2015 © sehunorita
proudly present

sequel of
BACK AGAIN

A HunHan fanfiction
Romance, Slice of Life | M | Sequel

Mereka kembali seperti semula karena Luhan yang demam? Tidak, itu karena Luhan yang mengigau agar Sehun mau merawatnya dan Minseok mengatakan itu pada Sehun.

Aku coba buat sequel dengan sudut pandang Sehun. Semoga kalian jadi paham dang a berpikir Luhan sesederhana itu nerima Sehun buat diajak ehem-ehem haha XD


Sehun menghembuskan napasnya banyak kali selama perjalanannya kali ini, ia terlihat berantakan dengan gigi yang tidak henti-hentinya mengigit bibir bawahnya. Langit kota Seoul yang biasanya terlihat beberapa sinar bintang meski tipis, kali ini terlihat benar-benar gelap.

Baru saja dirinya dari taman di dekat tempatnya tinggal selama berada di Seoul, bukan untuk berjalan-jalan, hanya untuk menemui kekasihnya—ah, mereka kini sudah menjadi mantan. Terdengar gila memang memutuskan kekasih di tempat semanis taman, tapi toh langit malam terlihat mendukung keputusannya. Ya, sebut saja Sehun gila.

Sejujurnya Sehun sendiri juga tidak ingin mengakhiri hubungan yang sudah ia jalin selama sekitar setengah tahun, tapi jika hubungan sekarat tetap di biarkan menggantung tentu menyakitkan, 'kan? Sehun pikir lebih baik jatuhkan saja sekalian, dibuat kandas agar tidak ada lagi rasa sakit—meski sebenarnya hatinya terasa sakit.

Masih terasa hangat di ingatan Sehun bagaimana Luhan—mantan kekasihnya— menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar darinya, tapi Sehun tahu jika orang itu sangat terpukul dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Meninggalkannya sendiri di taman tentu bukan pilihan yang tepat, hanya saja Sehun tidak mau berlama-lama menatapnya, takut hatinya goyah dan akhirnya justru termakan ucapannya sendiri. Setidaknya jangan sekarang. Bukan waktu yang tepat untuk termakan ucapannya sendiri.

"Aku pulang," Sehun berujar lumayan keras, membuat beberapa teman satu indekostnya menatap dirinya.

"Mana Luhan?" Minseok yang paling tua bertanya, menatap Sehun dengan tatapan meminta penjelasan. Minseok pasti tahu jika dua sejoli ini tengah terjadi apa-apa, ia pikir, mungkin mereka baru saja mengakhiri hubungan melihat wajah Sehun yang terlihat gusar.

Sehun mengangkat bahunya, berusaha terlihat cuek, "Entahlah."

"Kau meninggalkannya? Kau gila?" Suara Minseok terdengat meninggi.

"Kita baru saja berakhir. Kenapa aku harus peduli?!"

Blam!

Suara pintu yang dibanting kasar membuat orang-orang yang berada di ruang tengah tidak mampu berkata-kata. Sehun mengamuk karena putus? Itu terdengar konyol. Biasanya dia akan baik-baik saja jika mencampakkan kekasihnya. Apa itu berarti Sehun tengah banyak tekanan? Bukannya dia biasa marah-marah jika mendapat tekanan?

Beberapa menit setelah insiden Sehun yang mengamuk, Yixing dan Kyungsoo yang tadi berada di dapur keluar dari tempatnya. "Ayo makan!" Mereka berdua berseru dengan ceria, menimbulkan ekspresi sumringah dari teman-temannya yang lain.

"Sehun dan Luhan?" Yixing bertanya begitu menyadari ada dua bangku kosong, sadar bahwa bangku itu adalah bangku yang biasa di duduki oleh Sehun dan Luhan.

"Sehun di kamar dan tidak ingin di ganggu, sementara Luhan belum pulang."

"Heh?" Kyungsoo melebarkan matanya, menatap dengan tatapan burung hantunya. "Bukannya tadi Luhan mengatakan akan menemui Sehun?"

"Yeah, sepertinya mereka berakhir di sana. Jadilah Sehun yang mengamuk dan Luhan yang belum pulang."

"Akhirnya mereka memutuskan untuk berakhir?"

"Oh, aku kira Sehun dengan segala logikanya yang memutuskan untuk berakhir. Luhan mana mau berakhir dengan Sehun, 'kan?"

Mereka semua yang mendengar pernyataan Minseok mengangguk mengiyakan.

"Ya sudah, ayo kita makan!"

Kegiatan makan bersama selesai, mereka yang masih malas beranjak pun justru memilih untuk mengobrol di meja makan sekalian menunggu Luhan pulang.

"Mungkin Luhan tengah menunggu hujan," Jongdae bersepekulasi. Mengingat sekarang sedang jamannya untuk bergalau ria di bawah guyuran hujan, tentu yang lainnya mengangguk setuju.

"Tapi Luhan kan tidak suka dingin."

"Ey, orang galau itu bisa melakukan sesuatu yang bukan style-nya, tahu!"

"Aku pulang."

Suara yang sedari tadi mereka tunggu-tunggu akhirnya muncul. Mereka jadi diam begitu menyadari kondisi Luhan yang terlihat berantakan.

"Kau pulang," Minseok melirik Jongin, "Katakan padanya, Jongin."

Jongin yang dari tadi tidak tahu apa-apa tentang naskah yang direncanakan untuk membuat Luhan mendekati Sehun mengerutkan kening tidak suka, matanya pun menunjukkan kilatan takut. Ia takut salah bicara, apa lagi sedari tadi dia hanya menjadi pendengar. Sayangnya matanya tidak sengaja bertubrukan dengan tatapan penasaran Luhan. Jongin menyerah, ia pun menarik napasnya. "Sehun sepertinya mengamuk."

"katakan yang jelas," Luhan terlihat menuntut. Matanya mengabsen satu-satu temannya, memancing agar mereka menjelaskan apa maksud perkataan Jongin jika memang Jongin tidak bisa menjelaskan lebih detail.

Kris menghela napas saat menyadari tidak ada yang mau berbicara. "Kalian berakhir?" Kris bertanya sambil menatap tatapan menuntut Luhan, menimbulkan lengkungan tipis tapi terlihat puas dari yang ditatapnya.

Luhan menghela napas sebelum menjawab. "Eoh," ia mengangguk dengan lemah. "Apa karena itu?"

Kris mengangguk ragu, tapi tetap berusaha memperlihatkan kilatan mata yang meyakinkan pada Luhan. "Dia marah pada dirinya sendiri."

"Lalu apa yang harus aku lakukan?"

Minseok mengerling pada kamar Sehun lalu berganti menatap Luhan, "Mendatanginya mungkin cara terbaik sebelum semua barang di kamarnya hancur."

Luhan menggeleng tidak setuju, "Kau ingin aku nanti yang dilempar?" Ia mendengus kesal.

Jongin menggeleng sambil setengah terkekeh, "Tidak akan dilempar ke dinding, paling parah kau akan dilempar ke ranjang dan berakhir tidak bisa berjalan karena dia begitu frustasi."

"Hey!" Luhan meraih sendok yang berada di dekatnya lalu melempar benda itu pada Jongin dengan kesal, "Aku tidak akan menyerahkan tubuhku pada seseorang yang bukan kekasihku. Enak saja!"

Suho yang sedari tadi diam mendengus, berusaha bergabung dengan obrolan mereka dan memulainya melalui dengusan. "Seringatku dulu sebelum tanggal dua puluh lima April ada seseorang yang mendesah keras saat ulang tahunnya dan kalau tidak salah ingat suara itu berasal dari kamar sampingku."

Luhan memekik tidak suka. Terlintas kejadian beberapa waktu lalu ketika tanpa sengaja dirinya melihat Sehun dalam kondisi yang wah dan Luhan justru terbakar karena nafsu yang memang sering ia tahan saat melihat Sehun. Itu kali pertamanya Luhan melakukan sesuatu yang selalu temannya katakan nikmat, dan—Ah! Lupakan itu, Luhan!

Dia menatap satu persatu temannya yang terlihat memohon, memaksanya untuk membujuk Sehun agar tidak kembali mengamuk.

"Akan aku lakukan besok," Luhan pun mengalah, menimbulkan sorakan senang dari teman-temannya. Setidaknya ada yang mau mengajak Sehun bicara.

.

Sehun masih tidur saat pintu kamarnya diketuk, ia mendengus kesal dan mengutuk siapapun orang yang menganggu tidur nyenyaknya kali ini. Tidak tahu apa orang itu kalau semalaman dirinya susah tidur karena seekor rusa China?

Sambil bersungut-sungut Sehun membuka pintu. Setengah terkejut saat mengetahui siapa yang ia sumpahi tadi, tapi Sehun menahan dirinya untuk tetap memasang ekspresi datar.

"Ada apa?" Ia bersuara serak karena tenggorokannya yang masih kering. Sehun menatap Luhan yang lebih kecil darinya dengan tatapan setengah sayu.

"Kau perlu makan."

Sehun tersenyum dalam hatinya mendapati suara bergetar tipis keluar dari bibir Luhan. Ia makin senang saat mengingat bahwa kelemahan Luhan adalah dirinya yang baru bangun. Oh, senang sekali bisa menggoda rusanya meski tidak bisa menyentuhnya.

Sehun mendengus saat matanya mendapati teman satu atapnya selain Luhan sudah mengintip dengan beradi dari dapur. Karena tidak mau dilihati, Sehun pun mundur beberapa langkah memberi jalan untuk Luhan.

Luhan masuk dengan ragu. Benar-benar membuat Sehun semakin gemas dengan sikap Luhan yang gugup.

"Jangan berpikir macam-macam, aku tidak akan memakanmu," terdengar suara dengusan menahan tawa pelan dari Sehun.

Luhan setengah merona karena merasa baru saja dipermalukan oleh si maknae. "Aku hanya mengantar makanan juga sih sebenarnya."

"Baguslah," Sehun menggerutu pelan tanpa sadar saat menyadari Luhan berusaha menghindari tatapannya. "Letakkan saja di meja, nanti aku makan. Sekarang kau bisa keluar, hyung."

"'Hyung?'"

"Ya," Sehun mengangguk, setengah merasa tidak nyaman mendapati Luhan memberi tatapan sedih padanya. "Itu karena biasanya kau kekasihku. Sekarang kau hyung-ku karena kau lebih tua."

Begitu mengatakannya, Sehun mengucapkan banyak kata maaf dan makian untuk diri sendiri di dalam hatinya.

"A-ah," Luhan terlihat menahan bibirnya untuk tidak melengkung jatuh. Sehun meremas ujung bajunya gugup menyadari ucapannya baru saja membuat Luhan merasa sedih. Yeah, tentu saja sedih. Sehun gila sudah berani mengatakan itu, 'kan? Bukankah itu berarti dirinya memperjelas hubungan mereka? Mengatakan mereka berdua sudah bukan apa-apa, hanya teman satu atap?

"Aku keluar dulu. Habiskan makananmu."

Sehun menghela napas beratnya saat Luhan baru saja keluar dari kamarnya. Ia memaki dirinya sendiri karena menyakiti hati kecil Luhan. Bagaimana bisa dia begitu ceroboh? Mengatakan hal-hal yang jelas melukai hati kecil Luhan? Sehun benar-benar gila. Mungkin kelabilannya kali ini sudah keterlaluan.

.

Malam harinya, Luhan mengendap-endap masuk ke kamar Sehun. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari di mana sosok sang pemilik kamar, tapi sepertinya ia tidak mendapati siapapun.

"Hyung?"

Suara berat seseorang membuat Luhan berjengit, ia dengan gugup membalik tubuhnya. Rasanya jantungnya berdetak cepat hanya karena suara berat yang bahkan tidak lebih tinggi dari caranya berbicara normal.

"Sedang apa kau di sini?" Orang itu—Sehun— melanjutkan kalimatnya. Ia memberi tatapan menyelidik pada yang lebih kecil darinya.

"Aku mencarimu," Luhan menjawab cepat. Matanya dia tahan untuk tidak menatap lebih dari dada bidang Sehun yang tertutupi kaos putih polos. "Bisa kita bicara?"

"Hm…," Sehun menggumam sebagai jawaban ya.

Ia pun menarik Luhan masuk untuk duduk di kasur setelah sebelumnya menutup pintu. "Ada apa?"

Luhan merasa seluruh darahnya berkumpul di wajah saat menyadari dirinya sudah duduk di kasur single bed milik Sehun. Ia menahan napasnya agar tidak menunjukkan sikap gugup—yang sayangnya justru memperjelas bahwa dirinya gugup.

"Ada apa, hyung?" Sehun mengulangi pertanyaannya begitu beberapa detik terlewati dengan Luhan yang sibuk meremas baju tidur biru polosnya.

"O-oh," Luhan terperangah menyadari dirinya baru saja melamun untuk menekan rasa gugupnya. Ia pun menunjukkan senyumannya pada Sehun, "Maaf. Aku hanya ingin bertemu denganmu sebenarnya. Apa itu boleh?"

Sehun terkekeh, "Siapa juga yang melarang?"

"Aku kira kau menghindariku. Seharian ini kau tidak keluar sama sekali. Kenapa?"

"Aku belajar," Sehun tersenyum, "Kau tahu aku sebentar lagi berada di tingkat akhir, 'kan? Aku perlu fokus. Aku tidak mau ujianku gagal, aku harus mendapatkan universitas terbaik seperti yang orang tuaku harapkan. Itu sebabnya aku berusaha menghindari hal-hal yang merepotkanku."

Luhan terdiam setelah beberapa saat kemudian itu menarik napas, "Jadi apa aku juga salah satu hal yang merepotkan untukmu, Sehun-ah?"

"Kenapa berpikir begitu?"

"Karena kau memutuskan hubungan kita. Aku kira itu salah satu hal yang kau maksud sebagai menyingkirkan hal merepotkan."

Sehun menggeleng. "Bukan begitu. Aku justru takut kau menjadi repot karena aku akan jarang menghubungimu. Mungkin menjagamu dari rasa kesepian karena menungguku adalah cara terbaik. Itu sebabnya aku mengajamu berakhir."

Luhan menunduk, ia meremas ujung bajunya lebih kuat. "Tapi… aku lebih suka menunggumu dari pada berakhir seperti ini, Sehun-ah."

"Jangan seperti itu," Sehun mengacak rambut Luhan pelan, "Maaf, hyung. Jangan kau pikir hanya kau yang sedih. Aku juga sedih, kok. Hanya saja, aku pikir ini adalah cara terbaik. Kau bisa mendapatkan yang jauh lebih perhatian, hyung. Menungguku hanya akan membuatmu lelah."

Luhan menghebuskan napasnya, menyerah. Ia lalu beranjak dari duduknya untuk kembali ke kamarnya. "Aku akan menunggumu selama apapun itu. Aku percaya kau tidak bisa mencari orang lain untuk kau cintai selain aku, sama sepertiku."

"Kau benar," Sehun bergumam saat Luhan sudah menutup pintu kamarnya. "Kau benar, Lu. Aku memang tidak bisa mencintai orang lain selain dirimu. Maaf."

.

Hari-hari menjadi terasa begitu berat setelah Sehun tahu Luhan tengah demam. Katanya Luhan demam tinggi karena tertekan. Sehun tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya untuk itu, tapi dirinya terlalu takut untuk menemui Luhan.

Berita tentang Luhan yang terus menyebut namanya dalam igauannya tentu sudah biasa Sehun dengar saat menginjak hari ketiga Luhan sakit. Bahkan terkadang suara teriakan Luhan yang memanggil dirinya terdengar sampai membuatnya terbangun. Sehun merasa bersalah pada Luhan dan teman-teman satu atapnya yang lain karena itu.

Hampir tiap malam Sehun tidak bisa tidur. Ia menatapi pintu kamar Luhan dengan perasaan campur aduk. Dirinya sangat ingin menemui Luhan, memeluk tubuh mungil itu, mengusap rambutnya, merawatnya, memberinya ucapan-ucapan sederhana agar lekas sembuh, rasanya terlalu merindu. Sayangnya egonya selalu menahan apa yang ingin di lakukan. Dirinya tidak mau justru seperti mempermainkan Luhan.

Meski kondisi tubuhnya sendiri sama-sama buruk, tidurnya tidak teratur seperti biasanya, perasaan khawatir pada Luhan benar-benar mendominasi. Sekalipun Suho mengingatkannya untuk tidur cepat, tubuhnya selalu menolak. Tidak bisa tertidur karena merindukan Luhan, apa itu terdengar konyol? Sehun pikir dirinya benar-benar bodoh sudah melakukan perang batin tanpa hasil nyata.

Puncak dari segala masalah Luhan akhirnya tiba. Pagi-pagi sekali, sebelum Sehun berangkat ke sekolahnya, Minseok menghampiri Sehun. Ia menceritakan tentang Luhan yang mengkhawatirkan dirinya dan memintanya untuk merawat Luhan. Sehun tentu terkejut, tapi tidak bisa dipungkiri, ada saja perasaan senang karena Luhan masih mengharapkannya. Sama seperti dirinya yang mengharapkan Luhan.

"Luhan sakit, bodoh!" Minseok memaki Sehun dengan kesal karena yang ia ajak bicara terlihat tidak peduli.

"Aku tahu. Bukan kah kau bisa mengurusnya, hyung?"

"Ini bagian Yixing, tapi dia sibuk dengan kegiatan kuliah. Ayolah. Hanya kau satu-satunya yang kosong. Aku sudah bertanya pada teman-temanku jadwal lesmu."

Sehun mendengus, "Hyung, aku tetap harus belajar."

Hey, Sehun tidak mau semudah itu luluh asal kau tahu. Ia ingin dirinya terlihat jual mahal. Terdengar egois memang, tapi toh siapa peduli? Ini dirinya yang selalu berpikir bahwa menunjukkan emosi yang sebenarnya adalah sebuah kesalahan. Oh iya, Sehun juga ingin mengetahui lebih detail tentang Luhan tanpa harus bertanya. Jadi, cara jual mahal tentu cara terbaik, 'kan?

"Kau tidak mengerti, ya?" Minseok setengah memekik dengan gusar. "Aku ingin Luhan lekas sembuh, aku kira membawamu padanya adalah cara terbaik. Kau pikir Luhan senang berbaring di kasur dengan suhu tubuh tidak wajar, selalu memimpikanmu, dan kau tidak sekalipun membesuknya? Pikirkanlah perasaan Luhan! Jangan hanya logikamu itu!"

Sehun bergeming. Matanya menatap hampa entah pada apa atau siapa. "Baiklah," Sehun tersenyum tipis, "Aku akan mengurusnya hari ini. Sekarang aku berangkat dulu, hyung."

.

Begitu Sehun sampai di indekostnya, ia langsung masuk ke kamar nomor tujuh tanpa berniat mengganti pakaian yang menempel pada tubuhnya. Kamar yang beberapa hari ini menjadi kamar paling sering dikunjungi terasa begitu panas. Ia mendapati sosok yang sangat ia kenal tengah meringkuk dengan wajah memerah saat ia mendudukkan dirinya di bangku sebelah kasur Luhan, hatinya berdesir sakit melihat kondisi orang dihadapannya saat ini. Rasanya menyesal sudah mengabaikan Luhan begitu lama.

"Sehun…?" Terdengar gumaman lirih dan pergerakan pelan dari Luhan saat menyadari ada sosok dengan baju kuning khas sekolah Sehun dengan rahang tajam khasnya.

"Ya hyung?" Sehun tersenyum saat matanya bertemu pandang dengan Luhan. "Aku di sini."

Setelah itu reaksi Luhan adalah reaksi paling mengejutkan. Air mata membasahi pipi tirusnya yang merah. Air itu jelas air mata, Sehun panik dan tidak tahu harus melakukan apa. Tangannya hanya mampu meraih pipi Luhan untuk mengapus aliran air mata Luhan. Tapi sepertinya itu tidak menghentikan air mata Luhan karena setelah itu ada isakan-isakan kecil menyusul.

"Jangan menangis," tangan Sehun masih mengusap pipi Luhan. Sayangnya, Luhan tidak terlihat ingin menahan air matanya karena aliran air mata itu semakin deras.

"K-kau menemuiku?" Bibir Luhan bergetar, menarik sedikit hatinya untuk mengecup bibir tipis itu agar tidak lagi bergetar. Menyampaikan bahwa dirinya tidak suka melihat yang sangat ia kasihi itu menangis.

Sehun mengangguk, memperjelas keberadaannya karena pertanyaan Luhan yang jelas pertanyaan retoris. Ia mengusap wajah Luhan yang penuh dengan noda bekas air mata. "Kau bahkan terlihat sangat menarik meski kau berantakan, Luhan-ah," Sehun membatin.

Sehun terkejut saat tiba-tiba tubuhnya sudah direngkuh oleh Luhan, memberi kulitnya sengatan panas karena demamnya. Rasa rindu yang selama ini ia bendung dengan dinding kokoh hancur, dinding itu roboh hanya karena pelukan Luhan yang terasa begitu pas dengan tubuhnya.

"Apa aku terasa nyata, hyung?" Sehun mengelus punggung Luhan, memberi perasaan nyaman pada yang sedang sakit. Meski telapak tangannya terasa terbakar karena punggung Luhan yang panas, Sehun tidak peduli. Memeluk Luhan setelah sekian lama tidak merasakan tubuh mungilnya di dalam dekapannya benar-benar melegakan.

Terasa gerakan pada bahunya, Sehun tahu Luhan mengangguk, mengiyakan pertanyaannya tadi. Tubuh Luhan yang rasanya lebih kurus dari sebelumnya juga seperti bergerak dalam pelukkannya.

"Kau perlu istirahat sekarang," Sehun mengecup kening Luhan. Ia mendorong tubuh kurus Luhan agar berbaring lagi di kasurnya. "Tubuhmu benar-benar panas. Kau harus lekas sembuh, hyung."

Luhan menghela napas, memberi Sehun tatapan memohonnya. "Aku ingin bersamamu. Kemari, biar aku tidur sambil memelukmu."

Sehun tertawa ringan, "Baiklah."

Mereka bedua berbaring di kasur single bed milik Luhan. Sehun membiarkan tangannya menjadi bantalan untuk kepala Luhan, sekalian juga memberi elusan ringan pada tubuh Luhan agar yang dipeluknya tenang.

"Sehun…," Luhan mendongak, tangan kurusnya terlihat bermain di kancing blazer kuning Sehun. Sehun membalasnya dengan gumaman, tidak berniat menolak meski dengan sigap Luhan melepas blazer kuning itu.

Ia tahu tahu apa yang Luhan inginkan, ia pun membiarkan Luhan melakukan apa yang ia mau sampai Luhan akhirnya membiarkan dirinya berganti jadi yang memimpin.

FINISH.


Hey! Aku selesai dengan sequelnya. Apa ini sudah memperjelas ceritaku yang kemarin?

Haaah. Aku bener-bener gatau harus gambarin Sehun gimana. Ini keinspirasi dari cerita roleplayer-ku. Ya! Sehunku memang begitu haha. Dia sulit dibaca, tapi aku tau dia masih suka sama aku ya walaupun dia udah ngajak putus. Alasannya? Sama semacam yang ada di cerita, dia gamau bikin si Luhan—aku— terlalu berharap dan jadi nungguin dia.

Dan… aku langsung deg waktu baca review yang bilang Luhannya terkesan murahan. Tapi, karena aku ga bisa jelasin perasaan Luhan di fiksiku aku sih biasa aja(?) ya karena aku pikir Sehun dan Luhan di sini sama-sama punya sifat yang rumit.

Luhan yang rela lakuin apa aja biar Sehun mau balik sama dia dan Sehun yang bakal selalu jadiin logikanya sebagai alasan kenapa dia ga mau balik lagi sama Luhan.

Aku tahu ini jauhhhh banget dari ekspetasi karena aku pikir kalimatku bisa lebih jelas dari ini. Tapi apa daya? Aku nggak tahu harus apain lagi setelah seharian ngeblank karena ujian yang nguras otak -_-v oke, aku tahu ini gap antes buat jadi alasan.

Aku bener-bener minta maaf ga bisa kasih yang terbaik, aku lakuin ini di sela-sela kesibukkan aku karena aku takut ideku hilang gitu aja. Jadi aku kerjain dua chapter ini dengan waktu yang mepet dan tanpa edit. Aku bener-bener minta maaf ga bisa kasih yang terbaik. Nanti aku usahain buat yang jauh lebih memuaskan dengan words yang lebih panjang daripada fiksi ku ini. Tunggu aku oke!

Last,
review pleaseee?