The Journal : Relysion

.

.

Disclaimer : All rights goes to Yamaha© and other company that made Vocaloid.

.

.

Summary : Vandalisme manusia membuat alam tersakiti. Mereka merana, namun tetap tidak ada yang sadar akan luka mereka. Sebagai pelindung hutan, hingga setelah wafatpun, Ruka ingin membimbing keturunannya; mengenal lebih dalam alam yang tengah melara.

.

.

Warning(s) : Percayalah; cerita ini shounen-ai GakuKai, ada typos, dan kelihatannya alur cerita terlalu cepat dan dipaksakan (?)

.

.


Senin, 13 Mei tahun x653

Oh, teman kecil, kau tidak tahu apa yang kualami tadi malam.

Aku kira tempat aku beristirahat kemarin aman, tapi malah aku tidak sadar ada macam tutul mengawasiku dari balik semak belukar hutan!

Entah apa alasannya namun rasa gelisah sempat mempengaruh alam tidurku. Aku terbeku selama 40 menit setelah memejamkan mata. Mau tidak mau, aku bangkit dan menyalakan senterku.

Wajah kami bertemu.

Seekor macan tutul dewasa tengah menunjukkan barisan gigi serta taring tajamnya; tersorot cahaya remang senter. Mata hijaunya menyala, kuamati langkahnya maju mendekat. Dia mulai menggeram dibalik bayangan; berusaha menunjukkan siapa penguasa absolut wilayah itu. Liurnya menetes dari sela gigi; karnivora apa 'sih yang tidak tergiur melihat seongok daging lemas serba biru di tengah hutan pada malam hari?

Berpikir tenangpun tidak bisa! Jika aku mengemas barang-barang, aku bakal diterkam. Tetapi jika tidak kubawa, bagaimana bisa aku bertahan hidup? Ya kali ada orang lain hidup disini.

Walhasil, berkat jarak diantara kami waktu itu hanya tersisa 10 meter, aku langsung berlari.

. . . . .

Hal yang terlintas di benak adalah jangan melihat kebelakang. Lagipula, buat apa berpaling jika tahu musuh akan mendekat?

Tapi, yah, aku 'kan bukan anak cerdas.

Aku sempat menoleh— Yap, taring itu terlihat begitu bersih walau sepercik darah masih menodai tepi bibir Tuan Jaguar.

'Ah, aku pikir apa, 'sih—'

Detik selanjutnya— Ah! Mengingatnya kembali sungguh ingin membuatku membantingkan kepala ke pohon!

Bisa-bisanya saat itu aku tidak melihat lubang raksasa di depan!

"AAAAAAA!"

Aku berbalik menghadap purnama, lengan kananku seolah berusaha meraih bintang, waktu bergulir begitu lama; guna menunggu punggung beradu dengan tanah.

Hei, tapi kalau aku mati, bagaimana aku masih bisa menulis?

Iya, teman kecil. Aku tidak mati. Aku terjatuh tepat diatas puluhan sulur pohon yang tumbuh merambat di dinding lubang.

Tapi setelah bertemu orang itu, kematian nampak lebih menyenangkan.

. . . . .

Ditengah melirih doa, kudengar sebuah tapak kaki dari bawah.

Begitu berat, begitu tegas. Namun dentumannya begitu familiar,

Alas sepatu bot pekerja?

Mendadak, sulur-sulur menjauh satu sama lain! Gravitasi langsung menarikku, tapi beruntung beberapa masih menahan—

Kukutuki kalimat itu.

Karena selanjutnya, sulur-sulur tersebut mulai melilit tubuhku! Bahu kiri, lengan kanan, pinggang, betis kiri, hingga... hingga...

Ah, maaf teman kecil. Aku tidak berani menulisnya. Sungguh, mungkin lain kali aku akan lebih jantan menulis selangkanga—

Sial.

Baik, kembali ke topik utama.

"Khuu—Aaaarrrhh, aaahhh!" Aku sempat berusaha menarik pisau kecil dari sepatu, tapi tidak bisa. Mereka menahan gerakanku terlalu kencang! Kupikir tulangku bisa remuk saat itu. Nafasku tercekat saat sebuah sulur lagi mulai mengelilingi leher. Aku khawatir akan dicekik.

"... Wah, wah, wah. Ada kelinci terjatuh ke gua harimau rupanya. Berani sekali kau masuk ke rumah Penjaga Hutan." Badannya tegap dan maskulin; lekukan otot terlihat dari balutan kemeja hitam panjangnya. Seringainya mengejek, manik amethystnya menatap remeh. Suara baritonnya menggema lantang; oh, dia laki-laki tulen.

Setelah kupikir-pikir, dia lumayan tampan.

Sampai ia mengelus pipi kananku dengan sebuah bilah kecil. Pujianku buyar menjadi raut kesal.

Dan juga, dia mengendus tepat di depan batang hidungku.

"Kau anak kota, ya? Tapi... sungguh lucu, irismu menunjukkan kekuatan seganas badai; ada potensi dan ambisi dibalik sosok kurusmu."

Aku tertawa geli; hebat sekali orang ini untuk menyembunyikan perasaannya, entah dia bermaksud memuji atau menghina di balik lontarannya. "Jangan seenaknya menyamakanku dengan boneka perakit besi macam mereka."

Dirinya menyeringai, "Hei, sulur. Lepaskan anak ini. Kau, lihat gua di belakangku? Berjanjilah untuk tidak mengeluh atau marah; saat nanti masuk, berjalanlah searah hingga tujuan, ya?"


Tips Bertahan Hidup nomor 1 : Ikuti saja arahan pria yang terlihat lebih cakap di tempat asing kau pijakki.

Aku berjalan dari belakang mengikuti pria di depan. Batuan granit meneteskan bulir air dari langit gua. Lembap dan panas, namun paduan warna cokelat dan merah dalam sini begitu indah. Pendapatku, lebarnya sekitar 2-3 meter. "Umm, kita sebenarnya ke mana, ya?"

Tidak ada respon.

"Sombong sekali," cibirku. Sepanjang jalan kami tidak bicara. 10 meter, 20 meter; apa pria ini hanya bisa mengejek, hah? "Hei, pak—"

"Diam, bodoh. Kita nyaris tiba."

Sebuah cahaya biru bersinar dari sisi lain terowongan gua. Berapa kalipun ku pejamkan mata, sorotnya masih terlihat dibalik kelopak. Kami mendekat, lalu...

"T-tempat apa ini...? Luar biasa!" Aku menggadah, "Kita pasti sekitar 30 meter dari atas."

Sebuah kolam besar, iya, beneran. Bebatuan cokelat mengelilingi sebagai dinding kolam; berupaya melindungi keindahan air. Sebuah daun gugur, mendarat di genangan dengan elok. Walau pepohonan nampak lebat di atas sana, mereka seakan masih ingin membiarkan pesona rembulan untuk terpantul indah di air; begitu bening dan jernih bagai cermin tanpa noda.

Aku berjalan, sembari menatap purnama bersinar tepat di atas kolam. Sinarnya menghujani air biru dengan terang. Dan lagi, bisa-bisanya pasir serta tanah barusan terganti oleh kerikil dan bebatuan? Masihkah ada keajaiban di hutan ini?

"Sebagai penjaga hutan," aku langsung berpaling ke pria tadi, "Aku jadi segan memakan hewan di tempat ini, haha. Kukasih buah saja, tidak apa-apa?"

Aku berjalan mendekatinya, "Ah, b-boleh. Tapi... tidak kusangka Relysion masih menyimpan banyak misteri yang rupawan. Terima kasih, err...?"

"Gakupo, 26 tahun." Jadi nama pria terlaknat ini Gakupo? Kupanggil 'Kupo' atau 'Gakkun' mau tidak ya?

"O-oh, b-baik," ujarku, sambil menyambut buah merah yang kalau tidak salah... apel, dari tangannya. "Terima kasih, P-pak Gakupo."

"Apa aku terlihat setua itu di matamu?"

"K-kalau begitu, aku harus memanggilmu apa...?"


Perlu kuberitahu ada sebuah saung kecil dari kayu kokoh; mungkin sekitar 2x2 meter di tepi kolam. Kudapati ada sebuah selimut cokelat serta bantal tersimpan di pojok belakang. 'Dia tinggal disini, ya?' Dia lalu menawariku duduk, kemudian kami mulai berbincang.

Dikarenakan aku sudah sempat makan, aku hanya termenung menatap apel di tanganku. Manusia rela mencuri madu sebab tahu nikmatnya madu. Aku? Bagaimana aku bisa memakan buah ini sementara lidahku belum pernah mencicipinya? Ah, 'kan, aku paranoid sendiri!

'Ini beracun? Ingatlah, Kaito. Putri Salju terkena koma ( atau tidur. Atau nyaris mati— ) karena menggigit sebuah apel. Apa ini replika lilin? Dia ingin menipuku— Ah, aku 'kan cuma anak bau kencur lemah yang memutuskan berkelana. Dia duga aku orang jahat, 'kah—'

"Hei, kau lebih baik makan itu daripada membusuk sampai dimakan ulat atau belatung," Dia tepat disisi kiri!

KRAUK

Giginya mendarat di apelku!

Ah, iya! "T-tuan, aku Kaito; Shion Kaito. Maaf jika aku belum memberitahumu tadi." Sungguh memalukan. Bisa-bisanya aku lupa memperkenalkan diri.

"Jika berkenan, boleh aku tanya umurmu?"

Aku menatapnya heran, "Masih 23 tahun. Kenapa?"

Iris violet tuan Gakupo membulat sempurna. Dagunya ia usap; mata memicing. Apa ada yang salah dengan ucapanku? "Katakan, apa kau mendengar semacam suara dalam dirimu; seakan berbisik untuk mendatangi tempat ini?"

B-bagaimana dia— "I-iya. Entah siapa. Tapi suaranya merdu sekali."

"Ah! Apa kamu ahli botani? Peneliti hutan? Pasti dekat dengan alam sehingga Ruka memanggilmu."

R-ruka...? "Err, sejak aku masih kecil, aku cenderung lebih suka bermain di luar rumah; hampir pada setiap liburan sekolah, aku meminta kedua orang tuaku untuk sekedar piknik di pegunungan batu Regian. Aku suka sekali melakukan dan menikmati kegiatan outdoor! Sensasi semilir angin laut menerpa tubuh; aku suka itu!"

"... Pantas saja. Dan lagi, Ruka merupakan pelindung hutan ini; dia penjaga paling pertama." Pria disampingku berpaling ke kolam, tatapannya sendu; seolah berupaya melupakan kenangan buruk dalam benak, "Hampir 2 tahun yang lalu, aku terlantar setelah kapal pribadiku terombang-ambing di tengah badai ke tempat ini. Teman-temanku, Yohio dan IA, tewas seketika; hanya aku yang masih hidup. Sesaat aku bangun, aku sayup-sayup mendengar suara. Aku dituntun ke tempat indah ini. Disinilah; tepatnya di kristal hijau raksasa di tengah kolam itu, aku mulai mengenal Ruka,

"Kau pasti super duper sayang lingkungan hingga Ruka memujimu."

"H-hah? Lalu kenapa kau tidak kembali ke—"

"Lihat, cahaya bulan menyinari tepat di atas kristal! Ini kesempatanmu bicara dengannya secara langsung!" Dia menarik lengan kiriku; langkahnya terlalu cepat untuk kuikuti! Aku nyaris jatuh 'loh, teman kecil. "Bersiaplah," ucapnya senang.


Kristal kolam tiba-tiba mengeluarkan pesona emerald bercahaya. Sosok bayangan tipis tampak ingin berdiri; seorang wanita bersurai merah muda panjang bergaun hijau berlengan pendek menorehkan senyum ke kami. Tiada alas melapisi telapak kakinya, namun pakaiannya menutupi hingga pergelangan kaki. Sabuk bunga daisy bermacam warna menghias pinggang beliau, serta mahkota lili putih mempercantik kebesaran keindahannya.

Gestur tubuhnya juga sebuah keanggunan, jemari kiri berusaha membentuk lambaian, "Selamat datang, wahai cucuku yang manis."

...

...

... APA?

"C-cucu...? A-aku... hah—"

Wanita itu menghela nafas, "Gakupo, kau belum bilang apa-apa tentangku, ya? Jahatnya..." Dirinya cemberut.

"Kurasa akan lebih baik dia tanya langsung dengan Anda, Ruka-sama. Kalau dia tanya hal aneh mengenai Anda, mana mungkin kujawab, 'kan—"

"Tunggu, tunggu, tunggu. M-maaf jika tidak sopan, tapi siapa Anda? Bisakah Anda jelaskan perlahan, Ruka?" Kugaruk pipiku. Setelah lari dari kejaran maut, aku dihadapi dengan roh yang mengaku sebagai leluhurku?

Ruka terbang mendekati kami, "Anakku, Ruki, memutuskan kabur dengan rakit kayu dari hutan ini; mengarungi laut guna kembali ke Regian. Tentu aku terluka mengetahui pengkhianatan itu. Tetapi setidaknya, jika anakku nanti bisa memberiku seorang cucu, aku sadar dan yakin penerusku pasti lahir. Aku menunggu tujuh keturunan lamanya, mengawasi selama 600 tahun; berdoa selagi melirih, aku berkeinginan untuk mewariskan gelar Penjaga Relysion ke orang yang tepat. Sampai akhirnya kau muncul, keturunan kedelapanku, Shion Kaito..."

Aku terdiam. Badanku kaku, mulutku seakan kering. Kebetulan—Tidak, takdir 'kah? Aku kira eksistensiku malah menyusahkan khalayak ramai, berbeda sehingga dijauhi, soliter dikira anti sosial, namun untuk inikah aku hidup? Apa ini panggilan jiwaku yang sebenarnya? "B-berarti... kau nenekku? Nenek Ruk—"

Hembusan angin mendadak menerpa wajahku dengan kencang, "Jangan panggil aku nenek. Paras cantik nan muda seperti ini kau panggil 'nenek'?" Ternyata dibalik mawar masih ada duri rupanya. Emosinya labil banget; bersikap manis di awal, ketus di akhir. Toh, aku mengatakan fakta, 'kan?

. . . . .

"Ga-ku-po~ Aku ingin kau mengajarkan Kaito segala hal yang telah kuberitahu tentang seluk beluk hutan ini, ya?" Lirik safir nenek ( andai beliau membaca jurnal ini, tanpa ragu, kemungkinan aku bakal digantung di sulur lubang sebelumnya ) berputar ke diriku, "Kaito, kau dengar dan pahami arahan Kamui-san, ok— Purnama akan turun, waktuku hampir habis. Kalian istirahatlah, terutama kau, cucuku."

Setelah aku membungkuk, siluet hijau nenek menghilang.


Sebelum tidur, kami sempat pergi mengambil barangku di hutan. Sekitar 40 menit kemudian, kami kembali ke kolam— Ah, ternyata namanya Eruina. "Keren sekali. Kau menamainya sendiri, tuan?"

"Hanya nama itu yang terlintas," Gakupo duduk di saung. "Jelek, ya?"

"Tentu tidak. Kalau aku mungkin menamainya Kaion; gabungan dari namaku, haha." Ah, lihat. Dia akhirnya tersenyum, baik bibir dan maniknya berseri. Meski celana jeansnya kotor dari lumpur, dia tidak menggantinya. Dia tidak punya cadangan 'kah?

"Aku tahu pandangan itu. Tenang, aku masih ada 2 celana lainnya. Kalaupun kau menawarkan milikmu, aku takut malah robek." Kali ini giliranku yang tertawa.

. . . . .

"Oh ya, Kaito. Sekitar 2 tahun yang lalu, kau ingat pengumuman dari Firoid Leon, pemimpin 3 distrik Regian?"

"Iya, aku melihatnya di TV," keluhku. "Tempat ini, ingin dijadikan pusat industri baru."

Lawan bicaraku mendecih, "Rakus sekali orang itu, seberapa banyak lahan yang ingin dia rusak? Oksigen ditawarkan cuma-cuma oleh pohon, tetapi ditebang secara liar nan destruktif."

"Bagaimana caranya merubah pandangan mereka, ya?" Aku menghempaskan tubuh ke saung, kedua tangan kutindih di bawah kepala. "Aku khawatir, tindakan orang-orang macam dia semakin brutal nanti."

"Entahlah," Gakupo mulai melepas sepatu botnya. Dirinya lalu merambat ke sisi kiriku, sembari menawarkan bantal, "Dangkal banget jika mereka berpikir kemajuan teknologi merupakan segalanya di dunia." Dia menatapku dari samping, sebuah lengan tiba-tiba terlentang di dadaku.

"Kaito?"

"Hmm?" Aku balas menoleh, ingin mengatakan, 'Kamu mau apa dengan badanku?'

"Aku belum... pernah merasakan kehangatan orang lain sejak lama. Jadi,

"Bolehkah aku tidur memelukmu hingga pagi? Aku janji kuberi apa yang kau mau besok."

Aku ragu. Aku hendak mendorongnya ke kolam, tapi yah, orang ini telah menolongku. Setidaknya tindakanku ini bisa menenangkannya.

Aku mengangguk pelan, "Asal jangan remas tulangku; awas saja kalau kau lakukan, kuremuk kepalamu nanti."

Ekor mataku menangkap badan Gakupo mendekat; saking dekatnya, sikuku hampir saja menabrak dagunya, haha.


Pagi datang begitu cepat. Aku sibuk mengusap mata ketika pipit bernyanyi di salah satu pohon. Gakupo nampaknya sudah pergi mencari buah untuk sarapan, barangkali kembali beberapa saat sehabis ini. Itu saja, teman kecil. Akan aku lanjutkan nanti malam atau besok pagi, ya. Aku tidak sabar untuk menikmati udara sejuk serta mentari emas di atas!


The Journal : Relysion –Chapter 2; 12 journal pages end—


A/N : Wah nggak nyangka bakalan ada yang baca sampai sini /lha. Hai semua! Perkenalkan, saya Draga07. Dulu sebenarnya saya sudah sering mengetik FFn GakuKai, loh /oi. Setelah vakum 3 tahun mengetik, saya merasa kamus kosakata saya kembali terbatas; berasa newbie lagi, haha.

Jika Anda baru saja 'menaiki' kapal GakuKai, selamat datang! /eh. Tapi yah, kenapa disaat saya mager bikin cerita, penggemar GakuKai menurun juga, ya? 'Kan kesannya saya kurang berkontribusi pada OTP— /dibuang.

Ah iya, saran dan kritik akan saya terima dengan lapang dada! Saya sadar kemampuan saya menurun dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Tapi tolong jangan bully saya; saya rapuh /plak. Curahkan opini Anda, marilah pula kita mengibarkan bendera GakuKai setinggi langit! /nak.

Akhir kata untuk chapter ini, mohon tunggu kelanjutan ceritanya, ya! See you all later!