fellatio and chanlu in the same sentence is porn

park chanyeol/xi luhan; multichapters; 4732 words.

explicit; alternative universe; slow burn; established relationship; domestic; crack; rom-com. warning: explicit language.


Cerita ini terinspirasi dari a.k.a longarse note/warnings from me:

1. Cadbury Springklebatch a.k.a. Benedict Cumberbatch.

2. Post tumblr tentang para suami yang mengungkapkan rasa cinta mereka kepada para istri dengan sex-jokes. Rasa penasaran muncul; apakah pasangan rumah tangga sering membicarakan fellatio atau tidak dalam kehidupan seks mereka? Yes.

3. My guilty pleasure ship is Chanyeol and Luhan; Chanlu as they may be called. The giraffe and the deer are joy; chanlu is life, chanlu is love. That's a poet.

4. Judul, membayangkan Park Chanyeol dan Xi Luhan 'The Totally Crack Ship that May or May not Have Moments. (Atau dibaca penulis tidak memiliki ide.)

5. (Judul dan fellatio sama sekali tidak ada kaitannya. Tidak 100% pembicaraan dalam cerita adalah fellatio. But, beware this story is full of sex-jokes you may be disturbed by the contents). Rom-com rumah tangga; The New Normal.

6. Fellatio has a beautiful ring in it than blowjob as much as how mind-blowing that is.

7. Seriously, the sex tape—porn—that I may or may not come across by or so-called the content that cannot be unseen; am totally legal so don't judge me.

8. Youtuber Tyler Oakley (I love this guy); dalam gay pria adalah pria—there is no pitcher or catcher rule here, no pun intended.

9. Park Chanyeol's Instagram a.k.a. the main cause. (Rasa cintanya terhadapat Kim Jongin.)

10. Extremely bilingual/multilingual story, and a very longarse story, I am serious.

11. I know they are Asians but I was too into writing this piece that I wrote it a bit too much western-ish, I mean the life style choices, the sex jokes and the gayness.

12. And, lastly this is probably my last fiction in Bahasa since how awkward I had gone through writing this piece of shite I called porn, thinking in mind with native but writing in 2nd language was hard, and I may or may not have moved on from kpop. I will shut up, for now, folks.

.

.


Jika prosa romansa menceritakan pertemuan antara kedua tokoh utama tersurat dengan penuh bunga bertebaran, warna-warni sensasi yang mereka rasakan, atau terkadang rasa tak suka atau benci yang pada alur pertengahan akan berubah menjadi rasa cinta, katakanlah itu sudah biasa terjadi. Namun tidak dengan Xi Luhan dan Park Chanyeol, pertemuan mereka tidak ada hal demikian, pertemuan di antara mereka sangat sederhana dan jujur. Tidak ada bunga, tidak ada debaran jantung tak karuan di luar batas logika, dan tak ada perasaan menentu yang terbesit hingga meninggalkan kesan tak tertebak.

Luhan duduk sambil menyuapi Jongin yang duduk manis di atas pangkuannya. Jemari-jemari balita itu menggenggam erat tepi meja, tidak sabaran menunggu sang ayah menyuapi spageti yang sangat ia sukai. Luhan hanya tersenyum menyaksikan mulut mungil balita itu terbuka lebar menunggu untuk disuapi sambil bergumam 'aang'.

Anaknya terlihat seperti malaikat mungil, walaupun mulut dan pipinya belepotan penuh saus spageti. (Luhan membiarkannya karena itulah poin dari dari spageti untuk anak-anak; biarkan saus menghiasi wajah malaikat mereka.)

"Ayah! Aang!" suara balita itu terdengar menuntut. Tangan mungilnya terkepal di atas meja dan mulut mungilnya masih terbuka lebar membentuk 'o', senyuman Luhan melebar, oh kejadian di hadapannya seperti anak burung yang menunggu suapan dari sang induk.

Luhan tertawa kecil, menyuapi anaknya yang sangat tidak sabaran. Ia merasa sedikit bersalah karena terlalu terlena akan kelucuan sang anak. Itu hal yang wajar jika seorang ayah mengagumi sang anak, bukan?

Menyaksikan Jongin yang dengan lahap menyantap spagetinya, ia berpikir, Jongin sangat menyukai spageti, apapun akan dilakukan anaknya untuk dapat menyantap kudapan satu ini. Sebelum datang ke restoran ini, Jongin sempat ngambek dan merengek ingin makan spageti. Luhan yang tak sempat membuatkannya, membuat sang balita menangis kencang. Tak tahan melihat tangisan sang anak, Luhan dengan cepat menenangkan Jongin dan merayunya akan membelikannya spageti. Dan tak berapa lama, isakan kecil mereda, mata mungil yang kini sembab dan masih berair menatapnya mencari kepastian darinya.

"Tidak bo'ong?" tanya balita itu parau.

Luhan mendekap sang anak erat, sangat merasa bersalah akan keadaan anaknya saat ini.

"Tidak, Jongin. Jongin dan Ayah akan pergi membeli spageti kesukaan Jongin," jawab Luhan pasti, menyakinkan sang anak.

"Janji?"

"Janji."

Pelukan dan kecupan basah adalah jawaban yang ia dapat. Senyuman lebar khas anak-anak kini menghiasi bibir Jongin. Betapa pun menggemaskan para anak, namun saat menangis mereka adalah para monster kecil yang ingin mendapatkan perhatian orang dewasa.

Di sinilah mereka berdua duduk sambil menyantap seporsi spageti (seporsi, karena Luhan tahu, walaupun itu adalah porsi untuk anak-anak, namun masih terlalu banyak untuk balita seusia Jongin) yang mereka bagi berdua.

Restoran ini dikatakan restoran keluarga namun yang duduk dalam restoran ini hampir semua adalah pasangan kekasih dan dari kalangan anak-anak muda. Entah mengapa Luhan merasa salah tempat. Seorang ayah dan balitanya duduk berdua sambil menikmati seporsi spageti. Itu terdengar seperti cerita memilukan.

"Bolehkah saya berfoto bersama putra anda?" suara bas masuk pada pendengaran Luhan.

Ia mengangkat kepalanya ke arah sumber suara, setelah menyuapi Jongin. Kedua matanya menangkap seorang laki-laki muda, mungkin berusia awal 20-an tahun, kini berdiri di seberangnya sambil tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putih yang sempurna. Jika senyuman itu bukanlah ramah dan sopan, maka Luhan akan berpikir bahwa laki-laki ini adalah seorang maniak.

"Ya?" tanya Luhan, ia sama sekali tidak menangkap pembicaraan laki-laki di hadapannya.

"Bolehkah saya berfoto bersama putra anda?" suara bas itu sangat rendah dan berat, hampir tidak cocok dengan wajah laki-laki itu, namun terdengar sopan dan ramah.

"Tapi Jongin—" Luhan menghentikan perkataannya, melihat kondisi anaknya yang masih belepotan dengan saus spageti di wajahnya. Tidak mungkin berfoto bersama dengan kondisi seperti ini. "—sangat belepoan dengan saus," lanjutnya sampil memberi senyuman kecil pada sang penanya.

Ia sama sekali tidak keberatan jika ada orang yang ingin berfoto bersama putranya. Sebelumnya banyak anak gadis atau ibu-ibu yang sempat berfoto bersama Jongin. (Sempat terpikir olehnya, mungkin nanti ia akan memasukkan Jongin ke sekolah permodelan. Anaknya, walaupun masih balita, sudah banyak memikat hati banyak orang, bagaimana nanti saat ia dewasa? Salahkan gen pada seorang Xi. Setidaknya itulah pemikiran Xi Luhan penuh rasa percaya diri.)

"Bukankah itu poin utama seorang anak saat makan spageti? Saus menghiasi wajah mungil mereka." Laki-laki itu memberikan tawa ramah, tatapannya tidak meninggalkan Jongin yang menatapnya dengan mata membulat.

Luhan mengangguk setuju, ia suka jalan pikiran laki-laki ini.

"Jadi, apa boleh?" tanya laki-laki itu lagi.

Luhan mengangguk.

"Park Chanyeol," kata laki-laki itu, "namaku." Senyuman ramah terus menghias bibir laki-laki, Park Chanyeol, sepertinya itu adalah permanen.

Luhan mempersilakan Park Chanyeol untuk duduk menempati kursi di sampingnya yang kosong. Dengan ramah, Luhan memperhatikan, Chanyeol menatap Jongin dengan senyuman lembut.

Jongin sejak tadi tetap menatap Park Chanyeol dengan mata membulat, mungkin kaget dengan orang asing yang sedari tadi berbicara dengan ayahnya.

"Anak manis, siapa namamu?" tanya Chanyeol.

Jongin menoleh ke belakang dan menatap Luhan, matanya mencari persetujuan dari sang Ayah. Luhan mengangguk kecil.

"Jongin," jawan Jongin malu.

Luhan hanya tersenyum melihat sikap Jongin yang masih malu saat perhadapan dengan orang. Walaupun demikian, balita itu tidak lupa akan etikanya.

"Kim Jongin," timpal Luhan.

Jongin kembali menatap Luhan sebelum menoleh ke arah Park Chanyeol dan berkata, "Kim Jongin."

"Jonginah, perkenalkan nama hyung Park Chanyeol," tutur Chanyeol sambil meraih tangan mungil Jongin dan menggenggamnya lembut. "Chanyeol hyung," ulang Chanyeol.

Jongin terdiam sejenak, bibir mungil berulang kali terbuka dan tertutup, mencoba mengucapkan nama Chanyeol dengan benar. "Chanyo'—" bisik Jongin ragu, "—'yung."

"Chanyeol hyung," ulang Chanyeol dengan tempo lebih lambat.

"Hyung!" seru Jongin, tertawa khas anak-anak.

Luhan yang sedari tadi menyaksikan interaksi di antara keduanya, tersenyum lebar, tidak mudah bagi orang asing mencuri hati Jongin. Ini adalah hal baru, mungkin karena senyuman seorang Park Chanyeol membuat balita itu merasa nyaman. Tanpa berpikir banyak, Luhan memposisikan putranya di atas pangkuan Chanyeol, mencari posisi nyaman dan aman bagi sang anak. (Tentu saja ia tidak ingin Jongin terjatuh.)

Luhan duduk tenang menyaksikan saat Chanyeol menggenggam tangan mungil Jongin, menggunakan tangan balita itu untuk menjalankan telpon seluler miliknya. Laki-laki itu membiarkan Jongin bermain sejenak dengan itu karena sang balita tidak hentinya mengeluarkan seruan kecil 'ooh' dan bertanya 'apa ini' dan 'apa itu'.

Kim Jongin mengenal dunia baru dari Park Chanyeol, laki-laki yang baru mereka kenal tidak lebih 10 menit yang lalu.

"Jonginah, ayo, kita ambil foto bersama!" seru Chanyeol yang dibalas Jongin dengan teriakan 'ayo' dan tangan terkepal di udara.

.

.

Luhan mengedipkan matanya berkali-kali dengan tatapan lurus tak pasti hingga ia sadar spageti di hadapannya kini sudah habis. Ia menoleh ke samping untuk memeriksa keadaan Jongin dan Park Chanyeol. Kembali ia mengedipkan matanya sekali, dua kali, hingga hal di hadapannya terfokus di penglihatannya.

"Ia tidur dengan tenang," gumam Luhan pelan, namun itu cukup menarik perhatian Park Chanyeol yang kini sedang menatap langsung kepada matanya. Jongin tertidur pulas di dalam dekapan Chanyeol.

Pria itu tertawa tanpa suara, rasa sangsi terlukis diwajahnya. "Ah, mungkin aku terlalu menguras tenaganya hingga tertidur pulas seperti ini. Maaf," sahut laki-laki muda itu jujur.

Luhan menggeleng pelan, "Jongin menangis sebelum tiba ke tempat ini karena itu ia tertidur pulas sekarang." Luhan bergeser ke dekat Chanyeol yang menangkap sinyal untuk memberikan Jongin ke dekapannya, dan Luhan tersenyum begitu Jongin tertidur pulas di dekapannya, memberi kecupan di rambut jongin ia berkata, "Jika tertidur dia terlihat seperti malaikat."

"Aku rasa dia pun malaikat ketika terbangun."

Luhan hanya tertawa mendengarnya dan berkata, "Oh, kau belum melihat bagaimana malaikat kecil ini menjadi monster saat menangis. It's a bloody nightmare."

Dengan itu mereka berdua tertawa perlahan, menyadari ada balita yang tertidur di tengah-tengah mereka.

"Maafkan aku, aku harus pergi. Masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan," kata Park Chanyeol memecahkan suasana saat itu.

Luhan mengangguk dan membalas senyuman yang diberikan padanya. "Ya. Selamat bekerja dan hati-hati di jalan."

Park Chanyeol mengangguk dan senyuman di bibirnya semakin lebar. "Foto yang kami berdua ambil boleh aku unggah ke instagram?"

Instagram? Tanya Luhan dalam hati dan membuat catatan mental untuk meng-google-nya nanti.

Luhan sekali lagi menganggukan kepalanya iya.

"Terima kasih," sahut Park Chanyeol yang menurutnya sedikit riang. "Aku akan menghubungimu."

Dan Park Chanyeol hilang dari hadapannya begitu pintu rumah makan keluarga ini tertutup.

Begitu Chanyeol pergi, Xi Luhan memutuskan untuk pulang. Melangkah menuju area pemarkiran, ia baru menyadari ia belum sempat mengenalkan dirinya kepada Park Chanyeol dan pria itu sendiri tidak meninggalkan sesuatu untuk menghubunginya. Luhan menghela nafas ia tidak ambil pusing hal itu, yang terpenting adalah kembali ke rumah, menidurkan Jongin, dan menikmati malam di hari ini dengan tenang. Itulah rencana Xi Luhan hari ini.


Xi Luhan pria keturunan Tiongkok ini tidur santai di atas sofa yang penuh boneka milik Jongin. Tangan kanannya memegang malas pada bir non alkohol kalengan yang sejak dibuka tidak ia habiskan—ia merasa bodoh karena sekadar penasaran akan rasa baru ia tidak tahu akan membencinya sekarang, the curious cat that he is.

Malam jumat adalah waktu bagi Luhan untuk menikmati hari sendirian tanpa putra tunggalnya Jongin—yang saat ini sedang menginap di rumah sahabat baiknya Kim Minseok; pria ini adalah malaikat, tentu saja istrinya juga, dan mereka setuju untuk mengadakan play-date di antara anak-anak mereka. Tapi kesunyiam di apartemennya tanpa kehadiran Jongin membuatnya seperti biola tak bertuan; tidak akan menghasilkan bunyi tanpa gesekan sang violinis.

Luhan menghela nafas panjang, mengganti saluran televisi yang tak ia hiraukan apa yang ditampilkan. Menghela nafas kembali ia menyesal menolak ajakan rekan kantornya untuk menikmati malam dengan minum-minum layaknya para bujangan muda.

Muda? Tuhan, dia adalah pria lajang berumur tiga puluh tahunan. Salahkan baby face yang ia miliki.

"Aku ingin melakukan seks," gerutunya sendiri. Luhan mengistirahatkan lengannya di atas kening, memikirkan sudah sekian tahun ia tidak berhubungan intim dengan siapa pun. Tidak ada waktu baginya untuk berkeluyuran mencari partner untuk berhubungan seks seperti saat ia masih muda dan penuh hormon. Dunia dan waktunya sekarang adalah untuk Jongin, sepenuhnya untuk anaknya. Tapi di saat seperti ini, kesepian dan rasa jenuh, ia ingin melakukan hubungan intim, entah dengan siapapun, berkomitmen atau tidak, ia hanya ingin dekapan hangat seseorang di tubuhnya yang masih haus akan hal itu.

Masturbasi sudah tidak dapat memuaskannya lagi; dengan video porno atau dengan fantasinya, itu sudah membuatnya tidak dapat ejakulasi lagi, I mean the best and satisfying orgasm ever; moaning wantonly, lower belly clenching as the warmness spreads, every caresses become brutal on his hard penis, stroke, stroke, the here comes cum-shot; sperm spent over his belly—inilah yang Luhan sebut kepuasan bermasturbasi. Bahkan saat ia menstimulasi, walaupun dengan fantasi yang warna-warni, ia tidak dapat sepenuhnya membangunkan penisnya (ini membuatnya mempertanyakan gairahnya sebagai pria dewasa, Oh come on, you little guy is like my best friend, you're me and I'm you—omel Luhan pada penisnya).

(Jika boleh berkata jujur, Luhan pertama kalinya menonton video porno setelah memiliki Jongin, sangat memuaskannya. Bermasturbasi dengan suara seminimal mungkin; memaksa menelan desahan, jantung berdebar karena adrenalin dan gairah yang mengalir di nadinya, tingginya hormon dan nafsu seperti para remaja, rasa was-was akan Jongin yang bangun tiba-tiba, itu tantangan yang memuaskan saat bermasturbasi. Ini mengingatnya saat remaja, saat masih tinggal bersama orang tuanya.)

Suara dering ponsel memecahkan pikiran Luhan. Ia bangun dengan malas mencari ponselnya yang entah di mana ia letakkan. Dengan malas ia meraih itu yang ternyata ada di saku celana trainingnya. Satu pesan masuk dari 'Meh'.

Cepat buka pintunya. Aku ada di depan sekarang. Tanganku penuh barang belanjaan.

Luhan memutar bola matanya malas, jika ia mendapat pesan dari orang ini pasti mara bahaya akan menghampirinya hari ini. Hidupnya tidak akan tenang hingga hari esok. Sebelum menuju pintu masuk Luhan mengecek jam di ponselnya, pukul 19:39. Shoot, masih ada empat setengah jam yang ia habiskan sebelum orang itu pulang dari tempat tinggalnya, atau jika orang itu tidak pulang setelah pukul tengah malam ia akan mengusirnya dengan hati lapang.

Ponselnya berbunyi lagi menandakan sebuah pesan masuk. Luhan menghiraukannya karena ia tahu pengirimnya tidak lebih 20 langkah darinya sekarang. Luhan mempercepat langkahnya menuju pintu masuk, jika ia membuat orang itu menunggu lebih dari dua pesan, hidupnya akan lebih sengsara lagi hingga hari esok.

Seorang wanita dengan gaun malam berdiri dengan elegan di hadapannya sekarang. Penampilan wanita itu sederhana namum memberi aura keanggunan wanita dewasa, makeup-nya begitu tajam memberi nilai plus pada senyuman simpulnya, walaupun kini dua tangannya penuh dengan kantong plastik yang Luhan curiga penuh dengan minuman alkohol, wanita ini dilihat dari sisi mana pun tetap terlihat cantik dan elegan.

"Dasar lamban! Aku sudah berdiri di sini sekian menit," omel wanita itu pada Luhan.

Luhan memutar bola matanya, walaupun penampilan wanita ini begitu elegan namun saat membuka mulut memang tidak sebanding dengan penampilannya.

"Apa yang kau tunggu lagi, cepat ambil kantong ini," perintah wanita itu sambil menyodorkan kantong plastik ke kedua tangan Luhan. Mempersilakan dirinya masuk, wanita itu berjalan menuju sofa dan mendudukan dirinya, seperti sudah sekian kalinya ia singgah dan hafal setiap sudut apartemen Luhan. Wanita itu menaikkan alisnya dan menatap ke arah Luhan, menginstruksi untuk cepat jalan dan membawa kantong plastik itu ke meja.

"Hanjinah, kenapa kau tidak memberi tahuku akan ke sini?" tanya Luhan setelah duduk di samping wanita itu, Kim Hanjin. Ia menunggu jawaban sembari meletakkan beberapa minuman alkohol kalengan dan dark chocolate—itu adalah favoritenya—dan empat botol whiskey—Middlenton. Wow.

Belum ada jawaban yang dia terima, Hanjin sudah berjalan menuju dapurnya, mungkin mencari es batu dan gelas whiskey.

"Kau kesepian," jawab Hanjin sambil membawa semangkuk es batu dan dua gelas whiskey. Kata-kata itu terdengar seperti pernyataan.

Luhan hanya mengangkat bahunya tak pasti. Tidak menjawab karena pernyataan itu ambigu; kesepian karena Jongin sedang tidak bersamanya atau ia masih belum memiliki pendamping hidup. Wanita itu selalu bisa melihat ke dalam dirinya. Ia kesepian? Tidak.

Hanjin menyodorkan gelas whiskey kepadanya yang sudah berisi dua balok es. Ia menerima tuangan whiskey dari Hanjin dan langsung meminumnya sekali tegakan. Menutup matanya begitu rasa panas menyeruak di tenggorokannya, sensasi rasa pahit dan alkohol dari whiskey yang sudah lama ia tidak minum. Whiskey memang paling enak diminum di waktu seperti ini.

Luhan membuka botol kedua karena ia tahu wanita di sebelahnya bisa menghabiskan sebotol whiskey bahkan lebih sendirian saja. Ia menuangkan hanya setengah dari ukuran gelasnya, meminumnya hanya sekali siupan kecil sebelum kembali bertanya, "Ada apa kau ke mari, Hanjinah?"

Wanita itu hanya bergumam dalam gelas whiskeynya, menikmati minuman alkohol itu disetiap tegakannya, "Apa aku tidak boleh menjenguk ayah dari anakku?" tanya wanita itu ringan. "Lagipula, Ahram memberi tahuku Jonginnie menginap bersamanya sekarang."

Luhan menghabiskan sisa whiskey di gelasnya sambil mengangguk iya. Ahram adalah sahabat dari Hanjin yang merupakan istri dari teman baiknya, Kim Minseok. Tentu saja Kim Hanjin tahu tentang hal ini, bagaimanapun Ahram adalah sahabat kecilnya dan Jongin adalah putranya.

.

.

Luhan dan Kim Hanjin bertemu saat ia naik jabatan di tempat bekerjanya; perusahaan elektronik. Kim Minseok sebagai teman baiknya mengadakan perayaan untuk memberinya selamat karena sebagai orang asing ia sukses di negeri orang. Ahram yang saat itu masih sebagai tunangan dari Kim Minseok mengajak sahabat kecilnya, Kim Hanjin untuk ikut merayakan bersama mereka. Luhan dan Kim Hanjin bertemu, saling bertukar sapa dan berkenalan. Namun saat pertama kali bertemu dengan wanita itu Luhan langsung tahu ia menemukan belahan jiwanya, namun tidak dalam artian romantis, ini seperti bertemu dengan teman sarkartik yang akan membuat harimu lebih berwarna, terutama kata yang terlontar setelah wanita itu memperkenalkan namanya pada Luhan.

"Kau gay," lugas wanita itu dengan senyuman simpul. lipstik berwarna burgundy sangat cocok dengan senyuman simpul wanita itu.

Luhan hanya menatap wanita itu tanpa berkedip. Ia menyadari Minseok dan Ahram hanya diam dengan mata terbelalak, mungkin kaget dengan kata yang terlontar dari Hanjin. Tentu saja wanita ini tidak diberi tahu sebelumnya oleh sejoli itu dan langsung dapat menebak hanya melihat Luhan, wanita yang tajam. Ia suka dengan tipe ini.

"Dan kau benar, Nona Kim Hanjin," jawab Luhan sebelum tertawa puas dan langsung diikuti oleh Kim Hanjin. "Aku yakin kau akan menjadi sahabat baru bagiku," girang Luhan sambil menyodorkan segelas champagne kepada Kim Hanjin yang menerima dengan senyuman, lalu menoleh ke arah Minseok yang masih menatap mereka bingung, "Tentu saja Minseok tetap menjadi nomor satu bagiku," lanjut Luhan sebelum memberi kecupan ringan di pipi Minseok, dan membuat suara 'muah'. Para wanita hanya tertawa melihat keakraban mereka berdua, tentu saja walaupun Luhan adalah gay perasaannya kepada Kim Minseok hanyalah sebatas teman, hampir seperti saudara bahkan.

Dengan itu Xi Luhan dan Kim Hanjin langsung akrab. Mengobrol panjang lebar dengan berbagai topic, seperti teman lama yang bertemu kembali. Berbagi cerita semasa mereka terpisah. Benar-benar mengabaikan pasangan di samping mereka, hingga memaksa keduanya untuk menikmati pesta dan hidangan yang sudah disiapkan.

Dua tahun terlewati hingga Jongin hadir ke dunia. Belum, Jongin belum hadir ke dunia karena ia masih berupa fetus yang berusia enam minggu, tertidur pulas di rahim ibunya. Kehadiran anak di antara Xi Luhan dan Kim Hanjin adalah murni ketidaksengajaan, kecelakaan. Salahkan pengaruh alkohol kuat yang membuat hormon mengambil alih tubuh dan otak menjadi lepas kendali. Membiarkan hormon, bibir dan genital yang bekerja, meninggalkan sperma dan induk telur menyelesaikan sisanya hingga Jongin hadir di antara mereka.

Awalnya Luhan mendengar kata-kata bahwa ia akan menjadi ayah membuatnya bingung bukan main. Pertama dia adalah gay, partner yang selalu ia ajak tentunya para pria jadi tidak mungkin ia menjadi seorang ayah karena pria tidak bisa mengandung, dan hubungan terakhirnya hampir setahun yang lalu. Kejadian dua bulan lalu kembali ke ingatannya saat Hanjin mengajaknya minum-minum hingga ia tidak dapat mengingat namanya sendiri dan terbangun di keesokan harinya dengan bau penuh seks di sekujur tubuhnya, sperma mulai mengering di perutnya, sprei kasur yang kusut dan tercium aroma sperma dan sebagainya entah apa dan ia yakin kamarnya pun penuh bau seks, dan tentu saja kehadiran seseorang di sampingnya yang sangat familiar baginya. Kesimpulannya adalah Kim Hanjin sedang mengandung anaknya.

"Damn right, you dolt," ejek Hanjin, mencubit pipi Luhan keras, mungkin kesal Luhan lenyap di dalam monolog di kepalanya.

"Aku seorang ayah?" tanya Luhan memastikan.

Kim Hanjin mengangguk pelan.

"Wow." Karena bagi kaum gay menjadi seorang ayah biologis adalah impian menjadi kenyataan. "Kau tidak akan mengaborsinya 'kan?" tanya Luhan ragu-ragu dan jitakan di kepala dua kali adalah jawabannya.

"Aku ingin memberi kesempatan pada sahabat gayku untuk menjadi seorang ayah dan memiliki keluarga," sahut Hanjin dengan senyuman yang sangat jarang diperlihatkan wanita itu.

"Tapi bagaimana denganmu?" Dan ini adalah pertanyaan terpenting, bagaimanapun juga Luhan adalah gay dan tidak mungkin ia menikah dengan Kim Hanjin walaupun wanita itu adalah sahabat baiknya karena di lubuk hatinya ia memimpikan akan menikahi seorang pria yang akan ia sebut suami, bukan istri.

"Tenang saja, Xiao Lu." Luhan sedikit tenang mendengar nama panggilan dari Hanjin, wanita itu hanya memanggilnya begitu jika Luhan sedang merasa melankolis atau ia membutuhkan kasih sayang. "Kita tidak perlu menjadi sepasang kekasih bahkan menikah hanya karena ada anak sekarang. Kita tetap menjadi sahabat seperti sedia kala," ujar wanita itu sebelum memberi kecupan pada kening Luhan. "Hanya saja status kita akan berubah; aku akan menjadi ibu bagi anakmu dan kau menjadi ayah bagi anakku." Ucapan wanita itu membuat Luhan tertawa, hatinya terasa hangat mendengar kata ayah.

Mereka berdua memutuskan—dominan dari keputusan Kim Hanjin—bahwa Hanjin akan mengandung bayi mereka dengan Luhan di sampingnya (melayani wanita itu di saat mengidam dan sebagainya di masa kehamilan hingga melahirkan), memberi Jongin (Kim Hanjin menamai bayi mereka bagitu tahu kelamin bayi itu—selamat bayi kalian seorang laki-laki!) ASI sampai usia 6 bulan atau lebih sesuai kesepakatan nanti, memberikan hak asuh Jongin sepenuhnya pada Luhan ketika bayi itu lahir dengan balasan Jongin akan mengambil nama keluarga Hanjin.

Pada tanggal 14 Januari, di musim dingin, bayi mungil bernama Kim Jongin lahir ke dunia untuk menjumpai kedua orang tuanya yang sudah menunggu selama sembilan bulan enam hari. Di hari itu, Luhan tidak pernah menangis seharu itu ketika menggendong Jongin di dekapannya untuk pertama kalinya dan berbisik di antara isakan, "Aku seorang ayah."

.

.

Luhan menjerik kesakitan merasakan gigi-gigi tajam menamcap di pundaknya dan benar saja Kim Hanjin sedang menggigitnya di daerah itu, meninggalkan lipstik burgundy mewarnai piyamanya. Ia baru ingat sekarang ia duduk di sofa apartemennya dan menikmati whiskey yang dibeli Hanjin. Hah, mengenang masa lalu, terumata masa kehadiran Jongin, selalu membuatnya hilang dalam pikirannya sendiri.

"Ouch! Jin, kenapa kau menggigitku?" protes Luhan menahan rasa sakit, wanita ini selalu menggigit semaunya. Wanita dalam pertanyaan hanya tersenyum puas, pipinya kini merona matanya mulai memerah. Alkohol sudah mengalir di sistem tubuhnya saat ini.

"Kau terlalu lama melamun," jawab Hanjin sambil tertawa pelan, ia menuangkan whiskey dari botol yang baru saja Luhan buka, botol yang pertama sudah habis dan tergeletak di lantai beralaskan karpet. Tuhan, wanita ini adalah monster jika bertemu dengan minuman alkohol.

Luhan menghela nafas sebelum menuangkan secangkir untuk dirinya. Tentu saja ia tidak akan menyiakan whiskey gratis ini untuk dihabiskan Hanjin. Ia tidak peduli dengan hangover yang akan ia dapatkan esok pagi dan untungnya Jongin menginap dua hari satu malam, ia akan memanjakan dirinya dengan minuman alkohol imprort ini.

Empat gelas sudah ia minum, sepuluh total dari botol pertama. Badannya kini terasa lebih panas dan kepalanya sedikit berat tapi ini memberi perasaan nikmat.

Luhan mengedipkan matanya dua kali memastikan bahwa gelas yang ada di tangannya kini sudah berpindah ke atas meja, dan berganti dengan tangan halus seorang wanita. Luhan menoleh ke arah samping mendapati Hanjin kini duduk begitu rapat dengan tubuhnya, ia dapat merasakan suhu tubuh wanita itu.

"Luhan," bisik Hanjin di pundak Luhan mengirim rasa geli hingga bulu di sekujur tubuhnya terbangun. Area itu adalah area yang paling sensitif baginya. "Luhan." Kini Hanjin mengigit pelan tulang lunak dari kuping Luhan.

Luhan menutup matanya. Kim Hanji sudah terpengaruh alkohol. Ia menghela nafas, walaupun toleransi kadar alkohol wanita ini tinggi namun saat ia mabuk ia akan menjadi lebih seduktif dari Kim Hanjin yang normal. Kini bibir yang berhias lipstik burgundy itu memberi kecupan terkadang gigitan lembut di leher Luhan, seperti wanita itu tidak akan memberi tanda merah semi permanen pada Luhan, hanya ingin mencicipinya sejenak. Bibir masih dengan setia mencium, mengecap, memberi jilatan bahkan gigitan kecil pada leher Luhan, tangan Hanjin yang tadi dalam genggaman Luhan berpindah menjadi area yang lebih bawah, lebih intim. Genital Luhan.

Luhan hanya terdiam merasakan tangan elegan itu mengusap perlahan pada daerah itu karena kini dirinya difokuskan dengan bibir Hanjin yang sibuk melumat bibirnya dengan penuh gairah. Ia dapat merasakan whiskey yang bercampur dark chocolate dari mulut Hanjin. Oh, mulut yang bercumbu dengannya dan tangan yang mengusap genitalnya cukup membuat Luhan lupa segalanya. Entah karena pengaruh alkohol ia begitu menikmati pelayanan dari seorang wanita atau mungkin karena ia terlalu rindu akan sentuhan lembut, Luhan benar-benar tidak tahu.

Luhan mendesah saat genitalnya bersentuhan dengan sensasi dingin dari tangan Hanjin. Oh god, ia benar-benar lupa akan sensasi ini, sensasi tangan orang lain menyentuh dan meremas pelan penisnya. Ia mencoba membayangkan yang kini menciumnya, memberinya kiss mark, memberinya hand job adalah seorang pria. Ia membayangkan tubuh di dekapannya ini adalah tubuh seorang pria yang keras dan kencang akan otot. Ia membayangkan mendengar desahan feminim kini adalah desahan maskulin yang berat. Ia membayangkan orang di depannya kini adalah pria idamannya. Mungkin dengan ini hari ini juga ia akan mendapat orgasme yang ia nanti-nanti.

Luhan dapat merasakan area navelnya mulai menghangat, otot perutnya kini mengencang, testisnya menegang dan terasa memberat seperti sesuatu memaksa untuk keluar, penisnya semakin menegang. Ia dapat merasakan sensasi yang sangat ia kenal—ia nanti-nanti—mulai muncul merasuki tubuhnya. Luhan tahu sebentar lagi waktunya. Deru nafas Luhan semakin pendek, debaran jantungnya tak karuan, desahan berat keluar dari mulutnya. Oh yeah, oh yeah, yeah.

"Oh god," desah Luhan pada orgasmic yang baru saja ia alami. Nafasnya masih pendek, keringan mulai muncul di permukaan kulitnya, kepalanya sedikit berat dan berkunang dari ejakulasi, tubuhnya terasa lebih ringan sekarang atau terbang saat argasmik tadi. Senyuman mulai muncul di bibirnya. Hah, ini yang ia rindukan dapat merasakan orgasme yang memuaskan saat ejakulasi. Hanya saja ada yang kurang, ia ingin anal sex, ia ingin terasa penuh oleh genital pasangannya, tidak hanya hand job. His butt has needs too.

Luhan teriak dengan suara yang masih parau, tenggorokannya masih terasa kering karena desahan dan bernafas melalui kerongkongannya. Ia menatap tajam pada Hanjin yang kini duduk di antara pahanya, mencoba mendekatkan bibirnya pada genital Luhan yang masih berlumuran semen. "Jin, kau tahu aku sangat membenci fellatio," ujar Luhan tajam, menunjukkan keseriusannya pada wanita yang mabuk itu.

Wanita itu hanya berdecak kesal sebelum bangun dan berjalan mengambil kotak tissue di samping sofa. "Still the classic guy you are," gerutu wanita itu yang tentunya sengaja dikeraskan agar Luhan mendengar.

Luhan memutar bola matanya lelah namun menerima kotak tissue yang diberikan padanya. "Aku hanya tidak suka mengatakan blow job, fellatio itu kata yang bagus untuk didengar," sahut Luhan sambil membersihkan sisa semen di genital dan ew pajamanya juga. Ia harus mengganti baju lagi atau mungkin mandi lagi.

"Tapi tetap saja kau tidak suka diberi fellatio," balas wanita itu menekankan kata terakhir dengan meniru aksen Luhan.

"Tapi terima kasih sudah memberiku hand job. Sudah lama aku tidak merasakan orgasme seperti ini."

"Itu karena kau tidak memiliki kekasih untuk memuaskanmu," celetuk wanita itu setelah memposisikan dirinya di samping Luhan. "Kau sudah lama melajang Luhan. Ini saatnya untuk menjalin hubungan serius dengan seseorang."

Luhan membuang wajahnya, menolak untuk menatap mata wanita itu. Mata itu penuh rasa iba, dan hal itu yang tidak ia butuhkan sekarang.

"Tapi aku masih memilikimu untuk menemaniku di saat aku putus asa sepert ini 'kan?" kata Luhan bercanda. Ia menunggu jitakan yang biasa ia terima dari sahabatnya ini namun tidak ada satupun yang ia rasakan bahkan kalimat-kalimat sarkasme tidak ada yang terlontar.

"Aku serius, Luhan." Luhan tidak tuli, ia dengan jelas dapat mendengar keseriusan dari suara Hanjin.

"Aku tidak dapat memastikannya karena kau sedang mabuk berat saat ini, Jin," tangkis Luhan kembali.

"Lebih baik sekarang kau pikiran Jongin. Anak itu tidak hanya membutuhkan seorang ayah, ia membutuhkan orang lain untuk mendampinginya dan dirimu juga."

"Ada kau—"

"Kenapa kau masih keras kepala bergeming, Luhan? Kau sudah tidak muda lagi, kau harus lebih serius lagi. Serius di sini dalam artian kau harus mencoba mencari pasangan hidup yang akan kau sebut suami. Bukankah itu impianmu? Menyebut seseorang sebagai suamimu?"

Luhan terdiam sejenak mencerna kata-kata Hanjin. Memang sudah sekian lama ia tidak memiliki kekasih. Hubungan serius yang pernah ia miliki hanya sekali saat ia masih di Tiongkok namun itu kandas saat ia memutuskan kuliah di Korea Selatan. Sejak pindah ke Korea Luhan lebih memilih mencari pasangan hanya untuk hubungan intim sesaat saja tanpa ada ikatan apapun. Hingga Jongin hadir, dia tidak sempat mencari pasangan intim bahkan untuk mencari seseorang untuk ia ajak hidup bersama dalam ikatan legal ia tak pernah memikirkannya. Dan tentunya itu membuat kehidupan seksualitasnya semakin frustasi dan putus asa. Tidak puas hanya dengan tangannya sendiri.

"Ada apa kau berbicara seberat ini, Jin?" tanya Luhan memecahkan keheningan.

"Karena tiga bulan lagi aku akan menikah," sahut wanita itu santai. "Kekasihku melamar lima hari yang lalu."

"Dan kau masih memberiku hand job dengan statusmu sebagai tunangan pria lain?" tanya Luhan heran dan gigitan di pundaknya menjadi jawabannya.

"Kau mendengar temanmu akan segera menikah malah menanyakan hal bodoh?"

"Karena kau baru saja selingkuh denganku dengan memberiku hand job!" kata Luhan tak mau kalah. "Selamat atas pertunanganmu, Jin," Lanjut Luhan tulus.

"Anggap saja itu sebagai hadiahku akan pertunanganku dan terima Kaih, Luhan."

Dengan itu mereka berdua tertawa geli.

"Jadi, minuman-minuman ini adalah perayaan atas pertunanganmu?" tanya Luhan.

Hanjin hanya mengangguk. "Tapi, Luhan, tolong kau pikirkan kata-kataku tadi."

"Aku belum tahu pastinya kapan, Jin."

Helaan nafas terdengar, jika Hanjin menghela nafas itu adalah jawaban akhir untuk Luhan; ia harus menuruti ucapan Hanjin. "Itu karena kau belum mencari siapapun untuk menjadi kekasihmu," sahut Hanjin pada dasarnya dan memang Luhan sama sekali belum pernah mencari pria, melirik saja tidak pernah lagi. "Apa kau sekarang sedang dekat dengan seseorang?" tanya Hanjin tiba-tiba.

Luhan menggeleng kepalanya tidak. Beberapa waktu belakangan ini ia hanya bepergian dengan rekan satu departemennya, keluarga Minseok, dan tentunya Jongin. Tidak ada waktu untuk mencari romansa.

"Apa kau ingin aku jodohkan di kencan buta?"

Luhan menggeleng kepalanya tidak. Sudah sekian kali para sahabatnya menjodohkannya di kencan buta. Memang jarang karena Korea masih taboo dengan homoseksual tapi memang tidak sepi peminat yang mencalonkan sebagai kencan buta untuk Luhan. Semuanya ia tolak di kencan kedua karena ia tidak ingin memberi harapan palsu pada mereka.

Tapi setelah memikirkan kata-kata Hanjin, perasaan rindu akan pendamping kini kembali hidup. Ia tidak akan menyangkal jika ia rindu pada dirinya saat masih di Tiongkok, dirinya masih dimandikan rasa cinta dari kekasihnya, yang ia tak tahu akan ia temukan di Korea Juga. Namun ia ingin mencoba jika diberi kesempatan.

"Aku ingin mencari suamiku sendiri," jawab Luhan pasti.

Telapak tangan lembut memegang kepala Luhan membuatnya menatap pada Hanjin yang kini tersenyum padanya. "Aku ingin kau mengucapkannya sekali lagi," perintah Hanjin lembut.

"Aku ingin mencari suamiku sendiri," ujar Luhan sekali lagi dan lebih percaya diri. Ia mendapat kecupan di bibirnya sebagai penghargaan.

"That's the spirit, Xiao Lu."

.

Aku akan mencari suamiku sendiri, namun tidak sekarang.

.


.

So, I made Luhan had sex with a woman and I regret nothing.

Chanlu happens soon. this fic wont be so long.

gbu folks.

Update 8/4/15: Hopefully, fix all typos. This time I did manage to read tata bahasa, KBBI, mofologi bahasa Indonesia, dan sintaksis.