Disclaimer : Naruto adalah kepunyaan Mashashi Kishimoto. Saya tidak mengambil keuntungan material apa pun dari fiksi penggemar ini. Hanya untuk kesenangan!

Peringatan : J.J sedang menghantuimu; menebarkan hawa marah, gelisah, merana, muak, dan sengsara setiap kali cerita J.J terunggah.

.

.

Bab 5

Sakura melihat paras muram Naruto dari kejauhan. Dan perempuan itu tahu apa yang terjadi. Sepertinya sahabat bodohnya itu baru saja menendang perasaan Hinata. Sebagai seorang perempuan, Sakura tahu bagaimana rasanya ditolak. Bergegas gadis itu berlari dan melayangkan sebuah pukulan pada wajah Naruto. Tentu saja lelaki itu terkejut pada tindakan Sakura yang tiba-tiba.

"Hinata sungguh-sungguh dengan hatinya. Mengapa kau campakkan dia begitu saja, dasar otak udang!" Sakura murka. Ia begitu marah pada sosok yang berdiri diam seperti patung. Sama sekali tidak merespon kemarahannya. Ingin sekali lagi melayangkan sebuah pukulan mematikan ia pada wajah yang ada di hadapannya itu jika saja orang itu bukan sahabat dekat.

Naruto hanya membalas tatapan amarah Sakura dengan perasaan gamang. Lelaki itu teringat bagaimana sosok Hinata berusaha keras mengutarakan isi hatinya lagi. Dan itu begitu menyakitkan. Lelaki itu tidak ingin membohongi siapapun, pada Hinata dan pada hati kecilnya. Sejak awal mula, hatinya memilih Sakura. Wanita yang paling ia kagumi bahkan Naruto akan mengabulkan apapun demi melihat Sakura tersenyum bahagia. Dan tentu saja, segala hal yang ia inginkan akan menyakiti Hinata pada akhirnya.

"A-aku, aku berharap kau menerimaku, Naruto-kun," kata wanita itu setengah mati menahan malu. Ia tidak ingin lagi menunggu dalam ketidakpastian. Perasaan yang telah lama dipendam dan bahkan sudah ia ucapkan dulu harus segera terjawab. Ia akan gila jika bayangan pemilik kyuubi itu selalu mengisi pikiran dan hatinya.

Lelaki itu bergeming. Mata sewarna biru langit itu menunduk. Tidak ada jawaban langsung keluar dari sang empu mulut.

"Na-naruto ..." Hinata menunggu penuh harap. Harapan bahwa perasaannya akan sampai pada Naruto.

Kemudian, kepala itu akhirnya bergerak dengan intensitas tatapan yang mantap; lurus langsung pada mata ungu tak berpupil milik Hinata. "Terimakasih, Hinata. Tapi aku yakin kautahu siapa yang kucintai."

Hinata terhenyak. Tak menyangka akan mendapat jawaban yang menggantung meski dirinya tahu apa maksud terselubung itu. Ia ditolak. Nyaris sembilanbelas tahun cinta pertama itu menghasilkan final kesakitan yang tak pelak mengundang derai airmata. Sebisa mungkin Hinata terlihat tegar dengan hati yang sudah remuk. Akal sehat harus segera membanjiri pikiran sebelum Hinata berbuat hal lebih memalukan lagi; menangis keras. Tidak. Gadis itu bertekad untuk tidak meraung karena patah hati.

"Maaf," ucap Naruto kemudian begitu pelan nyaris berupa bisikan. Seperti pisau yang pelan-pelan menggores kulit Hinata; begitu perih.

Naruto kembali menatap perempuan yang masih memberinya pandangan mematikan. Ia tahu bahwa baru saja Naruto mematahkan hati seseorang. Mematahkan harapan selama nyaris seumur hidup seorang Hinata Hyuuga.

"Naruto, kau benar-benar berengsek!" Sakura mencaci lagi. Ia tak habis pikir pada sahabatnya itu. Betapa beruntungnya lelaki rambut kuning itu dicintai dengan setia oleh gadis cantik dan baik seperti Hinata.

Naruto menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia tidak ingin larut dalam emosi teman perempuannya yang meledak-ledak. "Lebih berengsek mana jika aku menerimanya padahal jelas ...," Naruto berhenti. Hatinya ingin jujur meski itu menyakiti banyak orang, "aku mencintai orang lain."

"Siapa orang lain itu?" Sakura geram. "Kau bahkan tak tahu apa itu cinta dan menunggu!"

Sakura jatuh bersimpuh setelah mengatakan hal itu. Ia tahu persis bagaimana perasaan Hinata. Cinta dan menunggu. Ia tahu persis karena posisinya berada di tempat yang sama. Hanya saja, wanita bersurai ungu itu telah ditolak oleh sang pujaan. Penantian pewaris Hyuuga itu berakhir pada kerusakan hati yang entah kapan bisa terobati. Sedangkan dirinya, seorang Sakura, masih setia menunggu tanpa berani berkata cinta pada Sasuke secara serius.

"Kau bertanya aku mencintai siapa?" Naruto dalam nada menantang yang tenang. "Bukankah sudah jelas? Haruskah kutegaskan sekali lagi?"

Sakura menangis. Ia benci mendengar bahwa Naruto masih mencintainya. Ia benci bahwa mengapa bukan Naruto saja yang ia cintai dan malah masih saja mempertahankan orang lain yang tidak peduli pada penantiannya? Sasuke, siapa lagi? Ia benci semua cinta yang rumit itu.

"Bisakah," bisik Sakura dalam sesenggukan parah, "bi-bisakah hatimu menyukai Hinata?"

Naruto berlutut. Tangannya mengusap airmata Sakura yang membanjir dan membasahi pipi tembam gadis itu. "Seperti," ia menahan sejenak berharap apa yang hendak ia katakan tidak melukai siapapun, "seperti bisakah hatimu menyukaiku, begitu maksudmu?"

Sakura menangis keras. Ia tahu bahwa hatinya tak mungkin berbohong. Cintanya hanya satu pada Sasuke. Dan sahabatnya ini, demi Tuhan, mengapa semua semakin terasa pelik?

"Menangis saja," kata Naruto ikut duduk di tanah. Menyerahkan bahunya pada sang gadis pujaan hati.

"Kau kejam sekali, Naruto," isak Sakura. "Hinata pasti sangat terluka!"

Naruto tersenyum muram. "Setiap orang harus belajar mengenai luka. Aku pernah belajar soal itu."

"Tapi gadis itu sudah pernah dan kau melukainya untuk berulang kalinya!" Sakura berteriak. Tidak pahamkah lelaki di depannya ini mengenai cinta personal?

Naruto memaklumi sahabatnya yang begitu mudah terbawa perasaan.

"Hinata pernah mengalami sakit yang sama sepertimu. Tidak diakui bahkan oleh keluarganya, dianggap lemah. Orang-orang yang meneriakinya monster karena matanya yang mengerikan. Dibenci oleh sepupunya. Bahkan nyaris mati hanya untuk membela orang yang bahkan tidak membalas cintanya," Sakura berkata pahit. Tak pernah sekalipun ia melakukan hal yang sama pada Sasuke.

Hinata adalah gadis yang hebat. Meski awal perempuan bersurai ungu itu memandang diri lemah, karena Naruto, gadis itu ingin membuktikan diri bahwa ia bisa. Dan ia berhasil melakukannya.

"Sekali saja, Naruto, sekali saja, bisakah cintamu beralih padanya?" Sakura sudah terlihat memohon. Jika orang-orang bertanya mengapa ia begitu kukuh mengharapkan Naruto dan Hinata bersatu adalah Sakura tidak ingin ada Sakura-Sakura lain yang menanti harapan tanpa ada akhir. Gadis itu ingin setiap orang yang disayangi memperoleh kebahagiaan.

Naruto tersenyum kecut. Batinnya memberontak ketika salah satu pikiran terlintas untuk menyetujui Sakura. Apa dengan mencintai Hinata, Sakura akan bahagia? Nurani Naruto berbisik 'jangan!' Tapi pemandangan yang harus ia saksikan jauh lebih menyakitkan. Rasa frustrasi Sakura membuat seluruh raga dan perasaan sang hokage pedih.

Dengan perasaan tidak keruan, Naruto membawa Sakura dalam pelukannya. Sembari mengelus pelan kepala gadis itu, ia berkata perlahan, "Aku akan melakukannya."

Sakura terhenyak. Raganya berhenti bergetar. Cepat-cepat ia mengangkat wajah dan menemukan wajah Naruto yang teduh.

"Be-benarkah?" Sakura bertanya. Sungguh, ia tidak percaya. Apakah Naruto benar-benar ingin melakukannya?

Naruto mengangguk dengan semangat; mencoba mengkhianati hatinya yang menolak. "Bukankah ada pepatah yang mengatakan cinta bisa datang karena terbiasa?" Naruto berkomentar. Ia berharap begitu. Cinta datang karena terbiasa, semoga bukan sebuah isapan jempol belaka.

Mata Sakura melebar. Perempuan yang masih bersandar pada dada Naruto itu terkejut bahwa sahabatnya kini menjadi kian bijaksana. Menjadi seorang hokage mampu membuat orang bodoh menjadi luar biasa keren.

Naruto tersenyum lalu membawa Sakura lagi dalam pelukannya. "Sudah, jangan menangis lagi. Agak aneh rasanya melihat seorang monster menangis karena hal seperti ini," canda lelaki itu dan berhasil mendapat sebuah tonjokan keras dari kepalan tangan kanan Sakura.

"Enak saja kau memanggilku monster! Aku putri Haruno yang menawan!" Sakura membela diri dan Naruto hanya bisa tertawa kecil.

Benar. Kau putri Haruno yang menawan hatiku entah sampai kapan. Aku akan melakukan ini untukmu, Sakura. Jangan menangis lagi. Hatiku sakit melihat matamu selalu diliputi airmata karena Sasuke. Aku tidak ingin melihatnya bertambah karena diriku.

Keputusan itu mengubah banyak hal. Lingkaran cinta yang rumit perlahan membuka meski dengan paksaan. Harus ada yang berani berkorban. Dan takdir memilih Naruto. Harus ada yang rela menanggung rasa sakit. Tidak hanya satu orang, akan ada banyak orang yang mengalami rasa pedih dan bahagia semu. Sampai sang takdir memutuskan untuk bertindak lain.

Dari kejauhan, Sasuke menyandarkan diri pada sebuah tembok kokoh dan terhalang dari pandangan Sakura dan Naruto. Ia mendengar semua percakapan itu dan hanya bisa mendengus.

Setelah yakin bahwa kedua insan yang sedang melakukan rekonsiliasi itu selesai, Sasuke beranjak pergi.

Kedatangan Sasuke bukanlah sebuah kebetulan. Sejak awal, tepat ketika Naruto dan tim keluar dari gerbang Konoha, Sasuke melihat dia. Gadis yang selalu berdiri di belakang. Gadis yang tidak pernah terlihat menonjol di antara teman-teman satu akademi.

Entah sejak kapan rasa itu bermula ada. Sasuke ingat bagaimana Itachi, kakak yang telah melewati berbagai macam emosi berkecamuk dalam diri Uchiha terakhir itu. Ada rasa sayang saat masa kecil mereka lalui bersama dan berubah menjadi benci ketika dengan seringai kejam, Itachi membantai ayah dan ibu. Dan kembali menjadi sebuah rasa cinta dan bakti di benak Sasuke saat Itachi menceritakan segalanya.

Hidup Sasuke seperti diombang-ambing. Ia telah keluar jalur menjadi ninja keji karena dendamnya pada sang kakak. Dan kini, ia telah berubah. Apakah ketika orang yang sangat jahat kemudian berubah lantas membuat masyarakat Konoha menerimanya? Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hanya segelintir orang yang mau menerimanya kembali.

Jujur saja, Sasuke tidak memedulikan seberapa banyak orang mau menerimanya. Ia merasa lega ketika Naruto, Sakura, dan Kakashi mau menyambut dirinya lagi. Hanya saja, setiap kali memandang warga Konoha yang memberikannya tatapan jijik, menggoda Sasuke untuk kembali berkelana; pergi sejauh mungkin dari negeri daun itu.

Hingga suatu ketika, ketika ia kembali pertama kali menjejakkan kaki di Konoha paska perang dunia shinobi, saat ia berjalan menyusur distrik klannya yang sudah remuk, ia mendapati sosok perempuan yang meletakkan karangan bunga berwarna lavender serupa dengan baju yang perempuan itu kenakan di depan gerbang distrik Uchiha yang sudah tidak terurus.

"Semoga Itachi-san hidup damai di sana," gumam gadis itu sembari membungkuk hormat di gerbang yang dipenuhi debu.

Sasuke melihat tidak hanya satu karangan saja yang terletak di sana. Ada beberapa karangan lain yang mulai berubah warna coklat karena mengering.

Sepeninggal gadis bersurai biru gelap itu, Sasuke mulai mendekati karangan bunga yang tadi diletakkan. Baik bunga yang masih segar maupun yang sudah layu itu sama jenisnya. Selalu bunga berwarna lavender. Bentuknya bergelombang. Sasuke sendiri tidak tahu bunga apa itu.

Karena ia tidak melihat lagi orang lain melintas di jalanan yang selalu sepi itu—tentu saja, orang-orang selalu menghindari jalan menuju distrik klan Uchiha yang sudah diselimuti rumor berhantu—ia melangkah masuk melewati gerbang raksasa yang tidak lagi pernah terkunci. Nostalgia mengenang keberadaan Fugaku, ayahnya, menghantam keras hatinya. Ayahnya selalu membanggakan Itachi tanpa peduli bahwa ada Sasuke kecil yang merasa sakit hati. Kaki Sasuke kembali melangkah menuju rumahnya dulu. Semua perabotan yang ada di situ suda usang dan penuh kotoran. Namun memori masa lalu miliknya tidak akan pernah pudar.

Merasa sakit hatinya kambuh, Sasuke memutuskan untuk cepat-cepat pergi meninggalkan klannya itu. Sakit hati akan kerinduan dan merasakan kesepian ternyata jauh lebih menyedihkan. Meski lelaki itu begitu menyukai ketenangan tetapi ketika ia menyadari bahwa hanya tinggal dirinya yang tersisa dari seluruh keluarganya, ia menjadi mudah rapuh. Bukan seseorang yang lemah hingga disebut rapuh. Bukan. Hati Sasuke. Hati lelaki itu kian hari semakin rapuh untuk mudah terjerumus lagi ke dalam masa lalunya yang kelam.

Sebelum sepasang kakinya menjauh dari rumahnya, sepasang mata onyx itu kembali pada karangan bunga dan kata-kata yang tadi gadis itu ucapkan. Entah apa yang mengisi pikirannya, ia mengambil satu tangkai bunga berwarna lavender itu dan berniat untuk menanyakan nama bunga itu. Dan Ino dengan senang hati menjelaskan semuanya.

"Ini adalah bunga iris," jelas Ino yang terkejut didatangi oleh Sasuke kala itu. "A-aku agak terkejut seorang lelaki membawa bunga itu."

Sasuke memberikan pandangan bertanya tanpa mengucapkan apa-apa.

"Maksudku, bunga iris biasanya diberikan oleh laki-laki pada perempuan. Itu karena makna dari bunga iris sendiri," jelas perempuan itu lagi.

"Apa maknanya?" tanya Sasuke dengan nada datar.

Satu tangan Ino menumpu pada dagunya yang runcing sembari mengamati bunga yang tadi diulurkan Sasuke. "Kesetiaan dan penantian. Ngomong-ngomong, kau dapatkan bunga ini dari mana?" Ino mulai dengan interogasinya.

Sasuke hanya tersenyum kecut lalu berkata, "itu bukan urusanmu." Wajah Ino langsung melongo seketika ketika Sasuke meninggalkan toko bunganya tanpa memberikan kejelasan lebih lanjut.

Kesetiaan dan penantian. Mengapa gadis itu memilih bunga itu?

Dan sejak saat itu hingga sekarang, di desa pengasingan, Sasuke tidak pernah bisa melupakan bayang-bayang gadis bermata pucat itu. Seorang Hyuuga yang mengirim bunga iris untuk klannya yang tidak lagi ada—dan bahkan mendoakan Itachi yang tidak pernah Sasuke lakukan sebelumnya.

Jejakan kaki Sasuke berhenti pada sosok yang baru saja memenuhi pikirannya. Hinata. Gadis itu sedang berjalan bersama teman satu tim di bawah asuhan guru Kurenai. Manik hitam Sasuke memandang dengan jeli paras Hinata yang sumringah. Lelaki itu tahu pasti bahwa tawa gadis itu hanyalah tipu muslihat untuk memperdaya Kiba dan Shino. Perempuan itu tidak pandai menyembunyikan kedukaan setelah ditolak oleh Naruto. Dan untuk alasan tertentu, Sasuke merasa senang karena Hinata ditolak. Gadis itu harus merasakan pahitnya kehidupan. Ia mengenal gadis itu terlalu naif dan polos. Segores luka yang dalam di hati Hyuuga itu akan cukup membuat Hinata sadar bahwa dunia ini tidak selalu baik pada setiap orang.

"Bodoh," ujar Sasuke pelan.

"Kudengar akan ada pertemuan penting di gedung pusat kota," Kiba berkomentar sembari melingkarkan kedua tangannya di balik kepala. Di sampingnya Shino dan Hinata berjalan dalam diam. Tidak ada satu pun dari dua orang itu ingin membalas Kiba. Hanya Akamaru yang menggonggong sayang tiap kali Kiba berada di sampingnya.

"Hinata," Kiba beralih. Kepalanya menoleh sedikit pada Hinata yang sedari tadi diam dan terus menunduk. "Kau pucat sekali. Kau sakit?"

Hinata mendongak gugup. Wajahnya pucat pasi. Seharian ia memang hanya makan satu kali itu pun atas kebaikan Sakura yang mengajaknya makan malam bersama Naruto. Dan mengingat kejadian itu, mata Hinata mulai berair. Jangan! Ia memperingatkan dirinya untuk tidak memperlihatkan kesedihan pada siapa pun. Cukup ia sendiri saja yang merasakannya. Ia tidak ingin orang-orang memandangnya kasihan. Ia tidak ingin dianggap lemah. Dengan kekuatan tersisa, Hinata mencoba tersenyum. "Mungkin karena nafsu makanku sedang buruk, Kiba. Tapi tidak apa-apa, aku baik-baik saja."

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita makan?" tawar lelaki dengan tato merah di kedua sisi pipinya.

Hinata menggeleng pelan. "Sakura tadi sudah mengajakku makan malam."

Kiba mengangguk. Teman lainnya, Shino, memandang Hinata dengan tatapan menyelidik di balik lensa kacamata hitamnya.

"Apakah kejadian kemarin membuatmu tertekan, Hinata?" Shino memberikan pandangan intimidasi yang sanggup membuat tubuh Hinata membeku seketika.

Hinata sedikit menggerakkan kepalanya; merasa sungkan untuk mengakui bahwa kejadian mengejutkan kemarin mungkin berperan juga mengenai kondisinya sekarang. Tapi selain itu, ada hal lain yang membuat Hinata merasa terpukul. Penolakan yang baru saja berlangsung.

"Mungkin," jawab Hinata pelan. "Aku akan ke penginapan. Kita akan bertemu lagi besok pagi di kantor." Hinata hanya ingin lari dari pandangan rasa ingin tahu kedua sahabatnya.

"Kami akan mengantarmu, Hinata," kata Kiba sambil menepuk kepala Hinata pelan. "Kami tidak ingin kau sakit. Kau tahu bagaimana cemasnya kami ketika berada di Konoha dan Ino menjelaskan bahwa chakramu melemah? Demi Kami-sama, aku langsung saja menyusulmu kemari tanpa persiapan apa-apa." Raut wajah Kiba menampakkan kesedihan. Ia tidak ingin ada lagi sahabatnya yang pergi. Setelah Neji dan beberapa shinobi lain mati, semua terasa begitu rapuh. Semua orang begitu mudah cemas. Padahal Naruto dan yang lain menjamin bahwa tidak akan ada lagi perang; yang ada hanyalah kedamaian. Mimpi bagi semua orang. Ya, kedamaian hanya ada dalam mimpi. Ia tidak merasa bahwa kedamaian akan selamanya tinggal.

Hinata memberikan senyuman untuk meyakinkan kedua teman dekatnya. "Aku baik-baik saja, sungguh. Lagipula kalian belum membeli kebutuhan apapun selama berada di sini. Akan lebih baik jika kalian membeli beberapa baju ganti."

Shino kali ini angkat bicara. "Hinata benar, Kiba. Lebih baik kau segera mengganti baju. Bau anjingmu jadi semakin tajam karena kau tidak ganti seharian. Seranggaku nyaris keracunan karenanya."

Kiba mulai memasang wajah kesal sedangkan Hinata terkikik geli mendengar Shino berkomentar. Shino memberikan pandangan lain pada Hinata bahwa lelaki itu tahu gadis bersurai gelap itu membutuhkan waktu sendirian. Ada yang tidak wajar dari cara Hinata berkata-kata dan tersenyum malam ini dan Shino tahu Hinata dalam posisi enggan untuk membaginya pada orang lain.

Ketika tiba di persimpangan jalan, Kiba dan Shino mengambil jalur menuju pusat perbelanjaan dan Hinata mengarah kembali ke penginapan. Setelah yakin bahwa Kiba dan Shino sudah tidak terlihat. Senyum yang ada di wajah Hinata hilang. Pipinya sakit ketika harus memasang senyum palsu untuk menutup-nutupi kondisi sesungguhnya. Perempuan itu hanya tidak ingin orang lain merasa cemas akan dirinya. Hinata tidak ingin orang-orang mengasihaninya.

Dari kejauhan, Sasuke memandang wajah Hinata.

Bagaimana ia bisa peduli padamu, Itachi? Ia memejamkan mata sesaat untuk menghapus memori wajah sang kakak dan kebiasaan Hinata mengirimkan bunga di depan bekas markas klan Uchiha. Sepanjang pemikiran lelaki itu, tidak ada alasan logis yang bisa menjelaskan perilaku Hinata. Gadis itu adalah sosok asing bagi Itachi dan dirinya. Bahkan selama akademi, Sasuke nyaris tidak melakukan pembicaraan dengannya. Jadi, apa alasan yang membuat gadis itu berkunjung?

Mata Sasuke yang mengekor Hinata tertarik pada gerakan gadis itu yang semula ia kira menuju penginapan. Hinata berbelok ke arah lain menuju pusat kesehatan desa pengasingan.

"Untuk apa dia ke sana?"

Bersambung

Catatan Penulis :

Sekalilagi, pair yang saya gunakan dalam cerita ini adalah Naru-Hina dan Sasu-Saku. Jika ditanya lebih mendalam mana yang lebih utama, saya akan menjawab Naru-Hina. Kisah Sasu-Saku berperan sebagai pelengkap cerita ini. Karena tanpa Sasuke dan Sakura, plot dalam cerita ini tidak akan berjalan. Saya tidak peduli pada bentuk review yang mulai berkurang kesopanannya. Saya sangat memaklumi bagi mereka yang belum lulus ujian nilai kesopanan dan etika dalam memberi review di manapun jejaring sosialnya. Saya berharap mereka lebih giat belajar untuk itu. Bukankah belajar itu seumur hidup? Dan saya sangat memaklumi mereka yang kecewa bagaimana jalan cerita ini.

Jika berkomentar apakah saya mencari sensasi? Ya. Ya ketika sensasi otak saya tertuang dalam tulisan (apakah ini melibatkan sensasi pembaca/khalayak ramai? Sepertinya anda salah mengartikan saya. Saya tidak butuh sensasi massa kalau itu yang dimaksud). Mudah saja untuk tidak suka dengan cerita saya. Anda tinggal menggerutu sendiri seperti dengungan lebah tak tentu arah saja dan tidak usah meninggalkan jejak apapun.

Lalu untuk tag yang saya sertakan di bagian bawah, bukankah saya sedang mengalami kesulitan mengelompokkan pairing? Berkali-kali saya salah dan belum paham bagaimana menempatkan Naruto dan Hinata dalam kurung yang sama dan Sasuke serta Sakura dalam kurung yang sama pula ditambah koneksi internet yang kacau. Bukankah lebih baik memberitahu saya dengan cara baik-baik? Dengan segala hormat, bagi mereka yang sudah berbaik hati memberitahu saya—dengan cara yang benar, saya sungguh berterimakasih. Dan segala tidak hormat bagi mereka yang mulai mencaci, maaf, silakan temukan cerita lain yang sesuai dengan apa yang anda inginkan. Di sini saya berani menjanjikan tulisan rapi dan mengikuti kaidah dengan benar. Hanya saja saya tidak menjanjikan waktu pengunggahan dan kesesuaian cerita dengan apa yang ada dalam benak pembaca. Tentu saja, bentuk tulisan ini seutuhnya adalah hasrat terpendam saya. Saran saya, jika tidak suka, bagaimana kalau membuat sendiri cerita yang diinginkan? Itulah motivasi terbesar saya masuk dalam dunia 'ini'. Saya jarang sekali menemukan kisah yang sesuai dengan keinginan saya ditambah penulisan yang masih jauh dari aturan EYD sering membuat saya geram sendiri maka dari itu saya membuat sendiri kisah cerita Naruto ini sesuai keinginan saya. Nah, tertarik? Silakan coba resep itu.

Dan mengenai singkatan-singkatan HL, NH blabla, SH blabla, DLDR, atau apalah, saya tidak tahu apa itu. Anda bilang saya kurang up to date, saya malah merasa senang. Saya akan memilih informasi yang menurut saya membuat seorang penulis berkembang. Saya juga seorang pembaca site ini dan jujur saja, saya termasuk orang yang masih gagap mengenai site ini. Jadi, jika anda memberikan komentar seputar singkatan-singkatan, anda seperti marah-marah pada orang yang sedang mendengarkan lagu tapi dengan earphone dan bervolum keras. Ironis dan hanya akan menghabiskan energi anda. Saya kasihan untuk itu. Dan seandainya ada pembaca yang mengatakan 'penulis ini bodoh banget', yah, untuk hal-hal yang sekiranya tidak penting untuk diketahui, saya akan lewatkan kesempatan anda memancing emosi seorang J.J.

Dan jika para pembaca menanyakan penulis J.J ini sebenarnya menyukai pairing apa di Naruto, saya menyukai setiap pemain yang ada dalam cerita karangan Masashi Kishimoto itu. Bagi saya, beliau menginspirasi.

Terakhir, saya sangat berterimakasih kepada pembaca yang sangat bijaksana menyikapi pairing yang saya gunakan. Sungguh, setidaknya saya masih merasa ada yang menanggapi itu dengan cara yang benar. Jujur saja, saya ingin tertawa bagaimana reaksi ini mudah sekali menyulut beberapa pihak (yang fanatik) hanya karena seorang penulis baru yang tidak (belum) tahu apa-apa mengenai ini dan itu di sini. Sungguh, mari tertawa sejenak bersama J.J.

Ini catatan paling panjang yang pernah saya buat sebagai respon terhadap chapter 4 yang terlihat 'ramai' dengan celotehan mendukung maupun sambil lalu dan saya tidak akan peduli pada setiap review (mereka) yang tidak lulus ujian kesopanan—biarkan mereka mengulang lagi dan lagi sampai akhirnya memberi review benar karena itu adalah bukti bahwa J.J sedang menghantui mereka; menebarkan hawa marah, gelisah, merana, muak, dan sengsara setiap kali cerita J.J terunggah. Ini peringatan ala J.J.