Sebelumnya, author ingin minta maaf karena update yang lama sekali karena kendala yang menyulitkan, serta fanfict lainnya yang ngantri. Sampai-sampai author melupakan FF pair tercinta ini..Gomennasai.. :( Tapi..

Yosh! semoga chapter Ending ini memuaskan :D

Shingeki No Kyojin 進撃の巨© Hajime Isayama

Ashen Love (Chapter 8 FINALE)

Enjoy :D

.

.

.

.

-Mikasa POV-

Pulang? Pulang adalah pergi ke rumah atau kembali ke tempat asal. Baiklah, abaikan yang tadi. Apapun itu, hari ini aku harus bersiap-siap sekali untuk kembali menyambut bunga sakura di negeriku dan kembali berinteraksi dengan bahasa yang telah menjadi darah dagingku.

Tepat pukul 8 pagi, aku sudah berpakaian rapi dan bergegas untuk check out dari hotel.

"Tidak mau mengabadikan moment dulu nih di kamar ini? untuk yang terakhir kalinya." cetus Armin yang langsung mengeluarkan kameranya dan disusul oleh gaya siap berfoto Eren.

"Oh yang benar saja." aku memasang gaya paling simpel, peace sign di jari dan sunggingan kecil pada ujung bibirku yang berniat tersenyum tapi justru terlihat seperti menyeringai.

Setelah berfoto-foto di kamar, aku langsung membuka pintu kamar sambil menyeret tas ku yang beratnya tidak perlu ditanyakan, tapi rasa berat itu terasa ringan sekali saat melihat sosok yang tidak terlalu tinggi itu berdiri menyilangkan tangannya dan menatapku, Levi.

"Bukannya seharusnya kau standby di kantormu dan menanti pemimpin DSC?" sahutku yang tidak sama sekali terpukau dengan kehadirannya yang ingin berkesan romantis itu.

"Aku ingin mengantarmu ke bandara."

"Kami akan memesan taksi."

"Kau yakin?"

"Ya.."

Terkadang Levi yang baik hati dan perhatian itu justru lebih menyebalkan daripada Levi yang kasar dan membuat emosi, tapi yasudahlah.

Aku langsung menuju ke lantai bawah untuk memanjakan perutku yang lapar ini.

"Good morning!" teriak seseorang yang menyambut kehadiran kami di lantai bawah.

"Hanji.." bahkan tanpa Levi melihat wajahnya, Levi sudah tau kalau itu adalah teman gilanya.

"Levi, Erwin sudah menyiapkan mobilnya untuk mengantar Mikasa dan kedua teman imutnya ini ke bandara." seru Hanji ricuh sambil menyubit pipi Eren dan Armin.

Levi menatapku dan menyeringai penuh kepuasan.

"Baiklah." bisikku pada Levi, lagi-lagi ia memasang wajah seringai seperti penjahat.

"Sarapan di bandara saja ya." bisiknya lagi.

Kenapa tiba-tiba ia jadi menyebalkan seperti ini?

Belum lama kami berdrama, mobil BMW Erwin-san sudah parkir tepat di depan hotel. Ia menghampiri kami dan membawa tasku dan tas Eren Armin ke bagasi mobilnya itu, bahkan ia langsung membukakan pintu belakang mobil untuk kami segera masuk.

"Sugoiii.." seru Armin dan Eren setelah memasuki mobil BMW yang selalu wangi baru dan bersih itu.

"Kalian berdua duduk di depan." omel Levi dan menarik mereka berdua keluar dari bangku belakang.

"Seperti ini?" ucap Eren yang terlihat bingung dengan posisi duduknya itu.

Ya.. karena mereka berdua duduk di depan, Eren terpaksa harus memangku Armin seperti anak kecil. Terlihat bodoh sih, hehe.. tapi tidak masalah kalau mereka yang melakukannya. Levi pun duduk disebelahku dengan wajah penuh kemenangan itu.

"Kau baru saja membully kedua temanku, pendek!" omelku, tapi Levi menjulurkan lidahnya tanda tidak peduli. Huh! ingin sekali aku mengacak-acak rambutnya itu.

Beberapa detik setelah Levi menutup pintu mobil, Erwin-san langsung menginjak kuat gas sehingga kami hampir saja terlempar ke belakang, untung saja pinggang Armin ditahan dengan tangan Eren, jadi tidak ada korban luka-luka di mobil ini. Kecepatan mobil BMW Erwin-san ini bisa ku akui tidak dapat ditandingi dengan mobil lainnya, tapi teoriku ini salah total saat ku lihat Hanji mengendarai sepeda motor BMW dengan kecepatan penuh yang hampir menyamai mobil BMW Erwin-san, Astaga.. nama BMW ternyata sudah muncul dimana-mana, kenapa tidak sekalian saja ada mini bus BMW.

"Sugoiiiiii..." ku dengar teriakan kuat Hanji sambil mengangkat salah satu tangannya dan memberi peace sign kepada kami. Dari caranya mengendarai sepeda motor itu, Hanji sudah terlihat pro, walaupun sebenarnya ini kali pertamanya ia mengendarai motor mahal, mungkin otak gilanya yang mendukung keahlian mengendarai motornya itu.

" Hiraukan saja si mata empat itu." bisik Levi dan memberi wajah sangar kepada Hanji.

"H-Hai.."

Erwin-san semakin cepat melaju mobilnya yang disusul juga dengan kecepatan tambahan dari motor Hanji seolah keduanya sepakat akan berlomba. Walau hanya dalam hitungan puluhan menit, kami bisa saja sampai ke bandara, tapi keduanya tetap keras kepala dan terus melanjutkan perlombaan ini.

Bahkan bisa ku rasakan mobil mulai berguncang-guncang saat Erwin-san semakin memacu kecepatan mobilnya dan mulai mengendarai seperti film The Fast and The Furious karena tidak mau kalah dengan Hanji. Tidak terasa, perlombaan ini hampir berakhir, hanya perlu menanti pemenangnya saja, karena kami semakin dekat dengan bandara.

"Akan ku kalahkan kau, Hanji Zoe." gerutu kecil Erwin-san yang terdengar jelas itu. Baru Erwin-san ingin menambah kecepatan mobilnya lagi, pundaknya ditepuk oleh Levi.

"Aksimu ini bisa saja mencelakai malaikat pujaan hatiku, alis tebal."

Malaikat pujaan hati? Levi semakin berlebihan ternyata. Tapi hebatnya, ia berhasil membuat Erwin-san menghentikan aksinya dan melaju pelan, walau ia harus menghadapi kenyataan kalau Hanji sudah sampai duluan di bandara itu.

"Yahoooo.."

Saat kami sudah sampai di bandara, Hanji berteriak dan memasang wajah penuh seringai jahat itu pada Erwin-san, walau Erwin-san tetap memasang raut wajah bijaknya itu.

"Erwin, Hanji. Tunggu disini ya, aku hanya akan mengantar Mikasa." kata Levi.

Sebenarnya sedih juga kalau aku hanya mendengar kata 'mengantar' itu dari mulut Levi, seolah ia benar-benar tidak ingin lama-lama denganku.

"Sekarang pukul 9.20, tidak buru-buru kan? check in pukul berapa?" tanya Levi.

"Pukul 10 tepat, lalu berangkat pukul 11.10."

"Souka.. ternyata waktu ingin kita cepat berpisah ya."

Mungkin itu benar, waktu seolah ingin memisahkan kami dengan sangat cepat. Bisa ku lihat wajah Levi yang terlihat kesal tapi tidak bisa lari dari kenyataan. Kasihan dia.

"Jadi tidak makannya?" cetus Armin.

"Kalau begitu kita sarapan di cafe dekat sana saja ya." balas Levi.

Tanpa berpikir panjang, kami langsung menghampiri cafe yang pernah aku dan kedua kawanku singgah sebelumnya.

Aku sarapan selahap-lahapnya pagi ini, karena aku yakin kalau di pesawat mood makanku sudah hilang. Melihat wajah Armin dan Eren yang sedang lahap memakan sarapannya itu membuatku terbayang akan rumah, ya.. rumah kami di Jepang, hanya bertiga saja kami menghabiskan waktu di tempat kami tinggal, tapi disisi lain aku juga tidak ingin cepat-cepat pulang, walau waktu yang menuntut kami.

"Sebentar lagi kau harus sudah check in, tidak ingin memberikan kalimat terakhir?" sahut Levi.

"Ehmm.. entahlah."

"Hmm.."

Rasanya hanya ngilu di hatiku saat melihat sinar mata Levi yang menunjukkan ekspresi kecewanya, aku hanya tidak tau harus berkata apa, terlalu menyakitkan untuk menyampaikan beberapa patah kata tanda perpisahan kepadanya.

Tidak terasa, waktu semakin kejam, hanya 5 menit yang disisakannya untuk melihat suasana Swiss dan wajah Levi untuk yang terakhir kalinya. Aku mengambil tasku dan mulai mengajak Eren dan Armin untuk bergegas check in.

Senang? ya.. aku senang akhirnya aku bisa pulang. Sedih? terdengar dramatis, tapi begitulah yang ku rasakan.

Aku perlahan mulai memasuki tempat untuk check in, dan bisa ku rasakan sepasang mata melihat ke arahku mengharapkan aku melihatnya juga, tapi yang ku lakukan hanyalah melanjutkan jalanku.

"Kau yakin?" cetus Armin.

"Kau tidak mungkin tidak mengucapkan selamat tinggal kan?" tambah Eren juga.

Aku menatap wajah kedua sahabatku ini, mereka menggangguk dan memberiku setidaknya beberapa menit untuk berbicara dengan si empunya sepasang mata yang sedaritadi menatapku terus. Ku putar arahku 180 derajat, dan menghampiri Levi yang semula memasang raut wajah datar.

"Aku ingin mengatakan sesuatu."

"Apa?"

"A-Ano.. ehh.."

"Aku tau kau ingin mengucapkan selamat tinggal kan?"

"Aku mencintaimu."

Hanya 2 patah kata itu saja yang paling mencolok di hatiku. Setelah ku ucapkan kedua patah kata itu, Levi memelukku erat, bisa ku rasakan kehangatan tubuhnya itu.

"Aku berjanji akan menghampirimu."

Tidak ku respon perkataannya itu dan melepas pelukannya, aku berjalan kembali menghampiri Eren dan Armin tanpa lupa memberikan senyuman kecil kepada Levi. Sayonara!

Sedikit demi sedikit, hanya suara langkahku yang paling terdengar saat ini, seolah semakin menjauh dari tempat Levi berdiri. Yada! aku harus berpikir positif, aku harus yakin kalau ia akan menepati janjinya dan akan menghampiriku walau entah kapan.

Setelah check in dan mengurus barang-barang kami untuk siap diberikan kepada petugas dan dimasukkan ke bagasi pesawat, aku merasa sudah jauh lebih siap untuk berpisah dengan Levi, Bohong!.

Dan hal terberat yang akan ku hadapi sebentar lagi adalah melihat pesawatku meninggalkan Swiss dan tentunya meninggalkan semua moment indah disana, hanya kenangan yang bisa ku bawa pulang.

Sayonara Swiss! Sayonara Levi!

-Levi POV-

Aku bahkan tidak sempat melambaikan tanganku kepadanya untuk yang terakhir kalinya, aku hanya dapat melihatnya dari belakang yang lama-lama tidak terlihat lagi. Mungkin ini adalah perpisahan menyakitkan, tapi aku tidak akan pernah melupakannya dan kenanganku bersamanya selama di Swiss, aku berjanji akan menyusulnya secepatnya, aku benar-benar berjanji!

"Levi, pemimpin DSC ingin menemuimu secepatnya." cetus Erwin tiba-tiba.

"Tidak kah kau lihat? aku sedang terbebani!" balasku.

Erwin mengelus dahinya dan mulai menarik kerahku kasar, ia membawaku ke tempat mobilnya diparkirkan.

"Hanji." panggilnya kepada Hanji yang sedang berkaca pada spion motor BMWnya itu.

"Hai.."

Entah apa rencana kotor mereka, tapi tiba-tiba Erwin mendorongku untuk memasuki mobilnya itu. Bahkan belum sempat aku memperbaiki posisi dudukku, Erwin sudah menancap gas mobilnya itu, memberiku kesan memalukan karena terombang-ambing di mobilnya itu.

"Beraninya kau mempermalukanku seperti ini!" bentakku.

"Ya, kau akan segera berterima kasih padaku setelah itu." balasnya.

"Oh yang benar saja!"

Dalam waktu kurang dari setengah jam, kami sudah berhasil sampai ke..

"Kantor?" gerutuku.

"Sudah ku bilang, pemimpin DSC ingin menemuimu." balas Erwin.

"Jangan sampai ku injak wajahmu, Erwin Smith!" bentakku kasar.

"Kau bahkan boleh membunuhku, tapi sebaiknya temui saja dulu pemimpin DSC." jawabnya yang masih memasang senyum gelinya itu.

Aku mengganti pakaian santaiku menjadi jauh lebih formal, dengan kemeja putih bersih dan jas hitam mengkilap. Entah kabar buruk apa yang akan disampaikan pemimpin DSC, aku benar-benar tidak akan peduli. Sungguh!

"Yes sir, do you need a hand?" sahutku saat memasuki ruangan pertemuan dan melihat pemimpin DSC sedang menyilangkan tangannya berdiri dipojok ruangan.

"This is so confusing, but let me tell you about something."

Aku menelan ludahku tanda khawatir dengan apa yang akan pemimpin DSC sampaikan. Kalau memang berita buruk, aku tidak akan ingin lagi berurusan dengan hal semacam ini.

Aku hanya memasang wajah datar dan ikut menyilangkan kedua tanganku.

"I agree.. how about we start next month?"

Baru saja aku ingin memukul meja kaca di depanku ini, tiba-tiba perasaanku menjadi..lega.

"Pardon?" tanyaku tak yakin.

"I told you, i agree.. we can start the project next month if you want to."

Rasa senang, bangga, malu, dan girang seolah tercampur menjadi satu perasaan, mungkin hanya senang saja yang dapat mewakili perasaanku saat ini setelah pemimpin DSC menyetujui kerja samanya dengan perusahaanku, dan kalau begini..maka..

Aku akan menepati janjiku kepada Mikasa lebih cepat.

Aku berlari ke luar kantor dan mendapatkan Erwin dan Hanji tengah mengobrol.

"Minna.." sahutku.

"Kau jadi menginjak wajahku kah?" cetus Erwin pasrah.

Aku mengalihkan pandanganku pada asisten terbaikku, yaitu Hanji Zoe, yang juga sahabatku.

"Hanji."

"Nani?"

"Tolong pesankan aku tiket pesawat, malam ini aku akan pulang ke Jepang."

"Kau yakin, Levi?"

"Tidak usah banyak bertanya, lakukan saja."

Hanji menaiki motor BMWnya kegirangan dan langsung menancap gas motornya menuju bandara.

Dan yang aku lakukan hanyalah kembali ke hotel dan membereskan barang-barangku.

"Levi, tidak ingin mengitari kota ini sebentar? setidaknya untuk yang terakhir kalinya." cetus Erwin sambil membuka mobilnya.

Ingin sekali aku menolaknya, tapi seperti biasa, Erwin sangatlah bijak dalam menyikapiku, maka ku putuskan untuk mengikuti sarannya itu.

"Yosh! antarkan aku ke air mancur."

Erwin mengepal tangannya dan menaruhnya di dadanya seolah menerima dengan baik perintahku.

Perjalanan menuju air mancur tidaklah jauh, maka dalam waktu 15 menit aku sudah sampai disana, walau sempat terkena macet lalu lintas.

Seperti biasanya, walau masih pagi, sinar mataku selalu tertuju jelas pada air mancur yang indah itu, terlalu banyak kenangan yang tersimpan di tempat ini, bersama Mikasa tentunya.

"Levi.."

Lamat-lamat ku dengar suara Petra memanggil namaku.

"Nani?"

Petra menepuk bahuku dan memasang senyuman kecilnya itu.

"Kau harus menepati janjimu pada Mikasa."

Tanpa menjawab, ku anggukan kepalaku dengan tegas. Aku tau pasti apa yang Petra rasakan saat ini, sakit hati? sedih? terpaksa? ya begitulah. Tapi, aku sangat mengapresiasi kebijaksanaannya, semoga saja Petra dapat menemukan pemuda yang lebih baik dariku.

"Aku menyuruh Hanji dan Erwin untuk pulang bersamamu, mungkin aku akan menyusul lusa nanti sendiri. Kalau begitu, Ja.. aku harus segera kembali menyelesaikan pekerjaanku." tukasnya.

"Baiklah.."

Ya..sebaiknya sekarang aku bersiap-siap untuk malam nanti.

.

.

.

.

Pukul 19:00 pm

Setelah lama bersiap-siap dan menghabiskan sisa waktu di kota indah ini, aku pun memutuskan untuk menuju ke bandara malam ini.

"Siap?" sahut Erwin dan Hanji sambil mengenakan baju perginya.

Aku menganggukan kepalaku dan memasuki taksi yang sudah dipesan Erwin, karena tidak mungkin kami menggunakan kendaraan masing-masing saat ini.

"Kyaaaa..aku akan merindukanmu motor BMW." rengek Hanji saat melihat motor BMWnya dibawa oleh karyawan DSC.

"Diamlah! di Jepang, aku akan membelikanmu yang baru." sahut Erwin yang langsung membuat Hanji menggeliat seperti cacing sekarat.

Oh yang benar saja.. jangankan motor BMW, motor tua saja Erwin tidak ingin mengeluarkan sepeser uangnya untuk membelikan orang lain benda itu.

Tidak terasa, kami sudah sampai lagi di bandara, berhubung penerbangan ke Jepang tidak sepadat penerbangan ke negara lain, jadi tidak perlu menanti sampai besok untuk pulang ke Jepang.

"Sebaiknya kita check in dulu, lagi pula waktu kita tidak berjeda banyak, jadi harus sudah siap ke penerbangan." cetusku.

"Hai!" balas Erwin dan Hanji kompak.

Setelah memakan waktu banyak untuk check in, tanpa menunggu lama lagi, penerbangan akan segera dilakukan, sebelumnya kami membeli beberapa oleh-oleh kecil untuk beberapa rekan kami di Jepang, kan tidak mungkin kami dari Swiss hanya beroperasi demi pekerjaan?

"Sebaiknya sekarang kita pergi ke pesawat." cetus Erwin.

Aku dan Hanji mengangguk, kali ini aku benar-benar siap untuk menghirup udara segar di negara kelahiranku ini.

Baru beberapa langkah aku mendekati tempat menuju penerbanganku, seseorang menarik lenganku.

"Kalian tidak akan pulang tanpaku kan?"

Erwin mengangkat sedikit satu alis tebalnya itu.

"Petra, sudah ku duga kau akan menyusul."

Rasanya seperti mimpi tentunya, dimana aku akan pulang bersama teman-temanku dari Swiss ke Jepang, dan tentunya untuk menyusul seseorang yang ku cintai ini.

Setelah berdrama kecil, aku dengan cepat memasuki pesawatku, dan duduk di tempat pesananku. Perjalanan tentu akan sangat memotong banyak waktu, maka karena malam ini aku berangkat, sudah jelas aku akan memilih untuk menutup mataku dan tertidur.

Pukul 7.15 pagi

*Another Situation*

-Mikasa POV-

Ku buka mataku yang menyipit karena masih mengantuk ini, sayup-sayup ku lihat dari jendela pesawat, langit mulai berwarna dan sudah mulai terlihat jalanan yang dipenuhi kendaraan-kendaraan ala Nihon.

"Hey! kita sudah sampai." bisik Eren.

Tanpa harus Eren membangunkanku, aku memang sudah sadar total, aku sudah pulang. Akhirnya..

Setelah pesawat berhasil landing dengan baik, aku mengambil barang-barangku dan keluar dari pesawat, Eren dan Armin terlihat senang karena dapat kembali ke tempat asalnya. Dengan cepat aku menyelesaikan urusanku di imigrasi dan mampir sebentar ke cafe kecil di bandara.

"Mikasa? Doushite? Memikirkan Levi?" sahut Armin yang melihatku tengah melamun.

"A-Ah gomen..aku hanya kelelahan."

"Kalau begitu cepat habiskan minuman kalian, kita harus segera pulang." balas Eren.

Kami pun dengan cepat menghabiskan minuman kami di cafe itu dan segera memanggil taksi untuk membawa kami pulang. Ingin sekali aku lebih lama di bandara, tapi fisikku tidak mendukung.

"Kau harus percaya kalau Levi akan menyusulmu." cetus Armin.

Ya.. aku tau dan percaya bahwa Levi akan menyusulku, tapi kapan? itulah pertanyaanku.

Sepanjang perjalananku menuju rumah Eren (Kami berniat akan stay di rumah Eren), aku hanya menahan lamunanku sampai ku sadari taksi sudah sampai tepat di depan rumah Eren.

Sambutan hangat dari kedua orang tua Eren sangat membuatku senang, setidaknya dapat membuatku tidak terlalu memikirkan Levi.

"Bagaimana di Swiss?" tanya ayah Eren.

"Sangat menyenangkan tentunya, apalagi Mikasa.. ya tidak?"

Armin dan Eren mencoba untuk memanas-manasiku, tapi karena terlalu terpaku memikirkan Levi, aku jadi merasa bodoh dan tidak mampu membalas candaan Eren dan Armin.

Bahkan setiap aktivitas dari pagi hingga malam ini, aku juga tidak bisa berhenti untuk memikirkan Levi, aku sangat merindukannya, aku ingin sekali ia cepat menemuiku.

"Tidurlah, Mikasa." bisik ibu Eren yang langsung mendorong pelan tubuhku untuk tertidur, walau sulit, tapi ku coba untuk membawa diriku lebih dalam kepada dunia mimpi. Semuanya gelap dan tidak jelas, hanya Levi yang terbayang-bayang dipikiranku.

-Levi POV-

Apa yang sedang Mikasa lakukan?

Aku bahkan baru menginjak 3 jam yang lalu. Padahal aku sampai di Jepang pada siang hari, tapi aku malah menghabiskan waktuku untuk membersihkan rumahku hingga malam ini. Mungkin Mikasa sedang tidur, sebaiknya aku juga, aku tidak sabar besok akan bertemu dengannya.

"Levi.." sahut Hanji.

"Nani?"

"Aku mendapat pesan dari Eren dan Armin, Mikasa sedang berada di rumah Eren, akan jauh lebih baik besok pagi kita ke rumahnya."

Ku tepuk pelan kepala Hanji, ku acungkan jempolku dan bangga pada usahanya, Hanji memang kawan yang sangat membanggakan walau kemiringan otaknya sudah memasuki tingkat parah.

"Kalau begitu, aku segera tidur."

"Ya."

.

.

.

.

.

Pagi, pukul 9:00 am

"Siap?"

"Yosh!"

Hanya kata-kata itu yang dapat terlontarkan pagi ini, aku sudah siap untuk menepati janjiku.

-Mikasa POV-

Aku terbangun pukul 7 pagi dan sudah bersiap-siap, entah siap untuk apa, tapi pagi ini aku sangat bersemangat.

Tok..tok..

Ku dengar suara ketukan pintu, ku buka pintu itu dan mendadak kaget saat melihat teman-temanku datang dan memelukku tanda rindu.

Eren dan Armin yang awalnya sedang sibuk dengan urusannya masing-masing, lalu berlari saat melihat kawan-kawan datang ke rumah Eren.

"Hwaaa..Sasha, Connie,..dan.. J-Jean?" seru heboh Armin saat melihat geng kecil anehnya itu.

"Bahkan Reiner, Annie, Christa, dan lainnya juga datang?" heboh Eren juga.

Aku juga ikut senang saat melihat kawan-kawanku datang menghampiri, tapi mungkin aku akan jauh lebih senang lagi kalau orang yang ku tunggu-tunggu datang.

"Mikasa, apa kabar?" cetus Jean tiba-tiba.

"Mikasa sudah berpacaran, Jean-boy." teriak Eren merusuhi suasana dan disambut oleh tawa yang lainnya.

"Kuso!" gerutu Jean.

Aku hanya tersenyum dan menepuk pelan pipinya.

"Kau akan menemukan yang lebih baik." bisikku pada Jean. Jean sudah menyukaiku sejak dulu, dan mungkin sampai detik ini, tapi sayangnya aku selalu bersikap dingin kepadanya, dan karena sudah Levi yang memiliki hatiku, jadi sebaiknya ku kurangi sikap dinginku ini.

"Hai!" angguk Jean dan kembali bergabung dengan Armin.

Cukup lama kami menghabiskan waktu kami dengan bermain, bercanda, dan berbincang-bincang. Selain rindu dengan Jepang, aku akui, aku juga rindu dengan semua teman-temanku.

"Jadi Mikasa, siapa pemuda yang beruntung itu?" sahut Annie.

"Tutup mulutmu, Annie!" balasku ketus tapi dengan senyuman tentunya.

Semuanya menjadi humoris, sampai akhirnya, ku dengar suara bel pintu rumah Eren.

Karena semuanya sedang sibuk berbincang, maka ku buka pintu itu dengan inisiatif.

Mataku terbelalak kaget saat melihat pemuda bertubuh tinggi besar berdiri tepat di depanku.

"Erwin-san?"

Erwin Smith? teman Levi? lalu dimana Levi?

Erwin-san yang berdiri tegap kini disusul oleh beberapa orang lainnya, beserta Petra dan Hanji.

"Dimana Levi?" tanyaku bingung.

Erwin bergeser dan memberi celah.

Ku lihat seorang pemuda lagi memakai kemeja dengan lipatan di kedua tangannya itu berjalan penuh kedataran di wajahnya. Walau datar, langsung ku kenal dan ku serbu tubuhnya itu.

"Baka!" tanpa harus ku tatap wajahnya, aku sudah mengetahui bahwa ia adalah orang yang ku cintai, Levi.

"Sudah ku bilang kan? aku akan menepati janjiku."

Senyuman seringai tampannya itu membuatku tersenyum balik dan membuat kawan-kawanku yang tengah sibuk di dalam rumah kini memenuhi halaman rumah Eren.

Ku dengar suara ricuh dari kawan-kawanku..

Jadi itu kekasihmu, Mikasa?

Perempuan jutek sepertimu ternyata dapat memiliki pemuda tampan sepertinya

Itu sangat romantissss..

Baiklaah, itu terdengar menyedihkan, tapi semua kesan aneh itu terbuang saat Levi menggenggam tanganku.

"Tidak akan banyak hal yang dapat ku katakan selain aku mencintaimu, Mikasa."

Semuanya semakin bersorak dan mericuhkan suasana.

Beberapa temanku bahkan bertepuk tangan heboh dan berteriak..

"Kissu..Kissu..Kissu..."

Apa?

Levi menyeringai ke arahku.

"Kissu..Kissu..Kissu.."

Baiklah ini akan menjadi canggung.

"Tidak perlu kan kita lakukan disini?" bisikku pada Levi.

"Kissu..Kissu..Kissu.."

Kehebohan semakin memanas saat Levi mendekatkan wajahnya pada wajahku, tapi karena ia lah orang yang ku cintai, maka ku terima saja perlakuannya itu.

"Hmm..baiklah, lakukan saja."

Levi menyeringai kecil dan mulai menempelkan bibirnya pada bibirku.

"AAAaaaahhhhh..." semuanya menjadi berteriak heboh saat melihatku dan Levi berciuman.

Cih! peduli setan.. yang penting Levi lah orangnya.

Dapat ku rasakan kehangatan bibirnya itu dan nafasnya yang teratur itu, ia lah Levi, pria yang selalu ku cintai, walau hanya 3 hari saja untuk aku mencintainya dengan utuh.

"Aku mencintaimu, Mikasa." bisiknya dan memelukku.

Air mata kesenangan mengalir dan membasahi mataku.

Dengan tegarnya aku membalasnya..

"Aku juga mencintaimu, Levi."

.

.

.

.

-The End-

.

.

.

Hwaa.. Ending yang garing ya?

Okey, gomen untuk keterlambatan rilis yang parah dan cerita ending yang kacau, ini juga diakibatkan oleh beberapa faktor hehe.. tapi sebelumnya author ingin berterima kasih bagi yang sudah setia dengan FF ini, semoga pair ini dapat berjaya dan berkembang pesat FF indonya :D

Author ingin meminta maaf kalau ada hal-hal yang salah selama author mengerjakan FF ini, entah mungkin ada ketidakpuasan maupun kesal dengan FF ini, sekali lagi author minta maaf :D

Doakan saja author bisa update dengan pair ini lagi.. walau nanti author akan lebih fokus dengan FF lainnya tentunya..hehe..

Yosh! kalau begitu, sampai bertemu di FF lainnya ya :)