk kecil." Kedua tangan Lu Han mengepal. "Dimana dan bagaimana keadaan Minseok-ah? Kalian semua tidak akan pernah memberitahuku, bukan?"

.

.

.

Snowflake Café.

Café itu tetap berjalan dan tetap digemari para pengunjung setia mereka, ditambah dengan sedikit dekorasi baru untuk menyambut datangnya musim semi semakin berhasil mengundang beberapa pelanggan baru untuk berkunjung dan menikmati secangkir coffee atau minuman lainnya di café itu. Selama ini Yixing lah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas Snowflake Café, tentunya bersama dengan Kyungsoo dan Jongdae juga. Seperti biasanya di jam makan siang, café itu tidak terlalu di penuhi pelanggan kecuali disaat akhir pekan sehingga para pekerja disana sedikit memiliki waktu senggan dan mereka bisa mengerjakan hal lainnya. Contohnya, Jongdae yang asik dengan hobi barunya merawat pohon bongsai mini yang ia letakkan didekat meja counter.

Pintu café terbuka beriringan dengan suara bel khasnya, terlihat dua orang pria memasuki café.

"Selamat datang di Snowflake Café," sapa Kyungsoo spontan. "oh, Hyukjae-ssi, Dokter Donghae, annyeonghaseyo," sambungnya saat menyadari siapa gerangan pelanggan mereka kali ini.

"Hyukjae-hyung, lama tidak bertemu," kata Jongdae begitu selesai memotong beberapa ranting pohon bongsainya yang terlihat tidak rapi.

"Annyeong," sapa Hyukjae ramah. "pesanan seperti biasa, Kyungsoo-ya."

"Kalian semua baik-baik saja, kan? Dimana Yixing?" tanya Donghae sambil menatap kesekeliling, sebagai seorang dokter sudah menjadi kebiasaanya untuk memastikan kesehatan orang-orang terdekatnya.

"Kami semua baik-baik saja. Yixing-hyung pergi keluar untuk membeli beberapa bahan," jawab Jongdae karena Kyungsoo tengah sibuk menyiapkan pesanan.

"Ah, dia pergi bersama Yifan, bukan?" tebak Hyukjae dengan senyuman lebarnya, lagi-lagi ia mengetahui sesuatu.

Jongdae ikut tersenyum. "That's right!"

"Satu Iced Halzenut Latte dengan Ham and Cheese Bagel dan satu Halzenut Latte dengan Club Sandwich, telah siap," kata Kyungsoo dan meletakkan nampan berukuran cukup besar yang terisi semua pesanan milik Hyukjae dan Donghae ke meja counter.

"Terima kasih, Kyungsoo-ya." Donghae menyerahkan beberapa lembar won pada Kyungsoo, sebagai pelanggan tetap yang selalu memesan pesanan yang sama membuatnya hafal berapa total harga semua pesanannya sehingga Kyungsoo pun tidak perlu repot-repot menghitungnya kembali.

Hyukjae mengambil Halzenut Latte miliknya dan meminumnya ditempat, sedangkan Donghae sudah pergi menjadi meja untuk mereka dengan membawa nampan berisikan pesanan mereka. "Rasanya sedikit berbeda," katanya menilai.

Senyuman kecil terlihat diwajah Jongdae, "Tentu saja. Buatan kami dengannya tentu terasa berbeda," katanya.

"Aku bahkan hanya bisa membuat sidedish," kata Kyungsoo dengan cengiran kecil diwajahnya, sungguh ekspresi yang jarang sekali.

"Hehehe….," Hyukjae terkekeh pelan. "Yah, kita semua merindukannya," sambungnya sebelum pergi dari meja counter karena Donghae sudah memanggilnya.

Kyungsoo dan Jongdae saling bertatapan setelah Hyukjae sudah pergi dari meja counter, lalu mereka menghela napas sejenak. Kyungsoo mengambil sebuah tanda kecil dari laci lalu meletakkannya tepat diatas counter sedangkan Jongdae pergi ke depan pintu café dan memasang sebuah tanda disana, kedua tanda itu sama-sama bertuliskan 'sedang istirahat'. Setelah itu Jongdae langsung menghampiri Hyukjae dan Donghae, disusul dengan Kyungsoo yang membawa dua gelas Iced Green Tea. Mereka berempat duduk disana dan saling berbincang-bincang, membicarakan satu hal yang tidak pernah bisa mereka lupakan.

"Bagaimana kabarnya?"

.

.

.

"Kamu berjanji akan mentraktirku, tapi apa ini?" Zitao memberikan tatapan kesal pada sosok laki-laki yang saat ini tengah tersenyum lebar kearahnya.

"Aku sama sekali tidak sengaja, Tao-ya." Baekhyun masih mempertahankan senyuman kotaknya.

"Harusnya aku mengikuti sarah Yifan-gege untuk ikut dengannya atau membantu-bantu di Snowflake Café hari ini," kata Zitao dengan nada kesal yang ketara.

"Hei, jangan kesal begitu. Sebentar lagi Sehun dan Jongin akan datang, akan ada yang seumuran denganmu," jelas Baekhyun santai.

Zitao masih memberikan tatapan kesal pada Baekhyun, "Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bujuk seperti itu."

Suara tawa pelan terdengar, Baekhyun lah pelakunya dan itu semakin membuat Zitao merasa lebih kesal. Saat ini mereka tengah berada di taman yang berada tak jauh dari Snowflake Café sembari menunggu kedatangan Sehun dan Jongin, mereka memiliki beberapa rencana menyenangkan hari ini atau bisa dibilang mereka ingin berjalan-jalan ke taman bermain untuk merayakan pengumuman kelulusan Sehun dan Jongin—sekarang hanya perlu menunggu waktu wisuda mereka. Sebenarnya semalam mereka sudah merayakannya bersama hyung yang lainnya kecuali Lu Han yang memilih pergi menghadiri makan malam keluarganya, tapi karena saran dan sedikit paksaan dari Baekhyun maka rencana hari ini pun bisa dilaksanakan.

"Baekhyun-hyung! Tao-ya!" sapa Jongin yang baru saja memasuki kawasan taman dan langsung menghampiri Baekhyun dan Tao, terlihat Sehun ada dibelakangnya mengekori. Bukan hanya Sehun yang mengekori Jongin, terlihat laki-laki bertubuh tinggi dengan rambut sedikit keriting juga mengekorinya.

"Apa yang dilakukan Chanyeol-hyung disini?" tanya Zitao heran, seingatnya kemarin Chanyeol menolak untuk ikut dengan alasan pekerjaan yang menumpuk di rumah sakit.

"Ternyata pekerjaanku sama sekali tidak menumpuk," jawab Chanyeol lengkap dengan senyuman lebar khasnya sedangkan Zitao hanya menatapnya datar.

"Baiklah, semuanya sudah berkumpul. Jadi, ayo kita langsung saja perginya," ajak Baekhyun yang memimpin jalan keluar dari taman.

"Ternyata kita benar-benar akan naik bus?" kata Sehun saat mereka sampai disebuah halte bus.

Jongin menatap Sehun dengan tatapan tidak percaya. "Kenapa? Apakah anak dari Keluarga Wu tidak terbiasa naik bus? Aku tahu, anak sepertimu punya supir pribadi," katanya sebagai maksud bercanda, meski tidak sepenuhnya.

"Heh, jangan bercanda. Aku bahkan yakin bahwa aku lebih sering naik bus dibandingkan denganmu, Kim Jongin," sahut Sehun tidak mau kalah dan bersamaan dengan itu bus yang mereka nanti telah datang.

Mereka semua memilih untuk mengabaikan Sehun dan Jongin yang tengah berdebat kecil sambil menaiki bus dan duduk pada kursi paling belakang karena cukup untuk membuat mereka semua duduk bersamaan sekaligus. Tak lama karena bosan sendiri, perdebatan yang terjadi antara Sehun dan Jongin pun terhenti dan seakan-akan paham supir bus segera menjalankan busnya. Mereka berlima pun mendiamkan satu sama lain dan terfokus dengan layar handphone mereka masing-masing, lalu secara tiba-tiba mereka memilih menatap keluar jendela karena secara bersamaan merasakan bahwa pemandangan diluar bus lebih menarik dari pada layar handphone mereka yang sempat menyala dan menjadi pusat perhatian tadi. Sosok seseorang yang mengenakan pakaian kasual dan sebuah syal berwarna putih dengan garis hitam untuk menutupi lehernya yang berdiri dipersimpangan jalan telah menjadi titik fokus Chanyeol sebelum keempat sahabatnya ikut menjadikan orang itu sebagai titik fokus mereka.

"Bukankah itu…,"

Mereka semua tidak percaya dengan apa yang tengah dilihat oleh kedua mata mereka hingga berpikir bahwa kedua mata mereka semua tengah berhalusinasi alias sosok itu hanyalah tipuan optik belaka yang disebabkan karena kurangnya waktu tidur.

"Ini tidak mungkin."

.

.

.

Sudah dua hari Lu Han berada diruangan ini dengan jarum infus yang terpasang pada salah satu tangannya, aroma obat menguar disegela penjuru ruangannya—aroma khas untuk setiap ruangan di rumah sakit pada umumnya. Perban putih telihat terpasang rapi serta erat dikedua lengannya dan dipastikan dibalik perban itu akan terdapat bekas luka yang cukup dalam karena Lu Han sempat berusaha membunuh dirinya sendiri dengan cara menyayat lengannya mengunakan pecahan gelas kaca, tapi dirinya sama sekali tidak peduli dengan bekas luka yang akan membekas nantinya. Masih ada luka yang lebih dalam lagi didalam dirinya, bahkan luka itu masih belum sembuh dan tertutup ataupun mongering karena terus saja terbuka setiap kali ada kesempatan.

Tidak ada yang mengunjungi Lu Han selama dua hari ini kecuali beberapa sahabatnya yang kadang membawakannya makanan karena ia tidak ingin makan makanan di rumah sakit. Yixing dan Yifan yang paling sering berkunjung—disetiap waktu makan tiba tepatnya, bahkan mereka tidak akan pernah pulang sebelum melihat Lu Han menghabiskan makanannya. Itu sedikit memaksa bagi Lu Han, tapi jika ia tidak melakukannya kedua teman karib yang sama-sama berasal dari Cina itu akan terus menganggunya dengan cara terus berada di ruang inapnya seharian.

Sama seperti hari ini, disaat makan siang sudah memasuki waktunya lagi-lagi pintu ruang inap Lu Han terbuka dan menampilkan kedatangan Yixing dan Yifan.

"Bagaimana keadaanmu, ge?"

Lu Han memilih diam, tidak ingin menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya dan lagian bukankah sahabat-sahabatnya itulah yang paling tahu bagaimana keadaannya. Lalu bagaimana bisa keadaannya terlihat baik-baik saja jika ia berada di rumah sakit dengan perban yang membalut dikedua lengannya karena percobaan bunuh dirinya yang kedua kalinya? Bahkan semua orang terdekat Lu Han tahu cerita kelam itu. Sadar bahwa orang yang diberikan pertanyaan tidak mau menjawab, Yixing memilih untuk mendudukan dirinya pada salah satu kursi yang ada tepat disebelah ranjang Lu Han yang tengah duduk diatasnya sambil menatap kesamping—tepatnya keluar jendela—sedangkan Yifan duduk pada sofa yang ada di ruangan itu.

Yixing mengeluarkan sebuah apel dan pisau dari kantong kertas yang dibawanya, bermaksud untuk mengupaskan apel itu untuk Lu Han makan sebelum memakan makan siangnya. Berbeda dengan Yixing, membaca buku yang dibawanya menjadi pilihan Yifan agar ia tidak merasa lebih canggung lagi karena suasana canggung nan hening yang menguar di ruangan itu. Tak lama setelah Yixing baru memulai untuk mengupaskan apel, pintu ruangan Lu Han kembali terbuka dan terlihat Baekhyun bersama dengan Zitao yang datang berkunjung dengan tangan penuh oleh beberapa kantong plastik yang isinya entah apa.

"Annyeong! Aku membawakan beberapa kimbab dan ttoekbbokie untuk Lu Han-hyung!" kata Baekhyun dengan ceria dan melangkah masuk.

"Aku membelikan beberapa makanan Cina." Zitao mengatakannya dengan nada cukup pelan, mungkin karena aura Lu Han yang terasa sangat tidak bersahabat. "Aku pikir, mungkin Lu Han-ge bosan dengan makanan rumah sakit dan rindu makanan cina."

"Terima kasih Baekhyun-ah, Zitao-ya,"kata Yixing yang—menjadi wakil Lu Han—menerima pemberian kedua dongsaengnya itu dan meletakkannya pada meja kecil disamping ranjang lalu menatap Lu Han yang masih memilih untuk menatap keluar jendela.

Zitao dan Baekhyun saling berpandangan karena merasa tidak nyaman dengan perilaku Lu Han tapi mereka berusaha untuk memahaminya, lalu akhirnya mereka memilih menunjukan seulas senyuman canggung pada Yifan yang tengah menatap mereka—secara tidak langsung meminta yang lebih tua untuk mencairkan sedikit suasana canggung yang tengah terjadi.

Yifan menghela nafas pelan melihatnya,menutup bukunya, menatap lurus kearah Lu Han, lalu mulai beerbicara. "Lu Han, kedua orang tuamu menanyakan keadaanmu, bagaimana jika kamu berhenti mogok bicara seperti ini agar kami bisa menyampaikan kabarmu pada kedua orang tuamu dengan lebih jelas."

Lu Han masih tidak menjawab, menganggap perkataan Yifan tadi benar-benar hanyalah angin lalu yang tidak perlu mendapatkan jawaban meski hanya sebuah anggukan kecil. Baekhyun menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, bahkan Yifan yang paling bisa diandalkan dalam suasanan seperti ini pun tidak bisa berbuat apa-apa dan malah membuat suasana di ruangan itu semakin canggung hingga semua orang disana merasa tidak nyaman. Bisa terlihat dengan jelas bahwa Yifan tengah menahan amarahnya karena itu, tapi ia tidak bisa mengeluarkan amarah itu begitu saja mengingat Lu Han sendiri sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk dinasehati. Jadi, dia memilih untuk pergi dari sana.

"Ah, sudahlah. Nanti saja membahas hal itu, Lu Han-hyung harus segera makan siang, kan?" kata Baekhyun dengan nada canggung, ia benar-benar benci suasana canggung seperti ini.

"Itu benar. Apakah gege mau makan makanan Cina yang dibawa Tao?" tanya Yixing hati-hati.

"Atau mau makanan lain, biar aku carikan," sambung Zitao cepat, karena suasananya benar-benar tidak nyaman.

Diam tetap menjadi pilihan yang Lu Han pilih dan ia sudah tidak menatap keluar jendela, melainkan menyandarkan tubuhnya pada kepala kasur yang dinaikan oleh Yixing tadi dan menutup kedua matanya—tidak ingin diganggu dan seakan-akan ingin semua orang yang ada didalam ruang inapnya itu pergi dari , Baekhyun, dan Zitao kembali saling bertatapan dengan tatapan sedih. Mereka benci melihat Lu Han seperti ini, mereka merindukan Lu Han yang biasanya tapi mereka sama sekali tidak bisa membantu. Bukan, bukannya tidak bisa membantu. Mereka hanya tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Lu Han karena waktu yang ditentukan belum tiba.

.

.

.

Laki-laki itu terus melangkah kakinya sambil menatap kesekeliling, memberikan senyuman sopan bagi setiap penjual di pasar itu yang menatap kearahnya. Musim memang sudah memasuki musim semi, tapi udara yang belum terlalu hangat dan masih terasa dingin mungkin menjadi alasan laki-laki itu mengenakan atasan sebuah sweater oversized berwarna hitam dengan syal putih bergaris hitam dilehernya dengan sebuah jeans biru kasual dan sepasang sepatu putih converse. Tak jauh dari tempat laki-laki itu berjalan, terlihat dua orang laki-laki yang membawa beberapa kantong belanjaan sedang beragrumen.

"Tidak bisakah kita membeli ini semua di pasar swalayan? Ini merepotkan!" kata Yifan dengan nada kesalnya, lagian siapa yang tidak kesal karena disuruh membawa semua kantong belanjan milik orang lain.

"Aku tidak pernah memaksamu untuk ikut, kamulah satu-satunya yang ingin ikut," kata Yixing tenang lalu menawar beberapa benda yang ingin dibelinya pada seorang penjual sayur.

Yifan menghela napas kasar, "Aku membencimu."

"Terima kasih," kata Yixing yang ditujukan untuk Yifan—yang mencibirnya—dan juga penjual sayur setelah mereka selesai melakukan transaksi jual-beli. "selanjutnya, adalah benda terakhir."

"Apa?"

"Kami kehabisan stok sabun cuci piring," kata Yixing dan mulai melangkah kakinya menuju penjual sabun cuci yang diinginkannya sedangkan Yifan dengan susah payah mengikuti dibelakang.

"Omo, apakah ini Presdir Wu?"

Terdengar sebuah suara dari belakang tubuh Yifan yang membuat langkahnya terhenti—membiarkan Yixing meninggalkannya dibelakang, hanya ada satu orang yang memiliki suara menyebalkan seperti itu dan seseorang pemilik suara itu adalah orang yang selalu setia menjadi lawan berdebatnya. Yifan membalikkan badannya dengan susah payah—again—karena takut orang lain disekitarnya akan terkena kantong belanjaannya yang dibawanya. Benar sekali seperti tebakan Yifan, seseorang itu adalah Kim Junmyeon dengan ekspresi wajah menyebalkan. Tetatpi, ada satu lagi pertanyaan yang juga harus ditanyakan, apa yang dilakukan dan untuk apa seorang Kim Junmyeon di pasar? Yifan menunjukkan senyuman angkuhnya yang dibalas Junmyeon dengan senyuman yang sama angkuh.

"Kamu disini rupanya," kata Yixing yang menghampiri Yifan setelah selesai membeli sabun cuci. "oh, Annyeong Junmyeon-ah."

Junmyeon menampilkan senyuman lembut pada Yixing dan membalas sapaan laki-laki yang lebih muda. "Kamu memiliki pembantu yang sangat menarik, Yixing-ah? Pembantu yang merupakan seorang presdir di perusahaan ternama."

"Ya, ya, ya. Up to you, Kim." Yifan hanya menghela napas pendek dan memutar bola matanya, dia sedang tidak ingin berdebat kali ini. Bukannya kalah, Yifan hanya mengalah pada perdebatan ini dan segera pergi dari pasar itu.

"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya Yixing setelah melihat Junmyeon menunjukkan senyuman kemenangan dan Yifan yang membuang muka.

"Ye. Apa yang dilakukan seseorang seterhormat dirimu di tempat ini?" Yifan mengulang pertanyaan Yixing dengan penuh penekanan disetiap katanya.

"Aku? Hanya sedang jalan-jalan biasa dan membeli satu kantong apel," kata Junmyeon dan menunjukkan sekantong plastik berisikan apel ditangannya.

Yixing tersenyum maklum lalu menatap jam tangannya, tak terasa sudah memasuki jam makan siang. "Hey, ayo kita pergi mencari makan siang," ajaknya.

Yifan dan Junmyeon mengangguk, lalu segera pergi dari pasar menuju salah satu restaurant keluarga yang berada tak jauh dari pasar—setelah Yifan meletakkan semua belanjaan Yixing didalam mobilnya yang ada disisi lain pasar begitu juga Junmyeon. Selesai memarkirkan mobil di depan restaurant itu, mereka segera masuk dan terlihat Yixing tengah duduk manis dengan meja penuh dengan makanan kesukaan mereka yang dipesannya karena ia datang lebih dulu. Yixing menunjukkan senyuman pada Yifan dan Junmyeon lalu mempersilahkan yang lebih tua untuk duduk dan segera makan.

"Selamat makan!"

Tak jauh dari sana, tepatnya di perempatan jalan telihat layar handphone seseorang tiba-tiba menyala dan menampilkan sebuah panggilan masuk yang segera dianggat oleh sang pemilik handphone. Senyuman terukir diwajahnya saat mendengar suara diseberang sana yang menanyakan keberadaannya. Seseorang itu—laki-laki dengan syal putih bergaris hitam dilehernya—segera menyebrang jalan begitu tanda untuk pejalan kaki berubah menjadi hijau. Kakinya yang mengenakan sepasang converse putih melangkah dengan tenang, meninggalkan tempat itu dan mendatangi tempat lainnya.

Itulah kehidupan, harus ada yang ditinggalkan dan harus ada yang datang.

Setelah jam makan siang selesai, Yixing dan Yifan kembali ke Snowflake Café dan betapa terkejutnya Yixing saat melihat tanda 'sedang istirahat' yang diletakkan disamping depan pintu café—apa yang terjadi? Yixing bertanya dalam hati dan tanpa menunggu Yifan yang tengah membawa belanjaan dibelakang sana, laki-laki bermarga Zhang itu langsung masuk dan memanggil nama Kyungsoo serta Jongdae dengan cukup nyaring karena memang terlihat sudah tidak ada pelanggan didalam sana tapi tidak ada sahutan. Yang terdengar hanyalah suara langkah kaki Yifan dibelakang sana dan sedikit suara beberapa orang yang tengah berbincang yang terdengar samar-samar.

"Oh! Yixing-hyung, kamu sudah kembali?" kata Jongdae yang baru menyadari kedatangan Yixing, begitu juga dengan Kyungsoo—karena mereka berada pada meja diujung cafe.

"Kami tidak mendengarmu," sambung Kyungsoo dan segera membantu Yifan dengan membawa setengah dari belanjaan yang dibawanya ke dapur .

"Terlalu asik berbincang, sepertinya," kata Donghae sambil terkekeh pelan.

"Dokter Donghae?" Yixing mengedipkan kedua matanya beberapa kali, sedikit merasa bingung dengan keadaan saat ini.

Donghae hanya tersenyum sopan sebagai bentuk sapaannya untuk Yixing yang sepertinya masih lambat untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi disini. Tak lama, Kyungsoo dan Yifan kembali dari dapur. Kyungsoo yang duduk ditempatnya semula dan meletakkan sepiring penuh cupcake untuk mereka sedangkan Yifan memilih menarik sebuah kursi lain lalu duduk diantara Yixing dan Jongdae.

"Hyukjae-hyung!" seru Yifan yang baru menyadari bahwa seseorang yang duduk dihadapannya adalah Hyukjae yang sekarang tengah tersenyum lebar kearahnya.

"Kami datang berkunjung. Kyungsoo dan Jongdae langsung terlihat so excited lalu tanpa pikir panjang memasang tanda itu," jelas Hyukjae sambil menunjuk tanda diluar café yang dimaksudnya. "Maaf, Yixing."

Yixing yang sudah selesai memahami semuanya hanya tersenyum maklum, semenjak kejadian itu mereka memang jadi sangat dekat dengan Donghae maupun Hyukjae. Tepatnya, diam-diam para dongsaengnya itu adalah pengagum Donghae yang merupakan salah satu dokter luar biasa yang sekaligus membuat Chanyeol dan Jongin yang juga seorang dokter tertantang untuk bisa menandingi Donghae. Selain memberikan banyak motivasi, Donghae juga sosok yang ramah dan mudah akrab dengan siapapun menjadi daya tarik dokter yang hingga sekarang masih lajang itu.

Hyukjae juga memiliki sifat yang hampir sama dengan Donghae, ramah dan mudah akrab tapi berbedaannya Hyukjae lebih santai daripada Donghae yang memang hampir setiap saat terlihat serius karena tuntutan pekerjaannya. Yixing dan yang lainnya sangat menghormati Hyukjae, dimata mereka Hyukjae itu seperti panutan tapi dalam konteks yang menyenangkan—sosok yang sesuai untuk Baekhyun, Jongdae, dan Yifan untuk dijadikan teman berbagi cerita.

Seakan tidak ingat waktu yang pekerjaan yang mungkin tidak akan pernah selesai jika mereka tidak segera pergi dari Snowflake Café, keenam pemuda itu masih saja asik dan terhanyut dalam pembicaraan panjang mereka. Tidak menyadari bahwa sejak tadi jarum jam yang terus berputar seakan-akan meminta mereka untuk memperhatikannya tapi diabaikan. Mereka baru berhenti saat handphone milik Donghae berbunyi, menandakan bahwa dirinya tidak bisa berada di café itu lebih lama lagi begitu juga Yifan dan Hyukjae yang harus segera kembali ke kantor. Sedangkan, tiga lainnya masih harus menjalankan bisnis mereka jika tidak ingin rugi. Akhirnya mereka menghentikan perbincangan itu dengan salam 'sampai jumpa lagi' atau 'aku akan berkunjung lagi' sebelum semuanya kembali pada kesibukan masing-masing.

.

.

.

Lu Han keluar dari kamar mandinya, mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk dikepalanya. Mengerakkan kakinya untuk keluar kamar karena tiba-tiba tenggorokkannya terasa sangat kering, ia harus minum. Merasa bahwa rambutnya sudah cukup kering, Lu Han mengalungkan handuk kecil itu di lehernya lalu menuangkan air pada gelas hingga penuh. Membawa gelas itu ke ruang tengah, Lu Han mendudukkan dirinya pada sofa lalu meminum airnya sambil menyalakan televise. Ia bosan dan rasa bosan itu tidak pernah hilang selama harinya terasa begitu sepi seperti ini. Kedua mata indahnya tidak menatap lurus pada layar televise, kedua mata itu malah asik menjelajahi apartementnya sendiri. Diletakkannya gelas yang berisikan seperempat air itu pada nakas sebelum punggungnya bersender pada kepala sofa dengan kepala yang mendongak keatas.

Sepi.

Sepi sekali.

Entah sudah berapa kali perasaan sepi itu membunuh Lu Han.

Membunuh hatinya yang hampa.

Meski tidak pernah memperhatikan kebersihan apartementnya selama beberapa minggu terakhir, Lu Han yakin bahwa apartementnya ini masih layak dan sehat untuk dirinya tinggali—terima kasih kepada teman-temannya yang kelewat perhatian. Lu Han memejamkan kedua matanya, berusaha bernapas dengan tenang. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bernapas setenang ini, suara yang berasal dari televise yang masih menyala telah menjadi temannya kali ini. Selama ini Lu Han sakit, tentu saja. Itu juga yang membuatnya hampir berperilaku seperti orang gila dan bahkan membuat kedua orang tuanya saja enggan bertemu dengannya entah mengapa.

Tarik napas.

Hembuskan.

Tapi tadi malam adalah pengecualian, karena secara tiba-tiba kedua orang tuanya mengajaknya untuk makan malam keluarga bertiga untuk pertama kalinya sejak insiden itu terjadi. Tidak terjadi apa-apa, tidak ada perbincangan hangat seperti makan malam keluarga yang biasanya, dan semua yang Lu Han harapkan sama sekali tidak terjadi—satu pun tidak. Mereka hanya datang, duduk, memesan makanan, mulai makan saat makanan yang dipesan datang, meminum beberapa teguk wine, dan berpisah setelah semuanya selesai. Dingin, seumur hidup Lu Han itu adalah makan malam keluarga yang sangat dan paling dingin.

Tarik napas.

Hembuskan.

Napas Lu Han mulai terdengar berat, mungkin karena mengingat hal yang menyakitkan hatinya. Tiba-tiba suara tawa yang cukup nyaring terdengar dari televise yang masih asik menonton Lu Han dan malah terlihat seperti televise itu tengah menertawakannya. Lu Han segera kembali mendudukkan dirinya dengan tegak, keringat dingin mulai membasahi dahinya lalu dengan cepat ia mengambil gelas yang ada diatas nakas dan menghabiskan isinya. Dengan sama cepatnya ia berdiri, hendak kembali mengisi air pada gelas itu tapi tiba-tiba tatapan matanya terkunci pada kantong kertas yang berada pada meja kecil didekat pintu kamarnya.

Lu Han tahu kantong apa itu.

Dulu, seseorang memberitahunya. Tetapi, malah dirinya abaikan karena terlalu buru-buru.

Tanpa disadari Lu Han sudah berada tepat didepan kantong itu, mengambil sesuatu yang didalamnya dengan gerakan pelan. Jantungnya berdetak begitu cepat dan kedua matanya terasa panas, rasa bersalah mulai menghantuinya lagi. Sesuatu itu sekarang sudah berada ditangan Lu Han, sesuatu yang terasa lembut dan hangat—sebuah syal. Tentu saja, dulu ia juga diberitahu bahwa ini adalah syal yang dibelikan oleh Junmyeon sebagai oleh-oleh dari Jepang.

Syal couple.

Satunya berwarna putih, satunya berwarna hitam. Keduanya memiliki motif yang sama—sebuah garis dengan warna berlawanan.

Lu Han mengerutkan alisnya. Tapi, dimana syal yang berwarna putih?

.

"Lu Han, Junmyeon-ah memberikan oleh-oleh dari Jepang berupa sepasang syal untuk kita." Suara itu terdengar begitu lembut, tetapi Lu Han terlalu sibuk dengan kegiatannya sendiri. "Satunya berwarna putih, satunya berwarna hitam. Punyaku yang warna putih dan punyamu yang berwarna hitam, ya?"

"Eum." Lu Han berguman tanpa arti.

"Lu Han?"

Sadar namanya dipanggil dengan aksen bertanya, Lu Han menoleh. "Ya? Kamu bicara sesuatu?"

"Bukan apa-apa." Seseorang itu mengeleng pelan sambil menunjukkan senyuman kecil dan menutup kantong kertas dihadapannya seakan-akan ia tidak pernah membukanya sama sekali.

.

Jika ada yang Lu Han sesali sekarang ialah kenapa dirinya menjawab pertanyaan dengan suara selembut itu dengan begitu dingin. Tangannya mengenggam syal berwarna hitam dengan garis putih itu kuat hingga buku-buku jarinya mulai terlihat memutih, rasa sakit dihatinya kembali terasa sangat perih hingga membuatnya ingin muntah jika saja ia tidak ingat bahwa sejak tadi malam hingga sekarang dirinya hanya minum secangkir teh dan segelas air yang pastinya sudah dan langsung dicerna oleh ginjalnya.

Seseorang itu adalah belahan jiwanya, seseorang yang selalu bicara dengannya mengunakan nada lembut yang menenangkan. Belahan jiwa yang berhasil membuatnya menjadi seseorang paling menyedihkan di dunia ini tanpa ada seorang pun yang berpihak padanya kecuali kesedihan yang selalu setia menemani.

Seseorang itu—Minseoknya.

.

.

.

Rasanya sudah cukup lama Donghae tidak mendapatkan tamu yang menemuinya di rumah sakit, segera setelah sampai ia segera menuju ruangannya saat seorang perawat mengatakan bahwa tamunya sudah menunggu sejak tadi. Donghae sedikit penasaran, siapakah gerangan tamu itu? Teman-teman selalu menelponnya jika pergi ke rumah sakit untuk menemuinya begitu juga keluarga, jadi tamu misterius ini benar-benar membuatnya bertanya-tanya. Donghae membuka pintu ruangannya kedua matanya langsung melebar begitu menemukan sosok pemuda dengan syal putih bergaris hitam dilehernya yang tengah membelakanginya karena melihat-lihat buku pada rak buku.

Pemuda itu berbalik, tersenyum—sebuah senyuman yang sudah lama sekali tidak Donghae lihat.

"Akhirnya kamu kembali, eoh?" Hanya itu yang bisa Donghae katakan sambil menunjukkan senyuman lemah yang lembut, ia terlalu bahagia dan sedih disaat bersamaan.

.

.

.

to be continue

.


2017, 23 June
HAPPY XIUHAN DAY~!


Hunshine Delight's Note : Inilah yang selama ini ditunggu-tunggu! Haru Haru is back! ~\(^^)/~

. . .

. . .

. . Entah kenapa di hari yang membahagiakan ini aku malah galau merana karena mendadak kena bogoshipo sickness sama XiuHan Moment ㅠㅠ. Btw, #HappyXiuHanDay guys! Manhi saranghae juseyo~ Kaget juga ternyata aku enggak jadi PHP ㅋㅋㅋㅋ tapi malah nge-troll dengan ngasih pt. 1 kaya gini (efek jadi anak YG Family selama hampir 7 tahun?) Kapan kelanjutannya update? Nanti-nanti dulu deh ;) biar kalian bisa nikmati liburan dulu bareng keluarga dan biarkan aku aja yang tertekan karena deadline ㅋㅋㅋㅋㅋ Oke, aku pergi ke twitter dulu—untuk meramaikan hastag karena tahun kemaren gak kesampaian buat jadi trending—sebelum kena demo karena baru update sekarang. Love you all!

P.S : Siapakah yang menjadi tamu Donghae, pasti kalian udah tahu jawabannya~


Thanks for reading
I always love my beloved readers!
Thanks for your reviews too!

xoxo,
hunshine delight