Kedinginan.

Satu kata yang mendeskripsikan seorang pemuda yang tengah berjalan tanpa arah, sendirian.

Sendirian, di malam natal.

Malam natal seharusnya di habiskan bersama keluarga 'kan? Lalu mengapa dia malah sendirian bak orang linglung?


.

.

暖かいな気持ち

Atatakai na Kimochi © Kirigaya Kyuu

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadoshi

Twoshot

A/n: its really a probs, 'cause I cant choose the right genre ( '-')b 'ha'.

.

.


Aku tidak tahu harus jalan kemana lagi. Jari-jari ku sudah mati rasa. Kepalaku sakit. Mengambil nafaspun susah sekali.

Sekarang sudah tengah malam. Christmas Eve. Tentu saja tiada siapapun yang berjalan di sekitar. Mereka pasti sibuk berbincang-bincang asik di depan perapian atau memakan sup labu. Tidak seperti aku, yang tak tahu harus berjalan kemana.

Saat aku pergi dari rumah, aku mendengar perkiraan cuaca. Bahwa di daerah sekitar akan terkena hujan salju. Semoga saja perkiraannya meleset.

Bernafas susah, apa lagi berbicara. Aku hanya butuh satu tempat untuk menghangatkan diri. Dan yang pasti, rumah para senpai tidak akan menjadi salah satu pemberhentianku.

'ka-kalau kau punya masalah datang saja kerumahku. I—itu bukan karena ku peduli atau apa nodayo!'

Shin-chan…

Apa aku kerumahnya saja? Ta-tapi itu berarti aku akan mengganggu acara malam natalnya bersama keluarga. Bagaimana dong?

Aish, sudah datangi saja dulu! Toh kalaupun tidak boleh masuk aku bisa numpang di depan pintunya.

Kali ini aku memiliki tujuankerumah Shin-chan. Aku tidak berharap boleh tinggal di dalam rumahnya sih. Apa lagi saat dia mengatakankalau kau punya masalah datang saja kerumahkudia tampak seperti tidak yakin. Duduk di depan pintu rumahnya tidak akan menjadi masalah besar kan?

.

.

.

Padahal sebentar lagi sampai. Tapi kaki ku mulai mati rasaseperti jari-jari ku. Mengambil nafas rasanya tambah sulit. Aku bahkan tidak membawa syal. Keluar dari rumah siksaan itu hanya bermodal jaket tipis yangoh gosh, aku tidak sadar kalau bagian belakangnya sudah robek. Pantas saja punggungku dingin sekali. Aku bahkan tak merasakan kehangatan sama sekali–tentu saja.

Aku berhenti di depan sebuah rumah. Rumah minimalis di depanku ini adalah rumah Shin-chan. Rasa bimbang kembali menghampiriku.

Memang benar, Shin-chan—bisa dibilang teman baik ku, membolehkanku untuk kerumahnya jika punya 'masalah' dirumah. Tapi, hell. Ini christmas eve! Aku pasti akan mengganggu acara keluarganya! Dan juga—oh tunggu. Kenapa seisi rumah gelap? Lantai dua di sisi kiri adalah kamar Shin-chan 'kan? Kenapa hanya lampu kamar itu yang menyala?

Aku mengintip ke sisi kanan rumah. Ruang tamunya juga gelap. Apa Shin-chan sedang sendirian dirumah?

Ku buka pintu pagar yang ternyata tidak dikunci. Sebenarnya kurang sopan untuk main masuk kerumah orang begini. Tapi yah, sudah lah. Aku sudah benar-benar kedinginan.

Ku tatap pintu mahoni didepanku. Ku lirik tombol kecil di dinding sampingku. Menggerakkan tanganku saja ribetnya minta ampun. Aish, bergerak dong!

Ting… tong

Aku berhasil menekannya.

Sekarang permasalahannya adalah, mengapa respon Shin-chan lama sekali? Apa yang sebenarnya orang di kamarnya itu bukan Shin-chan? Atau… maling?

Ah tidak mungkin. Keamanan kediaman Midorima itu sangat ketat—but wait. Pintu pagarnya tadi tidak di kunci 'kan? Oh gosh, semoga orang yang membuka pintu ini bersurai hijau.

Ceklek…

Arigatou, kami sama. Do'a ku di kabulkan.

"Hn? Takao? Ada apa?"

Wajahnya tidak ada khawatir sama sekali. Che, apa yang aku harapkan?

"A-ano… sh-shi-Shin-chan… b-b-boleh kah a-aku ti-ti-tinggal d-d-dirumahmu s-s-sh-sement-tara?"

Suaraku bergetar. Badanku mulai menggigil kembali. Oh, aku pasti tampak menyedihkan di depan Shin-chan.

Ku lihat dahinya mengerut.

.

.

.

Bibir Takao membiru, wajahnya pucat. Badannya bergetar hebat. Denyutan di kepalanya sudah tak terasa lagi. Ia mengeratkan dekapannya. Mungkin Midorima tidak mengerti apa yang diucapkan si raven padanya tadi. Suara lantangnya berubah drastis, dan juga tertutupi oleh gemetar di dagu.

Dahi itu berkerut untuk kedua kalinya.

"Fuzakenodayo. Jangan bercanda di malam natal. Aku sibuk—"

Braak!

Anak sulung Midorima kembali masuk kedalam rumah tanpa peduli orang di depannya. Dia bahkan membanting pintu dengan keras—sontak mengakibatkan Takao berjengit.

'Shin-chan… menganggap aku, bercanda?'

Ting… tong

Sekali lagi dia memencet tombol bel.

"S-Shin-ch-chan! A-aku tid-dak b-bercanda! B-boleh kan aku t-tinggal di—"

"Pergi Takao. Jangan mengerjaiku lagi" seru suara dari dalam.

Ah, Takao teringat akan suatu hal.

Kejadiannya hampir sama dengan malam natal tahun lalu. Dia datang ke rumah Shin-chan dengan keadaan yang sama, perkataan yang sama. Namun bedanya, dia ke sana tanpa ada yang namanya 'masalah'. Takao iseng-iseng ingin mengerjai Shin-chan-nya. Dan itu berhasil. Wajah Midorima pucat pasi—oh, akting Takao sangat hebat. Midorima dibuat khawatir sampai-sampai ingin memanggil dokter kerumahnya—karena dia sendirian dirumah setiap malam natal, dia tidak tahu apa yang seharusnya di lakukan. Dan Takao tidak tahu tentang itu. Hingga Takao tertawa terbahak-bahak, dia mengakui kalau dirinya hanya iseng. Midorima memerah akibat kejahilan Takao. Tapi siapa sangka? Kalau kejadian yang sama malah terulang, namun benar-benar tanpa skenario akting seperti tahun lalu? Terlebih lagi, Midorima malah menganggap yang Takao katakan hanya bercanda. Apa dia tidak melihat wajahnya—oh, tahun lalu Takao juga berdandan seperti itu.

Takao merenung. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa ingatan Midorima Shintarou bisa se-deteil itu. Well, Midorima memang tampak tidak mengingat segala jenis kejahilan partnernya. Namun sebenarnya, dia ingat.

Si raven memilih untuk duduk, bersandar di depan pintu.

Setidaknya walau tidak diperbolehkan masuk, dia boleh menumpang istirahat di depan sini bukan?

Badannya sudah mati rasa. Dingin pun sudah tidak menjadi masalah lagi untuknya. Sebuah kilasan balik menjadi temannya hingga nanti pagi—mungkin. Jika dia masih hidup.

"Aku sudah tidak peduli lagi dengan kalian berdua! Pergi mati! Dasar sampah! Hanya membuat hidupku susah!" seru sebuah suara bariton. Tak ada wibawa yang terdengar dari setiap katanya.

"Aku juga sudah tidak peduli dengan mu! Tapi setidaknya hidupilah Kazu! Walau bagaimanapun itu anakmu!" kali ini suara seorang wanita. Tersirat kesedihan yang mendalam di setiap katanya.

"Anak ku? Haah? Aku tidak punya anak! Pergi mati jalang!" lelaki itu menampar sang wanita yang hendak menghentikan minum-minumnya.

Seorang remaja yang sedari tadi terdiam dibalik pintu, masuk kedalam ruangan bau alkohol.

"Hentikan ayah! Jangan ayah menampar ibu"

Satu tamparan di layangkan ke pipi sang remaja.

"Kazu!" si wanita sontak mendekati anak semata wayangnya. Mendelik penuh kebencian ke arah lelaki yang sibuk meminumi botol hijau ditangannya.

"Ibu, ibu harus pergi dari sini—"

Kalimatnya kembali di potong. Kali ini karena tendangan begitu keras di kepalanya.

"KAZU!"

"Heh, jalang. Bawa sampah itu pergi dari sini, hik. Kau juga tidak boleh pergi dari sini jalang. Kau pembantu di sini, hik. Ingat itu!" racaunya tak jelas.

Si wanita tampak tak begitu mempedulikan apa kata-kata kotor yang dikeluarkan lelaki yang lebih tua. Dia begitu sibuk untuk menyadarkan anaknyahidungnya mengalirkan cairan merah pekat.

"I-ibu… cepat pergi dari sini!"

Berusaha meski kepalanya sangat sakit. Ia bangkit dari jatuhnya, menarik sang wanita, meninggalkan lelaki yang lebih tua tertawa sendiri di ruangan bau ini.

"Lari bu!" ia menatap ibunya sungguh-sungguh. Jaket tebal yang digunakannya dia lempar ke sang wanita. "Aku yang mengurus ayah! Lari bu—"

"KAZU!"

"La-ri… bu"

Pukulan demi pukulan di hujamkan ke remaja raven. Ia tersenyum, ibunya harus pergi atau ibunya yang akan menjadi target 'ijime' si lelaki gila. Karena tingkah laku si 'ayah' sudah tidak bisa dibiarkan dari tahun ke tahun. Dan malam natal ini adalah puncaknya. Dimana si 'ayah' datang kerumah dengan berbotol-botol alkohol di sertai 'jalang' yang sebenarnya. Ini sudah parah.

Si wanita tidak ingin pergi. Kalaupun pergi, si remaja juga harus ikut. Tapi kata terakhir yang ia dengar membuatnya harus pergi.

'aku akan menyusul ibu, ibu lari yang jauh'

Si wanita berlari kencang. Tangis yang ia tahan sedari tadi meledak.

Sayang, dia tidak melihat kalau si 'ayah' memecahkan botol hijau yang sudah kosong itu di kepala 'Kazu'

.

.

.

Kazu, berhasil kabur dari iblis.

Hanya bermodalkan jaket super tipis yang ia temukan di jalan, serta luka-luka yang berhasil dia hilangkan entah bagaimana, dan juga sakit dikepala yang tak tertahankan, dia berjalan tanpa arah.

'Aku hanya berharap, ibu aman'

.

.

.

"Hn? Apa Takao sudah pulang?" Remaja ber kacamata kembali mengerutkan dahinya. Dia menatap arloji di tangannya. Sudah satu jam sejak kedatangan tamu tak diundang.

Ia sebenarnya tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada 'akting' gagal sang partner—begitu yang dia pikirkan. Tapi rasa ingin tahunya lebih tinggi dari pada rasa tidak peduli. Si surai hijau turun dari tangga, dan membuka pintu mahoni.

Ia terkejut mendapati Takao tertidur pulas di depan rumahnya. Matanya terpejam kaku—hal yang membuat dirinya berfikir kalau Takao tertidur.

Helaan nafas panjang terdengar. "Haah, Takao, aku tidak habis fikir kenapa kau mau capek-capek mengerjaiku—astaga!"

Midorima berniat untuk menepuk pipi Takao, membangunkannya. Tapi yang dia rasakan malah dingin. Ia mencoba memegang tangan Takao dan—

"Takao? Takao?! Oi Takao!? Jawab!"

—ia kembali merasakan dingin.

Tak ada jawaban. Midorima dengan cekatan menggendong Takao a la bridal style. Membawanya ke depan perapian.

Lazy chair di ambilnya. Tak lupa bantal dan beberapa selimut tebal. Midorima bahkan menyalakan perapian—yang sebenarnya tidak ingin dia nyalakan. Direbahkan Takao ke lazy chair—tepat beberapa meter didepan perapian untuk menyerap panas. Kepalanya di sanggahi sebuah bantal. Jaket tipis di gantikan dengan lima selimut tebal. Midorima berharap itu cukup untuk menghangatkannya.

"Astaga… astaga… dia tidak bercanda kali ini… astaga…"

Kekhawatiran melanda Midorima. Apakah dia harus menelepon dokter—astaga. Mengapa tangannya bisa ada bercak darah? Seingatnya tadi, tangan kanannya digunakan untuk memegang kepala Takao dan— ia melangkah cepat ke tempat Takao. Memegang kepalanya yang—astaga. Luka. Luka yang tergolong parah di kepala Takao mengering setengahnya. Ke jeniusan otak Midorima tak bisa digunakan dalam peristiwa ini.

Ia berlari mencari kotak P3K.

'Takao…'

.

.

.

.

.

To be continued


A/n:

Bello :'v

Ini kyuu lagi :'v ah, dua kali pablish yah hari ini :'3

Well... ini petama kale kyuu apdet lwt hape :'v kuota modem mulai... ah sudah lah :'v

Mungkin agak kecepetan... tapi ini fic buat 'Dri-nee chan' yang ulang tahun besok :'v yg bareng sama aku... /lah bukannya kalian orang yang sama?!

Ah iya, ini sengaja aku buat twoshot soalnya... ah sudahlah :'v *slaped*

Dah ah gak tau mau ngomong apa :v

Akhir kata,

Reviewnya di tunggu yak :'v

KiKyuu.

HAPPY BIRTHDAY FOR KYUU AND DRI! (02-07-15) you've become 13 this year :'3

Hope we could be a better writer, level up on our foreign language, level up on basket, and many more ;'3

Last, thankyou fuji sensei. Thankyou kurobasu.