A SasuHina Fanfiction

(hanya sebuah fanfiction bersetting Canon jadi harap dimaklumi jika banyak hal yang tidak sesuai dengan Manga ataupun animenya.)

Sudah saya edit, jadi silahkan dibaca ^^


Chapter 7 – Misi Sebenarnya

::

Futari No Monogatari

SasuHina Fanfiction

Naruto © Masashi Kishimoto

::

Duduk bersebelah dengan Sasuke dan berseberangan dengan Sakura yang duduk di depannya, semakin menambah rasa canggung yang Hinata rasa. Meski hal itu justru bertentangan dengan keadaan di luar kedai yang cukup ramai. Bahkan minuman yang tersaji di mejapun tak kunjung disentuh sama sekali.

Sedari tadi kedua tangan Hinata bertaut di atas pangkuan gelisah, juga di karenakan merasa bersalah. Bagaimana ia bisa lupa hal penting bahwa gadis iryo-nin di hadapannya saat ini menyimpan sebuah perasaan mendalam terhadap pemuda yang masih nampak tenang di sebelah. Ia hanya khawatir jika akan ada kesalahpaman yang muncul dalam situasi yang memang kurang menguntungkan dan membuatnya resah.

Begitu pula dengan Sakura yang juga memangku kedua tangannya yang entah kenapa terasa kaku dan erat. Ada getaran halus terlihat di sekujur lengan hingga bahunya karena ia menahan gengaman tangannya yang terkepal kuat. Seolah menahan emosi yang sudah begitu sarat.

"Jadi... kalian menjalankan misi bersama?" Sakura bertanya setenang mungkin, meskipun keadaan sebaliknya justru terlihat di kedua emeral yang menuntut jawaban dengan segera.

Ingin sekali Hinata menjawab 'iya'. Lalu mengklarifikasi jika ini hanya sebuah misi yang diberikan sang Hokage, karena memang seperti itulah kenyataannya. Akan tetapi mulutnya hanya bungkam karena ia merasa tak berhak untuk membuka suara, dan memilih menanti jawaban apa yang akan pemuda Uchiha ini katakan pada Sakura.

Sasuke masih menatap mantan rekan satu timnya itu dengan tatapan datar. Menjawab dengan 'tidak' dan mencari alasan lain tak akan ada gunanya. Ia tahu Sakura bukan gadis bodoh. Lagipula ia juga tak berniat menjawab pertanyaan Sakura dengan kebohongan.

"Ya, seperti yang kau lihat." Jawab Sasuke tenang tanpa beban apapun.

"Jadi, begitu rupanya," respons Sakura seraya mencoba untuk tersenyum, meski sangat terlihat jika hal itu setengah hati ia lakukan. Tidak. Ini masih belum cukup menjawab semua hal janggal dalam pikiran. Ia harus bertanya lagi, dengan jelas dan terang. "Tapi kenapa harus..."

"Ku kira kau tahu jika menemui shinobi yang sedang menjalankan misi rahasia adalah sebuah larangan." Kata Sasuke kemudian, memotong ucapan mantan rekan.

"Ta-tapi Sasuke-kun..." perkataan Sakura kembali terhenti karena lagi-lagi Sasuke menginterupsi.

"Begitu juga dengan misi yang di jalankan, hanya Hokage dan shinobi yang menerima misi yang berhak mengetahui. Bahkan jika musuh membunuhmu, misi rahasia harus tetap menjadi rahasia. Bukankah seperti itu peraturannya." Tandas Sasuke memojokan Sakura untuk tak lagi membahas misinya. Ia tahu jika gadis bulan di sampingnya akan kualahan menghadapi pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan Sakura. Selintas ia melirik Hinata yang tampak menghela nafas lega.

"Maaf." Sakura hanya menunduk seraya mengendurkan kepalan tangannya. Ia tahu jika hal ini salah. Ia bisa saja membahayakan ataupun membongkar identitas shinobi yg melakukan misi rahasia. Tindakan yang ceroboh sebenarnya.

Selalu saja seperti ini ia akan kehilangan semua kata-katanya jika berada di hadapan sang tambatan hati. Sakura terlihat begitu kecewa. Meskipun bukan pertama kali pertemuannya dengan Sasuke berakhir dengan kekecewaan. Namun perpisahan terakhir dengan sebuah senyuman yang diberikan. Dan dengan cara yang berbeda pula membuat Sakura berharap lebih pada perjumpaan mereka berikutnya. Tapi sayangnya semua justru bertentangan dari apa yang ia bayangkan.

"Sakura-chan." gumam Hinata pelan, saking pelannya mungkin hanya ia sendiri yang bisa mendengar. Ia menatap Sakura dengan perasaan bersalah dan tak enak hati. Sejujurnya ia sama sekali tak tahu apa yang harus ia lakukan dalam keadaan canggung seperti ini. Meskipun ia sadar jika dirinya menjadi salah satu hal yang membuat gadis bersurai sewarna bunga cerry itu sakit hati.

Hingga pada akhirnya suara kursi yang bergeser menginterupsi keheningan. Sasuke bangkit dari tempat duduknya dan berjalan memutari meja beberapa langkah, kemudian tepat di samping sakura, di samping gadis yang masih menunduk kecewa ia berhenti dan berkata. "Misi ini adalah keputusan dari Rokudaime. Sebagai ninja Konoha ku harap kau mengerti apa yang seharusnya kau lakukan selanjutnya. Aku... mengandalkanmu, Sakura."

Tubuh Sakura menegang, karena kali ini ia seakan mendengar Sasuke mengatakan kalimat permohonan padanya meskipun dengan nada datar. Sepertinya Sasuke benar-benar tak ingin ada orang lain yang mengetahui misi yang ia jalankan dengan sang Hyuuga. Ia menegakkan kepalanya, melirik pemuda yang telah beranjak dari sisinya dengan pandangan sedih dan kecewa.

"Ayo pergi!" Ajak Sasuke pada gadis lain yang masih duduk menanti.

"Ha-hai" jawab Hinata, ia merasa dilema sebenarnya.

Sebelum beranjak Hinata meraih tangan kiri Sakura yang kini memegang gagang keranjang yang sedari tadi di letakan di atas meja. Sakurapun mendongak menatap Hinata dengan terpaksa.

"Sa-sakura-chan, bisakah kau... tak memberitahu hal ini pada Naruto-kun? Ku mohon!"

Dengan perlahan Sakura menarik tangan kirinya dari gengaman Hinata. "Eum..." hanya itu yang di katakan Sakura sebagai jawaban, kemudian ia memalingkan pandangan ke arah lain ruangan.

Hinata tak terlalu terkejut, sangat wajar jika Haruno Sakura marah padanya. Ia mungkin saja melakukan hal yang sama jika melihat orang yang di cintainya bersama gadis lain selain dirinya. Meskipun selama ini ia hanya mampu untuk memendam amarahnya.

"Hinata!" Panggil Sasuke lagi ketika Hinata tak kunjung menyusul.

"Hai" jawab Hinata. Ia memandang Sakura yang masih memalingkan muka, lalu membungkuk pamit dan melangkah pergi dengan segera.

Sakura kembali mengepal erat kedua tangannya. Apa yang telah ia lakukan? Bodoh, tak seharusnya ia menyalahkan Hinata. Ini semua perintah Hokage, tapi kenapa ia merasa Hinatalah yang bersalah.

Sakura berbalik dan berlari ke luar kedai bermaksud untuk meminta maaf pada Hinata atas perlakuanya. Namun saat ia mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri jalan, baik Sasuke maupun Hinata mereka berdua telah hilang entah kemana.

Angin yang berhembus, membelai helaian merah jambunya perlahan. Membuat sebuah penyesalan dan kedengkian berjalan bersisian terpisah dinding yang teramat rentan. Haruskah ia melakukan apa yang Sasuke perintahkan, atau menuruti egonya atas iri hati yang ia rasakan.

::

::

Pemuda berambut hitam lurus menggaruk kepalanya heran karena gadis di depannya tak kunjung mendengar panggilannya dan masih saja terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tapi kali ini ia memutuskan mendekat dan menepuk pundak sang gadis pelan. Semoga saja kali ini dia memberikan tanggapan.

"Sakura-chan!" Serunya, seiring dengan tepukan di pundak sang iryo-nin.

"O-oh!" Sakura tersadar, setengah terkejut saat mendapatkan sentuhan cukup keras di bahunya. "Sa-sai. K-kapan kau datang?" Sakura agak gelagapan karena tak menyadari eksistensi Sai di dekatnya.

"Lima menit yang lalu. Bahkan aku sudah memanggilmu tiga kali tapi kau malah mengacuhkanku!" Ujar pemuda yang mengunakan tinta sebagai senjata seraya berusaha berekspresi sesedih mungkin. Meskipun hal itu justru membuatnya tampak aneh di mata Sakura.

"Gomen-gomen. Bukan maksudku untuk..."

"Hai, hai. Aku hanya bercanda." Katanya sembari tersenyum dan membuat Sakura mendengus kesal. "Apa yang kau pikirkan?" Tanya Sai kemudian karena sikap Sakura yang tak seperti biasanya. Sai memang orang yang tak pandai berekspresi tapi ia banyak mempelajari buku yang mempelajari tentang ekspresi. Jadi, hal tersebut sedikit banyak membuatnya mengerti tentang artian ekspresi seseorang. Seperti yang terlihat di wajah Sakura sekarang.

"Aku... tidak sedang memikirkan apapun." Jawab Sakura seraya menatap sendu bunga wasurenagusanya yang telah rusak dalam keranjang. Membuatnya teringat dengan seseorang. Tidak, dua orang lebih tepatnya. Dan entah kenapa ia tak suka bila mengingatnya. "Ne Sai. Dimana Naruto?" Iapun mencoba mengalihkan perbincangan.

"Naruto?" Sai menatap ke arah jalanan yang ia lewati barusan, mencari keberadaan sesosok berambut pirang di keramaian. " Tadi dia di belakangku. Tapi..." Sai terdiam sesaat untuk berpikir. "Entahlah!" Katanya pada akhirnya. Ia juga heran kemana jinchuriki kyubi itu menghilang. Meski demikian tak berarti ia tak menyadari jika Sakura mengalihkan pembicaraan. Hanya saja melihat kilatan sedih di mata Sakura membuatnya mengerti dan tak akan bertanya lagi. Setidaknya sampai suasana hati teman satu timnya itu membaik.

"Dasar, Naruto no baka. Pergi kemana dia?" Sakura mengerutu sebal.

"Oh, aku mendapatkan jamurnya." Sai mengelurkan sesuatu dari dalam tas gendongnya dan menyodorkan isinya- sekantong penuh jamur obat pada sakura. "Lumayan sulit mendapatkannya karena letaknya di tepi jurang. Apalagi karena ada mahluk bau menjijikan yang merayap di sekitarnya. Tapi kuharap ini cukup."

"Woah, ini sudah lebih dari yang dibutuhkan. Kerja bagus sai!" Seru Sakura.

"Bagaimana denganmu? Kau mendapatkannya?"

"Eum. Tanpa keringat sedikitpun!" Sakura tersenyum bangga dan menyodorkan hasil yang ia dapat pada Sai. Sekeranjang penuh daun obat.

"SAKURA-CHAN! SAI!"

Teriakan keras Naruto terdengar dari kejauhan. Sai dan Sakurapun mengalihkan pandangannya ke arahnya. Naruto nampak tergesa seperti ingin menyampaikan sesuatu hal dengan segera.

"Ne ne, kalian berdua dengarkan baik-baik. Hinata, ada di desa ini-ttebayo!" Seru Naruto dengan wajah senang. Sontak membuat Sai dan Sakura tekejut meski dalam arti yang berlainan.

"Benarkah, dari mana kau tahu?" Tanya Sai ragu.

"Tadi aku mendengar paman-paman di sebelah sana membicarakan tentang gadis berbyakugan. Itu pasti Hinata. Ayo kita menemuinya, dia ada di penginapan tak jauh dari sini katanya." Naruto menyeret satu tangan Sai agar pemuda itu mengikutinya, tapi Sai menolak dan menyingkirkan cengkraman tangan Naruto dari lengannya.

"Tunggu Naruto, kita tidak bisa sembarangan menemui ninja yang sedang berada dalam misi rahasia seenaknya. Itu melanggar peraturan, kau tahu"

Naruto mengaruk-garuk kepalanya mengingat. "Hm.. benar juga ya!" Katanya mengerti. "Tapi jika tak ada yang tahu jadi tidak apa-apakan! Asal kita tetap diam semuanya pasti aman. Ayo! Aku tidak sabar untuk bertemu dengan Hinata."

"Hn baiklah, tapi sebentar saja." Sai akhirnya mengalah. Lagipula perkataan Naruto memang tak ada salahnya. Jika mereka diam maka semuanya aman.

"Yosh ayo kita kesana-ttebayo! Are!" Langkah Naruto terhenti saat Sakura tiba-tiba menahan lengannya. "A-ada apa Sakura-chan?" tanya Naruto heran.

Begitu pula dengan Sai, lagi-lagi ia melihat perubahan di wajah Sakura. Gadis iryo-nin ini terdiam, cukup lama.

"Ne Sakura-chan. Apa yang ingin kau katakan?" tanya Naruto lagi saat Sakura tak kunjung melepas tautan tangannya.

Sakura masih diam beberapa saat, bagi Sai sangat terlihat jika Sakura memikirkan sesuatu yang berat seakan tengan berkutat dengan pikirannya.

"Sa-sakura-cha..."

"Aku sudah menemuinya."

"Eeh!"

"Gadis dengan byakugan. Aku sudah menemuinya." Kata Sakura pada akhirnya.

"Be-benarkah!" Wajah Naruto berbinar seketika. "Bagaimana keadaan Hinata? Apa dia masih di sana? Kau menyuruhnya untuk menunggukukan?" Naruto mendadak antusias.

"Ie, dia bukan Hinata." Sakura mengelengkan kepala untuk memperkuat statementnya.

Naruto dan Sai mengerutkan dahi tak mengerti.

"Aku sudah menemuinya dan ternyata gadis itu bukan Hinata."

"Benarkah. Tapi kupikir hanya Hinata gadis Hyuuga yang..."

"Gadis itu tak memiliki byakugan. Paman itu mungkin salah mengenali byakugan."

"Eeh! Bukan Hinata, benarkah?" Naruto masih bersikeras berharap jika gadis itu memang Hinata.

"Kau kira aku yang lahir dengan Hyuuga berkeliaran di sekitarku tak dapat mengetahui mana byakugan mana yang bukan!" Nada bicara Sakura sedikit meninggi kali ini. Naruto terlihat kecewa sementara Sai melirik ragu ke arah Sakura.

"AH MOOO ! Terserah jika kalian tak percaya." Sakura melepas kasar tangan Naruto dan mendengus kesal. "Aku akan kembali ke Konoha saja. Shisou pasti tak suka jika kita terlambat. Ku harap kalian masih bisa melihat matahari terbit setelah Tsunade-sama menghajar kalian esok hari."

Kata-kata Sakura membuat Naruto dan Sai seketika membayangkan kemarahan sang Godaime di kepala mereka. Membuat keduannya menelan ludah.

"Se-sebaiknya kita pulang saja, Naruto." Ajak Sai yang mendadak berkeringat.

"Hah.. baiklah." Naruto menghela nafas sebal. "Baa-chan pasti akan marah besar jika kita terlambat dari jadwal." Kata Naruto pada akhirnya. Meskipun ia setengah kecewa.

"Ja. Kita harus bergegas, besok siang kita harus sudah sampai di Konoha dan memberikan ini pada Tsunade-sama."

Setengah mati Sakura benar-benar merasa lega saat Naruto dan Sai mengikutinya. Entah apa yang terjadi sebenarnya, tapi yang jelas pertemuannya dengan Sasuke dan Hinata menjadi sebuah tanda tanya besar yang harus ia cari tahu sendiri kebenarannya.

::

::

Seminggu berlalu semenjak pertemuan tak terduga kala itu. Meskipun hingga detik ini tak ada tanda-tanda akan adanya ninja dari Konoha yang mungkin tahu, Hinata masih saja terlihat risau. Sangat nampak sekali jika gadis itu memikirkan sesuatu, hingga membuatnya sering melamun dan terpaku. Tentu saja hal tersebut juga di sadari oleh rekan seperjalanannya yang merasa terganggu.

"Sakura, bukan gadis sebodoh itu." Kata Sasuke tiba-tiba, membuat Hinata yang tengah sibuk mengganti perban di tangan kirinya menegakan kepala menatap tak mengerti.

"Percayalah jika Sakura tak akan mengatakan pada siapapun." Kata Sasuke mencoba menenangkan keresahan Hinata. Meskipun tebakannya meleset saat mengira jika Hinata termenung karena Sakura.

"Oh, hai." Jawab Hinata singkat tanpa mengoreksi hipotesis salah yang tengah Sasuke pikirkan tentangnya. Dengan cekatan Hinata mengganti perban di tangan Sasuke. Tak memperdulikan jika pemuda itu masih memperhatikan.

Sebenarnya yang Hinata pikirkan adalah bagaimana reaksi Naruto, seandainya pemuda itu tahu tentang misinya dengan sang Uchiha. Entah kenapa ia berharap jika Naruto akan mengkhawatirkannya. Tapi bagaimana jika Naruto justru tak perduli?

"Selesai." Guman Hinata saat kegiatannya usai.

Sasuke tak mengatakan apapun ia hanya menatap dan menggerakan tangannya yang telah terbalut perban bersih dengan rapi.

"Aku, akan tidur lebih dulu." Pamit Hinata seraya mengundurkan diri untuk kemudian menggelar alas untuk tempat ia tidur.

Malam ini mereka beruntung karena orang yang mereka tolong tadi sore sudi memberikan tempat untuk mereka berdua menginap di kediamannya.

Perkataan Hinata hanya ditanggapi dengan sebuah tatapan dari Sasuke. Tanpa sempat bertanya apapun karena gadis bulan itu segera berbaring di sisi lain ruangan dan memejamkan mata. Sejak pertemuan mereka berdua dengan Sakura gadis itu memang terlihat berbeda. Tak ada senyum ceria dan bahagia. Yang ada hanya sebuah lengkung tipis yang selalu di buat dengan terpaksa. Hanya perasaan ibanya saja atau memang ia merasa rindu. Seulas senyum tulus yang terkadang bisa membuat dirinya terpaku.

::

::

"Kakashi-sensei. Ada yang ingin aku bicarakan."

Kakashi melirik Sakura dari balik dokumen yang sedang ia baca. Tidak biasanya. Jika gadis di depannya berbicara informal padanya apalagi memangil dengan sebutan sensei, itu pasti karena ada hal penting yang ingin ia bicarakan secara empat mata. Apalagi mengingat gelagat Sakura yang sedikit janggal dari kemarin lusa.

Kakashi menghela nafas, dan menatap malas pada tumpukan dokumen yang masih tersusun tinggi di atas meja. "Maaf Sakura, tapi aku sedang sangat sibuk hari ini. Mungkin kita bisa membicarakannya besok." Tolak Kakashi secara halus.

Sakura masih menatap lurus dengan pandangan serius. Sudah berhari-hari ia menahannya dan hari ini ia harus mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.

"Tapi Kakashi-sensei. Ini... mengenai Sasuke dan Hinata."

Sebuah kalimat dari gadis iryo-nin di hadapannya membuat tubuh sang Rokudaime kaku sesaat. Kakashi mengedarkan bola matanya ke kiri dan kanan memastikan jika tak ada orang lain ataupun anbu yang mencuri dengar ataupun melihat. Di letakkannya dokumen yang sedari tadi ia pegang untuk kemudian menghela nafas dalam dan menopang dagu dengan kedua tangan. Gadis didepannyapun masih menunjukan keseriusan menanti penjelasan yang akan Hokage berikan.

"Temui aku nanti malam di atas patung Hokage."

Berkilah dan berdalih tentu saja pilihan yang mudah jika saja yang ada di depannya bukanlah Sakura. gadis ini tak pandai berbohong. Jika ia mengatakan tahu itu artinya ia benar-benar tahu.

Sakura memicingkan mata antara kecewa dan menahan amarah tipis yang membelenggu. 'Apa serahasia itu, sehingga Kakashi-sensei tak langsung membicarakannya.' Pikir Sakura. Meski akhirnya ia mengiyakan, bersabar sedikit lagi saja. Tak perlu terburu-buru jika ia menginginkan jawaban yang memuaskan.

"Hai, Hokage-sama."

::

::

Duduk di salah satu dahan pohon menikmati senja, sembari memberikan waktu pada Hinata untuk mengobati luka gores kecil di tangannya. Kenang-kenangan dari satu lagi masalah yang harus ia bereskan. Hanya tikus kecil sebenarnya, tapi sekecil apapun masalahnya gadis bermata bulan itu tetap tak bisa mengabaikan.

Jujur, satu kebiasaan baru yang membuat Sasuke mulai tak senang. Meski ia tak tahu kenapa dirinya tetap membiarkan hal itu terus berulang.

"Malam ini kita istirahat di sini," kata Sasuke setengah memerintah.

Hinata mendongak ke atas. "Eh?" alisnya bertaut antara heran, kaget dan kecewa. "Hai," meski ia hanya menurut lalu menunduk lesu. Sejujurnya Hinata sendiri merasa heran kenapa ia bisa merasa sangat kecewa kali ini. bukankah itu hanya seperti Upacara-Upacara biasa pada umumnya.

Sesaat Sasuke seolah melihat Hinata menatap penuh harap ke arah desa yang ada di sisi selatan sana. Sebenarnya Sasukepun tahu arti pancaran redup mata bulan itu. Bersama setiap hari membuat dirinya sedikit banyak tahu tentang apa yang gadis itu mau.

"Kurasa, tidak ada salahnya kita bermalam di desa." Setelah mengatakan itu Sasukepun melompat turun lantas berjalan ke arah desa tanpa peduli persetujuan dari Hinata. Ia sudah teramat yakin Hinata akan menyetujuinya.

Kali ini gadis hyuuga nampak binggung. "E-eum, baiklah." Dalam hitungan detik wajahnya menunjukan rona bahagia. Sama sekali tak telintas di pikirannya untuk bertanya tentang apa yang membuat sang bungsu Uchiha itu merubah pikirannya.

"Ta-tadi aku sempat mendengar dari penduduk desa sebelumnya, jika malam ini di desa itu...akan diadakan Upacara Bulan." Menceritakan apa yang ia mau bukanlah gaya Hinata sebenarnya. Namun kali ini entah kenapa ia sangat ingin menceritakan apa yang membuatnya begitu penasaran.

Jadi itukah penyebabnya.

"Benarkah?" respons Sasuke datar. Sadar jika bibirnya membentuk lengkung samar ketika gadis yang berjalan di sampingnya terdengar kembali bersemangat.

"Jika aku tidak salah dengar Upacara itu hanya di langsungkan 300 purnama sekali," lanjut Hinata, sementara Sasuke hanya mendengar tanpa berkomentar.

"Itu benar nona."

Hyuuga dan uchiha menoleh ke sumber suara yang menginterupsi keduanya. Dari balik pohon munculah seorang wanita bersama seorang anak kecil berusia 5 tahun yang tertidur di punggungnya.

"Perkenalkan namaku Miyuki dan ini putraku Toru. Apa kalian juga ingin mendapatkan air suci dari Upacara Bulan?" tanya wanita yang memperkenalkan diri bernama Miyuki sambil berjalan mendekati. Tapi nampaknya kedua pasangan berambut nyaris sewarna itu masih tak mengerti. "Kalian tidak tahu?" tanyanya lagi.

Hinata menggeleng sebagai jawaban. Sementara yang lain hanya bersikap tak acuh sebagaimana seorang Uchiha pada umumnya.

"Dari yang aku tahu Upacara Bulan memang hanya dilaksanakan 300 purnama sekali. Upacara itu di maksudkan untuk menyambut ke datangan Dewi Bulan, Dewi keselamatan bagi penduduk desa. Dan di setiap upacaranya, selalu di bagikan air suci yang telah di doakan. Konon bagi siapa saja yang meminum air suci di saat upacara berlangsung akan mendapatkan kesembuhan dan juga keselamatan." Begitulah penjelasan dari Miyuki, yang langsung di mengerti oleh Hinata dan juga Sasuke. Meskipun pemuda itu tak begitu memperdulikan, bukan berarti ia tak mendengarkan bukan.

"Jadi, Miyuki-san ingin mendapat air suci itu?" tanya Hinata.

"Benar. Sejak dua tahun lalu Toru tak bisa berjalan setelah penyakit aneh yang menyerangnya, maka dari itu aku menginginkan air suci itu untuk kesembuhan anakku." Jelasnya, membuat Hinata merasa kasihan dengan bocah kecil yang malang. Apalagi Miyuki dan Toru mengingatkan Hinata pada sang sensei dan putra semata wayang.

"jika kalian juga ingin mengikuti Upacara bulan, sebaiknya mari segera bergegas. Jika tidak, kita tidak akan sampai di sana tepat pada waktunya." Ucap Miyuki seraya tersenyum, lalu berjalan lebih dulu.

"Tu-tungu Miyuki-san," Hinata berlari kecil menghampiri sang ibu muda yang terlihat lelah menggendong putra kecilnya. "Jika tidak keberatan, izinkan saya yang mengantikannya." Kata Hinata ambigu melirik kearah Toru yang masih terlelap dalam tidurnya.

"Ah, tentu saja. Sebenarnya aku memang sudah sedikit lelah."

Hinata kemudian memposisikan tubuhnya dengan sedikit membungkuk agar sang ibu bisa meletakkan putranya ke punggung Hinata. namun tanpa di sangka seorang yang dari tadi bersikap apatis mendekat dan mengeser tubuhnya.

"Biar aku saja." Kata Sasuke datar yang tanpa menunggu lama langsung meletakkan Toru ke punggungnya. Hinata yang awalnya terkejutpun hanya mematung menatap pemuda yang telah melangkah lebih dulu ke arah desa. Meninggalkannya yang masih terpaku tak percaya. Jika kembali menelaah, bukankah pemuda itu sudah banyak berubah.

"Kurasa suamimu sudah menginginkan seorang anak nona." Kata Miyuki tiba-tiba dan di luar dugaan Hinata tentunya.

"E-eh! Ma-maaf Miyuki-san tapi kami hanya rekan seperjalanan saja." Jawab Hinata sembari tersenyum kikuk. Benar-benar perkataan yang mengejutkan bukan. Meskipun ini bukan pertama kalinya.

"Kalian bukan suami-istri? Sayang sekali. Padahal kalian terlihat cocok bersama-sama."

"Bukan, maaf mengecewakan." Kata Hinata masih dengan senyum canggung di wajahnya.

"Lalu kenapa kalian tidak menikah saja? Bukankah dia pria yang baik."

Lagi-lagi sebuah pertanyaan yang cukup mengejutkan.

"E-eh! I-itu karena...ano..." Hinata mulai kebingungan. Jujur memikirkan hal itu saja tidak pernah.

"Hahaha. Maaf sudah menanyakan hal yang tidak-tidak. Sebaiknya kita segera menyusul. Lihatlah temanmu dan anakku sudah cukup jauh. Sa!"

Saat Miyuki beranjak. Ada sedikit kelegaan di hati Hinata, hanya saja ia memerasa binggung saat tak bisa menjawab pertanyaan yang seharusnya mudah untuk dijawab. Tentu saja karena dirinya ingin menikah dengan Naruto kelak. Tapi kenapa ia tidak bisa mengelak.

'Bukankah dia pria yang baik.'

Kata-kata Miyuki yang kembali berulang di kepalanya membuat Hinata merasa ada sesuatu yang aneh di dadanya. Tangannya terangkat bertautan di depan dada. Rasanya seperti ada aliran air yang tenang dan jernih, dan juga terasa begitu hangat. Betapa bodohnya dirinya selama ini. ia tahu jika Sasuke berkali-kali menyelamatkannya dan menjaganya. Tapi di luar batasan asumsi yang ia ciptakan. Hinata benar-benar baru tersadar, jika apa yang Sasuke lakukan adalah sebuah kebaikan.

::

::

Hinata dan Sasuke berbaur di kerumunan orang-orang yang ingin menyaksikan Upacara itu di laksanakan. Cukup beruntung karena mereka berdua berada di barisan depan. Sehingga bisa menyaksikan ritual dengan jelas tanpa halangan.

Upacara di mulai dengan munculnya seorang Miko cantik dari dalam kuil. Membawa secawan besar air yang di letakannya di atas batu persembahan yang tersedia di depan kuil. Air itu merefleksikan separuh bagian bulan dalam genangan airnya. Menunggu sampai pantulan bulan benar-benar terposisikan sepenuhnya di tengah cawan. Sang Miko mengalunkan nada-nada pujian lirih serta bergestur lembut bak tarian angin. Membuat atmosfir di sekitar kuil berubah dingin.

Hinata merasa takjub dengan ritual yang baru pertama kali ia lihat. Namun entah kenapa tak terasa asing. Hanya perasaanya saja mungkin, seolah ia sendiri pernah mengalami dan berperan penting.

Berbeda dengan seorang yang merasa bosan di sampingnya. Sedikit jengkel karena ia merelakan istirahatnya hanya untuk upacara bodoh yang entah untuk apa. Tapi melihat senyum yang kembali mengembang di wajah Hinata, sebanding dengan separuh istirahatnya yang terbuang sia-sia. Ya ini lebih baik ketimbang melihat gadis itu melamun dan telihat nelangsa.

Upacara berlanjut dengan dikeluarkannya benda-benda pusaka dari dalam kuil. Tak ada yang istimewa, kecuali sebuah benda berbalut kain putih berbentuk agak panjang dengan segel tertulis pada seluruh bagian kain. Pemuda Uchiha merasakan aura kuat menguar dari dalam benda yang ia asumsikan sebagai sebuah pedang, mungkin. Hingga dengan tiba-tiba ia merasakan aura mencekam telah mengkepung kuil.

Sial, sejak kapan.

"Ne, Sasukekun?" Hinata menoleh menatap Sasuke dengan tatapan cemas. Sepertinya gadis ini juga telah menyadari adanya sebuah intensitas.

"Hm. Bersiaplah." Jawab Sasuke mengerti maksud Hinata.

Sasuke mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kuil. Sepertinya tak ada satupun yang menyadari akan bahaya yang sedang mengintai. Tak mungkin baginya menghentikan Upacara suci yang sedang berlangsung. Lagipula tak akan ada yang mau percaya begitu saja padanya. Bahkan ia sendiri belum tahu bahaya macam apa yang akan dihadapi nantinya.

"Aku tak tahu aura apa ini. tapi dari yang aku lihat pedang itu...seperti, hidup." Kata Hinata lirih dengan byakugan yang telah aktif.

Jadi benar itu sebuah pedang.

"Aa. Aku juga merasakan ada yang aneh dengan benda itu. tetaplah waspada."

"Hai.."

Tak sampai satu detik. Hinata menoleh cepat ke arah sang Miko, nafasnya tercekat. Kakinya bertolak cepat. Ia kecolongan. "BAHAYA!"

"Sial." Desis Sasuke.

::

::

Hembusan udara yang lebih dingin ketimbang biasanya tak mengurungkan niat gadis Haruno untuk menjemput kepastian. Bulan purnama cukup menjadi pelipur kala orang nomer satu di Konoha yang ia tunggu tak kunjung menampakan kehadiran. Terlambat, bukan lagi hal biasa dan ia tahu jika hal ini tak akan terlewatkan. Namun entah kenapa kali ini setiap detik terasa berjalan lamban.

Ia mengarahkan emeralnya kesisi kiri saat dengan tiba-tiba seseorang yang di nantinya menampakan diri. Hatake Kakashi. Tanpa mengunakan jubah kebesarannya ia tersenyum tanpa rasa berdosa atas kedatangannya yang hampir satu jam lebih lama dari yang ia janji.

"Maaf membuatmu menunggu Sakura. Kau tahu, aku lagi-lagi tersesat di jalan yang bernama kehidupan."

Lagu lama bukan? Tapi kali ini Sakura tak ingin mempermasalahkan dan menanggapi alasan klasik yang mantan gurunya berikan. ia memutar badan, menatap sang Hokage dengan tenang.

"Kakashi-sensei, apa yang sebenarnya terjadi?"

Final, kata-kata yang Kakashi tak yakin akan semudah itu Sakura lupakan akhirnya terdengar. Sudah tak ada jalan lagi baginya untuk kembali mundur dan menghindar.

"Aku akan mengatakan semua yang aku tahu, tapi aku ingin kau berjanji satu hal. semua yang kau dengar, simpanlah untuk dirimu sendiri. Karena ini menyangkut keselamatan klan Uchiha dan Hyuuga. Juga Konoha tentunya."

Sakura terlihat berpikir keras tentang apa yang Kakashi katakan. Apa sepenting itu. menyangkut keselamatan klan Uchiha dan Hyuuga? Apa maksudnya?

"Baiklah aku berjanji." Sakura putuskan untuk menyetujuinya. Karena jika tidak ia tak akan tahu apa tujuannya.

"Ini, bukan tentang kenapa harus Hinata yang menemani perjalan Sasuke. Tapi justru karena hanya sharingan dan rinneganlah yang bisa melindungi Byakugan."

Sakura mengerutkan dahi saat kebingungannya bertambah. "Sharingan dan... rinnegan? Melindungi byakugan? Aku makin tak mengerti," heran Sakura.

"Sebenarnya aku sendiripun masih sama sepertimu. Hanya saja ini semua berkaitan dengan ramalan nenek moyang klan kekkei genkei. Nenek moyang dari klan Hyuuga dan Uchiha. Tentang kebangkitan dan bencana. Tentang perjalanan yang di lakukan Sasuke dan Hinata, dan tentang... misi mereka berdua sebenarnya."

"Misi yang sebenarnya?"

::

::

Ledakan besar sudah tak terelakkan. Altar persembahan serta benda pusaka berserakan dan sebagian hancur terkena ledakan, meskipun tidak dengan sebuah pedang yang masih terlihat utuh, meskipun kain penyegel yang membalutnya telah hangus terbakar. Beruntung tak seorang pendudukpun terluka karena Sasuke dengan sigap membuat perisai dari Susanoonya. Sadar dengan apa yang terjadi dengan begitu cepat, teriakan histeris dan ketakutan mulai membahana.

"CEPAT PERGI DARI SINI!" seru Sasuke menginteruksi kerumunan untuk berlari menjauh menyelamatkan diri. Upacara Bulan yang mereka harapkan telah berubah menjadi sebuah kekacauan.

Hinata meringis kesakitan setelah terlontar akibat ledakan. Beruntung sang miko yang berada dalam dekapannya hanya jatuh pingsan. namun betapa terkejutnya ia saat sesuatu yang tak asing muncul di hadapannya, dan mendadak menyerang. Refleks Hinata memasang kuda-kuda bersiap menahan serangan.

"Amaterasu!"

Seperti biasa Sasuke selalu tepat waktu. Pemuda itu berdiri di hadapan Hinata berserta sang Miko, siaga menghalau. Satu telah lenyap dan berubah menjadi kepulan asap. Meskipun ia tahu mahluk hitam lainnya masih bersembunyi dalam gelap.

Pantas saja Sasuke kerap merasa di ikuti. Bodoh seharusnya ia bisa lebih teliti. Apalagi ia tahu jika mahluk-mahluk sialan itu bisa menghilangkan diri sehingga hawa keberadaan mereka tidak bisa terdeteksi.

"Sasuke-kun. Bukankah mereka..."

"Aa, mahluk yang sama yang menyerang kita di tepi jurang."

Kali ini apa atau siapa yang mereka cari? Hinata ataukah ada yang lainnya?

::

::

::

TBC


Fiuh, akhirnya Funomo chapter 7 selesai juga^^

Seperti biasa saya ingin meminta maaf atas update yang sangat amat lama sekali. Setidaknya saya sudah berusaha sekeras yang saya bisa. Mahluk saja, kamarin saya sedang tersesat di jalan yang bernama kehidupan :p

Oh ya saya juga minta maaf karena tidak bisa membalas review satu per satu. Untuk Riexoluce-san & Dedek Panda-san saya benar-benar terharu dengan review anda-anda sekalian T-T. (jujur saya merasa terbantu jika di review tentang gaya penulisan.) Dan untuk Lavender No Mei, terimakasih atas kritikan dan kejeliannya. Saya harap alasan yang sudah saya beberkan lewat PM cukup untuk memberi anda penjelasan. Dan review anda juga memotivasi saya untuk belajar membuat cerita agar tidak terasa membosankan^^ (tapi yang membuat saya binggung bagaimana jika hal-hal membosankan itu penting untuk alur cerita T,T) oke abaikan.

Dan satu lagi, bisakan kalian tidak menghina Sakura saat mereview (meskipun kalian tidak menyukainya, karena Sakura juga penting untuk alur cerita) Bagaimanapun Sakura adalah Chara Favorite saya dalam animenya, setelah Kushina tentunya. (Ya karena watak saya yang mirip keduanya juga^^)

Untuk Rate, maafkan jika fiction ini akan saya tempatkan pada Rate-T selamanya.

Terima kasih untuk reader yang sudah bersedia me-review di chapter 6 :

Srilestari, Anarchy99, Tjp, Kim Sohyun, itsxoxodiyo, Rapita Azzalia, Mishimia, ana, Alinda504, nana, Bernadette Dei, Green Oshu, Park Eun Hyun, Vii Violetta Anais, Reza Juliana332, ade854 II, kaiLa wu, Salsabilla12, HimeDandelion, HHS Hyuuga L, Bang Pama, Chiharu Kasumioji, Adityapratama081131, Ihfaheradiati395, nana chan, cintya cleadizzlibratheea, fauziah, titut, Lavender No Mei, ndhasasu, Riexoluce, lia 0204, NurmalaPrieska, tyashikacha, nurkoswara23, UchihaLepu, CiElAnGeL, lyly night hinahyuu, dwi2, artyasarastafira, Ana sabaku, dimas vaw, Mavis Chittapon Sakamaki, KookieL, sasuhina69, Suhad LB, Hyuga Agstin, ChintyaRosita, Dedek Panda, flo, nadheaazzputri, 01041997u, Fujihara Ai, Anindita616, mae, ba nana, reychan dan guest-guest sekalian.

Terima kasih juga untuk reader yang sudah bersedia menambahkan Funomo dalam daftar favorite & follow story kalian.

Tak lupa untuk kalian yang sudah menghubungi saya lewat PM.

Hontou ni Arigatou^^

Nb : Tidak menerima protes untuk Up kilat (maafkan saya yang tak berguna, saya hanya manusia biasa T-T)

Mind to Review^^

-11/17/2016-

Dan_