IRIDESCENT

.

ir·i·des·cent

ˌirəˈdes(ə)nt/

(adj.) showing luminous colors that seem to change when seen from different angles

.


Prenote : Kind of celebrating same-sex marriage in US, because sometimes, all we have to do is looking from different angles before we could understand the beauty in it.


.

People said, patience is a virtue.

Namun, Jongin tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Ia telah berlari, entah berapa blok dengan kaki telanjang yang membuat telapak kakinya terluka. Hujan kali ini juga tidak main-main, angin kencang menerbangkan dahan, membuat goresan tepat di bawah matanya. Seluruh tubuhnya basah, hingga bahan pakaian yang ia kenakan semakin terasa berat karena hujan mengisinya.

Ini akan menimbulkan kesan yang buruk untuk seseorang yang ingin menyatakan cinta.

Namun, Jongin tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Karena ia telah mencintai Kyungsoo selama satu tahun, empat bulan, dua puluh tiga hari, tujuh jam, empat puluh dua menit, dan tepat delapan detik ketika ia akhirnya menemukan Kyungsoo keluar dari kantornya.

Jongin berlari lebih cepat. Memaksa jantungnya bekerja lebih keras lagi, mengabaikan rasa mual yang merangkak naik, dan paru-parunya yang melolong meminta udara.

Satu tahun, empat bulan, dua puluh tiga hari, tujuh jam, empat puluh tiga menit, dua detik, ia melihat Kyungsoo membelalak ke arahnya.

Raut khawatir dari wajah lelaki itu tercetak jelas ketika Kyungsoo dengan tergesa ingin menghampiri Jongin. Tapi Jongin menahannya. Ia berteriak meminta lelaki itu untuk tinggal, memancing atensi dari orang di sekitar mereka kepadanya.

"What the fuck is the matter with you?" Kyungsoo mendesis. Alis lelaki itu bekerut karena amarah akan tetapi Jongin justru tersenyum.

Dia begitu jatuh cinta namun juga begitu buta di saat yang bersamaan.

"Kyungsoo." Jongin tertawa. Oh, dia tertawa lepas hingga pipinya sakit. "Kyungsoo, Kyungsoo, Kyungsoo."

"Astaga, apa kau mabuk?" Lelaki itu mengamati Jongin lekat-lekat, mencari tanda pengaruh alkohol di wajahnya.

"Aku sepenuhnya sadar." Jongin menatap Kyungsoo dalam, sedang lelaki itu semakin memberengut bingung.

"O-Okay. Sekarang lebih baik kau ikut ke mobilku atau kau akan sakit jika-"

"I want to kiss you." Potong Jongin, ia sudah tidak bisa menunuggu lagi. "I want to kiss you so badly."

Mendengar kalimat itu, Kyungsoo sepenuhnya mematung. Ia berkedip pelan memandang Jongin yang masih tersenyum. Suara di sekitarnya tiba-tiba terdengar berdengung di telinganya, menghadirkan sakit yang langsung menyerang kepalanya.

"Aku ingin mengecap rasa air hujan di bibirmu." Jongin melangkah, menaiki satu anak tangga di depan Kyungsoo. "Aku ingin mencium sabit di matamu saat kau tertawa, aku ingin membuat matahari cemburu ketika aku mengecupmu di pagi hari, aku ingin merasakan bagaimana bibirmu membakar kulitku dalam sentuhan sederhana."

"Kau bercanda." Kyungsoo hampir menutup mulutnya, karena suaranya terdengar begitu putus asa.

"Tidak, Kyungsoo. Aku serius." Jongin membawa tangan Kyungsoo ke dadanya, mencium buku jarinya satu per satu.

"Jongin, orang-orang melihat kita saat ini." Bisik Kyungsoo panik.

"Let them know, angel." Ia berkata tanpa ragu. Karena ia sudah tidak akan mengingkari perasaannya. "Let them know that i love you." Ujarnya dengan sedikit berteriak agar semua orang tahu bahwa ia sungguh-sungguh.

Agar Kyungsoo tahu, bahwa ia sungguh-sungguh.

Ada jeda panjang yang digunakan Kyungsoo untuk memutar kalimat Jongin perlahan dalam otaknya. Ini seperti sebuah mimpi. Ia tidak mengira Jongin akhirnya memilih melawan egonya untuk mengatakan ini kepadanya.

"Damn it, Jongin." Kyungsoo menggigit bibir kuat dan Jongin tahu bahwa ia telah berhasil membuat Kyungsoo mengerti. "Goddamit. You don't know how fucking long i've been waiting for this."

"I'm sorry, angel." Jemari Jongin mencapai pipi Kyungsoo, menggambar lingkaran semu di kulit putih lelaki itu. "I'm so sorry."

Bahu Kyungsoo berubah basah saat Jongin mendaratkan kepalanya di sana. "Aku minta maaf karena telah mengingkari perasaanku terlalu lama. Tapi kau tahu seberapa tabu hal ini di Korea."

Kyungsoo terdiam, mencerna ucapan Jongin ke dalam pikirannya.

Orang bilang, homoseksual adalah penyakit.

Homoseksual adalah dosa.

Homoseksual adalah penyimpangan.

Tapi untuk apa perasaan itu ada jika Tuhan tidak menginginkannya?

"Da-Dan itu membuatku terus memaksa diriku untuk berpikir—aku bukan gay. Aku tidak boleh menjadi gay." Lanjut Jongin. "Hingga akhirnya aku memperlakukanmu dengan sangat buruk."

Kyungsoo merengkuh Jongin ke dadanya, mengecup puncak kepala lelaki itu sekilas. Ia mulai mendengar bisikan diiringi mata yang menghakimi terutuju kepada mereka. Tapi Kyungsoo sudah sangat terbiasa dengan perlakuan semacam itu.

"Aku telah mencoba untuk mencintai orang lain, mencoba menjadi normal. Tapi hatiku terus mengarah padamu."

Kini, seluruh tubuh Kyungsoo telah basah karena Jongin mendekapnya kuat, tidak mengizinkan ada jarak sedikitpun di antara mereka.

"Apa kau masih mencintaiku?" tanya Jongin lirih.

Kyungsoo tertawa, karena Jongin seakan menanyakan sesuatu yang mustahil untuk dipercaya.

Jongin menunggu jawaban dari pertanyaan yang telah tertunda selama satu tahun, empat bulan, dua puluh tiga hari, delapan jam, sepuluh menit, dan dua puluh sembilan detik dengan nafas yang memburu.

"It's always you, Jongin." Balas Kyungsoo, hingga Jongin menahan air matanya kuat. "And it has to be you."

You. You. You.

Jongin melepaskan pelukannya, hanya untuk melihat apakah wajah Kyungsoo sama kacaunya dengan miliknya saat ini. Dan ia bersyukur, karena Kyungsoo berada dalam kondisi yang sama buruknya. Ia menarik dagu lelaki yang sedang menunduk, menyembunyikan wajahnya.

Sebuah senyum segera tertukar dari bibir keduanya, ketika Kyungsoo mendongak, mempertemukan mata mereka.

"Thankyou." Bisik Jongin. "I love you." Lanjut lelaki itu dan sebuah tawa rendah terdengar dari bibir Kyungsoo. "I knew it the minute i met you. I'm sorry it took so long for me to catch up. I just confused."

Kemudian Jongin menuntun Kyungsoo ke bawah hujan, mengizinkan rintik menyamarkan air mata mereka.

Perhatian orang-orang masih mengikuti keduanya dan Kyungsoo memanfaatkan kesempatan ini untuk mengatakan pada dunia, bahwa tidak ada yang salah dari menjadi berbeda dengan berteriak sekuat tenaga, "Bawa aku ke Vegas. Kita bisa menikah di sana."

Jongin tergelak dengan tawa yang memekakan telinga, "Apa kau sedang melamarku sekarang, Do Kyungsoo?"

"Kau sudah terlalu banyak membuang waktu kita, Kim Jongin."

Menyadari kesalahannya, ia pun segera menjawab, "Then yeah! Let's go to Vegas."

Setelah satu tahun, empat bulan, dua puluh tiga hari, delapan jam, lima belas menit, sebelas detik, Jongin akhirnya dapat mengecap rasa air hujan di bibir Kyungsoo.

Setiap lekuk bibir lelaki itu melekat sempurna di bibirnya, seperti sebuah puzzle yang saling melengkapi.

Dan jika ini bukan cinta, Jongin tidak tahu harus menyebutnya apa.


IRIDESCENT : THE END


Author's Note :

Aku enggak ikut ngedukung ataupun nolak tentang legalisasi same-sex marriage di US. Mungkin bisa dibilang netral? :\ Karena di agamaku, hal itu masih tergolong dosa. Jadi FF ini jangan terlalu dimasukin pikiran, hahahahaha.

Ini karena pengaruh abis nonton Brokeback Mountain, video soal selebrasi pernikahan sesama jenis, and ofc, Kaisoo. Ah, dan bagi kalian yang nyadar ada kalimat yang aku ambil dari film Silver Linings Playbook (pas bagian Tiffany bacain surat-nya Pat, because please it's super romantic).

Buat yang nungguin Kaleidoscope, maafin karena agak lama update-nya, aku lagi nyempurnain nih. Mungkin besok udah bisa publish ehehe.

Oh, dan aku kayanya bakalan bikin ini jadi 'buangan drabble' aku (karena sebenernya drabble aku numpuk di draft dan sayang kalo disembunyiin terus) Ehehehe.

Kritik, saran dan review-nya, please? ;)

KAISOO FTW!

Red Sherry