Chapter 2 of 2 : Goodbye [5k]


Coney Island Beach.

Pantai yang berletak di pinggiran kota New York ini penuh oleh para turis lokal maupun luar. Selain itu, ini adalah minggu terakhir musim panas sehingga tidak anehnya jika jumlah pengunjung pantai melonjak. Sehun memparkirkan Impala-nya tidak jauh dari pantai. Jongin menatap lurus ke arah langit yang seolah menyatu dengan laut di ujung sana. Ia tidak berkomentar apa-apa, namun sorot matanya yang sehangat mentari musim panas menunjukkan kalau dia bahagia.

"Aku punya ide." ujar Sehun tiba-tiba. Jongin berbalik menatapnya cukup penasaran. "Aku tahu kalau kau tidak begitu menyukai keramaian. Jadi, bagaimana kalau kita mencari penginapan dan nanti malamnya kita baru kembali ke sini lagi?"

Jongin langsung mengangguk. Matanya kembali mengerling kagum ke arah laut di hadapannya. Mentari yang bersinar terik seolah membias pada permukaan air laut, memancarkan kilaunya sendiri yang, entahlah membuat Jongin berpikir ulang. Dia sangat ingin bermain di pantai sekarang. Namun, ia yakin kalau ia tidak akan bisa menyentuh Sehun atau bebas menciumnya hanya karena ada begitu banyak orang yang siap menghakimi dirinya. "Jongin?" Sehun memanggilnya pelan.

Jongin kembali menoleh menghadap dirinya. "Kalau kau sangat ingin-"

"Tidak, Sehun. Aku lebih memilih pergi ke pantai nanti malam." satu tangan Jongin berpindah, menggenggam erat tangan Sehun. Senyumannya, yang selalu berhasil membuat Sehun terpaku, tertarik lebar menghiasi wajah bahagianya. "Aku ingin menyentuhmu. Tanpa ada yang menghakimi kita berdua." bisik Jongin.

Sejenak, Sehun hanya terdiam menatap Jongin sambil meremas tangannya lembut. Bisakah pria ini membuatnya berhenti untuk jatuh semakin dalam? Karena, sungguh, apa yang Sehun rasakan padanya sudah cukup dalam. "Ya, aku juga."

Sehun tidak perduli jika ada yang melihatnya atau mungkin, akan mengutukinya setelah ini. Ia tidak perduli. Ia harus mencium Jongin sekarang. Dan dia melakukannya.

Sehun melepaskan genggaman tangan mereka dan menangkupkan kedua pipi Jongin dengan kedua tangannya. Ia tersenyum lebar, sebelum menyatukan bibirnya dengan milik Jongin. Bibir mereka bergerak pelan mengikuti irama yang mereka ciptakan. Ketika Sehun melepaskan ciumannya, kening mereka menempel serta nafas mereka beradu. Jongin tersenyum, tidak bisa menahan perasaan bahagia yang sampai-sampai membuatnya merasa sesak.

Apa yang Sehun beri padanya, lebih dari cukup. Ini lebih dari yang Jongin minta. Dan kata terima kasih, mungkin tidak mampu membayar perasaan bahagia yang dimilikinya sekarang ini.

Oh Sehun adalah keajaiban yang ada di dalam hidupnya. Keajaiban yang tiba-tiba menyusup masuk ke dalam hidupnya. Keajaiban yang terkadang membuat Jongin berpikir apakah dirinya sedang bermimpi atau tidak. Keajaiban yang ia harap tidak pernah berakhir. Keajaiban yang ingin dirinya simpan selamanya.

Sehun kembali mengendarai Impala-nya mencari-cari penginapan di sekitar pantai. Mereka melintasi satu blok yang dipenuhi oleh deretan restoran serta toko souvenir. Mata Jongin kembali berkeliling mengamati setiap toko souvenir yang berada di sampingnya. Tiba-tiba saja, Sehun menepikan Impala-nya di pinggir jalan membuat Jongin berbalik menatapnya bingung.

"Ayo kita beli sesuatu. Mungkin, ada sesuatu yang cocok untuk Tiffany." atau untukmu.

Mereka keluar bersamaan dari Impala. Jongin dapat merasakan udara musim panas New York yang langsung menghangatkan tubuhnya. Untung saja, dia tidak memakai sweater favoritnya. Ia tahu kalau dirinya akan terlihat bodoh jika memakai sweater-nya itu. Jongin berjalan di depan Sehun, dengan penuh antuasias. Dia mendorong pintu toko tersebut dan ada seorang wanita lansia yang menyambutnya dengan senyuman ramah. Sehun mengekor di belakangnya dan ikut membalas senyum wanita itu.

Jongin berjalan menuju satu tempat yang khusus untuk para wanita. Dia melihat berkeliling berusaha membayangkan Tiffany dan seleranya yang cukup.. buruk. "Aku benar-benar tidak tahu." bisik Jongin pada Sehun.

"Kita bawakan dia pasir pantai saja, babe. Dia pasti senang." bisik Sehun, yang tepat berdiri di belakangnya. Jongin menggeleng pelan berusaha menahan tawa serta sensasi yang semakin membakar tubuhnya.

"Berhenti berbisik ditelingaku."

"Shut up. You like it."

Sehun menyeringai. Jongin menggeram kesal sebagai balasan untuknya. Well, ia tidak bisa membalas Sehun dengan berbagai argumennya. Karena, sulit untuk diakui, apa yang dikatakannya itu memang benar. Belakang telinga Jongin adalah salah satu daerah sensitif ditubuhnya yang sering Sehun goda.

"Bagaimana kalau kita membelikannya kacamata? Setidaknya, dia mendapatkan sesuatu."

Sudah sekitar satu jam, Jongin berputar di bagian khusus wanita. Sehun yang sedaritadi hanya mengekorinya dan terus menggeleng setiap Jongin menanyakan pendapat, hanya tersemyum saat Jongin memutuskan untuk menyerah. Mereka berjalan menuju tempat kacamata dan memilih kacamata secara random untuk Tiffany. Jongin juga membeli satu. Kacamata hitam yang cocok dengan musim panas. Sehun tertawa keras saat Jongin mulai berpose dengan kacamata pilihannya.

Beberapa orang memperhatikan mereka dengan curiga. Namun, keduanya sama sekali tidak perduli. Sehun bahkan dengan beraninya menggenggam tangan Jongin. Jongin menatapnya sekilas tampak sedikit kaget. Hingga, akhirnya pria itu kembali tertawa.

"Siap untuk keluar dari toko membosankan ini?" bisik Sehun. Mereka berjalan menuju meja kasir. Jongin mengangguk. Pria itu tidak pernah berhenti tersenyum.

Sehun menyerahkan dua buah kacamata pada wanita lansia yang menjaga kasir itu. Wanita memperhatikan mereka dengan tatapan yang tidak seramah sebelumnya. "5 dollar." katanya sambil memasukkan dua kacamata itu ke dalam kantong belanja.

Sehun tidak perduli dengan tatapan menilai wanita itu. Ia mengeluarkan selembar uang dari dompetnya. "Kembaliannya 5 dollar-"

"Simpan saja kembaliannya." potong Sehun, mencoba untuk ramah.

Kening wanita itu mengerut. Jongin mendapat firasat kalau ini tidak akan berjalan dengan baik. Matanya berkeliling di sekitar meja kasir dan menemukan dua botol transparan. Di dalam botol itu ada kertas putih. Jongin segera mengambil dua botol itu dan menyerahkannya pada Sehun. "Aku ingin beli ini."

Sehun menatapnya sebentar lalu beralih menatap wanita lansia itu. "Simpan kembaliannya. Dan aku ambil botol ini." ujarnya. Keseriusan di dalam suara Sehun menandakan ia tidak menginginkan bantahan. Wanita lansia itu mengangguk, namun wajahnya berubah menjadi semakin tidak bersahabat.

"Faggot." bisiknya.

Jongin yang mendengarkan makian itu berusaha menghiraukannya, tetapi berbeda dengan Sehun. Jika wanita itu pria dan bukannya lansia, mungkin ia sudah meninju wajahnya. "Jaga mulutmu!" bentaknya. Jongin langsung mendorong menuju pintu keluar seolah memohon dirinya untuk segera keluar.

"Kau yang seharusnya menjaga dirimu. You will burn in hell, Young Man."

Sebelum Sehun kembali membentak wanita itu, Jongin langsung menariknya keluar dari toko. Ini bukan pertama kalinya mereka menghadapi homophobic. Ini juga bukan pertama kalinya Sehun terlibat perselisihan hanya karena dia ingin membela diri. Ini sudah kesekian kalinya dan Jongin lelah harus terus mencemaskan Sehun hanya karena pria itu tidak bisa menahan emosinya.

"Kau harus berhenti bertindak semuamu. Pernah tidak kau berpikir kalau apa yang kau lakukan itu bisa membahayakan dirimu nantinya?"

"Jongin, kau mau es krim?"

"Sehun! Dengarkan aku, goddamnit."

"Oke. Aku akan membelikanmu, baby." Sehun mencium bibir Jongin sekilas dan melangkah keluar dari mobil. Ia meninggalkan Jongin yang nyaris berteriak mengutukinya.

Sehun selalu begitu. Pria itu selalu mempunyai cara untuk menghindari nasihat Jongin atau perdebatan di antara mereka berdua. Terkadang, Jongin suka menyebut Sehun sebagai seorang pengecut karena pria itu selalu darinya setiap mereka sedang memiliki masalah atau perselisihan dalam suatu hal. Sehun selalu membela diri kalau dirinya tidak ingin menyakiti Jongin dan blablabla. Jongin tidak pernah mendengarkan argumentasinya yang tidak lebih dari omong kosong belaka.

Sehun kembali dengan dua es krim ditangannya. Ia memberikannya satu pada Jongin dan satu lagi untuknya. Jongin menarik nafas, memilih untuk tidak memperpanjang masalah ini seperti yang Sehun harapakan. Mereka menghabiskan es krim mereka dalam hening. Lagu Elvis tidak melantun membuat suasana di antara mereka terasa kaku. Hingga, tiba-tiba saja Sehun mencolekkan sisa es krimnya pada pipi Jongin. Jongin yang kaget langsung menoleh ke arahnya dengan mata membelalak. Sehun terbahak keras.

"Oh Sehun!" geram Jonginm

"Oh, I am afraid." balas Sehun dengan wajah pura-pura takut. Lalu, pria itu kembali tergelak.

Ia tidak menyangka kalau Jongin sedang mencolekkan dua jari pada es krimnya. Sehun yang masih menertawainya membuat pria itu tidak menyadari datangnya dua jari Jongin. Jongin menempelkan dua jarinya dipipi Sehun, meninggalkan bekas lengket yang cukup banyak di sana. Tawa Sehun langsung mereda dan lenyap.

Ia menatap Jongin dengan tajam dan kemudian, ada kerlingan jahil di dalam matanya yang menuntut balasan. Sehun menyeringai lebar. Sementara, Jongin berusaha keras menahan tawanya. "Oh, it's on, Kim Jongin."

Beberapa menit kemudian, wajah mereka sudah dipenuhi oleh lelehan es krim. Jongin hanya bisa tertawa saat melihat Sehun meringis merasakan lengket diseluruh wajahnya. Lalu, entah siapa yang memulai, bibir mereka kembali bertemu. Bergerak pelan, merasakan setiap lelehan es krim yang berada dibibir satu sama lain.

.

.

Sekitar pukul 8 malam, mereka menemukan penginapan di sekitar pantai. Penginapan itu bukan penginapan yang mewah serta lebih mengarah kesederhana. Namun, Jongin sangat menyukainya. Selain itu, pemilik penginapan juga tidak begitu perduli kalau mereka pasangan gay. Pria yang berusia kisaran empat puluhan itu tampak lebih memperdulikan uang yang Sehun berikan padanya.

"Kau mau ke pantai sekarang? Aku yakin pantai sudah lebih sepi." tawar Sehun. Mereka baru saja merapikan kamar mereka. Jongin yang sedang duduk bersila di lantai, mungkin sedang menata pakaiannya beralih menatap Sehun. Pria itu mengangguk dengan antusias.

"Kau bawa kamera polaraidmu, kan?" tanya Sehun.

"Tentu saja! Aku tidak mungkin melupakannya." Jongin mengeluarkan sebuah kamera polaroid dari dalam tas-nya. Dia memamerkan kamera pemberian Sehun itu. "Ini adalah barang favoritku."

Sehun hanya tersenyum. Sebuah kamera nikon menggantung dilehernya. Sehun cukup menikmati fotografi, sehingga ia tidak keberatan membeli kamera yang harganya sangat mahal di era itu. Jongin memakai kacamata yang tadi dia beli persis saat Sehun sedang mengarahkan kameranya. Suara jepretan kamera terdengar diikuti dengan silaunya. Sehun tersenyum lebar saat melihat hasilnya.

"Pasti aku keren sekali." gumam Jongin sambil berjalan melewati. Ia mengambil dua botol yang dibelinya tadi, yang ia letakkan di atas meja nakas.

"You narsistic bastard." canda Sehun. Ia menatap sejenak hasil fotonya barusan, lalu mematikan kameranya dan membiarkan benda itu menggantung dilehernya.

Mereka berjalan bersama menuju parkiran penginapan. Sehun menitipkan kameranya pada Jongin. Sementara, Jongin memakaikan kacamatanya pada Sehun. "Say cheese, Darling." ujar Jongin seraya mengarahkan kamera pada Sehun. Sehun berbalik menghadapnya dengan cengiran lebar yang memperlihatkan deretan giginya, dua jarinya terangkat memberikan pose peace.

"Lame, Sehun." komentar Jongin. Ia mendapat balasan ciuman dikening dari kekasihnya.

Sehun menyalakan mesin mobil dan suara Elvis kembali melantun menyanyikan lagu yang sama. Jongin menaruh kamera Sehun dipangkuannya, sementara polaroidnya menggantung dilehernya. "So, take my hand and take my whole life to." Jongin bernyanyi. Matanya melirik ke arah Sehun yang sedang tersenyum lebar.

Jongin berbisik, "Cause I can't help falling in love with you."

Mata coklatnya tidak berhenti terpaku pada sebagian wajah Sehun yang tertimpa lampu jalan. Ia teringat akan hari dimana Sehun pertama kali menciumnya. Ia masih mengingatnya dengan jelas seolah memori itu baru saja dibuatnya. Suara Elvis kembali mengambil alih, menyanyikan lagu yang sama setiap saat. Namun, Jongin tidak pernah bosan. Karena ini lagu favoritnya dan ini adalah satu-satunya lagu yang dapat menggambarkan perasaannya pada Sehun.

Mereka sampai di parkirkan yang tidak jauh dari pantai. Jongin segera menyerahkan kamera Sehun padanya, lalu melangkah keluar dari mobil. Lagi-lagi, Sehun hanya bisa mengekorinya dari belakang, mengamati dirinya yang berlari dengan tangan membentang seolah ingin memeluk lautan.

Sehun tertawa melihat Jongin yang mengejar ombak. Lalu, berlari balik seolah dirinya yang dikejar oleh ombak. Jongin tampak bahagia. Amat bahagia, malah. Sehun duduk di atas pasir pantai. Ia mengarahkan kameranya pada Jongin yang berputar-putar di hadapannya. Ia mengambil beberapa gambar Jongin sebelum mengubah mode kamera menjadi video recorder.

Sehun tidak berhenti memperhatikan Jongin dari belakang kameranya. Pria itu terus berlari, berputar dan bermain-main layaknya anak kecil. Hingga akhirnya, Jongin menyadari kamera Sehun. Pria itu berjalan sedikit mendekat padanya, namun kakinya masih terendam oleh ombak kecil yang nyaris mencapai pesisir pantai. Sehun mengamatinya tidak berhenti tersenyum.

Bibir Jongin bergerak seperti memgucapkan sesuatu, yang Sehun tebak adalah kata 'I'. Lalu, disusul dengan 'love' dan 'you'.

I love you.

Jongin kemudian berbalik membelakanginya, kembali mengejar ombak. Sehun hanya tersenyum kecil, namun tanpa dirinya sadari setetes air mata melesat jatuh dari pelupuk matanya.

Yeah, me too.

.

.

Jongin duduk di sebelah Sehun. Ia mengangkat kamera polaroidnya ke arah langit, mengabadikan langit malam yang dipenuhi oleh hamparan bintang dan bulan yang malu-malu menunjukkan dirinya. Sehun yang sedaritadi mengambil gambar ombak serta laut merasa dirinya sudah cukup banyak mengambil gambar. Sehun memejamkan matanya mendengarkan suara ombak yang membuatnya merasa lebih tenang. Ketika ia membuka matanya, kamera polaroid Jongin sedang mengarah padanya dan.. suara jepretan kamera terdengar. Beberapa detik kemudian, hasil foto Jongin keluar dari kamera tersebut. Jongin segera melihatnya dan tersenyum puas saat melihat hasilnya.

"Aku tahu aku tampan." bisik Sehun, tepat di samping telinganya.

"Ya, mungkin." Jongin berbalik menghadap Sehun membuat jarak di antara mereka begitu dekat. Jongin dapat merasakan hembusan nafas hangat Sehun yang menerpa wajahnya. Bibir mereka kembali bertemu dan menyatu. Bergerak pelan tanpa ada desakan atau sesuatu yang menuntut.

Ketika Jongin memundurkan wajahnya dari Sehun, menghentikan ciuman mereka, senyuman merekah lebar dibibir Sehun. "Apa yang ingin kau lakukan?"

"Bagaimana kalau kita main 3 question?"

"Hm, okay."

Mereka duduk berhadapan sekarang. Mata mereka bertemu dan keduanya mulai merasa lelah tersenyum terus-menerus. "Kau dahulu saja." ujar Jongin.

"Oke. Pertanyaan pertama, apa impian terbesarmu?"

"Umm, impian terbesarku adalah membuat buku yang dapat menginspirasi banyak orang. Aku pikir cuma itu. Selebihnya, mungkin tidak bisa dibilang impian besar." Jongin mengangkat bahunya. Sehun mengangguk paham. Ia masih ingat sebenarnya akan impian terbesar Jongin. Pria itu pernah membicarakannya dahulu. Dan apapun yang Jongin bicarakan padanya selalu melekat di dalam memorinya. "Pertanyaan untukmu, mengapa kau tidak pernah menceritakan keluargamu padaku?"

Sehun nyaris membeku. Ia tidak menyangka kalau Jongin akan membawa subjek tentang keluarganya ke dalam obrolan mereka berdua. Ia pikir.. Jongin tidak perduli atau ingin tahu. "Um, kalau kau tidak ingin membicarakannya-"

"Aku ingin, Jongin. Aku ingin kau tahu kalau keluargaku benar-benar bajingan. Entah itu ayah atau ibuku. Mereka membenciku karena aku gay." Sehun mendengus keras. Awalnya, ia berencana untuk tertawa keras menertawai kenyataan pahit yang baru saja dikatakannya. Namun, entah mengapa sulit bagi Sehun untuk melakukannya. Ia melempar pandangnya ke arah laut yang begitu luas di depannya. Ia sengaja menghindari tatapan Jongin yang bisa saja membuatnya menangis.

"Mereka mengusirku. Mereka memperlakukanku layaknya mereka lupa siapa sebenarnya aku. Waktu itu aku baru berusia 16 tahun, Jongin. Dan mereka dengan kejamnya menendangku dari rumah." Sehun tidak ingin menangis. Air matanya terlalu berharga untuk menangisi dua bajingan yang nyaris merusak masa depannya. Namun, bagaimanapun juga mereka adalah orangtuanya. Mereka-lah yang sempat menyaanginya dengan sepenuh hati, memberikannya kehidupan di dunia ini. Dan itulah yang membuat Sehun tidak bisa membenci mereka, sekeras apapun dia mencoba, dia tidak bisa.

Jongin mencium kening Sehun, lalu memeluknya sebentar. Saat, ia melihat wajah Sehun berusaha mencari sesuatu di sana. Ia tidak menemukan jejak air mata sedikit pun. Sehun tidak menangis. Walaupun, matanya berkaca-kaca.

"Mungkin, karena itulah aku tumbuh menjadi seseorang yang merasa bertanggung jawab atas semuanya. Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu pada mereka, Jongin. Bahwa aku bisa. Mungkin, aku memang ingin menjadi pahlawan."

"Tapi, kau bukan. Kau hanya seorang Oh Sehun. Kau tidak memiliki tanggung jawab pada siapapun untuk menyelamatkan semua orang atau membereskan masalah semua orang." Jongin membelai pipi Sehun dengan senyum getir, lalu dia mengecup lembut bibirnya. "Kau hanya Oh Sehun, pria yang kucintai."

Sehun dapat melihat semuanya di dalam mata Jongin. Ada kesungguhan, ketulusan dan terutama cinta yang mendalam di sana. "Pertanyaan kedua, apa kau mau mencintaiku untuk selamanya?"

Jongin tersenyum. Tangannya yang terasa hangat, meskipun udara di sekitar pantai cukup dingin, kembali membelai lembut pipi Sehun. "Forever is a long time, Sehun." Sehun terlena. Ia kembali menjadi tidak berdaya di bawah sentuhan ringan Jongin. "Tapi, akan kucoba." lanjut Jongin dan Sehun dengan senyum bahagia, kembali merasakan hangat bibirnya.

"Pertanyaan untukmu Oh Sehun, apa kau bisa membayangkan masa depanmu bersamaku?"

"Aku akan membalasnya dengan satu pertanyaan untukmu. Kim Jongin, would you marry me?"

Jongin terpaku. Wajahnya berubah, begitupun caranya menyentuh Sehun. Sehun hanya terdiam menatapnya dengan perasaan kacau. Mata Jongin bergerak gusar seolah mencari jawaban di suatu tempat. Sehun menggenggam tangannya membuat Jongin kembali menatapnya. "Why me? I am just a loser and-" Jongin terisak. "I dont deserve to be with you."

"No, baby. You are just Kim Jongin, the guy that I love with all my heart." Sehun mencium pipi Jongin, merasakan jejak air mata pria itu dibibirnya. "Wise man say only fool in rush." Ciuman Sehun berpindah pada hidungnya lalu turun menuju bibirnya. "But, I can't help falling in love with you."

Sehun dapat merasakan semuanya dibibir Jongin - semuanya yang membuat ia tidak pernah lelah mencium bibir pria itu. Mencintai Jongin membuat Sehun semakin takut pada dirinya sendiri. Ia tidak pernah mencintai seseorang seperti ini. Ia tidak pernah mencintai seseorang sampai rasanya begitu sesak. Hingga, kadang ia berpikir..

"Sehun, made love to me." bisik Jongin. Sehun hanya membalasnya dengan sebuah ciuman.

Apa jadinya jika suatu hari nanti ia kehilangan Jongin?

.

.

Di jok belakang Impala Sehun, Jongin dalam posisi kedua tangan bertumpu pada kaca jendela mobil dan dari belakang, Sehun menindih dirinya. Pria itu membenamkan penisnya di dalam Jongin, merasakan kehangatan yang menjepit dirinya yang membuat dirinya seperti merasakan ekstasi. Ia seperti kecanduan saat dirinya mulai mendorong penisnya masuk dan kemudian mengeluarkannya, lalu mendorongnya lagi dengan tempo yang cukup lambat. Ia tidak ingin menyakiti Jongin. Ia ingin pria itu merasa terbiasa dahulu dengan penisnya.

Awalnya, Jongin cukup takut dengan anal sex. Ia seorang virgin dan tidak pernah memasukkan apapun ke dalam dirinya. Namun, ia memercayainya Sehun. Ia tahu kalau Sehun tidak akan pernah melukainya (secara sengaja). Dan akhirnya ia pun membiarkan Sehun mempenestrasinya, awalnya cukup sakit. Jongin merasa dirinya seperti terbakar dan dibelah menjadi dua. Jongin nyaris menjerit meminta Sehun keluar dari dalamnya jika ia tidak berhasil menahan diri. Hingga, saat Jongin mengizinkan Sehun bergerak di dalamnya, dia mulai merasa lebihbaik. Perlahan, rasa sakit berubah menjadi rasa nikmat yang membuatnya menuntut lebih.

"Ahhh." Jongin mendesah dan mulai mendorong dirinya ke belakang, hingga mengimbangi tempo milik Sehun. Sadar jika dirinya mendapat lampu hijau untuk mempercepat tempo gerkannya, Sehun mulai mengubah temponya menjadi lebih cepat. Ia semakin merapatkan dirinya pada Jongin dan mulai menciumi setiap jengkal punggung Jongin.

Jongin dapat merasakan semua milik Sehun dari dalam maupun luar dirinya. Jongin dapat merasakan semuanya yang Sehun beri padanya. Dan ia tidak pernah berhenti merasa bersyukur karena Tuhan telah membiarkannya mencintai pria sesempurna Oh Sehun. "Se-Sehun." Jongin memanggilnya. Sehun mengangkat kepalanya dari punggung Jongin dan berpindah di belakang telinganya.

"I love you so much, Baby. There is no way I can't life without you. You are my world, Kim Jongin."

"Ahhh, Sehunn, ugh.."

"I want to spend the rest of my life with you."

"Se-sehunn.." Jongin dapat merasakan orgasmenya. Satu tangannya mulai berpindah mengocok penisnya, membantu dirinya mencapai orgasme. So close.

Sehun dapat merasakan hole Jongin menjepit penisnya. Dia mengerang keras dan memejamkan matanya. Ia membayangkan Jongin yang sedang berlari mengejar ombak di hadapannya. He looks beautiful. So beautiful. Dan dia punyaku. Jomgim berbalik menghadapnya dan membisikkan tiga patah kata yang tidak pernah jenuh didengarnya.

I love you.

"Sehunn-fuckk, I love you." Jongin berteriak. Sehun membenamkan wajahnya ditengkuk Jongin. Ia juga merasakan hal yang sama.

Jongin mencapai orgasmenya lebih dahulu. Tangannya penuh dengan cairan orgasmenya dan Jongin nyaris ambruk karena kelelahan. Dua menit kemudian, Sehun mencapai orgasmenya dan menyemburkan spermanya ke dalam kondom yang ia pakai. Sehun mengatur nafasnya, sementara Jongin tampak nyaris tertidur. Sehun menarik keluar penisnya dari dalam Jongin. Pria itu membiarkan Jongin berbaring di jok belakang mobil. Ia mengambil selimut di jok depan dan menggunakannya untuk menyelimuti Jongin.

Jongin yang sudah memejamkan matanya, namun belum tertidur dapat merasakan desah nafas Sehun di depan wajahnya. "Jongin, I want to love you forever. Can I?"

Forever is a long time. "Yeah, you can." jawab Jongin setengah berbisik. Sehun tersenyum kecil, lalu mengecup kening Jongin untuk terakhir kalinya.

Jongin tidak tahu apakah dirinya bermimpi atau tidak. Namun, ia mendengar jelas nyanyian Sehun ditelinganya.

Like a river flow so surely to the sea

Oh my darling so it goes

Some things are meant to be

So, take my hand and take my whole life with you

'Cause I can't help falling in love with you

.

.

(Keesokan paginya, Jongin bangun lebih awal. Dia membawa dua botol yang dibelinya kemarin dan juga sebuah pensil. Sambil menunggu Sehun bangun, Jongin duduk menghadap ke arah pantai dan mulai menulis.)

.

.

Tidak ada yang berubah sejak mereka kembali daru pantai. Mungkin, kemesraan mereka saja yang menjadi semakin intim. Selebihnya, Sehun dan Jongin tetap dua pria yang saling mencintai.

Hingga, suatu pagi Sehun mendapat kabar kalau seseorang telah mengobrak-abrik kantornya. Pagi itu adalah pagi yang cerah. Sehun dan Jongin berencana untuk menemui Jo dan Meg setelah makan siang. Namun, mereka terpaksa harus membatalkan rencana mereka. Sehun dan Jongin bergegas ke kantor polisi di sekitar kantor setelah mendapat telpon dari Tiffany. Wanita itu menunggu di sana.

Perjalanan menuju kantor polisi cukup membawa suasana tegang di antara mereka. Sehun tidak membuka mulutnya sama sekali. Dia memilih untuk diam dan Jongin tahu kalau di dalam sana, Sehun sedang mengamuk. Pria itu pasti sudah menyimpulkan hal-hal yang mungkin saja tidak benar. Jongin hanya terdiam memperhatikan Sehun, membaca setiap gerak-geriknya yang mengarah pada satu kesimpulan kalau dia sangat marah.

Mereka sampai di kantor polisi sekitar dua puluh menit kemudian. Sehun melangkah cepat ke dalam gedung tersebut. Ia bahkan tidak menunggu Jongin.

Ketika, ia berhasil menemukan Tiffany. Gadis itu langsung memeluknya erat. "Semuanya lenyap, Sehun. Mereka menghancurkan semuanya. Aku-aku tidak tahu harus bagaimana." gumam Tiffany disela tangisnya.

Jongin yang baru saja menemukan mereka hanya terdiam mematung. Ia mendengar jelas apa yang baru saja Tiffany katakan, begitupun dengan Sehun. Sehun langsung melepaskan pelukannya dan menatap Tiffany dengan tatapan tidak percaya. "Semuanya?"

Tiffany mengangguk lemah. Kondisi kantor mereka benar-benar hancur berantakan. Tidak ada yang tersisa, kecuali sobekan kertas yang kebanyakan adalah naskah novel yang siap untuk dicetak. Sehun membeku. Lututnya terasa lemas tiba-tiba. Ia nyaris jatuh berlutut.

Kala itu, yang Sehun lihat hanyalah merah. Merah untuk amarah, emosi dan dendam.

"Apa semua ini terjadi karena aku gay? Karena aku gay, mereka semua jadi berpikir kalau mereka bisa menghancurkan hidupku!" Sehun berteriak. Ia tidak perduli lagi dengan tanggapan dunia terhadapnya. Jika mereka menganggapnya gila, maka ia akan menjadi gila. Jika mereka menganggapnya menjijikkan, maka ia akan menjadi menjijikkan.

Tangis Tiffany mengeras. Wanita itu menutup mulutnya, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Jongin yang berdiri tidak jauh dari mereka, menahan diri untuk tidak menangis. Dua orang petugas datang menghampiri mereka dan Sehun kembali berteriak, "Fuck off! Aku tidak perduli lagi."

Sehun berjalan cepat keluar dari gedung tersebut. Ia menghiraukan segala tatapan yang didapatnya. Sementara, Jongin kembali mengikutinya dari belakang. Ia ingin menggapai tangan Sehun dan menggenggamnya erat. Namun, mengapa Sehun terasa begitu jauh darinya? Ia seolah tidak bisa menggapai Sehun lagi.

Sehun sama sekali tidak bicara padanya selama perjalanan pulang dan bahkan, sampai mereka berada di apartemen. Pria itu langsung masuk ke dalam kamar dan menutup pintu tepat di depan wajah Jongin.

Kala itu, Jongin tahu kalau mungkin ia tidak akan pernah menggapai Sehun lagi.

.

.

Sejak itu, Sehun seperti tidak pernah ada di dalam hidupnya.

Pria itu selalu menyibukkannya dengan kegiatan kelompoknya. Sehun mulai mencoba berbagai cara untuk membuat pemerintah mau menyumbangkan dana yang lebih besar. Siang dan malam, pria itu membuat surat dan artikel. Dengan harapan, suatu hari nanti pemerintah akan merasa tergerak membantunya.

Jumlah pasien virus tersebut semakin melonjak. Beberapa anggota aktivis meninggal setiap minggunya. Wabah itu sangat mengerikan dan Sehun berusaha keras untuk menghentikannya. Mungkin, jika virus ini berhenti menyebar dan menyerang pria gay. Diskriminasi yang menyerang kaum LGBT-pun dapat berhenti. Ya, mungkin saja.

"Sehun, ini sudah larut. Kau tidak ingin tidur?" Jongin memijat pelan bahu Sehun. Sehun meliriknya dan memberi senyum kecil.

"Nanti aku menyusul. Sebentar lagi juga selesai." balas Sehun. Matanya kembali terarah pada jemarinya yang bekerja di atas mesin tik.

Jongin memaksakan diri untuk tersenyum. Ia mengangguk, meski Sehun tidak melihatnya. Jongin berjalan masuk ke dalam kamar mereka. Ia menutup pintu, namun tidak mengunci, berharap kalau Sehun sebentar lagi akan menyusulnya. Jongin berbaring di atas ranjang merasakan dingin yang biasanya tidak pernah ia rasakan. Ia berusaha memejamkan matanya, namun lagi-lagi matanya terbuka dan mengarah pada sisi ranjang yang berada di sampingnya.

Hingga, keesokan harinya Jongin masih merasakan dingin yang sama. Dan saat ia melihat ke sampingnya, ia tidak menemukan Sehun yang tertidur lelap di sampingnya. Ia tidak menemukan pria yang selalu membisikkan 'selamat pagi' ditelinganya. Pria itu seolah lenyap, pergi.

Sejak itu, ranjang Jongin semakin terasa dingin dan dingin.

.

.

Kadang Jongin suka berpikir kapan Sehun akan menamparnya atau menyakitinya untuk melampiaskan amarah pria itu.

Kadang Jongin suka menantikam saat-saat itu. Sebut dirinya gila. Karena dia sendiri mungkin mulai memercayainya.

Usaha Sehun selama dua bulan ini berujung dengan hasil yang cukup memuaskan. Walaupun, pemerintah belum mau terlibat untuk meneliti virus ini. Namun, tetap saja adalah titik cerah bagi para aktivis LGBT untuk semakin menyuarakan pendapat mereka. Dan semua ini berkat kerja keras Oh Sehun. Si otak dari segala kampanye dan acara penggalangan dana selama ini berhasil membuat wali kota tergerak dengan presentasinya, menjelaskan betapa berpengaruh populasi korban virus ini pada perekonomian Amerika yang sedang mengalami krisis.

"Jongin, aku berhasil!" Sehun mengecup bibirnya. Dan anehnya, Jongin tidak merasakan kehangatan itu lagi.

"Baguslah." Jongin tersenyum lemah.

Sehun yang menyadari perubahan di dalam diri Jongin merasa cemas. "Baby, are you okay?"

"Yeah, I am." No, I am not.

Jongin memasang senyum palsunya lagi. Sehun menatapnya cukup lama berusaha mencari jawaban dari wajah letih Jongin. Pria itu menggenggam tangan kekasihnya dan mencium punggung tangannya. "Kau mau makan apa, Baby? Ayo kita makan diluar."

"Terserah kau saja." harusnya Jongin merasa bahagia karena Sehun kembali menaruh perhatian padanya. Namun, mengapa? Mengapa rasanya malah ia ingin menangis.

Jika Sehun melangkah semakin dekat menuju impiannya. Berbeda dengan Jongin, yang semakin semakin memundurkan langkahnya menjauhi impiannya.

.

.

Jongin tahu kalau Sehun masih mencintainya.

Namun, pertanyaannya.. apa dia masih mencintai Sehun seperti ia mencintainya dahulu?

Jongin tidak bisa merasakan pelukan Sehun, ciumannya atau seperti apa rasanya saat mereka bercinta lagi. Ia seperti lupa dan Sehun tidak bisa mengingatkannya kembali. Terkadang, Jongin suka terbangun di malam hari dan menoleh ke sampingnya, dan ia tidak mengenali siapa pria yang tidur di sampingnya. Terkadang, apa yang dirasakannya membuat ia takut.

Mencintai Sehun terasa mengerikan sekarang. Ia tidak merasa bahagia lagi. Ia bahkan lupa seperti apa rasanya bahagia karena Sehun.

Hingga, akhirnya suatu malam, persis dimalam saat Sehun berhasil mendapat undangan ke White House di D.C untuk menghadiri diskusi yang membahas soal virus ini, Jongin memutuskan untuk pergi. Ia tidak tahu kemana. Namun, yang ia tahu ia tidak bisa berlama-lama lagi berada di sekitar Sehun.

Mencintai Sehun terasa mengerikan sekarang. Karena perlahan-lahan, rasa cintanya itu berubah menjadi racun.

.

.

"Fuck, dude! Kau berhasil membuat presiden mau membantu penelitian virus ini. Akhirnya ada organisasi negara yang mau membantu kitam Persetan, aku masih tidak menyadarinya!"

Sehun hanya tersenyum. Ia merasa puas. Sangat puas. Akhirnya, ia berhasil mewujudkan impiannya. Akhirnya, ia berhasil membuktikan kalau tidak perduli gay atau tidak, ia berhasil membuat pemerintah bergerak membantunya. Ini adalah satu prestasi yang membuat Sehun merasa dirinya seperti pahlawan.

"Tapi, kau hanya Oh Sehun. Pria biasa yang kucintai."

Sehun membeku. Ia segera menetap kesekelilingnya dan mendapati semua aktivisi yang menghadiri diskusi ini membawa pasangan mereka. "Sehun," Jo mendekati pria itu dan merangkulnya erat, disusul oleh Meg. Sehun hanya tersenyum, meski bukan senyum bahagia yang sempat hadir dibibirnya.

"Kau tidak mengajak Jongin?" tanya Jo. Wanita itu melihat sekelilingnya, namun ia tidak berhasil menemukannya.

"Uhh, aku-"

"Selama beberapa bulan, kau-lah satu-satunya yang bekerja paling keras. Aku sangat kagum padamu karena kau bisa mengimbangi waktumu untuk bekerja dan untuk Jongin." puji Meg, disambut anggukkan dari Jo.

Sehun hanya tertegun menatap kosong ke arah mereka berdua. Semuanya menjadi jelas sekarang. Dan semua itu langsung menghantamnya. Membuat seorang pahlawan berubah menjadi seorang pecundang dalam hitungan detik. Tiba-tiba saja, seseorang menghampirinya dan menepuk bahunya. Sehun memutar tubuhnya dan mendapati Erin menatapnya dengan wajah sedih. Belum sempat gadis itu membuka mulut, air matanya langsung mengalir jatuh membuat Sehun maupun Meg dan Jo menatapnya dengan cemas.

"What's wrong?"

"Sehun, he is gone. HE'S GONE!"

Teriakan Erin membuat seluruh perhatian tertuju ke arah wanita itu. Sehun menatapnya dengan aneh, masih tidak mengerti apa maksudnya. "Rumah sakit menelponku dan-" Erin menarik nafas. "-mereka memberitahu kalau Jongin meninggal. Dia terlibat kecelakaan." lalu, gadis itu kembali menangis.

Suasana langsung berubah hening. Tidak ada yang memasang senyum lagi dibibirnya. Tidak ada juga yang berani membuka mulut. Semuanya hanya terdiam menatap Sehun yang ingin tertawa - karena tidak mungkin! Tidak mungkin Jongin-

Dan Sehun menangis. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun ini, dia menangis.

Terkadang Sehun suka memikirkan apa jadinya dia jika ia hidup tanpa Jongin. Apakah dia sanggup?

Dan ternyata, jawabannya.. tidak.

.

.

epilog

Setelah pemakaman Jongin, Sehun memilih untuk langsung kembali ke apartemennya. Ia tidak bisa berlama-lama menahan diri untuk tidak menangis di hadapan banyak orang yang menghadiri pemakaman Jongin. Ia membutuhkan waktu sendiri untuk.. entahlah, Sehun sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia berjalan gontai masuk ke dalam apartemennya dan dengan bodohnya berkata, "Jongin, aku pulang."

Hening. Tidak ada yang membalasnya. Dan kemudian, Sehun menangis. Ia terisak keras, menyesali segala hal bodoh yang telah dilakukannya hingga membuat Jongin pergi darinya.

Sehun menjerit. Dia meneriakkan nama Jongin berharap pria itu menjawabanya, lalu memelukanya, menciumnya dan membisikkan kata cinta ditelinganya. Sehun terus berjalan dan menjatuhkan dirinya di atas sofa. Ia menatap lurus ke arah televisi, mengingat Jongin yang selalu menariknya untuk menonton Star Trek bersama. Air mata semakin mengalir deras dari matanya.

Mata Sehun berkeliling dan terpaku pada kameranya serta satu botol yang Jongin beli dipantai yang berada di bawah televisi. Ia berjalan mendekati dua benda itu dan mengambilnya. Sehun memiliki proyektor yang dapat membaca gulungan film dari kamera. Ia memasang proyektor itu dan mengeluarkan gulungan film. Sehun menekan tombol play dan gambar-gambar yang ia ambil di pantai beberapa bulan yang lalu tampil menyorot dinding apartemennya.

Sehun kembali menangis. Ia memperhatikan setiap foto Jongin yang diambilnya. Hingga, akhirnya foto-foto itu berganti menjadi satu video. Sehun masih mengingatnya dengan jelas.

Sehun tidak berhenti memperhatikan Jongin dari belakang kameranya. Pria itu terus berlari, berputar dan bermain-main layaknya anak kecil. Hingga akhirnya, Jongin menyadari kamera Sehun. Pria itu berjalan sedikit mendekat padanya, namun kakinya masih terendam oleh ombak kecil yang nyaris mencapai pesisir pantai. Sehun mengamatinya tidak berhenti tersenyum.

Bibir Jongin bergerak seperti memgucapkan sesuatu, yang Sehun tebak adalah kata 'I'. Lalu, disusul dengan 'love' dan 'you'.

I love you.

Video itu terus berputar dan Sehun tidak berhenti menangis. Ia meraih botol yang berada di sampingnya itu dan mengeluarkan dua kertas di dalamnya. Sehun mulai membaca satu kertas yang ternyata adalah lirik lagu favorit Jongin.

"Wise man say only fool in love. But, I can't help falling in love with you." Sehun mulai bernyanyi dan memori yang mengingatkannya dengan Jongin semakin menyerangnya. Sehun tidak bisa. Ia membutuhkan Jongin kembali padanya.

Sehun membuka gulungan kertas kedua dan hanya dua patah kata yang berada dikertas itu, dua patah kata yang mampu membuat hatinya semakin hancur;

I WOULD


Tiga bulan kemudian, Sehun menerbitkan buku yang berjudul Young & Beautiful. Buku yang langsung melejit di pasaran dan berhasil membangkitkan kembali rumah percetakan bukunya.

Buku itu menceritakan seorang pemuda yatim piatu yang memiliki cita-cita untuk membuat buku yang dapat menginspirasi seseorang. Pemuda itu sangat mencitai salah satu lagu Elvis. Pemuda itu... juga sangat mencintainya.

Buku itu adalah buku pertama dan terakhir Sehun yang menceritakan tentang Kim Jongin.


Wise man say only fool rush in

But, I can't help falling in love with you

.

.


Rin's note :

Aku tadinya mau buat Sehun bunuh diri tapiiiii nggak jadi.. dan I think ending yang implied kayak gini lebih better

Tbh aku cukup bangga dengan karyaku (cielaahh) kali ini. Aku nggak pernah nulis di hp ampe sebanyak ini (abaikan). Dan terutama, aku nggak pernah nulis satu hubungan di dalam fanfic yang cukup realitis.. dan fuck, intinya aku cukup bangga walaupun hasilnya rada begini . PMSL

Dan, umm, aku kan udah bilang kalau nggak ada yang mati karena AIDS di sinii.. kalian ketipu soal topik AIDS yang sebenarnya baru aku angkat sebagian aja hehe.. (pokoknya ini fanfic masih banyak kurangnya, walaupun sang author cukup bangga #preett)

Tbh karakter Sehun sebenarnya nggak brengsek bangetm. Dia cuma mencoba buat jadi pahlawan atau lebih unggul dari yang lainnya sampai-sampai dia nggak terbuka gitu ma Jongin.. duh, kenapa jadi susah ngejelasinnya padahal ada diotak lol

Well, nggak ada yang nyangka kan endingnya beginiii.. SUPRISE DAHH.. KAPAN RIN BUAT FF AIDS BENERAN lol

Anyways, fanfic ini masih jauh dari kata cukuppp jadi maafkan sayaa (sungkem). Dan oiya, wajib deh dengerin lagu OST fanfic ini dah (apa dah lu rin)

And the last one, tell me menurut kalian karakter sehun sama kai di sini gimana? Dan dimana moment yang kalian suka?

P.S kalau mau nimpuk ato nyantet.. rin layanin di askfm rin wkwk

P.S.S LM dearr, why must u notice selipan SPN ku? Itu sumpah diriku mupeng sama Impala-nya Dean sampai masukin ke fanfic ini.