Aku Tidak Mencintaimu .

.

.
.

"Sehun" panggilnya pelan. "Ya" jawabku sama pelannya. Kami berdua kembali diam memperhatikan air mancur didepan sana.

"Bagaimana harimu?" Tanyanya. Aku merasa ingin tersenyum karena kalimat perhatiannya. "Apa sesuatu tidak menyenangkan terjadi?" Kupandang wajahnya dari samping tapi ia tidak balas menoleh padaku.

"Tidak ada apa-apa." Pandanganku kembali ke air mancur. Aku berbohong. Hari ini terjadi sesuatu tidak menyenangkan karena dia, karena ibuku dan karena diriku sendiri.

Hari semakin malam dan tidak satupun dari kami berusaha memecah keheningan. Tapi aku lebih menyukai keheningan kami daripada saling bicara lalu aku mulai berbohong padanya.

"Jongie" Tepat pukul 8.30 malam, aku memanggil namanya. Pertama kalinya dalam hari ini ia menoleh dan tersenyum padaku.

"Ayo pulang" ajakku tapi ia bergeming tidak menanggapi. Aku menghela nafas lalu berdiri di belakangnya. "Ini sudah malam dan kau melewatkan makan malammu. Waktunya pulang" Kusentuh puncak kepalanya. Rambut hitamnya terasa halus di telapak tangan besarku.

"Pulanglah lebih dulu. Aku akan menelepon Jongdae untuk menjemputku." Dia menyentuh tanganku lalu menyingkirkannya dari kepalanya.

Aku terdiam. Sentuhannya memang halus tapi tidak dapat menyembunyikan maksudnya untuk menolak sentuhanku. Dia menolakku.

Tapi kemudian aku sadar, mungkin memang ini jalan yang baik untuk memulainya. Mulai untuk berhenti bersama.

.

.
.

15 menit setelah kutinggalkan Jongin sendiri di taman aku masih berdiam dalam mobilku. Diam di ujung jalan masih cukup jelas untukku melihatnya keluar perlahan dari taman.

Aku sudah berbohong padanya dan Jongin juga berbohong padaku. Jongin keluar sendiri dengan kursi rodanya, tidak ada Jongdae yang menjemputnya. Ia bergerak pelan menjauh.

Apa seperti ini rasanya nanti ketika tidak bersamamu ? Sakit, Jongin.

Menit berikutnya kugunakan untuk menghubungi Jongdae untuk menjemput Jongin. Aku tidak akan mengantarnya dan tidak mungkin membiarkan pulang sendiri.

.

.
.

Dalam kepalaku, semua kenangan bersama Jongin ada saat-saat berarti bagiku. Ketika pertama kali melihatnya diatas panggung, menari seperti kupu-kupu adalah saat aku merasa ingin membuat dunia berhenti berputar. Atau saat menyedihkan sekalipun, saat ia melepas mimpinya menari hingga terbang lalu aku berjanji menjaganya.

Senyuman dan belai lembut Jongin adalah obat. Ketika aku lelah dan sakit, aku hanya ingin berlari padanya. Satu-satunya yang membuatku damai tanpa syarat. Jongin memberiku cinta lebih daripada apa yang kubutuhkan.

.

.

.

"Ibu yang seharusnya mendengarkan aku kali ini !" Aku berteriak. Ibuku terkejut di ujung meja makan. "Ibu, berhentilah memintaku menemui gadis lain karena aku muak melakukannya" Aku berdiri meninggalkan sarapanku.

"Lalu dengan siapa kau ingin bersama? Kim Jongin-mu yang cacat dan miskin itu?" Denting besi terdengar, ibuku membanting garpunya.

"Ibu tau apa yang kuingankan tapi ibu juga tau aku tidak bisa melakukannya. Jangan berpikir untuk mengganggu Jongin. Ibu tidak tau apa yang bisa kulakukan jika Jongin tersaikiti"

"Kau mengancam ibumu hanya untuk orang cacat ? Ingatlah kau hanya memiliki ibu di dunia ini ."

"Dia cacat karenaku bu, dia menyelamatkanku dari kecelakan sialan itu. Dan ibu salah, ibulah hanya punya aku di dunia ini tapi aku masih punya Jongin" Aku berjalan tergesa-gesa meninggalkan ibuku. Berdebat dengannya bukanlah hal bagus.

.

.

.
.

"Jongin" pangilku pelan.

"Ya" jawabnya sama pelannya.

"Mulai sekarang jangan pergi sendirian terlalu jauh, jangan pulang malam sendirian, minta Jongdae mengantar jemputmu jika ingin pergi."

"Jongdae sudah punya Minseok, istrinya, aku tidak mungkin mengganggunya terus."

"Minta juga Minseok mengingatkan jadwal makan, jangan sampaikan melewatkannya dan membiarkan perutmu sakit. Jangan terlalu banyak berlarut memikirkan masalah."

"Kaulah yang bahkan lebih sering lupa dengan makan."

"Jangan keluar tanpa baju hangat saat cuaca dingin. Jangan sakit."

Kali ini Jongin diam tidak membalasku. Dia menundukkan kepalanya, membiarkan banyak helai rambut menutupi wajahnya.

"Jangan lupa terapimu, kau ingat kata dokter kalau keajaiban kau bisa menari lagi bukanlah tidak mungkin. Kau harus bisa menari bahkan terbang Jongin."

"Sehun, berhentilah. Apa yang sebenarnya ingin kau katakan ?" Mata bulatnya menatapku lama.

"Jongin"

"Ya"

"Aku tidak mencintaimu"

Jongin hanya diam. Jongin duduk tegak, ia tidak menangis.

"Ayo berpisah saja"

Kualihkan pandanganku dari wajahnya. Aku berusaha keras menahan titik air mataku jatuh. Aku tidak boleh lemah untuk Jongin.

"Baiklah, ayo berpisah. Sekarang kau boleh pergi."

Aku terhenyak menatapnya yang malah tersenyum menatapku. Jongin tidak membantah atau sekedar menangis. Apa aku terlalu banyak menyakitinya hingga ia tidak bisa menangis? Atau perpisahan ini adalah sesuatu yang membahagiakannya?

Aku perlahan berdiri. Kupandangi Jongin yang masih tersenyum padaku. Kuperhatikan baik-baik agar bisa kusimpan dalam kepalaku.

"Sampai jumpa lagi Jongin" Tangan Jongin yang bertumpu diatas meja saling meremat. Ia bersedih. Aku membalikan badan menyembunyikan raut sedihku.

Satu langkah kuambil lalu berhenti.

"Kenapa?" Tanyaku tanpa membalikkan badan. "Kenapa kau diam saja ?" Aku tidak bisa menahan kalimatku.

"Karena kau sudah berjanji menjagaku apapun yang terjadi." Jawabnya lembut.

Aku tau dia mencintaiku dan aku mencintanya. Aku menganggukkan kepalaku yakin. Aku sudah berjanji menjaganya dan akan kulakukan terus.

Jadi Jongin, terimakasih telah mengerti. Sampai jumpa, tunggu aku sampai menjemputmu lagi.

.

.

.
{End(?)}

.

.

.

.

.

.

.

.

.
(Note)

hai, maaf tulisanku jelek. Aku bukan tipe yang bisa menulis deskripsi yang panjang dan bagus. Aku lebih tertarik pada dialog. Di kepalaku banyak dialog yang ingin kutulis tapi aku menahannya .
Kritik dan saran akan kuterima dengan terbuka, asal tidak dengan kata-kata kasar :)

.
Bye byr