"Ahhhnn.. Ah... Matthew.. Stop... It's so deep.. I'm gonna..."

"It's okay, Taiga. Just let your sweet voice out. Let me hear you more.." Pemuda bersurai pirang terus menggerakkan pinggulnya maju dan mundur, miliknya yang keras terbenam dalam anus Kagami.

"Aaahh.. T-There! Ahhnnn—nhh.. I can't.. I'm at my limit... Ahhn!"

"M-Me too.. Together?"

"T-Together.. Aahhhnn!"

"Urg... Hnn!"

.

.

'Harusnya aku tidak melakukan ini.'


Cheater

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Rated M AoKaga fanfiction and OC © OrdinaryFujoshi

The cover image is not mine.

Enjoy Reading!


"Tch," sebuah decak kesal meluncur dari bibir Kagami, pemuda 19 tahun yang berstatus sebagai mahasiswa dan kekasih Aomine Daiki. Pemuda bersurai merah gelap ini berlari-lari kecil di bawah sinar bulan sabit yang remang-remang. Manik crimsonnya diarahkan ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Setengah dua pagi," gumamnya.

Memang jarum panjang di arloji merah- hitam Kagami sudah hampir menunjuk angka enam, jarum pendek menunjuk ruang antara angka satu dan dua.

'Entah sudah berapa lama tadi itu,' Kagami mendengus. 'Pikirnya besok aku tidak ada kuliah, apa?' Kagami menendang kerikil yang ada di jalurnya. 'Sebaiknya cepat pulang lalu mandi. Masih sempat tidur 4-5 jam sebelum berangkat kuliah,' pikirnya cepat.

.

.

Ssrrrsshhh

Air dari shower apartemen Kagami mengguyur tubuhnya yang kekar hasil olahraga itu.

"Ah..."

Kagami mengerang perlahan. Rasa sakit di sekitar pinggangnya masih terasa. Agaknya partner hubungan intimnya hari ini sedikit terlalu kasar padanya.

"Damn that glasses blondie!" rutuk Kagami dengan suara setengah berbisik. Tangannya mengusap bekas agak memerah di leher dan dada bidangnya. "I told him not to leave marks..." Kagami mengenakan pakaian ganti dari lemari pakaian di sebelah kamar mandi. "Ck... Mendokusai na... Kalau dia tanya-tanya harus mikir alasan nih," Kagami berjalan menuju kamarnya.

Cklek

Pintu terbuka. Setelah Kagami masuk pintu kamar ditutupnya lagi.

"Oi, Taiga? Okaeri," sesosok tubuh bergerak di bawah selimut yang menutupinya. Sebuah tangan bergerak meraih jam digital di atas meja kecil tepat di samping tempat tidur. "Jam dua?" suara bariton khas yang terdengar mengantuk itu bertanya heran. "Perpustakaan buka sampai jam segini?"

"Tadi tutup jam sembilan," Kagami memanjat tempat tidurnya. "Terus lanjut belajar dan diskusi di rumah Yuuko saja. Semua juga ikut," ujar Kagami. Hanya untuk informasi, tak ada teman satu jurusan Kagami yang bernama Yuuko. Kagami berbohong pada kekasihnya bak seorang profesional, seakan sudah sering—ya, memang sudah sering.

"Tadi kamu mandi, Taiga?" Aomine—pemuda yang tidur di kasur Kagami lebih dulu dari pemiliknya itu—bertanya sambil mengendus lekuk leher Kagami, lidahnya bergerak menjilat leher putih susu Kagami perlahan dengan seduktif.

"Ya—ahn.. Hentikan, Daiki," tangan Kagami sibuk mendorong pemuda dim itu menjauh.

"Kamu jadi lebih sensitif ya, akhir-akhir ini," Aomine memeluk tubuh Kagami sayang.

Degup jantung Kagami bertambah cepat. Mungkinkah—

"Pasti karena belakangan kita belum 'have fun' bareng," Aomine memeluk tubuh kekasihnya lebih erat.

—Untung tidak. Kagami menghela nafas lega.

"Tidur nyenyak, Taiga," Aomine mengecup pucuk kepala Kagami, lalu menggigit daun telinga pemuda itu perlahan, mengirimkan semacam sengatan listrik yang membuat pemuda bersurai merah-hitam itu tersentak perlahan.

.

.

.

Ada sesuatu yang Kagami sembunyikan dari Aomine. Ia sering pulang malam, bahkan sampai pagi seperti ini. Kadang tidak pulang ke apartemennya. Memang Kagami tetap menghubungi Aomine, tetapi Aomine tetap saja mencemaskannya, seringkali pemuda dim ini tidak tidur demi menunggu kekasihnya pulang.

Rutinitas Kagami belakangan memang sedikit berubah. Biasanya bangun tidur—mandi—sarapan, kadang bersama Aomine—ke kampus bersama kekasihnya—one-on-one—makan siang—pulang—mandi—makan malam—menghabiskan waktu dengan Aomine (entah itu bermain game atau memuaskan libido Aomine)—menyeret Aomine kembali ke apartemennya yang terletak persis di sebelah apartemen Kagami—tidur malam. Begitu terus setiap harinya. Sampai suatu hari—

"Yo, Taiga."

"Matthew?!"

—ia datang.

.

Matthew Adams. Pria berkacamata warga negara Amerika—mantan pacar Kagami. Berpacaran dengan pemuda maji tenshi ini semasa Kagami SMP, putus karena kepindahan Kagami ke Jepang. Pada dasarnya keduanya masih punya rasa satu sama lain, bedanya Kagami rasa rindu dan sedikit kehilangan pada pemuda yang 2 tahun lebih tua darinya itu, dan Matthew rasa ingin 'mencicipi' Kagami yang dari dulu belum terealisasi saking polosnya Kagami dan galaknya si abang—Himuro.

Hampir 5 tahun setelah mereka berpisah, Matthew akhirnya pergi ke Jepang dan menemukan Kagami. Kagami masih belum berubah di kedua iris hijau terangnya. Masih Kagami yang sama seperti dulu, tetap dengan wajahnya yang manis dan uke-ish, juga tetap polos dan—ehem—mudah dibodohi.

"Eh, pergi denganmu?"

"Yup. Apa itu masalah?"

"Aku hanya takut Daiki akan segera pulang. Aku belum memasak untuknya," Kagami berusaha menolak ajakan pemuda itu dengan halus.

"Ah, I see. Your new boyfriend, Taiga? Fine, then... I'll be leaving," ekspresi kecewa yang dibuat-buat namun tetap terlihat alami itu ternyata mampu membuat Kagami luluh.

"Eh? Matte yo!" tangan Kagami menangkap lengan pemuda setinggi 192 cm itu. "F-Fine! I'll go with you! After... After I leave message for Daiki," sedikit semburat merah menampakkan dirinya di kedua pipi Kagami.

Seringai puas muncul di wajah Matthew yang biasanya selalu tersenyum manis itu. Kagami sudah masuk perangkapnya.

.

Sudah sekitar dua bulan terakhir rutinitas Kagami berubah. Kegiatannya bertambah : menghabiskan sebagian waktunya dengan Matthew—yang sekarang bisa dianggap kekasih gelapnya. Entah bagaimana Kagami mampu mengatur waktunya untuk bersama dua pemuda yang mengasihinya itu. Mengorbankan waktu tidurnya—tentu. Kagami tak mau Aomine mencurigainya kalau waktu Kagami bersamanya dikurangi. Tapi rasanya akhir-akhir ini mengurangi waktu tidurnya berdampak pada prestasi belajarnya—yang sebenarnya dari awal sudah tak terlalu baik. Waktu bersama Aomine agak berkurang. Pertamanya untuk belajar bersama teman-teman sejurusannya. Lambat laun berubah. Terimakasih saja pada pemuda berdarah Amerika itu, memonopoli hati seorang Kagami Taiga dengan pandainya.

Bukannya Kagami tidak menolak, hanya saja... Memang belakangan hubungannya dengan pemuda berkulit cokelat eksotisnya itu tidak terlalu berjalan mulus. Tak lama sebelum berjumpa lagi dengan Matt—begitu sapaan akrabnya pada pemuda asal Negeri Paman Sam ini—ia menemukan bekas lipstik di kemeja Aomine. Aomine mengatakan tak sengaja seorang wanita berlipstik tebal menubruknya di kereta. Lain waktu, Aomine pulang larut dengan tambahan bau parfum khas perempuan. Aomine berdalih ia pulang ke rumah orangtuanya, dan bertemu bibinya yang memang parfumnya menyengat sekali. Ditambah sifat Aomine yang mendadak berubah menjadi agak lebih kasar padanya. Kagami tentu curiga. Tapi tak ada bukti nyata. Curiga dipendam dalam hati, tumbuh menjadi duri yang perlahan namun pasti menghancurkan kepercayaannya pada sang kekasih hati.

Matt datang disaat-saat paling kritis untuk hubungan Kagami dan Aomine yang sudah berjalan hampir tiga tahun itu. Semua resah dan keluhan hati Kagami didengarkannya, diberikan saran yang memang menurut Kagami tepat untuk dilakukan. Kagami perlahan membangun kepercayaannya pada pemuda yang mulutnya manis bukan kepalang ini. Masalah dengan Aomine berangsur-angsur memudar, Aomine kembali ke normal state-nya. Harusnya Kagami bisa bernafas lega, sayangnya tidak. Hatinya terbuai kalimat manis Matt, tergoda untuk mengkhianati Aomine. Pikirnya kembali menerawang saat Aomine 'berbohong' padanya.

Tak berpikir panjang boleh jadi ciri khas pemuda bersurai merah gelap ini. Tak heran nama 'Bakagami' melekat kuat dengan image-nya. Tak sekalipun terpikir di benak Kagami, untuk berpikir dari sudut pandang Aomine. Mungkin alasan Aomine terkesan janggal bagi Kagami yang overprotective, tapi kalau ia benar percaya pada Aomine, ia akan berpikir barang sekali—Aomine jujur padanya.

Tapi kenyataannya Kagami tak pernah berpikir demikian. Ditambah Aomine yang tak curiga pada apapun yang dilakukannya, membuat Kagami semakin masa bodoh pada pemuda rival lamanya ini. Terus saja pengkhianatan itu terjadi.

.

.

.

"M-Matt!" Kagami gelagapan mendapati pemuda pirang itu berdiri di depan pintu apartemennya.

"Taiga!" sapaan ringan berselimut senyum persahabatan meluncur. Suara pemuda periang ini tertangkap gendang telinga Aomine yang sibuk menyantap sarapan, yang bagi Kagami bak isyarat untuknya pura-pura terkejut—menciptakan alibi kalau pemuda ini belum bertemu dengannya untuk sementara waktu.

Alis Kiri Aomine terangkat-heran. Ia sudah pernah bertemu sebagian besar dari teman-teman Kagami, tapi yang ini baru. Iris sapphire-nya mengamat-amati pemuda berkacamata ini untuk beberapa saat, berusaha mengingat-ingat barangkali pernah bertemu dengannya.

"Bagaimana bisa sampai ke sini?" Kagami menyapa pemuda tamu mereka dengan ramah. Sebuah acting yang sempurna—layaknya memang baru pertama bertemu sejak sekian lama.

Pemuda bermanik hijau terang itu tertawa santai. "Dari Alex. She gave me your address, I think she know I missed you, Taiga!"

Ugh. Betapa Aomine Sebenarnya membenci bahasa laknat itu. Butuh waktu sekian tahun baginya untuk membiasakan diri mengerti maksud dari omelan Kagami yang kadang berbahasa Inggris. Itu pun masih belum seberapa, karena aksen Jepang Kagami masih cukup kental, bagi Aomine sedikit lebih mudah bagi otaknya menerjemahkan secara kasar maksud ucapan Kagami. Tapi pemuda ini... Entah kenapa dari awal kedatangannya Aomine merasa tak nyaman.

"Nee, Daiki! Ini Matt, kakak kelasku dulu di LA."

"Daiki? Matthew Adams," pemuda itu menjabat tangan berkulit gelap Aomine.

"Y-Yes.. Aomine, Aomine Daiki. Nice to meet you," Aomine memperkenalkan diri dengan Bahasa Inggris belepetan.

"Mou, daijoubu. Pakai Bahasa Jepang saja." Bahasa Jepang pemuda ini lumayan fasih, ternyata.

Aomine kembali melanjutkan brunch-nya. Membiarkan Kagamiberbincang-bincang dan melepas kangen dengan 'teman yang sudah lama tidak bertemu'-nya. Sampai telinganya menangkap suara pemuda asing itu—

"Taiga, how's Japan now?"

.

Kagami terkejut. Bukan karena mendengar pertanyaan Matthew—ia tahu betul pemuda itu sebenarnya sudah di Jepang cukup lama—tapi karena sorot hijau iris pemuda itu yang ia artikan sebagai ajakan untuk... Hubungan.

Kagami putar otak. Satu jawaban mencurigakan saja, bisa hancur. "M-Mau kuajak berkeliling? Sesudah kuliah hari ini?" ajaknya. Matanya melirik-lirik ke arah pemuda bersurai navy blue yang duduk di sebelahnya, semoga saja Aomine tidak sadar arti implisit dari kalimat Kagami barusan.

"Sounds great!" senyuman kembali terkembang di wajah pemuda berkacamata itu.

"Daiki," Kagami mengambil tas dan sepatunya, bersiap untuk keluar dari apartemen, berangkat kuliah. "Aku pergi dulu," Kagami berjalan ke arah pintu, melewati Aomine begitu saja—berpamitan dengan normal tanpa sesuatu yang spesial.

Dahi Aomine berkerut. "Oi," tangan putih Kagami ditariknya agar pemuda redhead itu kehilangan keseimbangan dan jatuh di pangkuannya. Kecupan tulus mendarat di pelipis Kagami. "Itterashai," bisik Aomine lembut.

Wajah Kagami memerah. "I-Ittekimasu," buru-buru ia berdiri, mengenakan sepatu, dan pergi keluar. Pemuda pirang tamu tak diundang Aomine dan Kagami hari itu juga ikut keluar bersama Kagami.

"Daiki-san, arigatou, ne?"

Aomine tak mengerti maksud ucapan terimakasih pemuda itu.

.

Di lorong apartemen, Kagami berlari-lari menuju tangga yang biasanya hanya dipakai kalau terjadi kebakaran atau semacamnya. Kagami melesat turun seperti dikejar sesuatu—tapi apa?

"Hei," sebuah suara tiba-tiba memanggilnya, dan sebuah tangan sudah menepuk bahunya.

'God damn it!' rutuk Kagami dalam hati.

"Don't you dare run away from me, Taiga."

"M-Matt.. I'll be late.."

"Who says you're going to college?"

Iris merah tua Kagami melebar. 'J-Jangan bilang...'

.

.

.

"Aaah! S-Slow down, you asshole!"

"Tch. No way in hell."

"Ha-ahn.. It.. H-Hurts... Don't force it in! Argh-aahn! M-Matthew.. You ass..."

"Aku sudah pernah bilang, Taiga. Jangan ada pemuda itu dihadapanku. Pagi ini benar-benar kacau untukku," tangan pemuda bersurai keemasan itu mencengkeram erat paha mulus Kagami. Gerakan pinggulnya sengaja dibuat kasar dan tidak berirama—tak mungkin Kagami menikmatinya, kalau ia masih normal.

"Jangan salahkan aku! Mnh.. Dia kekasihku, it was you who.. Ah! Who broke our door..." Kagami berusaha bicara di tengah desah dan erangnya.

"Told you... Better broke up with him."

Ruangan kecil itu bukan tempat dimana seharusnya Kagami Taiga berada. Ia harusnya duduk di kelasnya, berusaha memahami kuliah dari dosennya. Bukan berada di ruangan dimana desahannya menggema, aroma khas hubungan intim dan keringat bercampur menjadi semacam feromon bagi pemuda yang berada di atasnya.

.

Jarum jam di atas nightstand di sebelah tempat tidur dimana bagian tubuh bawah Kagami dihujam dengan kasar terus berputar. Satu, dua, empat-lima jam sudah berlalu. Tak ada tanda pemuda beriris emerald akan berhenti. Kagami tak tahu apa yang dilakukan pemuda ini selama di Amerika, tapi ia mengakui stamina luar biasa pemuda ini. Perlahan namun pasti, rasa sakit yang dirasakannya berubah menjadi nikmat.

Kagami memang terkenal dengan nekatnya. Tapi sepertinya kali ini Kagami bermain-main dengan api yang menyulut terlalu besar. Berada di tengah-tengah, antara kembali pada Aomine atau mengakhirinya saja membuatnya bimbang. Tapi, ah, mana ada waktu untuk memikirkannya sekarang ini. Bagi Kagami ia lebih baik fokus untuk memeras cairan putih kental dari pemuda yang kejantanannya masih tertanam di dalam dirinya. Kagami tahu persis sebelum pemuda itu puas ia takkan berhenti, tak peduli energi Kagami sudah terkuras—terbaring lemas di atas ranjang yang sudah tak jelas dimana seprai dimana selimut. Entah sudah berapa kali Kagami mencapai klimaks—he lost his count.

.

.

.

Nyaris tengah malam. Akhirnya setelah hampir 12 jam yang tanpa ampun, Kagami berhasil bebas. Butuh waktu bagi kakinya untuk sanggup mengumpulkan tenaga dan berdiri kembali. Itu pun terpaksa—kalau bukan kewajibannya mana sanggup Kagami pulang?

Perlahan Kagami memutar kenop pintu apartemennya. 'Huh? Tidak terkunci?'

Kepalanya dilongokkan ke dalam untuk melihat seisi apartemen. Masih seperti keadaan tadi pagi. Ah, pemuda dim bersurai dark blue sudah tertidur dengan lelapnya di sofa. Mungkin lelah menunggu Kagami pulang.

Kagami tersenyum kecut. Bukan maksud hatinya mengkhianati pemuda ini. Ia mencintai pemuda yang tertidur pulas di hadapannya ini. Rasa bersalah kembali timbul dalam hatinya. Dilangkahkannya kakinya yang masih agak gemetar menahan berat tubuhnya ke kamar mandi, ditinggalkannya pemuda berkulit cokelat itu tenggelam dalam mimpinya.

Tepat sebelum Kagami masuk ke kamar mandi, suara baritone khas terdengar dari bibir Aomine. Kagami sweatdrop. Aomine terbangun.

"Kagami," Aomine memanggil nama keluarganya, bukan nama kecil seperti yang biasa. Pertanda buruk? Entah. Kagami rasa iya. "Kenapa baru pulang jam segini?" pertanyaan biasa, klasik. Kagami berpikir ia bisa berbohong lagi seperti biasa.

"Tugas—"

"Kau tidak berangkat kuliah hari ini kan, Kagami?" ucapan pemuda bersurai merah gelap ini dipotong suara berat pemuda lainnya. Manik shappire Aomine berkilat mengerikan. Tanpa perlu diberitahu pun semua yang melihatnya tahu ia marah besar.

"Jaa.. Okaeri, Taiga."

.

.

.


Ordinary's Note

Hai ._.

Ordin, atau Cal (udah banyak yang tau nama asli writer ._.) kembali dengan fic ret M gaje. Bilangnya sih AhoBaka... Tapi kok relationshipnya gaje begini, ya? Kenapa lebih terasa seperti OC x Kagami? Entah. Ordin bingung sebenarnya. Di bagian akhir ga dikasih 'End' atau 'to be continued'. Pengen liat ripiu dulu, minta dilanjut apa kagak. Yang pengen ini dilanjut dengan anu-anu AoKaga yang sebenarnya Reviewyah.

This fic is supposed to be the real b'day fic for Kirigaya Kyuu. Yeh. Happy birthday, Kyuu, Audri!

Maaf banget kalo kurang panas atau gimana... I'm trying to write rated M fics in a different style. Hope you like it ._.

Oh, ya. Sopiler, eh. Spoiler aja. Kalo misalnya diterusin... Kemungkinan besar akan jadi fic dengan kategori favorit saya : KAGAMASO.

PS : Kagamaso adalah kata baru made up by me untuk Kagami Masokis. Kalau yang lain ada yang pakai sebelum Ordin ya gapapa sih ._.

Salam Fujo penggemar Kagamaso,

Ordinary.