"Kau harus mengawasi Sabaku Corp di Tokyo, Gaara."

"Tou-san tidak bisa memaksaku."

"Aku tahu, makanya aku minta baik-baik, bodoh!"

"Aku tersinggung."

Suara pintu dibanting membuat pria berkepala lima itu mengembuskan nafas lelah. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa hitam polos dan menyandarkan kepalanya di sandaran sofa, berusaha mencegah dirinya bangkit dan mengejar Gaara hanya untuk mencekiknya.

"Bocah tengik..."


That Boobs © Curly xox

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Requested by nabila. nurmalasari1

Hope you enjoy it:)


Jumat, 6 November 2015

Hujan deras membasahi jalanan dan rumah-rumah di Tokyo. Beberapa orang masih lalu-lalang—berusaha mencari tempat teduh, dan beberapa di antaranya nekat menembus hujan.

Hinata Hyuga merupakan salah satu dari kumpulan manusia yang berteduh di depan sebuah toko mungil, tempatnya berbelanja tadi. Ia masih menggunakan seragam sekolahnya, Konoha Gakuen, tas masih tersampir di bahunya, dan waktu saat itu sudah menunjukkan pukul tiga sore.

Setelah memastikan semua kebutuhannya terpenuhi, Hinata keluar dari toko tersebut. Belum terlalu jauh, awan sudah tidak sanggup menahan beban air, sehingga mau tak mau ia kembali ke toko tersebut dengan pakaian yang basah kuyup.

"Kau mau teh, Hinata-chan?" tanya nenek Chiyo si pemilik toko. Tangannya sibuk menyiapkan teh hijau untuk Hinata.

Ah ya, karena sudah lama berlangganan—berhubung jarak toko dengan rumahnya dekat, Hinata memutuskan untuk menjadikan toko ini toko langganannya—Hinata sudah mengenal baik orang-orang yang bekerja di toko tersebut, begitupun sebaliknya.

"T-tidak perlu, Baa-san, a-aku sudah cukup merepotkan di sini," jawab Hinata sambil menyunggingkan senyum permohonan maaf, memeluk tasnya yang juga basah kuyup, demi mencari kehangatan.

"Kau tidak merepotkan, Hinata-chan," kata nenek Chiyo, "Sasori!" panggilnya, sambil membereskan meja yang penuh dengan sampah-sampah bekas membuat teh hijau.

"S-sungguh itu tidak perlu, Baa-san," Hinata kembali menolak dengan halus.

Tubuhnya sudah gemetar kedinginan dan tidak dapat dipungkiri, tawaran teh tersebut cukup menggiurkan. Tapi Hinata benar-benar tidak mau merepotkan siapa pun.

Saat nenek Chiyo melihat Hinata kembali ke depan tokonya untuk berteduh, ia langsung memanggil Hinata untuk masuk ke dalam agar lebih hangat, terutama saat melihat pakaian Hinata yang basah kuyup. Nenek Chiyo amat menyayangi Hinata, karena walaupun ia tinggal di sebuah rumah besar (baca: mansion), Hinata masih bersedia berbelanja di tokonya yang mungil.

"Kemana anak itu? Sasori!" panggilnya sekali lagi, kali ini dengan volume suara yang lebih besar.

"Ya-ya!"

Mendengar derap langkah kaki yang turun ke bawah, nenek Chiyo mempersilakan Hinata untuk duduk setelah memberikan teh buatannya pada Hinata, sementara ia kembali ke depan untuk menjaga toko bersama seorang lainnya.

"Pemalas..." terdengar gumaman nenek Chiyo tepat saat Sasori muncul.

Sasori mendecih pelan. "Ada apa?" tanyanya berusaha terdengar ramah, sedangkan raut wajahnya menggambarkan kekesalan.

"Temani Hinata-chan di belakang, Baa-chan akan menjaga toko," kata nenek Chiyo kemudian berlalu, meninggalkan Sasori yang masih berdiri di depan tangga.

Dengan sangat terpaksa, Sasori menelan kembali semua protes yang ingin ia layangkan pada neneknya saat melihat toko sudah mulai dipenuhi dengan pelanggan. Melangkah ke dapur, Sasori menemukan Hinata yang menggigil karena dingin, sedang menyesap tehnya di salah satu kursi di meja makan.

Karena hanya hidup berdua dengan sang nenek, kursi yang ada juga hanya dua, dengan sebuah meja sebagai pembatasnya.

"Dingin, ya?" tanya Sasori basa-basi, yang dibalas dengan anggukan malu-malu dari Hinata.

Sasori tersenyum kecil lalu melepaskan jaketnya yang berwarna merah marun dan menyampirkannya di punggung Hinata, berusaha membuatnya hangat sekaligus nyaman.

Perbuatan Sasori membuat pipi Hinata bersemu merah. Ia menunduk, menatap tehnya yang sudah tandas setengah. "Arigatou."

Sasori terkekeh pelan melihat tingkah Hinata lalu menarik kursi di hadapan Hinata dan menyamankan diri.

"Bagaimana Konoha Gakuen?" tanya Sasori berusaha memecahkan keheningan.

Matanya menelusuri tubuh Hinata yang tercetak jelas di balik pakaiannya yang basah. Pemandangan itu membuat wajahnya berubah warna. Lalu, untuk menjaga pertemanan, ia mengalihkan pandangannya dan menatap teh hijau—yang tersisa seperempat—milik Hinata yang terletak di meja.

"Um, biasa saja," jawab Hinata sekenanya, tidak terlalu memerhatikan perubahan warna wajah Sasori. Pertemanannya selama ini bersama Sasori tidak membuatnya gagap lagi.

"O-oh, begitu ya," gumam Sasori, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, masih berusaha mencari objek menarik untuk ditatap selain tubuh Hinata, terutama di bagian dada.

Angin bertiup kencang membuat air di depan toko terciprat masuk ke dalam rumah. Nenek Chiyo mengeluh karena harus membersihkan toko yang penuh lumpur bekas jejak sandal dan sepatu.

Melihat tingkah Sasori yang aneh, Hinata bertanya, "Ada apa, Saso-nii?" Tangannya kembali meraih tehnya yang tinggal sedikit itu dan meminum sisanya yang sudah tidak hangat lagi.

Berhasil menguasai diri, Sasori menjawab, "Tidak apa-apa," lalu menundukkan kepalanya, masih berusaha menghilangkan rona merah di wajahnya.

Hinata hanya mengangguk kecil untuk merespons jawaban Sasori. Ia kembali meletakkan gelasnya di meja lalu menundukkan kepalanya, terkejut saat melihat tubuhnya yang tercetak jelas, Hinata merona malu menyadari alasan Sasori salah tingkah.

"Sasori!"

Panggilan tersebut membuat Sasori berdecak kesal. Setelah memberikan respon, ia melangkah keluar dari dapur, meninggalkan Hinata sendirian, karena nenek Chiyo menuntut kedatangannya.

Tidak lama Sasori kembali memasuki dapur, kali ini ditemani dengan seorang lelaki tinggi besar—bagi Hinata yang bertubuh mungil—dengan rambut berwarna merah marun, senada dengan warna jaket yang sedang dikenakan Hinata.

"Duduk saja di sana," kata Sasori sambil menunjuk kursi di hadapan Hinata, yang sempat didudukinya tadi.

Hinata tidak mengalihkan pandangannya dari orang asing itu saat ia mendudukkan dirinya lalu melepaskan jaket kulit berwarna hitam miliknya di atas meja. Jaket tersebut terbukti ampuh melindungi seragam sekolahnya yang hanya basah di bagian kerah—karena tidak terlalu tertutupi dengan jaket.

Ia mengambil ponselnya dari saku celana, memastikan ponsel tersebut baik-baik saja sebelum mulai memainkannya.

Menyadari tatapan dari gadis di hadapannya, ia mendongak.

"Gaara Sabaku," ujarnya singkat.

Hinata terkejut sesaat, lalu menundukkan kepalanya, menyembunyikan rona merah di wajahnya karena tertangkap basah memerhatikan orang asing di hadapannya. Ia merapatkan jaket yang membungkus tubuhnya, walau tidak terlalu berhasil karena dadanya yang terlalu besar.

"A-aku tahu," balasnya pelan.

Gaara masih akan mengatakan sesuatu, saat Sasori kembali dari lantai dua dengan membawa selimut kecil, yang juga berwarna merah marun.

Merah marun adalah warna favoritnya.

"Aku tidak butuh."

"Pede amat kau," kata Sasori, "bukan untukmu."

Gaara memerhatikan Sasori memberikan selimut merah itu pada Hinata dan bagaimana Hinata tersenyum manis pada Sasori dan menggumamkan ucapan terimakasih yang dibalas Sasori dengan anggukan singkat.

Sasori lebih tua setahun dari mereka. Ia baru saja lulus dari Konoha Gakuen tahun lalu. Ingin melanjutkan kuliah di Universitas Hoshigakure, yang terkenal dengan universitas terbaik di Tokyo, namun memilih mengikuti permintaan Gaara untuk menunggunya lulus dan mereka masuk universitas bersama, sehingga Sasori terpaksa menganggur selama setahun.

Well, dia menyetujuinya juga karena ayah Gaara-lah yang membiayai sekolahnya selama ini.

Di luar, hujan masih bersemangat mengguyur kota Tokyo, sampai-sampai orang lebih memilih untuk nekat menembus hujan, karena malam sudah semakin dekat.

Sasori sibuk menyiapkan segelas teh hangat untuk Gaara atas perintah nenek Chiyo, tapi kemudian memutuskan untuk membuat segelas lagi untuk Hinata.

Gaara kembali menatap gadis di hadapannya, kali ini dengan tatapan intens. Ia menyeringai saat mendapati gadis di hadapannya memiliki ukuran dada yang cukup untuk Gaara.

"Konoha Gakuen, eh?" pertanyaan Gaara berhasil membuat gadis itu mendongak, kemudian kembali merapatkan jaket serta selimut merahnya untuk melindungi tubuhnya yang terekspos.

Melihat anggukan kecil dari Hinata, Gaara kembali berkata, "Pantas kau tahu namaku. Sayang aku tidak mengenalmu."

"Memang, sangat disayangkan," Sasori menimpali seraya meletakkan dua gelas berisi teh hangat untuk Gaara dan Hinata. "Untukmu," katanya pada Gaara, singkat, kemudian berlalu.

"Mau kemana kau?" tanya Gaara saat Sasori sudah menapaki anak tangga pertama.

Sasori mau Gaara lepas kendali?

"Main game," jawab Sasori sekenanya lalu menghilang ke lantai dua.

Mungkin Sasori tidak sayang lagi pada Hinata.

Gaara kembali mengalihkan pandangannya pada Hina—dada Hinata, yang jika diperhatikan dengan cermat, memperlihatkan warna bra-nya yang biru muda.

"Kau siapanya Sasori?" tanya Gaara, masih menatap dada Hinata, mengambil tehnya, kemudian meminumnya hingga habis.

"T-teman."

Gaara manggut-manggut.

"Kau seangkatan denganku, ya? Siapa namamu?" tanya Gaara lagi, sedikit bingung dengan sikapnya yang mendadak ramah.

"Hinata Hyuga," jawab Hinata, "a-aku juga sekelas denganmu," lanjutnya, semakin menundukkan kepalanya, menatap tas hitamnya yang basah kuyup.

Gaara sedikit terkejut mendengar pernyataan Hinata.

Bagaimana mungkin ia melewatkan dada sebesar itu di sekolahnya?!

Berusaha menjawab pertanyaannya sendiri, Gaara mencermati tubuh gadis itu.

Kalau diperhatikan, ukuran baju Hinata terlihat lebih besar dari ukuran badannya.

Untuk memastikan jawabannya sendiri, Gaara kembali bertanya, "Ukuran badanmu berapa?"

Hinata mendongak, ekspresi bingung ia tampilkan di wajah cantiknya.

"Jawab saja," kata Gaara sebelum Hinata sempat mengajukan pertanyaan.

"M."

"Ukuran bajumu?"

"L."

Gaara mengangguk mendengar jawaban Hinata, menyesap teh milik Hinata tanpa izin, membuat pemiliknya semakin kebingungan.

Ada apa, ya?

"Pantas saja dadamu tidak pernah kelihatan."

Dan Hinata mendapatkan jawabannya!

"Um, sepertinya a-aku harus pulang sekarang, T-tou-san pasti sudah m-mencariku," Hinata berujar sambil bangkit berdiri, kembali menyampirkan tasnya di bahu, lalu berjalan terburu-buru ke pintu depan.

"Hinata-chan? Mau kemana?" tanya nenek Chiyo saat melihat Hinata keluar dari dapur. "Hujannya masih deras lho," lanjutnya.

"Betul sekali," Gaara menimpali membuat Hinata terkejut karena sama sekali tidak menyangka bahwa Gaara akan menyusulnya.

Hinata berpikir keras untuk mencari alasan agar ia bisa bebas dari Gaara. "Eto... T-tou-san pasti sudah mencariku, j-jadi aku harus pulang s-sekarang."

Nenek Chiyo hanya mengangguk-angguk mendengar alasan Hinata yang cukup masuk akal. "Mau Sasori antar?" Ia lalu melirik Gaara. "Atau Gaara?"

"T-tidak perlu, Baa-san, a-aku bisa sendiri."

Hinata berlalu setelah mengucapkan terimakasih pada nenek Chiyo dan meminta nenek Chiyo untuk memberitahu Sasori bahwa jaket dan selimutnya ia pinjam dulu, yang, tentu saja, dibalas nenek Chiyo dengan kalimat 'Tidak apa-apa'.

Sesampainya di luar toko, hujan kembali menyambar tubuhnya yang kini berbalutkan jaket dan selimut milik Sasori. Saat hendak menyeberang, tangan kanannya ditahan seseorang membuat Hinata berbalik untuk melihat siapa gerangan yang menahan tangannya itu.

"G-Gaara-san?" tanyanya bingung. Matanya sedikit menyipit karena air hujan yang masih turun dengan deras.

Gaara menatap wajah Hinata, kemudian turun menatap tubuhnya yang sekarang benar-benar terekspos karena air hujan yang mengguyur tubuhnya kembali membuat seragamnya basah kuyup, memperlihatkan kedua payudara besarnya yang dibalut bra warna biru muda, lalu kembali menatap wajah Hinata, tepat di matanya.

"Aku suka dadamu."

Jadi ia menahan Hinata hanya untuk itu? Mengatakan hal itu?!

Wajah Hinata yang pucat karena dingin kini sedikit bersemu merah karena ucapan Gaara. Ia malu dan marah karena merasa dilecehkan.

"Aku harus pergi," kata Hinata, dingin, lalu melepaskan tangannya dari cengkraman Gaara secara paksa dan berlari menembus hujan.

Gaara menyeringai, tidak peduli dengan pakaiannya yang basah kuyup karena hujan, menampilkan tubuh atletisnya dibalik seragam. Ia masih menatap kepergian Hinata sampai gadis itu menghilang di persimpangan.

"Gaara! Kau bisa masuk angin, goblok!"

Gaara mendelik mendengar teriakan Sasori dari dalam toko. Dengan santai, ia kembali masuk ke dalam toko, tidak peduli dengan beberapa orang yang ia tabrak.

"Kau ini tidak pernah berpikir pakai otak, main hujan seperti itu. Bocah!" omel Sasori seraya memberikan sebuah handuk pada Gaara.

"Mana Hinata?"

Cih, kalau tentang Hinata dia jadi lembut, pikir Gaara.

"Pulang."

"Apa?!" seru Sasori kaget mendengar jawaban Gaara.

Yang ia tahu selanjutnya, Sasori mengomel banyak pada nenek Chiyo dan juga dirinya. Mulai dari Hinata yang pulang hujan-hujanan sampai dengan lantai yang sangat kotor karena lumpur. Bahkan tembok yang cat-nya terkelupas juga diomeli Sasori. Padahal, cat tersebut sudah terkelupas dari beberapa hari yang lalu.

Inginnya, Gaara menyumpal mulut Sasori supaya bisa diam dan ia dapat menikmati keheningan sambil berfantasi liar tentang Hinata dan dirinya di ranjang. Namun sayangnya, ia membutuhkan informasi mengenai Hinata dari Sasori, dan itu membuatnya tidak bisa berbuat macam-macam pada Sasori.

Jadilah ia hanya duduk mendengar suara Sasori dan nenek Chiyo yang sedang beradu mulut.

.

Esoknya, setelah bermain hujan-hujanan dan diomeli oleh papa Hiashi dan Neji-nii kesayangannya, Hinata demam. Sisi positifnya, dia tidak terkena influenza dan karena hari Sabtu sekolah memang libur, Hinata bisa beristirahat total di rumah.

Tapi masih ditemani dengan omelan kakak sepupu tercinta.

Hiashi membaca koran sambil menggeleng-gelengkan kepala, sesekali mulutnya komat-kamit mengomeli Hinata dalam diam. Neji sibuk mondar-mandir mencari obat dan memberi makan Hinata. Sedangkan Hanabi is nowhere to be found.

"Kalau kau minta jemput kemarin, kau tidak akan sakit sekarang."

"Jangan tidur, Hinata, makan dulu baru minum obat."

"Lihat, kulitmu tambah pucat."

"Minum air putih banyak-banyak."

Suara pintu tertutup pelan membuat Hinata mengembuskan nafas lega. Telinganya sudah panas mendengar ocehan Neji dari tadi.

Tapi Hinata dengar, kok.

Apa tadi? Jangan minum air banyak-banyak? Yup! Pasti supaya ia bisa beristirahat dengan tenang tanpa harus bolak balik ke kamar mandi untuk buang air kecil. Neji memang mengerti dirinya.

Mengabaikan segelas air putih penuh yang diletakkan Neji di atas nakas samping tempat tidur, Hinata lalu menutup matanya, bersiap terjun ke alam mimpi.

Hinata sudah tidak sadarkan diri saat Neji kembali masuk ke kamarnya dan mendapati gelas yang tadi diisinya penuh, tidak berkurang sedikitpun.

Mendesah lelah, Neji mematikan lampu kamar Hinata lalu melangkah keluar.

.

Senin, 9 November 2015

Hinata berjalan dengan lesu ke arah kelasnya di lantai dua. Kepalanya menunduk dan rambutnya tergerai menutupi wajah dan sebagian tubuh depannya. Tenaganya tidak cukup untuk hal-hal berat seperti naik tangga, yang merupakan kegiatannya sekarang ini. Untung sekarang dia sudah kelas tiga SMA, jadi kelasnya berada di lantai dua, sedangkan lantai tiga dan empat untuk junior-juniornya.

Menghela napas lega setelah melewati siksaan bertubi-tubi alias tangga, Hinata kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas.

Bruk

Sambil mengelus-elus kepalanya yang sedikit sakit, Hinata mendongak.

Jade bertemu amethyst.

"E-eto-"

Brak

Belum sempat mengucapkan permintaan maaf, Gaara sudah menyudutkannya di tembok dan mengelilinginya dengan anggota kelompoknya yang lain.

Gaara and the squad: Sasuke Uchiha dan Naruto Namikaze.

"Jadi dia yang kau bicarakan kemarin?" tanya Naruto yang mengurung Hinata di sisi kanan, sedangkan Sasuke di sisi kiri, dan Gaara di hadapan Hinata. Kedua tangannya berada di kedua sisi kepala Hinata, mengurung pergerakan Hinata dan memastikan Hinata tetap fokus pada dirinya seorang.

Gaara mengangguk sebagai respon. Ia masih sibuk memerhatikan wajah Hinata yang berwarna merah dan menunjukkan ketakutan. Gaara menyeringai.

Merah adalah warna favorit Gaara.

Bukan merah marun, itu kesukaan Sasori.

Tubuh Hinata mulai bergetar ketakutan, matanya berusaha mencari celah di antara tiga orang yang mengelilinginya, siapa tahu ada yang melihatnya dan menolongnya dari kukungan tiga orang penguasa sekolah.

Sayang beribu sayang, tidak ada satupun murid yang memiliki keberanian untuk mengusik mereka berempat, beberapa murid hanya menatap penasaran, sedangkan guru-guru belum keluar dari singgasananya karena bel masuk belum berbunyi.

Takut-takut, Hinata mengangkat kepalanya, mencoba menghadapi tiga binatang buas itu sendirian.

"A-ano-"

Hinata terdiam.

Matanya yang tadi—mencoba—menatap mata Gaara sekarang beralih perlahan menuju dadanya...

...yang kini sedang ditampung kedua tangan Gaara.

"Besar."

Hanya itu yang ia ucapkan setelah merasakan dada Hinata di kedua tangannya.

Wajah Hinata merah padam setelah berhasil mencerna situasi yang menimpanya. Ia merasakan konflik batin dalam dirinya; melawan atau pasrah. Bagaimanapun, ini merupakan pelecehan. Dan ia harus melawan.

Ya. Melawan!

Bentak dia Hinata!

"A-apa y-yang k-k-kau lakukan?"

Bukan itu yang diharapkan Hinata!

Padahal dalam hati tadi dia bisa membentak Gaara. Tapi kenyataannya, gagapnya makin parah.

"Memegang milikku tentu saja."

Itu tidak membuat Hinata baik-baik saja. Bahkan, jawaban itu tidak menjelaskan keadaannya saat ini.

Miliknya? Maksudnya apa?

"Kau menggunakan baju yang kebesaran untuk menyembunyikan dadamu, ya?" Sasuke yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara setelah melihat cetakan dada Hinata yang sedang dipegang Gaara.

Hinata menggigit bibirnya saat merasakan kedua tangan Gaara meremas dadanya pelan.

"A-aku-"

"Mulai hari ini kau milikku."

Hinata mendongak.

Bunyi bel masuk membuat Hinata terpaksa menelan pertanyaannya yang sudah berada di ujung lidah.

"Ayo," Gaara menarik tangan Hinata menuju kelas. Sasuke dan Naruto mengikuti dari belakang.

"Kau duduk di mana biasanya?" tanya Gaara saat mereka sudah sampai di depan kelas.

Berpasang-pasang mata menatap mereka berdua.

Hening sejenak.

Tidak lama keheningan tersebut diisi dengan bisik-bisik dari murid-murid yang penasaran dengan hubungan Gaara dan Hinata.

"HINATA!"

"Woy, Kiba! Berisik!" teriak Shikamaru yang sedang berusaha untuk tidur.

"Sori, sori, hehe, Hinata!" kali ini Kiba berjalan menuju Hinata yang sedang tersenyum manis melihat tingkah Kiba, sahabatnya.

Gaara cemburu.

"Kau duduk dengannya?" Gaara bertanya yang dibalas anggukan singkat dari Hinata.

"Kau harus jelaskan semuanya padaku!" Kiba mencengkram kedua bahu Hinata dan, tanpa seizin Gaara, menarik Hinata menuju tempatnya.

Gaara mendecak kesal.

Itu 'kan pacarnya!

Eh? Emang Hinata setuju, ya?

Kekesalan Gaara bertambah saat melihat Hinata yang senang-senang saja berada di sekitar Kiba yang dari tadi histeris melihat Hinata dan Gaara masuk ke kelas sambil bergandengan tangan. Beberapa kali wajahnya merona merah saat Kiba menanyakan sesuatu yang bersifat personal.

"Ada apa ini?" tanya Kakashi—yang menjabat sebagai guru fisika—saat melihat Sasuke dan Naruto berdiri menjaga sisi pintu, sedangkan Gaara menghalangi pintu masuk.

"Konflik," jawab Sasuke tenang.

Gaara berjalan menuju Kiba dan Hinata dengan terburu-buru, membuka jalan masuk untuk Kakashi yang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Mulai sekarang kau duduk denganku," ujar Gaara dingin. Matanya menatap tajam pada Hinata yang kini sedang menunduk takut dan Kiba yang menatapnya bingung.

Kakashi masuk ke kelas disusul dengan Sasuke dan Naruto.

Gaara menarik Hinata duduk dengannya, di pojok kanan kelas. Sasuke dan Naruto duduk di hadapan mereka. Kiba berteriak tidak rela melihat Hinata-nya dibawa lari. Shikamaru, yang duduk di depan Naruto dan Sasuke, menutup wajahnya dengan buku saat matahari menerpanya dari arah barat.

"Sudah?" tanya Kakashi pada Gaara.

Gaara tidak mengacuhkan pertanyaan Kakashi, ia lebih memilih menopang kepalanya di tangan kiri dan menatap Hinata yang sedang duduk di sampingnya.

"Belum, Sensei," Shikamaru menjawab pertanyaan Kakashi yang tidak ditujukan padanya.

Kakashi mengernyitkan dahi.

"Ino! Tutup tirainya, silau tahu!" teriaknya sesaat kemudian.

Bukannya menutup tirai, Ino semakin membuka lebar tirai jendela, sehingga cahaya matahari pagi yang menerobos masuk semakin menyilaukan Shikamaru. "Makan itu, pemalas!"

Shikamaru mendecak sebal melihat tingkah Ino.

Kakashi terkekeh sebentar melihat drama di hadapannya yang cukup menghibur di pagi hari.

"Buka buku kalian halaman 102," perintah Kakashi, "kerjakan soalnya, kita sudah bahas pelajaran ini minggu lalu," tambahnya.

Beberapa murid dengan kepintaran di bawah rata-rata mendesah kecewa. Siapa, sih, yang mau mengingat pelajaran minggu lalu?

Hanya orang paling rajin yang mau mempelajari kembali rumus-rumus rumit tersebut di rumah.

Hinata membuka bukunya perlahan, gugup karena Gaara terus menatapnya intens. Ia berusaha memfokuskan diri untuk membaca soal di hadapannya, menghindari kontak mata dengan si kepala merah.

Hinata mulai mempertimbangkan keputusannya untuk meratakan dadanya, itupun kalau bisa. Memangnya operasi payudara hanya untuk memperbesar, ya?

"Kau tahu," kata Gaara, ia membuka bukunya sembarangan dengan mata yang masih menatap Hinata.

Hinata menatap Gaara penasaran saat Gaara tak kunjung melanjutkan perkataannya.

Sukses mendapat perhatian penuh dari Hinata, Gaara menyeringai.

"Kita harus menikah."

.

Pria berkepala lima—yang diketahui sebagai Direktur Perusahaan Sabaku—bernama Katashi Sabaku itu memijat pelipisnya. Ia membaca kembali dokumen yang baru saja dikirim dari Jerman kemari.

Di situ tertulis bahwa salah satu cabang perusahaan Sabaku di Jerman mendekati kebangkrutan. Memang cabangnya di sana sudah berkali-kali melewati masa kritis, tapi selalu berhasil melewatinya walau hanya dipantau dari jauh oleh Katashi. Sayangnya, kali ini ia harus ke sana untuk memantaunya secara langsung.

"Aku benar-benar harus ke sana," gumamnya pelan.

TOK TOK TOK—BRAK

Katashi mengalihkan pandangannya dari dokumen ke arah Gaara yang muncul dari balik pintu.

"Tou-san! Aku terima tawaranmu," ujar Gaara mantap. Nafasnya memburu, hasil larinya dari lantai satu ke lantai paling atas, tempat kantor ayahnya berada.

"Aku belum mengizinkanmu masuk," Direktur tersebut berujar dingin.

"Kau harus menghargai anakmu yang rela naik ke sini lewat tangga."

"Kadang aku ragu kau anakku," Gaara mengernyit tidak suka, "lagian kenapa tidak lewat lift?"

Gaara menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal untuk pertama kalinya.

Haruskah ia mengatakan sejujurnya? Bahwa ia lupa pada keberadaan lift karena begitu terburu-buru menemui ayahnya tercinta, sehingga membuatnya berlari menaiki tangga dari lantai satu ke lantai dua puluh satu?

"Yaah... Aku ingin olahraga."

Tidak. Dia tidak akan mengatakannya.

"Yup," Gaara mengangguk-angguk mendengar jawabannya sendiri, puas karena jawabannya cukup masuk akal—baginya.

Katashi terkekeh. Apapun yang menyebabkan anaknya seperti ini, pasti merupakan masalah yang penting.

"Alasanmu?" tanya Katashi, meletakkan dokumen yang tadi dibacanya di meja, lalu memberikan perhatian penuh pada Gaara.

"Aku akan menikah."

Mata Katashi membelalak.

Menikah?

Gaara menikah?!

Haha, dunia pasti sudah mau kiamat.

"Aku akan berpura-pura tidak mendengar apa yang baru saja kau katakan," kata Katashi, wajahnya kembali datar. "Sekarang jawab pertanyaanku dengan benar."

"Aku sudah jawab."

"Kau punya calon?"

Gaara mengangguk. "Hinata Hyuga, aku akan melamarnya besok."

Hyuga? Katashi kenal.

"Kau butuh jabatan ini sebagai jaminan?"

Sekali lagi Gaara mengangguk. "Aku juga butuh rumah, atau apartemen, terserah."

Katashi mengembuskan napas pasrah mendengar keinginan anaknya yang tidak jelas.

"Terlalu cepat untuk melamar. Memangnya kapan kau mau menikah?"

"Bulan Desember."

"Tahun depan?"

"Bulan depan."

Kali ini Katashi menyipitkan matanya. "Kau tidak mabuk, kan?" Ia bertanya untuk memastikan.

"Tidak, Tou-san, aku serius dengan semua perkataanku," jawab Gaara dengan nada kesal yang tidak ia sembunyikan.

"Oke, oke," Katashi berujar pasrah.

Gaara menyeringai mendengar jawaban ayahnya. "Yesss!" serunya sambil mengepalkan salah satu tangannya, seperti anak kecil yang berhasil menyelesaikan suatu misi.

Katashi memandang anaknya dengan tatapan datar. Siapa pun yang membuat Gaara seperti ini, patut diberi penghargaan.

"Dadanya besar, lho," kata Gaara dengan nada bangga.

Katashi memutar bola mata. "Ya, ya, kemarilah, akan kujelaskan apa yang harus kau lakukan."

TBC

Yo! I'm back! #gakadayangnyari

Jadi, untuk sementara Russia ditunda, karena filenya ada di laptop saya, dan laptop saya belum sampai ke sini T.T Mungkin saya baru bisa update pada bulan Juli. Gomenesai T_T *nunduk dalam-dalam*

Anyway, ini fic rate M pertama saya yang direquest oleh nabila. nurmalasari1. Kalau dia gak request saya tidak akan pernah menulis fic ini xD Thanks to you! *peluk cium buat nabila*

Fic ini saya tulis di hp, jadi updatenya bakal cepat. Untuk sementara saya akan fokus pada fic ini. Genius kemungkinan besar akan saya discontinued, sedangkan Rusia kmungkinan besar baru bisa lanjut bulan depan (tunggu lappy datang)

Oke, sekian dulu, hehe :D

Review sangat dibutuhkan bagi kami, penulis-penulis ffn, jadi sempatkanlah diri anda untuk mereview suatu cerita, tidak perlu panjang, seadanya saja sudah cukup meyakinkan kami para penulis untuk melanjutkan cerita kami.

So, review, please?