CHAPTER SPESIAL (Atsuko and Levi's First Date)

"Cepatlah Levi!" seruku melambaikan tangan ke arah Levi.

Levi yang tertinggal beberapa meter di belakangku angkat bicara. "Kau ini anak SMA atau anak TK, sih?"

"Hey, aku suka ke taman hiburan kau tahu? Aku akan menaiki semua wahana yang menantang. Mereka bilang rollercoaster di sini mengerikan, sangat mengerikan. Aku ingin mencobanya!"

Levi menyusulku, kemudian menyentil keningku.

"Aww! Kenapa sih?" seruku.

"Kau terlalu imut, aku aku tidak bisa menahannya," kata Levi dengan suara nada datarnya.

"Apa apaan?!" rona merah muncul di pipiku. "Jadi setiap aku terlihat imut, kau akan menyentil keningku?" aku menggembungkan pipi.

"Cepatlah bodoh!" Levi berjalan meninggalkanku.

"Hei! Jawab pertanyaanku!" seruku menyusul Levi.

Levi hanya diam walaupun aku mendesaknya. Hingga akhirnya kami sampai di wahana rollercoaster.

"Ninja Scream. Scream until dead," aku membaca tulisan wahana rollercoaster itu. "Terdengar menantang, kan? Teriak sampai mati."

"Aku tidak peduli. Cepatlah!" Levi berjalan menuju wahana.

Wahana hampir penuh. Tinggal kursi paling depan.

"Depan! Depan! Paling depan!" seruku berlari menuju kursi paling depan.

Ada apa dengan orang-orang? Apakah kursi depan sebegitu mengerikannya? Tapi, syukurlah aku bisa duduk di depan.

Levi duduk di sebelahku, dengan wajah tanpa ekspresinya.

"Kau tidak takut, kan?" bisikku.

"Untuk apa aku takut dengan wahana bodoh ini?" katanya dingin.

Aku terkekeh. Setelah semua sabuk terpasang kencang, wahana mulai bergerak perlahan di rel menanjak. Semua rollercoaster juga sama, di rel tanjakan pertama berjalan perlahan kemudian berhenti dan berjalan sangat cepat di rel menurun. Tapi, sepertinya rollercoaster ini berbeda.

"Levi, rollercoaster ini beda dari yang lain. Lintasannya panjang sekali dan lebih curam," kataku saat rollercoaster berhenti di puncak rel.

"Aku tidak peduli."

Aku terkekeh. "Bersiaplah Levi!" aku memegang tangan Levi.

BRUUSSH!

"KYYAAAAA!" orang-orang berteriak.

Aku tertawa geli, menikmati segala guncangan dan angin yang kasar menyapu wajahku.

"Wahahahahaha! LEBIH CEPAT!" seruku.

"Tch, dasar cewek bodoh," Levi mempererat pegangan tangannya.

# # #

"Naik itu!" seruku menunjuk wahana perahu ayun.

Levi mengalihkan pandangannya ke arah wahana itu. "Naik wahana bodoh itu?" Levi menunjuk wahana itu.

Dari tempat kami berdiri, terdengar jelas teriakan orang-orang dari wahana itu. Itulah yang membuatku tertarik. Semakin banyak yang berteriak semakin menantang, kan?

"Orang-orang yang naik itu pada teriak tahu! Aku penasaran aja, ayo naik!" seruku mendorong Levi menuju wahana itu.

"Setelah ini kita makan siang, kau kira aku tidak lapar?"

"Blablabla. Iya iya, yang penting naik dulu!" seruku tidak sabar menunggu giliran.

Aku melihat sekitarku. "Hei, itu kan-" aku menunjuk ke arah kerumunan orang. "Are? Apa cuma perasaanku? Rasanya tadi aku lihat Kenta sama Hanji-san."

"Jangan berkhayal. Ayolah," Levi menarik tanganku masuk ke perahu ayun.

'Apa cuma perasaanku aja, ya? Udah lah masa bodoh.'

Aku dan Levi duduk di ujung perahu. "Cepat jalan!" seruku melompat-lompat di kursiku.

Wahana mulai berayun perlahan, angin sepoi-sepoi menyapu wajahku. "Lebih cepat!" seruku.

"Berisik, sabarlah. Kau ini seperti anak kecil saja."

"Biarin, blweeek," aku menjulurkan lidah ke arah Levi.

Ctik!

"Aww! Sudah ku bilang jangan sentil keningku! Sakit!" aku mengelus keningku.

"Makanya jangan imut imut," kata Levi dengan suara dinginnya.

Wahana semakin kencang, kencang, dan paling kencang.

"KYAAA!" orang-orang berteriak.

Perutku geli sekali, seperti digelitik 100 orang. Akhirnya aku berteriak, aku tidak kuat lagi menahan geli!

"KYAAA!" seruku.

"Tch."

# # #

Aku dan Levi sedang menikmati makan siang kami di restoran.

"Kenapa kau berteriak saat menaiki wahana bodoh itu, huh?" tanya Levi dingin. "Telingaku sampai berdenging."

"Bagaimana lagi? Perutku geli sekali, aku tidak kuat menahannya," aku menyedot milkshake vanilla ku. "Yang aneh di sini itu kau, bagaimana bisa kau tidak teriak?"

"Itu hanya wahana bodoh, hanya orang bodoh saja yang berteriak."

"Tapi seru, kan?" kataku.

"Kau yang membuat setiap momen di kehidupanku jadi seru," Levi mencubit kedua pipiku. Rona merah muncul di pipiku.

CEKREK!

Aku dan Levi menoleh. "Sepertinya tadi ada suara kamera," aku celingak-celinguk mencari suara itu.

"Aku juga mendengarnya. Apa orang-orang bodoh sialan itu menguntit kita?"

"Orang-orang bodoh sialan itu Kenta dan Hanji-san?"

"Siapa lagi memangnya?"

"Sudahlah, jangan pedulikan itu. Mungkin itu kamera orang lain. Ini kan taman hiburan, wajarkan kalau banyak orang berfoto."

Levi diam sejenak. "Mungkin saja."

Kami menghabiskan makan siang. Setelah selesai Levi angkat bicara.

"Na Atsuko. Kau bilang waktu itu kau bertemu denganku saat kau koma."

"Iya, kenapa?" aku kebingungan dengan topik yang dipilih Levi saat ini.

"Kau bilang kalau kau juga mencintaiku, lalu kau lega kita bertemu dan dijodohkan. Setelah itu, kenapa kau minta maaf?" tanya Levi dengan nada serius.

"Eh? Kau tahu persis apa yang ku katakan. Apa kau juga bertemu denganku?" aku terkejut.

Levi mengangguk. "Kata Kenta aku sempat tidak sadarkan diri selama 5 hari. Dan aku juga bertemu denganmu saat aku tidak sadarkan diri."

"Jadi, kita memang benar-benar bertemu saat itu?!" seruku tidak percaya.

"Aku tidak tahu."

Hening.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, cewek sialan."

"Oh! Maaf. Saat itu aku merasa itu perjumpaan terakhir kita, aku juga merasa aku tidak akan bisa kembali. Makanya aku meminta maaf," aku menyedot sisa milkshake ku.

"Oh iya! Katanya di sini juga ada rumah hantu. Ayo kita kesana!" seruku menarik tangan Levi.

"Hei, aku belum bayar makanannya, cewek sialan!"

"Ups, hehehe."

Setelah Levi membayar, aku langsung menarik tangannya menuju rumah hantu. Biasanya semua rumah hantu di taman hiburan antriannya panjannnggg sekali. Dan, dugaanku benar.

"Yahh... panjang baget antriannya," aku dan Levi berdiri agak jauh dari rumah hantu.

"Naik yang lain aja," Levi berbalik, berjalan meninggalkan rumah hantu.

"Harus masuk!" seruku menyeret Levi ke antrian.

"Kau gila? Bisa berjam-jam kita di sini."

"Aku tidak peduli."

# # #

"Woaahh, ini menyenangkan!" seruku memasuki rumah hantu bersama Levi.

Kami sudah mengantri satu setengah jam. Selama itu Levi terlihat jengkel, wajahnya mengerikan. Tapi, aku tidak peduli.

"Nee Levi, kau tidak takut kan?" tanyaku.

"Ini hanya rumah hantu bodoh. Hantunya pun hanya boneka. Kenapa aku harus takut?"

Aku terkekeh. "Ku kira kau takut. Soalnya Kenta takut sama yang beginian."

"Payah."

"Bwahahahahaha!" terdengar suara tawa.

Aku celingak-celinguk mencari asal suara itu. Tiba-tiba lampu merah remang-remang menyala dan tengkorak pun muncul.

"Levi, ada tengkorak!" seruku menunjuk tengkorak itu.

"Aku tidak peduli."

"AAAAA!" aku mendengar suara laki-laki berteriak dari belakang kami.

"Hei, aku kenal suara itu," kataku sambil terus berjalan diterangi cahaya remang-remang di kanan kiri kami. "Seperti suara Kenta."

Levi memejamkan matanya, berkonsentrasi mendengarkan suara teriakan itu. "Hmm... suaranya memang mirip."

"Tapi Kenta trauma sama rumah hantu. Dulu dia pernah sekali masuk sama aku, di dalam dia teriak histeris sampai hampir mengangis. Semenjak itu dia enggak pernah mau masuk rumah hantu. Kayaknya enggak mungkin kalau itu suara Kenta."

"Terserah, ayo cepat keluar dari sini. Telingaku mulai berdenging lagi."

"Oke!"

# # #

Waktu menunjukkan pukul 17:30. Matahari mulai terbenam. Kami telah mencoba semua wahana menantang di taman hiburan ini. Tapi, aku mengabaikan wahana yang payah.

"Nee Levi," aku berhenti.

"Apa?" Levi berbalik kemudian menatapku.

"Naik itu yuk! Aku janji ini wahana terakhir," aku menunjuk bianglala raksasa.

Levi menoleh ke bianglala itu. "Itu wahana payah yang bodoh."

"Ayolah... kau tahu, ada rumor tentang wahana ini," kataku menatap Matahari yang mulai terbenam.

"Kau percaya rumor bodoh?"

"Rumor ini menarik! Katanya kalau pasangan naik wahana ini saat Matahari terbenam, maka cinta mereka abadi."

Levi terdiam, Ia terlihat sedang berpikir. "Tch, baiklah. Tapi bukan berarti aku percaya rumor bodoh itu."

"Yatta!" seruku kegirangan. "Ayo!" aku menarik Levi menuju wahana itu.

Wahana itu tidak terlalu ramai. Jadi, begitu sampai kami langsung masuk.

"Matahari hampir terbenam!" seruku.

Levi mengalihkan pandangannya ke luar jendela.

"Nee Levi, mengapa kau mau dijodohkan? Kalau dilihat-lihat kau bukan tipe orang yang mau dijodohkan," aku angkat bicara.

"Apa itu penting?" tanya Levi dengan suara nada datarnya.

"Penting! Aku penasaran tahu!" seruku.

Levi mendesah. "Saat orang tuaku pertama kali memberi tahuku, aku marah besar. Aku bilang aku tidak mau dijodohkan, aku bisa mencari pendamping hidupku sendiri. Tapi, saat mereka menunjukkan foto, aku langsung tahu kalau itu kau. Dan aku langsung setuju."

Aku terkekeh. "Apa kau berkata aku setuju! Secara tiba-tiba?"

"Itu bukan urusanmu."

Hening.

Aku memandangi Matahari terbenam dengan semburat jingganya. Tiba-tiba ide gila muncul di kepalaku.

"Levi!" aku memanggilnya.

Levi menoleh ke arahku. Aku langsung melompat ke arahnya, menempelkan bibirku ke punyanya. Levi terkejut, mungkin karena tindakan gilaku ini. Tapi, akhirnya dia melumat bibirku. Setelah beberapa saat, aku melepaskan kecupan itu.

"Semoga cinta kami abadi selamanya!" seruku menatap Matahari yang hampir tenggelam.

"Dasar bodoh," tiba-tiba Levi menarikku ke pangkuannya. Persis seperti hari itu.

"Kau mau melakukannya?" tanyaku.

Levi menyeringai.

3

2

1

Diiringi terbenamnya Matahari, Levi mengecupku sekali lagi. Aku pun membalasnya.

CEKREK!

Terdengar suara kamera (lagi). Suara itu berasal dari gerbong sebelah gerbong kami. Aku dan Levi menoleh ke gerbong itu. Di sana Kenta dan Hanji-san terkekeh melihat layar kamera.

"KENTA, HANJI-SAN?!" seruku. "Apa yang kalian lakukan di sini?!"

Levi menatap tajam ke arah mereka. "Mereka benar-benar ingin dihajar."

"Ehehehehehehe," Kenta tertawa di buat-buat.

"Kami- kami hanya kebetulan berada di sini," terlukis jelas di wajahnya kalau Hanji-san sedang mencari-cari alasan.

"HAPUS FOTONYA!"

# # #