Gin iro noTsuki Akari

(Silver-colored Moonlight)

Chapter 5 : Korekara wa Mirai no Bunkiten – Mulai sekarang adalah persimpangan masa depan

By : Hashizora Shin

Genre : Romance, Drama, Suspense, Hurt/Comfort, Friendship

Warning :Shizaya, typos, plot membingungkan

Durarara!Ryohgo Narita

Cerita ini adalah fiksi. Tidak ada hubungan dengan orang, negara, atau organisasi dalam dunia nyata. Apabila ada kesamaan itu tak lebih dari kebetulan belaka dan tidak ada unsur kesengajaan sama sekali.

Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfiksi ini

a/n : kalimat dalam tanda [...] : percakapan telepon, dalam tanda {...} : apa yang Celty ketik di PDA-nya.

.

.

.

.

"Terima kasih banyak, Celty. Aku jadi selalu merepotkanmu" ujar Shizuo begitu ia dengan kursi rodanya, sampai di apartemennya.

{Sama-sama, jangan pikirkan itu. Kau tak apa kan tadi kubawa dengan cara begitu?}

"Tak apa, tenang saja. Kau benar-benar membawaku dengan hati-hati. Terima kasih, ya" Shizuo tersenyum, meyakinkan Celty bahwa ia baik-baik saja.

{Benarkah? Syukurlah... Ngomong-ngomong, sebentar lagi helper yang dijanjikan Shinra akan datang, tolong perlakukan dia baik-baik ya. Jangan membuatnya takut padamu. Semoga kau bisa menerimanya dan dia bisa membantumu tanpa memandang siapa dirimu. Yah, kau tahu maksudku}

"Ya, aku tahu kok. Aku akan hati-hati. Sampaikan terima kasihku pada Shinra."

{Oke, kalau begitu aku permisi ya. Pokoknya kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi kami ya, Shizuo}

"Oke, sampai nanti, Celty."

Shizuo merogoh kantong celananya mencari kunci. Sulit sekali menggerakkan tangannya karena rasanya begitu berat dan pegal. Setelah pintu terbuka, perlahan dia menyeret kursi rodanya dengan susah payah. Begitu masuk ia mendapati apartemennya begitu dingin dan agak bau apek. Mungkin bau cucian kotornya. Wajar saja, tiga minggu itu lama, dan untungnya Shizuo tipe orang yang selalu meninggalkan rumah dalam keadaan rapi, jadi tiga minggu ditinggal pun ia tak mendapati rumah berantakan. Shizuo menyeret kursi rodanya kearah dapur. Ia membuka kulkas, mendapati kulkasnya kosong. Si penangih utang itu menghela nafasnya, ia baru ingat malam itu ia habis membeli persediaan susu dan makanan lainnya, tapi karena kejadian itu, ia kehilangan belanjaannya.

Kemudian Shizuo mengarahkan kursi rodanya ke ruang tamu. Ia ingin pindah ke sofanya tapi tak bisa. Walhasil ia cuma duduk di kursi roda, sembari menonton TV. Matanya menerawang kosong, entah menonton apa, karena sebenarnya ia memikirkan banyak hal.

Keputusan yang nekat sebenarnya kembali ke apartemen dalam kondisi tak stabil begini. Tapi ia tak mau lama-lama di tempat Shinra adalah karena tak ingin merepotkan (sepertinya Shinra diam-diam kurang nyaman tinggal bersamanya, cuma prasangka Shizuo saja tapi tetap saja itu mengganggu) dan lagi ia belum bisa membayar biaya pengobatannya. Ia sudah lama tidak bekerja, tidak ada yang ia hubungi sejak kejadian malam itu, pasti Tom-san dan adiknya kebingungan mencari dirinya. Apalagi Shinra juga bilang ia tak memberitahu siapapun tentang keadaannya. Sekarang uangnya juga sudah habis (dan sialnya persediaan makanannya pun raib saat itu), ia bahkan tak tahu bagaimana bisa makan setelah ini. Helper-nya pun nanti bagaimana cara menggajinya? Ia sedang dalam kondisi tak bisa bekerja. Lalu (sebenarnya ia tak mau mengakuinya) ia agak sedikit memikirkan informan yang ia selamatkan tempo hari.

Bagaimana kabarnya ya..?

Shizuo menerawang jauh. Dalam dirinya sendiri ia tak habis pikir kenapa belakangan ini wajah dan sosok Izaya terus yang bergentayangan di pikirannya. Bahkan sampai penasaran bagaimana kabarnya segala...

Lamunannya terputus tatkala bel apartemennya berbunyi. Shizuo mengarahkan kursi rodanya kearah pintu. Pasti helper yang dijanjikan Shinra, pikirnya.

Pintu terbuka dan Shizuo mendapati sosok ramping berambut hitam dengan mantel bulu, jeans, dan kaos berwarna senada, berdiri di depannya dengan menenteng plastik belanjaan.

Kepala Shizuo mendongak dan wajah yang sama seperti yang barusan ia lamunkan kini tepat ada didepannya.

Senyum yang lebih menyerupai seringai itu mengawali semuanya.

"Hai, Shizu-chan"


~#~#~


"I...zaya..?"

Senyum mengembang dari bibir sang informan. "Lama tak jumpa, Shizu-chan. Bagaimana keadaanmu sekarang, hm?"

Pria di kursi roda itu diam seribu bahasa. Agaknya semua hal ini terlalu mengagetkan baginya, sehingga ia tak tahu harus merespon dan menjawab apa.

Ia tak habis pikir bagaimana bisa seorang Izaya dengan sukarela (?) di cuaca dingin begini datang ke tempatnya, dan ia sendiri tak sedikitpun merasakan gejolak amarah meskipun musuh abadinya itu kini berdiri di depannya.

"Ah, diluar dingin.." Izaya mendekap tubuh dengan kedua tangannya, "Shizu-chan, kita masuk dulu yuk" dan tanpa permisi, ia mendorong kursi roda beserta Shizuo ke dalam.

"Haah~ di sini pun masih dingiiin~ Shizu-chan, apa kau tidak menyalakan penghangat?" Izaya melempar pandangan ke sekeliling mencari penghangat. "Lho, sudah kau nyalakan ya? Kenapa masih sedingin ini ya..."

Yang ditanya tak kunjung menjawab.

"Ah, iya juga ya, kau baru datang hari ini ya? Wajar saja apartemenmu masih dingin..." Izaya mendekap tubuhnya makin erat dan dia duduk di sofa. Shizuo perlahan mengarahkan kursi rodanya mendekati Izaya.

"Kenapa..kau ke sini..?" suaranya terdengar serak dan tercekal. Shizuo tak paham.

"Hm? Ah, benar juga, aku belum memberitahumu ya?" Izaya bangkit dari sofa dan menuju ke dapur, membawa plastik belanjaan yang sejak tadi ia bawa. "Sebelum itu, kau sudah makan?"

Mereka beradu pandang tapi Shizuo tak mengatakan apapun. Izaya membalas tatapan Shizuo dengan senyuman.

"Pasti belum makan. Aku juga belum, sih... Untunglah sebelum ke sini aku belanja bahan-bahan makanan dulu, sudah kuduga tidak ada makanan apapun di apartemen Shizu-chan" katanya sembari memeriksa isi kulkas dan tak mendapati apapun. Pria itu menutupnya lagi dan berjalan ke dapur.

"Aku pinjam dapur ya, Shizu-chan? Oh iya, Shizu-chan mau dibikinkan apa? Sepertinya aku akan masak tumis kentang, sup ayam... Shizu-chan suka ayam 'kan?"

Shizuo masih tak menjawab apapun ocehan Izaya. Ia hanya mengikuti pemuda itu ke dapur dan mengamati gerak-gerik sang informan yang sedang menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak.

Izaya melirik Shizuo disampingnya, "Shizu-chan, kau pendiam sekali sejak tadi, apa kau sedang puasa bicara? Atau tenggorokanmu sakit?"

"Kau.. belum menjawab pertanyaanku tadi.. mau apa kau ke sini?"

Yang ditanya hanya melambaikan tangan, memberi isyarat agar Shizuo tak membahas itu dulu. "Aku mau masak dulu ya, Shizu-chan. Jadi kuharap kau tidak menggangguku dulu, oke? Kira-kira 30 menit lagi... kau kembalilah ke ruang tamu, aku akan memberitahumu setelah aku selesai masak, oke?"

Izaya melempar senyuman yang kali ini tak menyerupai seringai. Ia mendorong kursi roda Shizuo ke ruang tamu dan meninggalkannya disana. Shizuo menurut saja. Karena benar-benar tak paham ada apa dan kenapa, jadi sebaiknya ia tunggu saja sampai Izaya menjelaskan semuanya padanya. Lagipula ia sedang tak punya keinginan dan tenaga untuk marah.

Meskipun Izaya menyuruhnya menunggu di ruang tamu, tapi Shizuo tak bisa menahan rasa was-was –kalau-kalau si informan itu memasukkan racun atau bahan aneh ke makanan yang ia masak– dan penasaran –yah, ini memalukan, tapi ia ingin melihat sosok Izaya sedang memasak– jadi ia mendorong pelan kursi rodanya ke arah dapur dan mengintip tanpa suara.

Ia melihat Izaya dengan cekatan memotong sayuran dan ayam. Kemudian ia menyalakan api dan sepertinya sedang memanaskan wajan. Selagi menunggu wajan panas, Izaya kembali memotong-motong bahan lalu meracik bumbu-bumbu. Shizuo mulai mendengar dengungan suara dari Izaya, sepertinya ia sedang bersenandung. Alis Shizuo terangkat, apa ia sedang senang?

Sebegitu senangnyakah ia sekarang? Apa sebenarnya rencananya?

Shizuo yang tenggelam dalam pikirannya tak sadar ia benar-benar terfokus memperhatikan Izaya sampai akhirnya informan itu menyadari kehadirannya. Izaya menoleh ke arah pintu dapur dan merengut ke arahnya.

"Shizu-chaan! Bukankah sudah kubilang tunggu saja di ruang tamu? Kenapa kau malah kesini?"

"Kenapa? Kau terganggu?" ujar Shizuo datar.

"Hmph, tentu saja terganggu! Kau melihatku seperti orang melotot begitu, aku jadi takut, ahahaha~"

"Kenapa takut? Aku hanya penasaran... jangan-jangan kau memasukkan racun atau bahan-bahan aneh ke dalam makanan.."

Izaya mendengus geli, "Heh, pikiranmu negatif sekali.. Ini juga makanan yang akan kumakan, mana mungkin aku masukkan racun? Kau ini..."

"Kalau memang kau tak memasukkan apapun yang mencurigakan, seharusnya kau tak masalah meskipun aku disini 'kan?"

Izaya mengamati Shizuo sejenak, lalu tersenyum, "Yah, terserah kau saja kalau begitu...", kemudian kembali melanjutkan kegiatan masaknya.


~#~#~


40 menit berlalu, Izaya selesai membuat dua jenis makanan, tumis kentang dan sup ayam. Ia melangkah keluar dari dapur bersama piring-piring, dan Shizuo mengikutinya dari belakang.

Mereka menuju ruang tamu. Izaya meletakkan piring-piringnya dan kembali ke dapur untuk mengambil mangkuk nasi. Ia juga mengambil seteko air dan dua gelas kosong. Semua berlangsung sunyi, dan Shizuo juga mengamatinya tanpa suara.

Izaya mendekati Shizuo, "Kau ingin duduk di sofa?"

Shizuo menggeleng. "Tidak."

"Heee kau mau makan di kursi roda? Kalau begitu nanti aku jadi susah menyuapimu.."

Kata terakhir yang keluar dari mulut Izaya mengagetkan Shizuo "Su-su-suap?! Kau pikir aku anak kecil?! Aku bisa makan sendiri, kutu!"

Izaya terkekeh dan menyerahkan semangkuk nasi lengkap dengan lauknya. "Haha, aku serius Shizu-chan, kupikir kau tidak bisa makan dengan kondisimu yang masih sulit bergerak itu. Jadi kupikir sebaiknya aku suapi saja biar makanannya tidak tumpah, begitu..."

"Haaah?! Seenaknya saja kau berpikir begitu, dasar sial! Daripada kau suapi lebih baik aku tak usah makan!" gusarnya sambil berusaha menyumpit makanan dari mangkuknya. Memang ia bilang begitu tapi kenyataannya Shizuo tak bisa menghentikan tangannya yang gemetaran memegang mangkuk dan sumpit. Tapi pria dengan ego keras itu tak mau menyerah dan tetap berusaha, dan ketika baru saja Shizuo akan memasukkan makanan ke dalam mulutnya, getaran tangannya semakin hebat dan sesumpit makanan yang ia ambil susah payah jatuh ke lantai.

Izaya mengamatinya sambil menahan tertawa.

Shizuo makin gusar. Ia menatap mangkuk, sumpit dan tangannya yang gemetaran dengan perasaan berkecamuk.

"Nah 'kan, Shizu-chan? Sudah kubilang apa? Kalau tumpah-tumpahan begini, siapa yang mau membereskan, hm?" ujar Izaya sembari membungkukkan badan, memunguti nasi-nasi dan lauk yang terjatuh itu, dan berjalan ke arah tempat sampah lalu membuangnya. Shizuo tercengang melihat pemandangan seorang Orihara Izaya membungkukkan badan di depannya dan memunguti makanan yang tadi ia jatuhkan.

Apa dunia sedang berbalik 180 derajat?

Shizuo masih mengamati Izaya yang baru keluar dari arah dapur setelah cuci tangan. Sambil mengelap tangannya, Izaya berkata,

"Shizu-chan, kusuapi saja ya. Aku tak mau membereskan makanan tumpah lagi. Dan sebaiknya kau buang segala ego tak berguna itu dan terima saja kuperlakukan baik." Nada suara Izaya yang benar-benar ringan tanpa tekanan itu menggema dalam ruangan apartemen sempit Shizuo.

Shizuo benar-benar tercengang sampai tak sanggup lagi bicara. Ia mengikuti gerak-gerik Izaya selanjutnya. Mengambil mangkuk dari tangan Shizuo dan memasukkan lagi sedikit tumis kentang dan ayam dan menghadapkan tubuhnya ke arah Shizuo. Dengan tersenyum –yang kali ini benar-benar senyum– Izaya mengarahkan sumpit ke arah mulut Shizuo.

"Nah, Shizu-chan, bilang 'aaa'.."

Entah tersihir atau apa, mulut Shizuo menuruti perintah untuk 'aaa' itu dan melahap makanan yang Izaya sodorkan. Izaya tersenyum –lagi– dan Shizuo hampir tersedak melihatnya.

"Nah begitu dong Shizu-chan, kalau dari tadi kau menurut 'kan semua beres.. kunyah pelan-pelan... Shizu-chan, jangan sampai tersedak ya.." katanya pria berambut hitam itu dan kemudian tersenyum lagi.

Shizu-chan tak mampu lagi menahan. Spontan ia tersedak.

"Ya ampun, baru saja kubilang..." Izaya dengan cekatan segera menuang air dan meminumkannya pelan-pelan pada Shizuo.

"Kubilang kan hati-hati kalau makan, kalau tersedak bahaya lho... " oh, demi kerang apapun, sejak tadi Izaya sepertinya mengalami geger otak atau korslet pita suaranya, karena nada suaranya yang ringan dan lembut itu sama sekali bukan Orihara Izaya, begitu pikir Shizuo sejak tadi.

Setelah akhirnya Shizuo tak lagi batuk-batuk, Izaya kembali menyuapinya beberapa kali dan kali ini ia tak tersedak lagi. Untungnya Izaya tak lagi senyum-senyum sehingga Shizuo bisa makan dengan lebih tenang, sembari curi-curi pandang ketika Izaya sedang menyuap makanan untuk dirinya sendiri, dan oh demi apapun, sumpit yang dipakainya untuk menyuapi Shizuo, dipakai juga olehnya untuk menyuapi dirinya sendiri. Entah sudah berapa kali sejak beberapa menit yang lalu Shizuo selalu terkaget-kaget begini. Yang jelas ia benar-benar sedang kehabisan akal sekarang, dan tak tahu apalagi yang akan dilakukan pria di depannya ini.

Izaya akhirnya menyadari sejak tadi Shizuo memperhatikannya.

"Kenapa, Shizu-chan?" tanyanya diakhiri dengan senyuman maut sialan yang lagi-lagi membuat Shizuo tersedak.

Kalau saja Izaya tahu betapa senyuman-senyuman spontan itu begitu mematikan baginya.

"Ya ampun, Shizu-chan! Kenapa tersedak lagi sih? Kan tadi sudah kubilang makan pelan-pelan... aduuh.." keluh Izaya sembari mengelap mulut Shizuo yang penuh nasi. Wajah Shizuo memanas. Ini sudah diluar batas kewajaran karena seorang Orihara Izaya yang sedang mengelap wajahnya saat ini seratus persen pasti bukan Izaya, atau...

Orihara Izaya sudah gila. Itulah kesimpulan akhir satu-satunya yang bisa Shizuo tarik dari semua ini.

"Kau siapa sebenarnya? Apa maumu menyamar jadi si kutu brengsek itu dan datang kesini?"

Izaya yang masih mengelap wajah Shizuo, cukup kaget dengan pria di depannya yang tiba-tiba melontarkan pertanyaan padanya. Izaya mendengus geli dan tersenyum –lagi dan ini sungguh menyebalkan bagi Shizuo sampai ia berpikir nanti ia akan melarang pria itu untuk tersenyum– menjawab pertanyaan Shizuo dengan nada agak mengejek.

"Hee, kau pikir aku ini palsu ya? Kau tidak percaya ya aku bisa bersikap seperti ini dan memperlakukanmu seperti sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa diantara kita, dan terlalu lembut untuk ukuran seseorang seperti aku? Yah, wajarlah kau berpikir begitu. Aku sendiri mungkin akan pingsan karena terlalu banyak tertawa dan terkaget-kaget kalau suatu saat kau memperlakukanku baik-baik, hahaha.."

Izaya tak bersuara lagi dan menjauh dari Shizuo, membereskan makanan yang sudah habis dan membawanya ke dapur. Setelah selesai, ia kembali ke tempat Shizuo, duduk di sofa dan kemudian mereka saling bertatapan. Izaya memiringkan kepalanya, menunggu reaksi Shizuo.

"Jadi, kau masih tak percaya?"

"Jelaskan saja semuanya padaku. Tadi kau sudah janji 'kan?"

"Hee, memang tadi aku janji ya? Aku tak ingat pernah bilang apapun.."

"Izaya."

Mata itu serius. Shizuo menginginkan penjelasan. Tapi ia masih ragu apa Shizuo akan tenang mendengarkan penjelasannya...

"Aku akan mendengarkan semua ocehanmu dengan tenang jadi jangan khawatir, aku bahkan tak bisa mengangkat sumpit, bagaimana aku bisa mengamuk?"

Izaya mendengus geli, tak menyangka Shizuo akan mengakui dirinya sedang lemah dengan begitu mudahnya.

Izaya menarik nafas panjang dan duduk agak mendekat ke arah Shizuo.

"Jadi kau mau berjanji, ah tidak, jangan janji-janji. Kau akan mendengarkan penjelasanku dengan tenang?" Si informan menelengkan kepalanya mendekati wajah Shizuo, mencoba mengetes pria itu.

Mata merah rubi itu bertemu mata coklat. Berpandangan cukup lama dan Izaya merasakan keputusan di mata Shizuo. Shizuo memang tak berniat untuk mengamuk dan hanya ingin Izaya memberikan penjelasan.

"Oke, karena Shizu-chan sudah jadi anak baik dan mau menurutiku, akan kujelaskan."


##

##

##

"Jadi aku mau menawarkanmu sebuah penawaran yang menggiurkan, Orihara-kun." Senyum jahil menghiasi wajah dokter gelap pecinta Dullahan itu. Izaya mendengus geli, ia punya firasat menyebalkan kalau temannya ini sudah berlagak begini.

"Hoo... boleh kutahu?"

"Aku memikirkannya baru saja, dan kupikir ini ide bagus. Aku menawarkanmu potongan sebesar... jeng jeng~ 70 persen! Jika kau mau mengikuti perintahku tentunya~" Shinra mengangkat tangan kanannya ke atas dan tangan kirinya ia letakkan di depan dada, sementara salah satu kakinya terangkat, berpose layaknya penari balet.

Izaya agak terbengong, si pelit Shinra mau memberikan potongan 70 persen? Apa semalam dia habis 'main ekstrem' dengan Celty sampai-sampai mengubah struktur otaknya? Ah membayangkannya saja Izaya tak sanggup.

"Shinra, kau sedang kesurupan apa?"

Shinra membetulkan posisi kacamatanya dengan seringai merekah, "Tidak, Orihara-kun, aku sedang sangat waras hari ini~ Mungkin kau tidak percaya, tapi aku baru saja berpikir untuk menaikkannya lagi menjadi... 85 persen~ Wow! Amazing, right?"

Izaya tak kuasa menahan tawa. Aku tahu dia gila, tapi tak kusangka sampai seperti ini, pikir Izaya. "Jadi, apa penawaranmu? Dari tadi kau bertele-tele sekali."

"Jadi begini Orihara-kun, Shizuo sebentar lagi akan pulih dan kuprediksikan dia akan segera ingin meninggalkan apartemenku, tapi kau tahu seberapa parah keadaan Shizuo, bahkan jika dia sadarpun ia masih tak sanggup mengerjakan semuanya sendirian, berjalan saja pun kurasa ia akan sangat kesulitan. Jadi dia membutuhkan helper, dan ya kau tahu 'kan bagaimana reputasinya, bagaimana mungkin dia– hmppp!"

Izaya tak perlu menunggu Shinra mencapai inti pembicaraannya. Ia membungkam mulut Shinra dengan tangannya dan menjatuhkan pria itu ke lantai.

Jadi, firasat buruknya ini...

"Jadi maksudmu, kau menyuruhku untuk mengurus monster sakit itu sebagai helper? Kau sedang ingin mati detik ini juga atau bagaimana? Mau kumatikan dengan cepat atau dengan pelan-pelan, hm? Bisa-bisanya kau menyuruhku melakukan hal mustahil dan mengerikan itu, hah!"

Shinra mengerahkan tenaga dan menyingkirkan tangan Izaya dari mulutnya, "Syukurlah kau cepat mengerti. Begitulah, ini syarat dariku untuk potongan biaya pengobatanmu sampai 85 persen.. aku mengatakan ini bukan tanpa alasan dan juga bukan karena aku ingin mati, karena kalau aku mati kau pasti akan kesusahan, iya 'kan? Aku merasa ini ide bagus yang menguntungkan kalian berdua."

Izaya memutar bola matanya jengkel, "Menguntungkan? Yang kulihat disini seolah kau menyuruhku berjalan dengan tangan terbuka ke sarang pembunuh dan menyerahkan diriku untuk mati di tangan monster.."

Shinra memaksa dirinya untuk bangkit dan kemudian menghela napas, "Ketika aku memikirkan Shizuo akan mencari helper untuk dirinya, aku sangat khawatir, karena dengan reputasi buruknya selama ini, jangankan menjadi helper-nya, mendekati saja tak ada yang mau. Mereka yang ketakutan itu tak bisa diharapkan, belum lagi kumpulan-kumpulan geng dan orang-orang tak jelas yang suka cari masalah dengan Shizuo. Melihat Shizuo dalam keadaan tak berdaya begitu, pasti mereka akan memanfaatkan itu untuk menghabisi nyawanya. Aku tidak mau itu terjadi, jadi kupikir orang disini yang tidak takut dan bahkan selalu cari perhatian Shizuo, alias kau, Orihara-kun, adalah satu-satunya orang yang paling tepat untuk mengurus Shizuo selama keadaannya masih seperti itu"

"Kau melewatkan kenyataan bahwa aku adalah satu-satunya orang yang paling membenci Shizu-chan dan punya alasan paling banyak dan masuk akal untuk membunuh monster itu. Juga kenyataan yang sama berlaku untuk Shizu-chan. Tapi kau masih memikirkan kemungkinan aku yang mengurus Shizu-chan? Aku lelah mengataimu bodoh dan gila, Shinra." Izaya melipat kedua tangan di depan dada, memandang Shinra dengan pandangan setengah tak percaya dan setengah meledek.

Shinra tersenyum, "Kau tidak akan melakukannya, Izaya. Aku punya firasat, jangankan membunuh, bahkan menyakiti Shizuo pun, untuk saat ini, kau tak akan sanggup."

Degh!

Ada sengatan dadakan di dada Izaya. Seperti sebuah panah besar tiba-tiba menusuk dadanya, rasanya bukan hanya sakit, tapi menyesakkan. Hanya sekejap memang, tapi itu sangat mengganggu sang informan.

Izaya sudah kepalang emosi, ia ingin meninju wajah dokter ilegal itu, tapi Shinra keburu menghentikannya.

"Kau punya banyak keuntungan disini. Utang pengobatanmu berkurang 85 persen, dan kau punya banyak kesempatan untuk membunuh Shizuo, atau setidaknya mempelajari bagaimana mengalahkannya. Belum lagi jika orang-orang yang mengincarmu itu tahu kau sedang bersama Shizuo, kurasa mereka akan berpikir ulang untuk menyerangmu, setidaknya kau akan lebih aman."

"Hah! Maksudmu perlindungan dari reputasi Shizu-chan? Kalau mereka tahu Shizu-chan sedang tak berdaya begitu, justru itu merugikanku dua kali lipat karena jika mereka menyerangku disaat Shizu-chan sedang seperti ini, it's game over, Shinra."

"Tidak, aku jamin mereka tidak akan menyerangmu untuk sekarang ini, percayalah padaku."

"Haaah? Kenapa aku harus percaya padamu?"

"Tebakan dan firasatku sering tepat, aku yakin kali ini pun juga tak akan meleset. Lagipula kau masih menginginkan potongan biaya 'kan?"

Izaya benar-benar lelah, "Apa-apaan pernyataan tanpa dasar itu? Sudah cukup main-mainnya, aku menarik permintaanku perihal potongan itu, lupakan saja. Akan kubayar penuh sesuai permintaanmu."

Izaya baru saja akan berbalik dan membuka pintu apartemen Shinra, tapi tertahan karena orang di belakangnya mengatakan sesuatu yang– menyebalkan.

"Kumohon, ini permintaan egoisku terakhir padamu. Apa tak terbesit sedikitpun di hatimu yang dingin itu, tentang orang yang mati-matian menyelamatkanmu malam itu? Nyawanya jadi taruhan dan sekarang ia masih koma. Kupikir bahkan orang brengsek sepertimu pun masih punya secuil rasa belas kasih, terutama pada orang yang jelas-jelas punya peran penting dengan hidupmu hari ini, Izaya."

Izaya berbalik lagi ke arah Shinra. "Kali ini apa Shinra? Kau sedang mengemis belas kasihanku, begitu?"

"Ya, aku memang ingin kau berbelas kasihan pada Shizuo. Dan satu lagi, penawaranku masih berlaku, kapan saja, asal kau mau menuruti permintaanku satu ini."

Sang informan mengambil nafas panjang, mengacak-acak rambutnya dan berpikir. Meskipun sebenarnya itu semua cuma lagaknya, karena jauh dalam hatinya, ia sudah menemukan jawabannya.

Shinra mendekati wajahnya kearah sang informan, memandang mata merah rubi itu lekat-lekat, seakan-akan ia sudah tahu jawabannya yang sebenarnya sudah ada dalam benak Izaya.

"Bagaimana?"

Ini mungkin akan menjadi keputusan yang paling bodoh dan paling disesali oleh Orihara Izaya di kemudian hari, tapi...

Jawaban di hatinya seenaknya mengontrol dirinya dan ia tak punya pilihan lain.

##

##

##


Izaya mengakhiri penjelasannya dengan seringai khasnya.

"Bagaimana, Shizu-chan? Kau sudah puas 'kan?"

Shizuo hanya bisa terbengong, ia tak menyangka semua ini ide Shinra.

"Sekarang aku ingin memohon satu hal saja padamu, Shizu-chan. Seperti yang kujelaskan tadi, aku menerima permintaan ini karena Shinra sudah memberikan diskon biaya pengobatan, yang sayangnya, sangat tidak masuk akal besarnya.

Shizuo tak tahu biaya pengobatannya dibebankan pada pria di depannya ini. Shizuo tak pernah paham kenapa Izaya menerima permintaan Shinra.

"Jadi aku ingin semua ini berjalan lancar. Aku akan mengurusmu sampai kau benar-benar pulih dan sehat lagi. Untuk itu, aku mau kau mengizinkanku untuk merawatmu dan menjelaskan kepada kenalan-kenalanmu yang mungkin akan datang bahwa sekarang aku bertugas merawatmu serta semuanya baik-baik saja. Jadi mereka tidak akan berasumsi aneh-aneh atas keberadaanku disini."

Shizuo tak pernah mengerti jalan pikiran musuh bebuyutannya ini. Dalam mimpi terliarnya sekalipun, ia tak pernah bermimpi suatu hari pria yang menjadi gangguan dalam hidupnya selama bertahun-tahun akan berdiri di depannya, bersikap layaknya tak ada masalah, berkata dengan nada biasa, tersenyum kepadanya...

"Aku tahu ini sangat sulit diterima dan sangat tidak masuk akal, tapi aku tak peduli itu dan hanya ingin kau kerjasama denganku agar keadaanmu cepat membaik dan aku segera menyelesaikan 'kontrak kerja' mengerikan ini secepatnya. Aku hanya minta ini, bagaimana Shizu-chan?"

Banyak yang ingin Shizuo sampaikan, tapi kini satu-satunya yang mengganggu pikirannya ia akan tanyakan terlebih dahulu.

"Bagaimana dengan biaya pengobatanku yang dibebankan padamu? Aku punya tabungan di bank, meskipun jumlahnya tak sebanding, tapi–"

Belum selesai Shizuo bicara, Izaya sudah mengangkat tangan, mengisyaratkan agar Shizuo berhenti. Izaya tak ingin mendengarkan jawaban lain.

"Jangan pedulikan hal sepele macam itu. Jawab saja, apakah kau mengizinkanku atau tidak?"

Shizuo agak terhenyak, tapi ia juga tahu bahwa jawaban yang diharapkan hanyalah, 'ya' atau 'tidak'.

Shizuo mengangguk, mengiyakan tanpa berpikir lagi.

Ia bukan orang bodoh yang mengatakan 'tidak' di kondisi seperti ini.

.~#~#~


#to be continued

#trailer

"Tom-san, Kasuka, maaf aku mengagetkan kalian. Mulai dari minggu yang lalu, aku dan Izaya sudah tinggal bersama di apartemenku."

"Shizu-chan, mau kumandikan?"

"Haaah? Ja-jangan bercanda, kutu! A-aku bisa send– uwaaa!"

"Izaya..."

"Hm?"

"Hari ini kau wangi sekali..."

Chapter 6 – Amazuppai Orera no Kankeisei (Our Bittersweet Relationship)

A/N

Aaaakh maaf

Saya nggak tahu mau ngomong apa, saya sudah mengabaikan fic ini setahun lebih dan baru lanjut lagi...

Bahkan setelah skripsi selesai pun saya masih belum sempet-sempet ngetik lagi...

Uuuu

Mungkin ini yang disebut writer block, tapi sebenarnya saya bukannya nggak mau nulis cuma...

Oke silakan baca lanjutannya ya

Mudah-mudahan masih ada yang baca.. #