-oO-Undertaking Responsibilities-Oo-

Pada dasarnya Hongbin adalah seorang workaholic.

Sejak kapan?

Sejak pertama kali mencicipi profesi sebagai pemilik The Ravi's Ray Resort untuk menggantikan Ravi. Ingat? Saat itu tujuan awalnya hanya untuk melepas penat karena setiap hari ia harus menghadapi kelakuan nakal Yeri hingga ia kewalahan. Bahkan sampai ia masuk rumah sakit karenanya. Namun seiring berjalannya waktu, ia jadi ketagihan. Mengurusi perusahaan besar bukan hanya tidak buruk baginya, tapi justru sangat menyenangkan.

Baiklah, itu semua memang tidak mudah. Namun ia benar-benar menikmatinya. Merasakan sebuah zona nyaman, hingga membiarkan Ravi yang mengurus putri kesayangan mereka di rumah. Bukannya ia bahagia bisa menjauh dari seorang Kim Yerim. Tidak, tentu saja. Ia akan selalu mencintai anaknya sampai kapanpun. Hanya saja, ia menyukai fakta bahwa ia benar-benar merasa bahagia bisa duduk di posisi tertinggi sebuah perusahaan besar dan mengurusinya.

Hongbin tidak mengidam di kehamilan keduanya ini. Jadi sebagai gantinya, ia meminta Ravi untuk membiarkannya mengambil alih perusahaan. Hanya sementara. Sampai ia lelah. Serius, tidak hanya Ravi. Tapi Hongbin juga membutuhkan hari-hari dimana ia hanya sendiri, ternyata. Maksudnya, intinya, tidak ada Yeri di sekitarnya. Kali ini saja. Karena jika perutnya sudah membesar nanti, ia tidak akan bisa bertugas seenerjik ini lagi. Jadi ia pikir ini adalah kesempatan terakhirnya untuk bisa beraktivitas dengan leluasa.

"Appa! Yeri mau naik kuda!" bocah itu menarik-narik tangan Ravi ketika mengatakan itu. Dengan sekuat tenaga. Namun kekuatan itu bukanlah apa-apa untuk seorang Kim Wonshik. Apalagi kalau yang dihadapinya hanyalah seorang balita perempuan seperti anaknya ini.

"Iya sayang. Nanti appa bawa Yeri ke pacuan kuda." Ia tidak memiliki gairah untuk melakukan apapun lagi saat ini. Ayolah, ia baru saja menyentuhkan bokongnya pada sofa empuknya. Berniat untuk beristirahat.

"Yeri mau sekarang! Appa kan kudanya Yeri." Bocah itu masih mengeluarkan jurus rengekan andalannya. Biasanya sih selalu berhasil. Tapi itu hanya berlaku pada ibunya. Dan sekarang yang ia hadapi bukanlah Lee Hongbin.

"Appa sangat lelah sayang. Lain kali saja ya?" Ravi mencoba untuk berbicara sebaik mungkin, sekesal apapun ia saat ini. Kalau bisa, ia sebenarnya ingin melempar putrinya keluar jendela. Sayangnya ia tidak cukup gila untuk melakukan itu.

Ya, benar-benar disayangkan.

"Tidak mau! Yeri maunya sekarang, appa!" anak itu merengek semakin keras. Ravi berharap saat ini ada seseorang yang bisa menangani bocah ini. Tapi sepertinya mustahil. Karena jika ia sendiri saja tidak bisa menangani ini, apalagi para pelayan di rumahnya? Maka dari itu ia tidak memanggil siapapun –pelayan- karena ia sudah tahu. Itu tidak akan berhasil.

Ia pikir mungkin sudah saatnya untuk mempekerjakan seorang pengasuh anak yang benar-benar ahli dalam bidangnya.

Di sisi lain ia mempertimbangkan. Kalau ia terlihat seakan tidak mau mengurus anaknya sendiri, apa yang akan ia katakan pada Hongbin nanti? Lalu kalau Hongbin mendapatinya dengan mata kepalanya sendiri, habislah dia.

"Haaaiii. Ada yang kangen Hyogi oppa?" sebuah suara terdengar seperti malaikat penyelamat bagi Ravi. Karena setiap kali mendengar kalimat itu dari orang yang sama, ia selalu tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Yeri menoleh ke asal suara dan menampilkan antusiasme, "Oppaaa!" ia melepaskan tangan sang ayah dan berlari menghampiri Hyuk. Kakak kesayangannya –karena tidak ada lagi.

"Yeriii!" Hyuk menangkap tubuh mungil bocah yang berhambur padanya itu, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Yeri tertawa karena merasa geli ketika Hyuk menggelitik perutnya menggunakan hidungnya.

Ravi menghela nafas lega, selega-leganya semenjak kepergian terakhir Hongbin beberapa hari yang lalu, "Ah, syukurlah kau datang Hyuk. Kau benar-benar datang di saat yang tepat."

"Memangnya kenapa hyung?"

"Oppa. Yeri mau naik kuda. Tapi appa tidak mau jadi kudanya Yeri lagi." Adu Yeri, menunjuk-nunjuk ayahnya. Dengan bibir yang mengerucut lucu. Nah, ia terlihat menggemaskan kalau sudah begini.

"Begitukah?" Hyuk berpura-pura terkejut di hadapan bocah yang berada di pangkuannya.

"Aku tidak bisa kali ini Hyuk. Aku sangat kelelahan."

"Memangnya hyung habis melakukan apa sampai lelah begitu?"

"Aku baru saja pulang dari klub basket. Bisa kau bayangkan betapa lelahnya aku saat ini?"

Hyuk memutar bola mata, "Dasar. Sudah meninggalkan anak selama berjam-jam juga masih saja tidak mau menghabiskan waktu bersamanya? Ke mana Hongbin hyung?"

"Di Jeju."

"Sendirian?"

"Seperti biasa. Kenapa kau kaget seperti itu?"

Hyuk menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya, "Hyung, dia itu sedang hamil sekarang. Kenapa kau tega sekali menyerahkan pekerjaanmu padanya?"

"Justru itu. Ia bilang ia akan merasa lebih lelah jika berada di rumah dan mengurus Yeri."

"Senakal itukah Yeri?"

"Tidak! Yeri anak baik! Eomma sayang sama Yeri!" sanggah bocah itu, tidak terima.

"Ia jadi anak manis hanya jika denganmu saja." Ujar Ravi, malas.

"Benarkah? Hahaha. Semua orang juga tahu kalau Yeri sangat menyukaiku." Entah bagaimana, tapi Hyuk merasa bangga atas pernyataannya sendiri barusan.

"Lebih tepatnya kalian saling menyukai. Dan kalian cocok." Karena kalian sama-sama setan 'kecil', lanjut Ravi dalam hati. Menegaskan alasan kecocokan antara dua makhluk di hadapannya ini.

"Tepat sekali." Balas Hyuk, "Kapan Hongbin hyung akan kembali?"

"Lusa."

Hyuk mengedik acuh. Kemudian kembali menolah pada adik kecilnya.

"Siapa yang mau naik kudaaaa…?"

"Yeriii!"

"Oppa akan jadi kudanya Yeri sekarang." Ujar Hyuk.

Yeri bertepuk-tangan dengan riang, "Oppa memang kudanya Yeri."

-oO-Undertaking Responsibilities-Oo-

"Jaga kesehatanmu di sana sayang." Ujar Ravi pada seseorang di seberang.

Ia tidak peduli jam berapa sekarang. Ia tidak peduli apakah orang itu saat ini sedang sibuk mengurusi dokumen-dokumen perusahaan atau tidak. Yang jelas saat ini ia begitu merindukannya. Jadi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak meneleponnya.

"Tentu. Tolong jaga Yeri juga dengan baik ya." Jawab Hongbin, sambil memperhatikan foto keluarga kecilnya dalam sebuah pigura di atas meja kerjanya.

"Aku tidak kau beri perhatian juga?"

Ravi bisa mendengar pasangan hidupnya itu terkekeh di sana, "Kukira aku tidak perlu mengungkapkan apa-apa lagi padamu melalui kata-kata, Ravi. Kau sudah tahu aku selalu mengkhawatirkanmu."

"Sudah semestinya. Karena aku harus menjaga seorang setan kecil bersamaku." Suara Ravi semakin mengecil ketika mengatakan itu. Lebih terdengar seperti gumaman.

"Apa kau bilang?" dan indera pendengaran Hongbin terlalu peka untuk mengabaikan kalimat menyebalkan yang ia dengar barusan.

"Tidak, sayang. Aku tidak bilang apa-apa kok, hehehe."

Hongbin memicingkan mata, "Dengar ya. Aku tentu saja jauh lebih mengkhawatirkan Yeri. Aku takut kau tidak bisa mengurusnya dengan benar. Kau itu sangat sering memarahi anakmu hanya karena kesalahan kecil yang ia lakukan. Sampai ia menangis."

"Ia pantas menerimanya. Kita harus mendidik anak dengan benar. Ia harus tahu kesalahannya. Ia harus tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Jika tidak demikian, ia akan tumbuh menjadi anak yang suka berbuat seenaknya terhadap orang tuanya sendiri. Apalagi terhadap orang lain." Ravi berargumen. Mencoba untuk meyakinkan Hongbin.

"Kau benar. Tapi jangan terlalu berlebihan memarahinya. Proporsional saja."

"Tenang saja sayang. Aku memiliki takaran untuk semua itu. Lagipula, kalau kau benar-benar mengkhawatirkannya, kenapa kau meninggalkannya bersamaku?"

Hongbin menghembuskan nafas lelah, "Kau ini seperti tidak tahu saja kalau aku merasa dilemma. Di satu sisi ingin bisa lebih bersantai, tapi di sisi lain, ternyata aku tidak bisa benar-benar merasa santai karena terus memikirkan probabilitas hal-hal yang terjadi di rumah."

"Kalau begitu sekaranglah saatnya bagimu untuk tidak terlalu mencemaskan semua itu. Jika kau berniat untuk bisa lebih bersantai, maka lakukanlah seutuhnya. Jangan memikirkan apapun lagi. Oke?" Ravi mencoba untuk meyakinkan Hongbin sekali lagi.

"Baiklah. Jung Daehyun sudah datang. Aku akan mengakhiri percakapan kita. Jaga dirimu baik-baik."

Ravi tersenyum, "Aku mengerti. Sampai jumpa besok, sayang."

"Sampai jumpa."

PRAAANG!

Ravi berjalan cepat ke asal suara begitu memutus sambungan.

Di ruang tengah, ia mendapati sebuah properti yang terbuat dari kaca sudah berada dalam bentuk serpihan-serpihan tajam.

"Ya ampun. Pialaku yang sangat berharga… Yeri… kau…" ia seperti menahan nafas. Benda itu adalah bukti bahwa ia adalah seorang juara di sekolah bisnis internasional dan selalu mendapatkan nilai sempurna.

"Appa jangan marahi Yeri… hiks… Yeri tidak sengaja…" bocah itu menggosok-gosok matanya yang sudah basah. Tadinya ia ingin melarikan diri. Tapi tidak sempat, karena sang ayah tiba di tempatnya lebih cepat. Jadi ia menangis ketakutan.

"Kau tidak apa-apa kan sayang?" tanggapan tak terduga dari sang ayah. Untuk sesaat bocah itu merasa lega. Tapi adegan yang terputar di otaknya adalah beberapa pengalaman dimana ia selalu dimarahi ayahnya untuk kesalahan-kesalahan kecil yang tidak sengaja ia lakukan.

"Yeri minta maaf… hiks… appa…"

Ravi berjongkok, mensejajarkan postur dengan putrinya, "Tidak apa-apa. Tapi lain kali kalau mau main bola di luar saja ya. Di sini banyak barang yang sulit didapat." Ia mengacak-acak rambut sang putri dengan sayang.

"Subin, tolong bereskan semua ini." perintahnya pada seorang pelayan yang baru saja tiba karena mendengar sebuah keributan –dari pecahan piala tadi.

Ravi menggendong tubuh mungil Yeri, "Ayo sayang, kita main bola di halaman."

-oO-Undertaking Responsibilities-Oo-

.

.

.

Stop

.

.

.